Kedudukan Kantor Pelayanan Pajak Sebagai Kreditur Istimewa Dalam Mengajukan Keberatan Atas Pembagian Harta Pailit (Study Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010)

(1)

KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK SEBAGAI KREDITUR ISTIMEWA DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN

KEBERATAN ATAS PEMBAGIAN HARTA PAILIT

( STUDY TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 963 K/PDT.SUS/2010 )

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : DENNY SATRIA

( 110200126 )

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

ABSTRAK

KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK

SEBAGAI KREDITUR ISTIMEWA DALAM MENGAJUKAN KEBERATAN ATAS PEMBAGIAN HARTA PAILIT

(STUDY TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 963 K/Pdt.Sus/2010) *) Denny Satria

**) Ramli Siregar ***) Windha

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang. Kepailitan pada prinsipnya merupakan suatu sita umum berdasarkan undang-undang atas harta kekayaan debitur

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang mengacu pada penelitian yuridis normatif. Sumber dalam penelitian adalah data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier. Data diperoleh dengan menggunakan alat pengumpulan data yaitu studi kepustakaan (library research). Analisa data yang digunakan dalam penenlitian ini adalah analisa data kualitatif.

Kedudukan kreditur preferen dalam mengajukan permohonan pailit berdasarkan perundang-undangan di Indonesia pada dasarnya adalah sama (paritas creditoritum) dengan kreditur lainnya, akan tetapi kreditur preferen memiliki hak setelah kreditur separatis. Hak setelah kreditur separatis ini dikarenakan, kreditur separatis adalah kreditur yang dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan utang yang berada di bawah penguasaannya, seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Prosedur pengajuan keberatan atas pembagian harta pailit yang dilakukan kurator adalah sangat mudah. Pengajuan permohonan diajukan kepada hakim pengawas berdasarkan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh hakim pengawas pada saat penetapan dan pengumuman daftar pembagian harta pailit. Setelah permohonan diajukan kepada hakim pengawas maka dalam jangka waktu 3 (tiga) hari, hakim pengawas memberikan isi permohonan tersebut kepada kurator sebagai pihak termohon agar memberikan tanggapan atas permohonan pemohon. Kedudukan kantor pelayanan pajak dalam mengajukan permohonan pailit ditinjau dari undang-undang kepailitan berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010 dalam hal ini tidak dapat diterima dikarenakan syarat formilnya tidak terpenuhi. Adapun syarat formil tersebut adalah tidak melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari yang telah ditetapkan oleh hakim pengawas secara subjektif. Kedudukan kantor pelayanan pajak pada dasarnya sudah sesuai dengan syarat sebagai salah satu kreditur dan sebagai perwakilan negara yang mempunyai hak mendahulu atas utang pajak yang harus didahulukan pembayarannya daripada kreditur-kreditur lainnya.

Kata Kunci : Kantor Pelayanan Pajak, Pembagian Harta Pailit *Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

*** Dosen Pembimbing II, Ketua Departemen Ekonomi Fakultas Hukum USU


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK SEBAGAI KREDITUR ISTIMEWA DALAM MENGAJUKAN KEBERATAN ATAS PEMBAGIAN HARTA PAILIT (STUDY TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 963 K/PDT.SUS/2010)

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi persyaratan penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dr. O.K.Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Ibu Windha, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen pembimbing II pada penulisan skripsi ini yang telah mendukung penulis dalam pemilihan judul dan membimbing penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Bapak Ramli Siregar, SH., M.Hum, selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Azwar Mahyuzar selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah banyak membantu dan membimbing penulis selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Segenap dosen dan seluruh Civitas Akademik, juga seluruh staf pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Kepada kedua orang tua penulis, yaitu Jimmy Shawardi dan Shinta Lauren yang dengan kesabaran dan ketulusan hati mencurahkan cinta kasihnya dan memberikan dukungan berupa materi maupun semangat, dan doa kasih sayang dalam penyusunan skripsi ini.

7. Kepada E.G yang telah memberikan motivasi kepada penulis berupa kata-kata sehingga penulis terpacu dalam menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

8. Kepada grup Rangers dan Pacisu Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2011, Thomas, Richard Chandra, Helbert, Yudifri, Wisely, Steven Sembiring, Yos Kelvin, Yoko, dan


(5)

teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang selalu menemani dan memberikan masukan, serta mendukung penulis dalam keadaan apapun.

9. Kepada teman-teman, sahabat penulis yang merupakan keluarga besar SibolgaPie Community, Henry Gunawan, Wiliam Murano, Hermanto, Elisabeth Gozali, Eva Tanny, Desfanny serta teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang selalu memberikan dukungan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

10. Kepada rekan-rekan mahasiswa/i, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas semua bantuan yang diberikan.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca dan akan memberikan sumbangsih bagi Universitas Sumatera Utara. Sekian dan terima kasih.

Medan, April 2015 Penulis,

Denny Satria 110200126


(6)

DAFTAR ISI ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penelitian ... 34

G. Sistematika Penulisan ... 37

BAB II PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR A. Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit ... 40

B. Pengurusan Harta Pailit ... 58

C. Pembagian Harta Pailit ... 71

D. Tanggung Jawab Kurator ... 74

BAB III PENGAJUAN KEBERATAN ATAS PEMBAGIAN HARTA PAILIT A. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Keberatan Atas Pembagian Harta Pailit ... 76

B. Prosedur Permohonan Keberatan Atas Pembagian Harta Pailit ... 81


(7)

BAB IV KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK SEBAGAI KREDITUR ISTIMEWA DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN KEBERATAN ATAS PEMBAGIAN BOEDEL PAILIT DITINJAU BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 963 K/PDT.SUS/2010

A. Posisi Kasus ... 87 B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Mahkamah Agung

Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010 ... 97 C. Kedudukan Kantor Pelayanan Pajak Sebagai Kreditur

Istimewa Dalam Mengajukan Keberatan Atas Pembagian

Harta Pailit Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 .... 108

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ...113 B. Saran ...116 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

KEDUDUKAN KANTOR PELAYANAN PAJAK

SEBAGAI KREDITUR ISTIMEWA DALAM MENGAJUKAN KEBERATAN ATAS PEMBAGIAN HARTA PAILIT

(STUDY TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 963 K/Pdt.Sus/2010) *) Denny Satria

**) Ramli Siregar ***) Windha

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang. Kepailitan pada prinsipnya merupakan suatu sita umum berdasarkan undang-undang atas harta kekayaan debitur

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang mengacu pada penelitian yuridis normatif. Sumber dalam penelitian adalah data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier. Data diperoleh dengan menggunakan alat pengumpulan data yaitu studi kepustakaan (library research). Analisa data yang digunakan dalam penenlitian ini adalah analisa data kualitatif.

