Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri PKLM

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri PKLM

Sistem Pajak Pertambahan Nilai PPN baru diterapkan pada tahun 1983, dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 yang kemudian disempurnakan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan disempurnakan kembali di Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2000,kemudian yang terbaru adalah Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai PPN Nomor 42 Tahun 2009 yang mulai akan berlaku pada tanggal 1 April 2010. Pajak ini dimaksudkan sebagai pengganti pajak penjualan dan pajak penjualan impor. Dibandingkan dengan dua pajak tersebut, Pajak Pertambahan Nilai PPN memiliki basis yang lebih luas karena tidak hanya meliputi produsen pabrikan, tetapi juga mencakup distributor, agen besar dan penjual eceran. Ketika ketentuan Pajak Pertambahan Nilai PPN diterapkan pada tahun 1983, maka penerimaan Pajak Pertambahan Nilai PPN langsung meningkat tajam. Tingginya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai PPN disebabkan oleh dua faktor, yaitu adanya basis pajak yang lebih luas dan tambahan Pajak Penjualan atas Barang Mewah PPnBM yang tarifnya 10 diatas tarif Pajak Pertambahan Nilai PPN. Karena Pajak Pertambahan Nilai PPN ini merupakan pengganti pajak penjualan atau timbul karena adanya barang atau jasa yang ditransaksikan maka Pajak Pertambahan Nilai PPN termasuk pajak obyektif. Menurut Adriani dalam Brotodihardjo 1982:90, menyatakan bahwa pajak obyektif dimulai dengan 1 Universitas Sumatera Utara obyeknya,seperti keadaan, peristiwa, perbuatan dan lain – lain kemudian dicari orang atau subyek yang harus membayar pajaknya. Keadaan subjektif subyek pajak tidak relevan, walaupun dalam kasus – kasus tertentu ikut dipertimbangkan. Selain Pajak Pertambahan Nilai PPN Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPnBM, yang termasuk pajak ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Kendaraan Bermotor. Untuk mengurangi regresifitas ini, konsumen yang mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah dikenakan beban pajak tambahan berupa Pajak Penjualan atas Barang Mewah PPnBM. Tentang hal ini, tersirat baik dalam memori penjelasan bagian umum maupun memori penjelasan pasal 5 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai PPN 1983 yang antara lain menegaskan bahwa atas konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagai upaya nyata untuk mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi. Diharapkan dengan pengenaan pajak tambahan berupa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPnBM terhadap konsumen yang mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah, maka dampak regresif ini dapat ditekan. Dengan kata lain asas keadilanlah yang melatar belakangi adanya pungutan lain selain Pajak Pertambahan Nilai PPN untuk konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah. Suatu sistem pemungutan pajak akan mendekati asas keadilan apabila beban pajak yang dipikulkan oleh wajib pajak sepadan dengan kemampuannya. 2 Universitas Sumatera Utara 3 Tapi kemudian menjadi masalah ketika definisi barang mewah di masyarakat cepat berubah dan bergeser. Contoh yang mudah ditemui adalah telepon seluler. Lima tahun yang lalu telepon seluler merupakan yang mewah karena selain harganya yang mahal juga jangkauan penerimaannya juga terbatas untuk daerah tertentu saja yang kebanyakan adalah perkotaan. Tapi lain yang terjadi sekarang hampir semua lapisan masyarakat mengkonsumsi telepon seluler bahkan sudah menjadi bagian dari kebutuhan sehari-hari. Dilain pihak peraturan yang mengatur barang kena pajak yang tergolong mewah tidak bisa mengantisipasi perubahan yang terjadi di masyarakat tersebut. Selain hal tersebut diatas perilaku konsumen juga mengalami pergeseran yang sangat signifikan baik secara individu maupun lingkungan ataupun keterkaitan antara keduanya. Bahkan dewasa ini perilaku konsumen tidak berasal dari konsumen tapi produsen bisa menciptakan perilaku konsumen untuk konsumennya. Contohnya adalah air minum dalam kemasan. Sebelum air minum dalam kemasan diproduksi, masyarakat memenuhi kebutuhan air minum sendiri dengan memasak air, kemudian produsen mengenalkan air minum dalam kemasan ke masyarakat luas disertai usaha untuk menciptakan persepsi bahwa air minum dalam kemasan lebih sehat, hegienis dan praktis. Kemudian pola konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan air minum berubah, dari memasak sendiri menjadi membeli produk air minum dalam kemasan. Perpajakan yang didalamnya terdapat unsur Pajak Pertambahan Nilai PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPnBM merupakan juga bagian dari kebijakan fiskal pemerintah. Konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah Universitas Sumatera Utara 4 secara berlebihan pada umumnya dilakukan kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi merupakan kegiatan yang kontraproduktif. Oleh karena itu, kegiatan konsumsi seperti ini perlu dikurangi. Salah satu sarana yang dapat ditempuh adalah diberikannya beban pajak tambahan terhadap kegiatan mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah. Motif diatas itulah maka dengan kata lain, pemerintah dengan kebijakan fiskalnya yang termaterialkan dalam Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPnBM, berusaha untuk mempengaruhi perilaku konsumen khususnya pola konsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah. Tetapi Pajak Pertambahan Nilai PPN berbeda dengan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPnBM. Bahkan bisa dikatakan bahwa Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPnBM merupakan pajak yang kurang populer dimasyarakat umum. Hal itu bisa disebabkan karena karakter dari Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPnBM itu sendiri yaitu merupakan pungutan tambahan disamping Pajak Pertambahan Nilai PPN dan hanya dipungut satu kali yaitu pada saat import dan penyerahan oleh Pengusaha Kena Pajak PKP pabrikan. Yang selanjutnya tidak ada mekanisme pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPnBM oleh distributor akan dimasukkan ke harga pokok barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut. Maka tidak heran ada beberapa konsumen yang mengkonsumsi barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut tidak mengetahui tentang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPnBM. Karena dari pihak Direktorat Jendral Pajak hanya Universitas Sumatera Utara 5 mensosialisasikan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah PPnBM ke importir dan Pengusaha Kena Pajak pabrikan. Salah satu kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah adalah Minuman Beralkohol.Selama ini berdasarkan kategori produk minuman beralkohol di Indonesia ada tiga golongan.Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 62PMK.0112010,Golongan A dengan kadar alkohol maksimal 5 persen adalah minuman alkohol jenis bir. Sedangkan golongan B kadar alkoholnya 5-20 persen dan golongan C kadar alkoholnya 20 persen ke atas. Golongan B dan C masuk kategori minuman keras.. Sekarang ini, pemerintah mengacu pada sistem advalorem, yaitu sistem pengambilan pajak minol yang mengacu pada nilai atau harga suatu minol. Oleh karena itu penulis ingin mengangkat uraian diatas dengan judul “Pengaruh Pajak Penjualan Barang Mewah PPnBM Terhadap Harga Jual Minuman Beralkohol Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia”.

B. Tujuan dan Manfaat Praktik Kerja Lapangan Mandiri