Kedudukan kreditur preferen dalam mengajukan permohonan pailit berdasarkan perundang-undangan di Indonesia pada dasarnya adalah sama (paritas creditoritum) dengan kreditur lainnya, akan tetapi kreditur preferen memiliki hak setelah kreditur separatis. Hak setelah kreditur separatis ini dikarenakan, kreditur separatis adalah kreditur yang dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan utang yang berada di bawah penguasaannya, seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Prosedur pengajuan keberatan atas pembagian harta pailit yang dilakukan kurator adalah sangat mudah. Pengajuan permohonan diajukan kepada hakim pengawas berdasarkan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh hakim pengawas pada saat penetapan dan pengumuman daftar pembagian harta pailit. Setelah permohonan diajukan kepada hakim pengawas maka dalam jangka waktu 3 (tiga) hari, hakim pengawas memberikan isi permohonan tersebut kepada kurator sebagai pihak termohon agar memberikan tanggapan atas permohonan pemohon. Kedudukan kantor pelayanan pajak dalam mengajukan permohonan pailit ditinjau dari undang-undang kepailitan berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010 dalam hal ini tidak dapat diterima dikarenakan syarat formilnya tidak terpenuhi. Adapun syarat formil tersebut adalah tidak melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari yang telah ditetapkan oleh hakim pengawas secara subjektif. Kedudukan kantor pelayanan pajak pada dasarnya sudah sesuai dengan syarat sebagai salah satu kreditur dan sebagai perwakilan negara yang mempunyai hak mendahulu atas utang pajak yang harus didahulukan pembayarannya daripada kreditur-kreditur lainnya.

Kata Kunci : Kantor Pelayanan Pajak, Pembagian Harta Pailit *Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

*** Dosen Pembimbing II, Ketua Departemen Ekonomi Fakultas Hukum USU


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Apabila ditelusuri kembali mengenai sejarah kepailitan, diketahui bahwa hukum kepailitan itu sudah ada sejak zaman Romawi tepatnya pada abad ke-19. Kata bankrut, yang dalam bahasa Inggris disebut bankrupt berasal dari Undang-Undang (yang selanjutnya disebut UU) di Itali disebut dengan banca rupta. Di Eropa, pada abad pertengahan terjadi praktek kebangkrutan, yang dalam hal ini dilakukan penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para krediturnya.1

Peraturan pada masa awal dikenalnya hukum pailit di Inggris, banyak peraturan yang mengatur mengenai larangan properti tidak dengan itikad baik (fraudulent conveyance statute) atau yang sedang populer sekarang disebut dengan actio pauliana.2 Di samping itu, dalam UU lama di Inggris tersebut juga di atur antara lain tentang hal-hal sebagai berikut:3

1. Usaha menjangkau bagian harta debitur yang tidak diketahui (to part unknown);

1

Sunarmi, “Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (civil law system) dengan Amerika Serikat (common law system)” jurnal, Tahun 2004, hlm. 10.

2

Ibid.

3


(10)

2. Usaha menjangkau debitur nakal yang mengurung diri di rumah (keeping house) karena dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit dijangkau oleh hukum jika dia berada dalam rumahnya berdasarkan asas man’s home is his castle;

3. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk tinggal di tempat-tempat tertentu yang kebal hukum, tempat mana sering disebut dengan istilah sanctuary. Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah kedutaan asing dalam hukum modern;

4. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk menjalankan sendiri secara sukarela terhadap putusan atau hukuman tertentu, yang diajukan oleh temannya sendiri. Biasa untuk maksud ini terlebih dahulu dilakukan rekayasa tagihan dari temannya untuk mencegah para krediturnya mengambil aset-aset tersebut.

Di Indonesia sendiri, kepailitan sudah berkembang sejak jaman penjajahan kolonial Belanda, seperti Wet Book Van Koophandel (selanjutnya disebut WVK) buku ketiga yang berjudul Van de voorzieningen in geval van onvormogen van kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang, yang mengatur tentang kepailitan untuk pedagang, juga Reglement op de Rechtvoordering (selanjutnya disebut RV) Stb 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.4

4

Sunarmi, Hukum Kepailitan, edisikedua, (Medan: Softmedia, 2010), hlm. .


(11)

Dikarenakan kepailitan pada saat itu dipandang sangat sulit untuk dipelejari, rumit dan berbelit-belit maka bagi sarjana hukum Indonesia, kepailitan kurang dikenal bahkan tidak popular dan hampir diabaikan. Hal ini dipandang karena kepailitan pada saat itu tidak menguntungkan bagi perkembangan dunia ilmu hukum dan praktek hukum.5

Dalam jangka waktu yang cukup panjang, pemerintah Indonesia memandang bahwa dalam dunia perekonomian, masalah utang piutang harus diatur penyelesaiannya melalui peraturan-peraturan tertentu sebagai bentuk jaminan kepastian hukum. Pada tanggal 22 April 1998, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disebut Perpu) yaitu Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang berlaku pada tanggal 20 Agustus 1998 dan selanjutnya dikuatkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang yang hingga saat ini masih dipergunakan

6

Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang (yang selanjutnya disebut UUK dan PKPU), adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam hal ini kepailitan berfungsi sebagai emergency window, yaitu pintu keluar darurat, yang

5

Ibid.

6


(12)

berarti bahwa kepailitan tersebut sebisa mungkin diambil sebagai jalan terakhir ketika situasi lain sudah tidak memungkinkan.

Menurut Penjelasan UUK dan PKPU, beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah:

1. untuk menghindari perebutan harta Debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditur yang menagih piutangnya dari Debitur; 2. untuk menghindari adanya Kreditur pemegang hak jaminan

kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitur tanpa memperhatikan kepentingan Debitur atau Kreditur lainnya;

3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan salah seorang Kreditur atau Debitur sendiri.

Dengan adanya kepailitan, maka diharapkan penyelesaian utang-piutang dapat diselesaikan dengan secepat mungkin, sehingga akan mengembalikan hak-hak dari kreditur. Utang yang timbul pada debitur pada dasarnya bukan hanya muncul dikarenakan adanya hubungan perjanjian, akan tetapi dapat timbul dari undang-undang dan contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah utang pajak. Utang pajak yang telah tertunggak baik itu utang pajak penghasilan, merupakan kewajiban yang juga harus dibayarkan.

Sebagaimana diketahui, Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak. Hak mendahulu adalah hak khusus yang dimiliki negara terhadap hasil lelang barang-barang milik


(13)

penanggung pajak untuk pelunasan utang kepada kreditur. Jika penanggung pajak tersebut mempunyai tunggakan berupa utang pajak, maka dengan hak mendahului ini negara mempunyai hak atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Hak mendahulu tidak mensyaratkan bahwa barang milik penanggung pajak yang dilelang di muka umum tersebut telah dilakukan penyitaan dalam rangka penagihan pajak.7 Jadi, dalam hal terjadi lelang barang milik penanggung pajak, maka pihak yang melakukan pelelangan wajib mendahulukan hasil lelang tersebut untuk pelunasan utang pajak dan biaya-biaya penagihan pajak terlebih dahulu. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan dan biaya-biaya penagihan dilunasi.8

1. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak; Dasar hukum yang digunakan dalam hal ini sebagaimana telah dijelaskan di atas, diatur dalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (yang selanjutnya disebut UU KUP), bahwa hak mendahului untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:

2. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau

7

Irwan Ariwibowo, “Kreditur Preferen Dalam Pajak, Apakah Sama Dalam Versi

Kepailitan?”, dalam

Desember 2014

8


(14)

3. Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan".

Berdasarkan ketentuan di atas maka kedudukan utang pajak merupakan sesuatu yang istimewa, yang mana sesuatu tersebut merupakan hak yang hanya dimiliki oleh Negara. Dengan hak tersebut negara mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik wajib pajak/penanggung pajak.9

Selanjutnya di dalam Pasal 21 Ayat (1) UU KUP disebutkan mengenai posisi negara terkait utang pajak, yaitu “Menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi".

10

9

Ibid.

10

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Posisi tersebut juga dipertegas didalam Pasal 21 Ayat (4) UU KUP, yakni: "Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib pajak tersebut." Termasuk dalam hal ini penjelasan yang ada di dalam Pasal 19 ayat (6) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (yang selanjutnya disebut UU PPSP) yang menyatakan sebagai berikut: "Menetapkan kedudukan Negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata


(15)

disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hasil penjualan barang-barang milik penanggung pajak terlebih dahulu untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas dan sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak".11

Tindakan kurator yang tidak menempatkan dirjen pajak sebagai perwakilan Negara dalam hal ini dapat dilakukan pengajuan permohonan keberatan seperti halnya yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Bojonegara (yang selanjutnya disebut KPP Pratama Bandung Bojonegara) kepada Kurator PT. Metrocorp Indonusa, yaitu Saudara Drs. Bakhtiar, Msi, SPA. Lewat renvoi, KPP Pratama Bandung Bojonagara berharap mendapatkan Rp.5.686.507.726,00 (lima milyar enam ratus delapan puluh enam juta lima ratus tujuh ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah) dari aset-aset PT. Metrocorp Indonusa yang pembayarannya harus didahulukan, namun dalam daftar pembagian harta pailit yang dibuat dan diumumkan oleh kurator hanya sebesar Rp. 27.092.286,- (dua puluh juta sembilan puluh dua ribu dua ratus delapan puluh enam Rupiah). Jumlah tersebut sangat jauh perbandingannya dilihat berdasarkan jumlah yang dikeluarkan oleh pihak KPP Pratama Bandung Bojonagara dengan hasil perhitungan dari kurator PT. Metrocorp Indonusa.12

Tindakan yang dirasa tidak adil tersebut menjadi alasan dari KPP Pratama Bandung Bojonagara melakukan keberatan hingga pada tahap kasasi.

11

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

12


(16)

Akan tetapi hingga pada tahap kasasi pun, pihak KPP Pratama Bandung Bojonagara tetap tidak mendapatkan utang pajak dari PT. Metrocorp Indonusa sebesar Rp.5.686.507.726,00 (lima milyar enam ratus delapan puluh enam juta lima ratus tujuh ribu tujuh ratus dua puluh enam Rupiah).13

Ditolaknya keberatan yang dilakukan oleh judex factie dan judex juris tentunya sangat beralasan, dan pastinya putusan yang dibuat memiliki legal reasoning untuk menolak keberatan KPP Pratama Bandung Bojonagara terkait jumlah pembagian harta pailit PT. Metrocorp Indonusa.14

1. Bagaimanakah pembagian harta pailit oleh kurator dalam kepailitan wajib pajak menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004?

Berdasarkan latar belakang di atas, maka sangat menarik untuk membahas mengenai kedudukan kantor pelayanan pajak sebagai kreditur istimewa dalam mengajukan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak, dan juga akan ditelaah lebih lanjut mengenai aturan-aturan yang digunakan dalam prosedur keberatan tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

2. Bagaimanakah pengajuan keberatan atas pembagian harta pailit oleh kurator? 3. Bagaimana kedudukan kantor pelayanan pajak sebagai kreditur istimewa dalam

mengajukan keberatan atas pembagian harta pailit (Studi terhadap Putusan MA No. 963K/Pdt.Sus/2010) di Indonesia?

13

Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010.

14


(17)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. TujuanPenelitian

Berdasarkan pokok permasalahan diatas, ada beberapa tujuan yang melandasi penelitian ini, yaitu:

a. Untuk mengetahui pengaturan kepailitan dalam UUK dan PKPU;

b. Untuk mengetahui proses pengajuan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit yang dilakukan kurator;

c. Untuk mengetahui kedudukan kantor pelayanan pajak sebagai kreditur istimewa dalam mengajukan mengajukan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit yang dilakukan oleh kurator.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut: a. Manfaat teoritis

1) Memberikan pengetahuan yang benar bagi penulis sendiri tentang kedudukan kantor pelayanan pajak dalam mengajukan permohonan pailit ditinjau dari undang-undang kepailitan.

2) Memberikan pembangunan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu hukum ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan kantor pelayanan pajak dalam mengajukan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit ditinjau dari UUK.


(18)

1) Memberikan kontribusi terhadap masyarakat untuk dapat mengetahui kedudukan kantor pelayanan pajak sebagai kreditur istimewa dalam mengajukan permohonan keberatan atas pembagian boedel pailit ditinjau dari UUK;

2) Memberikan pemahaman pada pihak terkait seperti: praktisi hukum, praktisi legal corporate, dan juga mahasiswa khususnya dalam pengajuan keberatan atas pembagian boedel pailit yang dilakukan oleh kurator.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Kedudukan Kantor Pelayanan Pajak Dalam Mengajukan Permohonan Pailit Ditinjau dari Undang-Undang Kepailitan Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010”, belum pernah di tulis oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan disusun oleh penulis sendiri, bukan plagiat atau diambil dari penelitian orang lain. Hal tersebut didasarkan pada pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas segala kritikan dan masukan yang sifatnya membangun guna penyempurnaan hasil penelitian.

Adapun beberapa judul yang memiliki kemiripan judul dalam hal kepailitan yang pernah ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara adalah


(19)

1. “Tinjauan Yuridis Akibat Hukum Kepailitan Suami/Istri Terhadap Perjanjian Kredit Bank” yang ditulis oleh Mellisa Yanwar pada Tahun 2011.

2. “Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Harta Warisan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” yang ditulis oleh F. Lubis pada Tahun 2011.

3. “Analisis Yuridis Putusan Pailit Terhadap PT. Telkomsel Tbk.” Yang ditulis oleh A. Samosir pada tahun 2013.

Beberapa judul skripsi yang telah disebutkan sebelumnya memiliki perbedaan dalam judul maupun permasalahan, dengan demikian penelitian ini dapat dilanjutkan sesuai dengan judul dan permasalahan yang ada.

E. Tinjauan Pustaka 1. Kepailitan

Kepailitan berasal dari kata “pailit” yang dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Prancis, “failite” berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda, digunakan istilah “failliet” yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan, dalam bahasa Latin digunakan istilah failure dan dalam bahasa Inggris, digunakan istilah to fail.

Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan dikarenakan Debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta


(20)

debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.15

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang rnenghimpit seorang debitur, di mana debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para krediturnya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur. Maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitur tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitur tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankcruptcy).16

Menurut Poerwadarminta17 “pailit” artinya bankrupt, dan bangkrut artinya menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya). Menurut Jhon M. Echlos dan Hasan Sadily,18 bankrupt artinya bangkrut, pailit dan bangkrut, pailit dan bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan. Menurut Imran Nating,19

15

J. Djohansah, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 23.

16

Ricardo Simanjuntak, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005), hlm. 55-56.

17

Jono, Perbandingan Hukum Kepailitan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), hlm 21.

18

Ibid.

19

Ibid.

kepailitan diartikan sebagai suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, yang dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur


(21)

tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. dalam ensiklopedia ekonomi keuangan perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-utangnya.

Di dalam Black`s Law Dictionary,20

Kepailitan pada prinsipnya merupakan suatu sita umum berdasarkan undang-undang atas harta kekayaan debitur. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dari kepailitan adalah:

pailit atau bankrupt adalah “The state or condition of a person (individual, pernersih, corporation, municipality) who is unable to pay is debt as they are, or become due”. the term includes a person againt whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UUK dan PKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam UU ini.

21

1. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “ Semua harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitur”, yaitu dengan cara

20

Ibid

21


(22)

memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitur, asas tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUH Perdata.

2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para kreditur sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren atau unscured creditors berdasarkan perimbangan besarnya masing-masing kreditur tersebut.) Asas tersebut dijamin oleh Pasal 1132 KUH Perdata.

3. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan pailit maka debitur tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindahkan harta kekayaannya yang status hukumnya sudah berubah menjadi harta pailit.

4. Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya dengan cara pembebasan utang.

Sedangkan tujuan dari kepailitan lainnya adalah untuk melakukan pembagian antara para kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga


(23)

kekayaan debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing.22

Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai 2 (dua) fungsi sekaligus, yaitu:23

1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang-utangnya kepada semua kreditur.

2. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi, misal oleh kreditur-krediturnya. Dengan demikian keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum harus khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata

Sementara itu, kepailitan juga didasarkan pada asas-asas, antara lain asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan dan asas integritas. Berikut akan dijelaskan mengenai asas-asas tersebut:24

22

Elvira Dewi Ginting, Analisa Hukum Mengenai Pengaturan Reorganisasi Perusahaan dalam Kepailitan, (Medan: USU Press, 2010), hlm. 11.

23

Sri Redjeki Hartono, “Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern”, Majalah Huukum Nasional Nomor 2, hlm. 37.

24

Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007), hlm. 183-184.


(24)

1. Asas keseimbangan adalah di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, sedangkan pihak lain dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.

2. Asas kelangsungan usah adalah terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tiap-tiap tagihan terhadap debitur dengan tidak memperdulikan kreditur lainnya.

4. Asas integritas adalah sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sitem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, yaitu:25

25

http://click-gtg.blogspot.com/2008_06_01_archive.html (diakses tanggal 31 Maret 2015).

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur yang tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.”


(25)

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 2 UUK dan PKPU adalah:

a. Debitur sendiri

Debitur dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri (voluntary petition), yang biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh kewajibannya, terutama dalam melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap krediturnya.

b. Seorang atau beberapa kreditur (Pasal 2 ayat (1))

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU lama), permohonan pailit pada umumnya diajukan oleh kreditur, baik kreditur yang merupakan perusahaan maupun kreditur perorangan.

c. Kejaksaan demi kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2))

Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

d. Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan bank (Pasal 2 ayat (3)) Pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia yang merupakan bank sentral yang menentukan kebijakan perbankan di Indonesia.


(26)

e. Badan Pengawas Pasar Modal (Pasal 2 ayat (4)) (selanjutnya disebut BAPEPAM)

Berdasarkan UUK dan PKPU pengajuan permohonan pailit terhadap perusahaan efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian hanya dapat dilakukan oleh badan pengawas pasar modal, namun setelah dibentuknya lembaga otoritas jasa keuangan melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK), kewenangan BAPEPAM untuk mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian digantikan oleh otoritas jasa keuangan.

f. Menteri Keuangan dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat (5)).

2. Kreditur26

Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa, “Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau UU yang dapat ditagih di muka pengadilan. Pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) dikenal 3 (tiga) jenis kreditur yaitu kreditur konkuren, kreditur separatis dan kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan.

26


(27)

Pembagian kreditur dalam kepailitan sesuai dengan prinsip structured creditors atau prinsip structured prorata yang diartikan sebagai prinsip yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing antara lain kreditur separatis, preferen, dan konkruen. Pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditur yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditur lain yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata (pari passu prorata parte).

Kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak jaminan terhadap hipotek, gadai, hak tanggungan, dan jaminan fidusia.

Kreditur preferen adalah kreditur yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditur preferen terdiri dari kreditur preferen khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata, dan kreditur preferen umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata.

Kreditur konkuren adalah kreditur yang mempunyai hak mendapatkan pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh harta kekayaan debitur. Kreditur konkruen merupakan kreditur yang biasa yang tidak dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hipotik, dan hak tanggungan dan pembayarannya dilakukan secara berimbang. Kreditur inilah yang umum melaksanakan prinsip pari passu prorata parte, pelunasan secara bersama-sama


(28)

tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh kekayaan debitur.

3. Kurator

Pasal 1 angka 5 UUK dan PKPU menyebutkan bahwa Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan UU ini. Apabila debitur atau kreditur tidak mengajukan usul pengangkatan kurator, maka Balai Harta Peninggalan (yang selanjutnya disebut BHP) akan bertindak sebagai kurator. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 UUK dan PKPU, yang menyatakan bahwa :27

1. Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat kurator dan seorang hakim pengawas yang ditunjuk oleh hakim pengadilan;

2. Dalam hal debitur, kreditur, atau pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit tidak mengajukan usul pengangkatan kurator kepada pengadilan, maka BHP diangkat selaku kurator;

3. Kurator yang diangkat harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitur atau kreditur, dan tidak sedang menangani perkara Kepailitan dan PKPU, lebih dari 3 (tiga) perkara;

4. Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas, kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh hakim

27


(29)

pengawas, mengenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut:

a. Nama, alamat, dan pekerjaan debitur; b. Nama hakim pengawas;

c. Nama, alamat, dan pekerjaan kurator;

d. Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia kreditur sementara apabila telah ditunjuk;dan

e. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama.

Kurator mulai bertugas sejak diangkat dalam putusan pernyataan pailit. Sejak mulai pengangkatannya, kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang perhiasan, efek dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Pasal 98 UUK dan PKPU).

Yang dimaksud dengan “pemberesan” dalam ketentuan ini adalah pengurangan aktiva untuk membayar atau melunasi utang, sedangkan yang dimaksud dengan “segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator” adalah meliputi semua perbuatan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Pengertian “tetap sah dan mengikat debitur” adalah bahwa perbuatan kurator tidak dapat digugat di pengadilan manapun.28

Dalam melaksanakan tugasnya, kurator :29

a. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ

28

Lihat penjelasan pasal 16 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

29


(30)

debitur, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan, persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan;

b. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit;

c. Apabila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga, kurator perlu membebani harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan hakim pengawas.

d. Pembebanan harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang belum dijadikan jaminan utang;

e. Untuk menghadap di sidang pengadilan, kurator harus terlebih dahulu mendapat izin dari hakim pengawas, kecuali menyangkut sengketa pencocokan piutang.

Tindakan pengurusan dan pemberesan yang dilakukan Kurator dalam suatu kepailitan dapat diperinci atas:30

1. Tahap Pengurusan:

a. Mengumumkan ikhwal kepailitan.

Dalam jangka waktu paling lambat 5 ( lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh kurator dan hakim pengawas,

30


(31)

kurator mengumumkan dalam Berita Negara Repunlik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, megenai ikhtisar putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut:

1) Nama, alamat, dan pekerjaan debitur; 2) Nama hakim pengawas;

3) Nama, alamat, dan pekerjaan kurator;

4) Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia kreditur sementara apabila telah ditunjuk;dan

5) Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditur. b. Melakukan penyegelan harta pailit.

Kurator dapat meminta penyegelan harta pailit kepada pengadilan, berdasarkan alasan untuk mengamankan harta pailit, melalui hakim pengawas. Penyegelan dilakukan oleh jurusitadi tempat harta tersebut berada dengan dihadiri oleh 2 (dua) saksi yang salah satu diantaranya adalah wakil dari pemerintah daerah setempat (Pasal 99 UUK dan PKPU). Yang dimaksud dengan “wakil dari pemerintah daerah setempat” adalah lurah atau kepala desa, atau yang disebut dengan nama lain (Penejelasan Pasal 99 ayat (2) UUK dan PKPU). c. Pencatatan/pendaftaran harta pailit.

Kurator harus mebuat pencatatan harta pailit paling lambat 2 (dua) hari setelah menerima surat putusan pengangkatannya sebagai kurator. Pencatatan dapat dilakukan di bawah tangan oleh kurator


(32)

dengan persetujuan hakim pengawas. Anggota panitia kreditur sementara berhak menghadiri pembuatan pencatatan tersebut (Pasal 100 UUK dan PKPU). Mengingat bahwa debitur lebih mengetahui tentang seluruh harta kekayaannya, maka dalam prakteknya kehadiran debitur akan sangat membantu pelaksanaan pendaftaran harta kekayan ini. Untuk itu kurator perlu memanggil debitur pailit untuk memberikan keterangan-keterangan dan melibatkannya memberikan petunjuk dalam pendaftaran harta tersebut. Bahwa informasi pertama yang akan diperoleh tentang harta kekayaan debitur adalah dari putusan/penetapan Pengadilan Niaga, karena dalam pertimbangan hukumnya Pengadilan Niaga akan menyebutkan, baik harta kekayaan maupun utang debitur dan siapa-siapa yang menjadi krediturnya. Selain itu, informasi tentang harta kekayaan debitur dapat juga diketahui dari kantor Badan Pertahanan Nasional, kantor-kantor bank, baik bank pemerintah maupun bank swasta untuk mengetahui adanya simpanan debitur.

Setelah pencatatan harta pailit, kurator harus membuat daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan utang harta pailit, nama dan tempat tinggal kreditur beserta jumlah piutang masing-masing kreditur. Pencatatan dan pendaftaran tersebut diletakkan di kepaniteraan pengadilan untuk dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma (Pasal 102 dan Pasal 103 UUK dan PKPU).


(33)

d. Melanjutkan usaha debitur.

Melanjutkan usaha debitur pailit atas persetujuan panitia kreditur sementara walaupun ada kasasi atau peninjauan kembali. Bila tidak ada panitia kreditur sementara maka diperlukan izin dari hakim pengawas (Pasal 104 UUK dan PKPU).

e. Membuka surat-surat dan telegram debitur pailit.

Kurator berwenang untuk membuka surat dan telegram yang dialamatkan kepada debitur pailit. Surat dan telegram yang tidak berkaitan dengan harta pailit, harus segera diserahkan kepada debitur pailit. Perusahaan pengirim surat dan telegram memberikan kepada kurator, surat dan telegram yang dialamatkan kepada debitur pailit. Semua surat pengaduan dan keberatan yang berkaitan dengan harta pailit ditujukan kepada kurator (Pasal 105 UUK dan PKPU).

Berdasarkan Pasal 24 dan Pasal 69 UUK dan PKPU, sejak putusan pailit diucapkan semua wewenang debitur untuk menguasai dan mengurus harta pailit termasuk memperoleh keterangan mengenai pembukuan, catatan, rekening bank, dan simpanan debitur dari bank yang bersangkutan beralih kepada kurator (Penjelasan Pasal 105 UUK dan PKPU).

f. Mengalihkan harta pailit.

Pengalihan harta pailit dapat dilakukan sepanjang itu diperlukan untuk menutup biaya kepailitan atau apabila penahanannya akan


(34)

mengakibatkan kerugian kepada harta pailit meskipun ada kasasi dan peninjauan kembali.

g. Melakukan penyimpanan.

Uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya wajib disimpan oleh kurator kecuali ditentukan lain oleh hakim pengawas. Uang tunai wajib disimpan di bank (Pasal 108 UUK dan PKPU). Yang dimaksud dengan “disimpan oleh kurator sendiri” adalah dalam pengertian tidak mengurangi kemungkinan efek atau surat berharga tersebut disimpan oleh kustodian, tetapi tanggung jawab tetap atas nama debitur pailit. isalnya, deposito atas nama kurator, qq debitur pailit (Penjelasan Pasal 108 UUK dan PKPU).

h. Mengadakan perdamaian guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 109 UUK dan PKPU). Yang dimaksud dengan “perdamaian” dalam Pasal ini adalah perkara yang sedang berjalan di pengadilan.

i. Melakukan pemanggilan kepada kreditur.

Pemanggilan terhadap kreditur ini diperlukan untuk memasukkan bukti-bukti tagihan kepada kurator. Dalam hal ini hakim pengawas akan menentukan batas ajhir pengajuan tagihan, batas akhir verifikasi pajak, hari, tanggal, waktu, dan temapat rapat kreditur untuk mengadakan pencocokan piutang. Pemanggilan tersebut dapat dilakukan dengan surat kabar umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) UUK dan PKPU. Tenggang waktu batas akhir


(35)

pengajuan rapat pencocokan piutang harus ada selisihnya paling sedikit 14 (empat belas) hari (Pasal 113 dan Pasal 114 UUK dan PKPU).

j. Mendaftarkan tagihan para kreditur.

Setelah para kreditur memasukkan tagihan-tagihannya, maka kurator akan mencocokkan dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan debitur pailit, dan kemudian berunding dengan kreditur jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima. Tagihan-tagihan yang disetujui dimasukkan dalam sebuah daftar yang disebut dengan “Daftar piutang yang sementara diakui”, sedangkan untuk tagihan yang dibantah oleh kurator akan dimasukkan kedalam daftr tersendiri disertai dengan alasan-alasannya. dalam daftar tagihan tersebut dibubuhkan pula catatan apakah termasuk piutang yang diistimewakan atau dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya atau hak untuk emnahan benda bagi tagihan yang bersangkutan dapat dilaksanakan.

Daftar tagihan oleh kurator diletakkan dipapan pengumuman selama 7 (tujuh) hari untuk dapat dilihat oleh yang berkepentingan atau siapapun yang menghendakinya, Peletakan daftar-daftar tagihan tersebut diberitahukan oleh kurator kepada semua kreditur yang dikenal dan juga untuk menghadiri rapat pencocokan piutang serta pemberitahuan jika debitu ada memasukkan rencana perdamaian


(36)

kepada kurator (Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, dan Pasal 119 UUK dan PKPU).

k. Menghadiri rapat pencocokan piutang

Tugas kurator selanjutnya adalah menghadiri rapat pencocokan piutang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh hakim pengawas. Hakim pengawas hadir dalam rapat tersebut dan bertindak selaku pemimpin rapat yang dihadiri oleh kurator, para kreditur, dan oleh debitur. Kehadiran debitur dalam rapat pencocokam piutang sangat penting, karena debitur dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab musabab kepailitan dan keadaaan harta pailit. Debitur lebih mengetahui dan dapat memberikan keterangan-keterangan tentang kebenaran dari piutang-piutang kreditur kepadanya, siap-siapa yang menjadi kreditur dalam kepilitan dan besarnya tagihan dari masing-masing kreditur. Hakim pengawas membacakan “daftar piutang yang diakui sementara”, dan “daftar tagihan yang dibantah”, sedangkan kurator akan memberikan keterangan-keterangan tentang status dari para kreditur, apakah sebagai kreditur separatis, kreditur preferens, ataupun kreditur konkuren. Daftar terakhir dari tagihan-tagihan ini selanjutnya harus disetujui dan disahkan oleh hakim pengawas yang dilakukan dalam rapat pencocokan tagihan tersebut diatas.


(37)

l. Memberitahukan hasil rapat pencocokan piutang kepada kreditur. Setelah berakhirnya pencocokan piutang, kurator wajib memberikan laporan mengenai keadaan harta pailit, dan selanjutnya kepada kreditur, wajib diberikan semua keterangan yang diminta oleh mereka. Laporan mengenai harta pailit beserta berita acara pencocokan piutang wajib disediakan di kepaniteraan dan kantor kurator agar dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 2. Tahap Pemberesan

a. Mengusulkan dan melaksanakan penjualan harta pailit.

Dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 15 ayat (1) UUK dan PKPU, kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitur, apabila:

1) Usul untuk mengurus perusahaan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak; atau

2) Pengurusan terhadap perusahaan debitur dihentikan (Pasal 184 UUK dan PKPU).

Dalam rangka membiayai tindakan-tindakan pengurusan dan pemberesan termasuk jasa kurator diperlukan dana, dan dana tersebut diperoleh dari hasil penjualan harta kekayaan pailit, baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak.


(38)

Semua benda harus dijual dimuka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Bila penjualan dimuka umum tidak tercapai, maka dapat dilakukan penjualan dibawah tangan dengan izin hakim pengawas (Pasal 185 UUK dan PKPU). Untuk semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan, maka kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin pengawas.

Dalam melaksanakan penjualan harta pailit ini, kurator harus terlebih dahulu meminta izin dari hakim pengawas. Izin dari hakim pengawas ini dituangkan dalam suatu penetapan. Izin penetapan ini diperoleh setelah kurator terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk melakukan penjualan harta pailit dan dapat dilakukan secara lelang didepan umum maupun secara dibawah tangan.

Sebelum berlakunya UUK dan PKPU dan UUK Lama, ketika BHP merupakan satu-satunya kurator dalam kepailitan, BHP akan melaksanakan penjualan harta pailit dengan cara dibawah tangan, alasannya adalah penjualan secara lelang akan menyita banyakwaktu dan memerlukan dana yang akan dibebankan kepada harta pailit.

Kurator berkewajiban membayar piutang kreditur yang mempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga benda itu masuk kembali dan menguntungkan harta pailit.


(39)

b. Membuat daftar pembagian

Kurator wajib menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan kepada hakim pengawas. Daftar pembagian memuat rincian penerimaan dan pengeluaran termasuk di dalamnya upah kurator, nama kreditur, jumlah yang dicocokkan dari tiap-tiap piutang dan bagian yang wajib diterima diberikan kepada kreditur. Daftar pembagian yang telah disetujui oleh hakim pengawas wajib disediakan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat oleh kreditur selama tenggang waktu yang ditetapkan oleh hakim pengawas pada waktu daftar tersebut disetujui dan diumumkan oleh kurator dalam surat kabar. Daftar pembagian ini dapat dilawan oleh kreditur dengan mengajukan surat keberatan disertai alasan kepada panitera pengadilan dengan menerima tanda bukti penerimaan. Hakim pengawas akan menetapkan hari untuk memeriksa perlawanan di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Dalam sidang tersebut, hakim pengawas memberi laporan tertulis, sedang kurator dan setiap kreditur atau kuasanya dapat mendukung atau membantah daftar pembagian tersebut dengan mengemukakan alasannya dan pengadilan paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari wajib memberikan putusan yang disertai dengan pertimbangan hukum yang cukup. Terhadap putusan pengadilan ini dapat diajukan permohonan kasasi.

Setelah berakhirnya tenggang waktu untuk melihat daftar pembagian atau setelah putusan akibat diajukan perlawanan


(40)

diucapkan, kurator wajib segera membayar pembagian yang telah ditetapkan. Setelah kurator selesai melaksanakan pembayaran kepada masing- masing kreditur berdasarkan daftar pembagian, maka berakhirlah kepailitan. Kurator melakukan pengumuman mengenai berakhirnya kepailitan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan surat kabar (Pasal 201 dan Pasal 202 UUK dan PKPU).

c. Membuat daftar perhitungan dan pertanggungjawaban pengurusan dan pemberesan kepailitan kepada hakim pengawas

Kurator wajib memberikan pertanggungjawaban mengenai pengurusan dan pemberesan yang telah dilakukannya kepada hakim pengawas paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya kepailitan. Semua buku dan dokumen mengenai harta pailit wajib diserahkan kepada debitur dengan tanda bukti penerimaannya (Pasal 202 ayat (3) dan ayat (4) UUK dan PKPU).

Bila sesudah diadakan pembagian penutup, ada pembagian yang tadinya dicadangkan jatuh kembali dalam harta pailit atau apabila ternyata masih terdapat bagian harta pailit yang sewaktu diadakan pemberesan tidak diketahui, maka atas peritah pengadilan, kurator membereskan dan membaginya berdasrkan pembagian yang dahulu (Pasal 203 UUK dan PKPU).

Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan atau


(41)

pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit (Pasal 72 UUK dan PKPU).

4. Pajak

Pajak didefinisikan sebagai iuran tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran-pengeluaran umum. Dari definisi tersebut, dapat diuraikan bebereapa unsur pajak, antara lain:31

1. Pajak merupakan iuran dari rakyat kepada Negara. Yang berhak memungut pajak adalah ngara, baik melalui pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Iuran dibayarkan berupa uang, bukan barang. 2. Pajak dipungut berdasarkan UU. Sifat pemungutan pajak adalah

dipaksakan berdasarkan kewenangan yang diatur oleh undang-undang berserta aturan pelaksanaannya.

3. Tidak ada kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah dalam pembayaran pajak.

4. Digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara.

Pasal 23 huruf a Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mendefinisikan, “Pajak adalah pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang. Sedangkan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (yang selanjutnya disebut UU KUP) menyebutkan bahwa pajak

31

Supramono dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan Perhitungan, (ANDI OFFSET: Yogyalarta, 2010), hlm. 2.


(42)

merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Di dalam Pasal 1 angka 2 UU KUP mendefinisikan, “Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungutan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pajak.”

Dari penjelasan tersebut, tampak bahwa pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam penerimaan Negara. Sesungguhnya fungsi pajak sebagai salah satu sumber penerimaan Negara bukan merupakan satu-satunya fungsi dari pajak. Masih ada satu lagi fungsi pajak yang tidak kalah pentingnya dari fungsi budgetair, yaitu fungsi mengatur. Dalam fungsi mengatur, pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Negara di bidang sosial dan ekonomi.32

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni mengkaji kedudukan kantor pelayanan pajak dalam mengajukan permohonan pailit ditinjau dari UUK berdasarkan Undang-F. Metode Penelitian

1. Jenis dan sifat penelitian

32


(43)

Undang Perbankan Indonesia.33. Metode penelitian hukum normatif adalah untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah yang tertentu. Penelitian ini juga dapat menjelaskan dan menerangkan kepada orang lain dan bagaimana hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu34

Penelitian skripsi ini bersifat deskriptif analitis yang merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganlisis suatu peraturan hukum.35

Sumber data adalah subjek dari mana data yang diperoleh.

Penelitian akan menguji, mengkaji ketentuan-ketentuan penerapan peraturan yang mengatur tentang kedudukan kantor pelayanan pajak dalam mengajukan permohonan pailit ditinjau dari UUK. Jenis penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan kualitatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian dengan penelusuran dokumen atau lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

2. Data Penelitian

36

33

Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. cetakan ketigabela, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, . 2011), hlm.15.

34

C. F. G Sunaryati Hartono. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad ke-20. (Bandung: Alumni, 1994), hlm. 140.

35

Soerjono Seokanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1986), hlm 63.

36

Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik,(Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm.172.

Sumber data dapat berasal dari data primer dan data sekunder. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, dimana data yang diperoleh penulis secara tidak langsung. Berikut data sekunder yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu:


(44)

a. Bahan hukum Primer, diperoleh melalui Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, berupa karya-karya ilmiah, berita-berita serta tulisan dan buku yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diajukan.

c. Bahan hukum tertier, berupa bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

3.Alat pengumpulan data

Dalam penulisan skripsi ini metode pengumpulan data dengan studi dokumen dengan penulusuran pustaka (library research). Library research memiliki arti teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelahaan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.37

Analisis data memiliki arti sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah

4. Analisis data

37


(45)

dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan penelitian.38

38

Pengertian analisis data “fattkhy.blogspot.com/2011/01/pengertian-analisis-data.html?m=1” diakses pada tanggal 12 Desember 2013.

Dalam penulisan skripsi ini menggunakan analisis data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang berhubungan dengan skripsi ini. Dengan menghubungkan data primer, sekunder dan tertier maka akan disimpulkan suatu hasil penelitian untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan kedudukan bank BUMN dalam penyelesaian kredit macet berdasarkan Undang-Undang Perbankan Indonesia.

G.Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Bab ini diawali dengan latar belakang penelitian, yang berisi alasan-alasan penulis mengambil judul sebagaimana tercantum diatas. Uraian-uraian dalam bab ini ditujukan sebagai penjelasan awal mengenai terminologi-terminologi yang digunakan untuk mengemukakan permasalahan dalam mengidentifikasi masalah sebagai proses signifikasi pembahasan. Disamping itu untuk mempertegas pembahasan dicantum pula maksud dan tujuan serta manfaat penelitian beserta metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR


(46)

Bab ini menjelaskan mengenai pembagian harta pailit oleh kurator dalam kepailitan, syarat dan prosedur permohonan pailit, juga pengurusan dan pemberesan harta pailit oleh kurator, serta tanggung jawab kurator dalam melakukan pembagian harta pailit kepada para kreditur.

BAB III PENGAJUAN KEBERATAN ATAS PEMBAGIAN HARTA PAILIT

Bab ini menjelaskan mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit, termasuk prosedur pengajuan keberatan atas pembagian harta pailit, juga akibat hukumnya berdasarkan perundang-undangan di Indonesia.

BAB IV PEMBAGIAN YANG DILAKUKAN PENGADILAN DALAM PERMOHONAN KEBERATAN ATAS PEMBAGIAN BOEDEL PAILIT YANG DILAKUKAN KURATOR BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 963 K/PDT.SUS/2010

Menjelaskan mengenai kedudukan Kantor Pelayanan Pajak dalam mengajukan permohonan pailit ditinjau dari UUK berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan yang dikemukakan berdasarkan permasalahan yang telah dibahas dan


(47)

dianalisis, dalam bab ini juga dikemukakan berbagai saran dari penulis yang dihasilkan penelitian yang dilakukan oleh penulis.


(48)

BAB II

PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR

A.Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit 1. Syarat-syarat pengajuan permohonan pailit.

Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU, yang berbunyi bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri atau maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Syarat-syarat permohonan pernyataan pailit dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Syarat adanya dua kreditur atau lebih (concursus creditorium).

Di dalam Pasal 1 Angka 2 UUK dan PKPU yang dimaksud dengan kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Kreditur itu sendiri dapat merupakan kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Apabila kepailitan itu dimohonkan oleh seorang Kreditur, maka ia harus dapat membuktikan bahwa selain dirinya masih


(49)

ada lagi kreditur lain dari debitur. Syarat adanya kreditur lain adalah untuk memenuhi prinsip concursus creditorum dalam kepailitan.39

Jika debitur hanya memiliki satu kreditur, maka eksistensi UUK dan PKPU kehilangan rasio d’etre-nya. Bila debitur hanya memiliki satu kreditur, maka seluruh harta kekayaan Debitur otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte, dan terhadap debitur tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditur.

Adanya persyaratan concursus creditorium adalah sebagai bentuk konsekuensi berlakunya ketentuan Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek (yang selanjutnya disebut BW) dimana rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitur untuk kemudian setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian atau accoord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda debitur untuk kemudian dibagi-bagikan hasil perolehannya kepada semua kreditur sesuai urutan tingkat Kreditur yang telah diatur oleh undang-undang

40

UUK dan PKPU tidak mengatur secara tegas mengenai pembuktian bahwa debitur mempunyai 2 (dua) kreditur atau lebih, namun oleh karena di dalam hukum kepailitan berlaku pula hukum acara perdata, maka Pasal 116 HIR berlaku dalam hal ini. Pasal 116 HIR atau Pasal 1865 BW menegaskan bahwa beban wajib bukti (burden of proof) dipakai oleh

39

Suliarto, Op.Cit, hlm. 8.

40


(50)

pemohon atau penggugat untuk membuktikan diri (posita) gugatannya,41 maka sesuai dengan prinsip pembebanan wajib bukti di atas, pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitur mempunyai dua atau lebih kreditur sebagaimana telah dipersyaratkan oleh UUK dan PKPU.42

Ketentuan mengenai adanya syarat dua atau lebih kreditur di dalam permohonan pernyataan pailit mengharuskan kita mengetahui terlebih dahulu mengenai defenisi dari kreditur itu sendiri. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (yang selanjutnya disebut UUK Lama) tidak memberikan definisi yang jelas mengenai “kreditur”. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, harus dibedakan pengertian kreditur dalam kalimat “...mempunyai dua atau lebih kreditur…”, dan “...atas permohonan seorang atau lebih krediturnya.43

Di dalam kalimat pertama, yang dimaksud kreditur adalah sembarang kreditur, baik kreditur separatis, kreditur preferen, maupun kreditur konkuren. Sedangkan dalam kalimat kedua, kata “kreditur” disini dimaksudkan untuk kreditur konkuren. Kreditur konkuren berlaku dalam definisi kreditur pada kalimat kedua dikarenakan seorang kreditur separatis tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat kreditur separatis telah terjamin sumber

41

Pasal 116 HIR dan Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek..

42

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 64-65.

43


(51)

pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani dengan hak jaminan.44

Pendapat Sutan Remy Sjahdeini ini diperkuat pula oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 K/N/1999 tanggal 4 Februari 1999 yang mengemukakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa kreditur separatis yang tidak melepaskan haknya terlebih dahulu sebagai kreditur separatis, bukanlah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK Lama.45

Berdasarkan UUK dan PKPU, maka kreditur separatis dan kreditur preferen dapat tampil sebagai kreditur konkuren tanpa harus melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya, tetapi dengan catatan bahwa kreditur separatis dan kreditur preferen dapat membuktikan bahwa benda yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi utangnya debitur pailit.

Dengan disahkannya UUK dan PKPU, maka diperoleh pengertian “kreditur” sebagaimana terdapat di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU. Berkaitan dengan ada tidaknya pelepasan hak agunan kreditur separatis terhadap pengajuan permohonan pailit, terhadap kreditur telah diatur secara jelas di dalam Pasal 138 UUK dan PKPU.

46

44

Ibid, hlm. 9.

45

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 65.

46

Jono, Op.Cit, hlm. 10.


(52)

Berdasarkan Pasal 1 angka (6) UUK, utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia, maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau UU dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi member hak kepada kreditur untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Syarat ini diperlukan karena tanpa adanya utang, maka debitur tidak memiliki kewajiban yang harus dibayar kepada para kreditur, sehingga tidak dapat dimintakan permohonan pailit.

c. Syarat cukup satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Seperti dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh tempo adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwanang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Syarat bahwa utang harus telah jatuh tempo dan dapat ditagih menunjukan bahwa Kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya.

“Penagihan” disini diartikan suatu pemberitahuan oleh pihak kreditur bahwa pihak kreditur ingin supaya debitur melaksanakan janjinya, yaitu dengan segera atau pada suatu waktu yang disebut dalam pemberitahuan itu. Faktor “waktu” adalah penting dalam hal perjanjian,


(53)

terutama dikalangan bisnis. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa dalam suatu perjanjian kedua belah pihak ada keinginan supaya selekas mungkin tujuan dari perjanjian terlaksana, yaitu pihak kreditur supaya lekas merasakan kenikmatan yang terletak pada pelaksanaan janji, sedang pihak debitur supaya lekas terlepas dari suatu ikatan, yang dampaknya akan sedikit menekan jiwanya.47

Suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut bukan utang yang timbul dari perikatan alami (natuurlijke verbintensis). Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat dituntut di muka pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan pailit. Perikatan alami adalah semisal perikatan yang oleh ketentuan perundang-undangan dinyatakan tidak dapat dituntut pemenuhannya karena perjudian atau pertaruhan (Pasal 1788 KUH Perdata), maupun sesudahnya sebagai akibat telah terjadinya kadaluwarsa (pasal 1967 KUH Perdata).48

Keadaan insolvent atau keadaan dimana debitur tidak mampu membayar utang-utangnya pada para kreditur, menunjukkan bahwa debitur tidak lagi mampu untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan kreditur terancam tidak dapat menerima hak berupa pembayaran utang dari debiturnya. Ketidakmampuan debitur tersebut merupakan hak yang sangat d. Debitur berada dalam keadaan insolvent, yaitu keadaan dimana debitur

tidak lagi mampu membayar utang-utangnya kepada para kreditur.

47

Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, (Bandung : Mandar Maju, 1999), hlm. 15.

48

Emmy Yuhassrie (ed), Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat pengkajian Hukum 2004), hlm.20-21.


(54)

penting didalam kepailitan karena dengan adanya ketidakmampuan tersebut kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap kekayaan debitur melalui putusan pengadilan sehingga kreditur dapat menerima haknya.

2. Prosedur permohonan pailit.

A) Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit

UUK dan PKPU telah menentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit, yaitu: 49

1. Debitur sendiri

Debitur dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri (voluntary petition), yang biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh kewajibannya, terutama dalam melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap para krediturnya. Dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan pailit terhadap debitur itu sendiri (voluntary petition). Ketentuan tentang voluntary petition ini dianut oleh banyak negara, meskipun terhadap suatu kekhawatiran bahwa debitur dapat beritikad buruk dengan mengajukan permohonan pailit sebagai alasan untuk menghindarkan pembayaran utang-utangnya kepada krediturnya.

49


(55)

Berkaitan dengan voluntary petition ini, Retno Wulan Sutantio mengemukakan kemungkinan terjadinya masalah-masalah sebagai berikut:

a. Permohonan pailit yang diajukan oleh debitur yang dilakukan dengan sengaja setelah membuat utang kanan kiri dengan maksud untuk tidak membayar, maka permohonan tersebut akan ditolak oleh Pengadilan Niaga. Perbuatan tersebut dalam bahasa Belanda disebut “knevelarij” dan diancam dengan Pasal 79 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan hukuman penjara 4 tahun.

b. Permohonan pailit diajukan oleh teman baik atau keluarga debitur dengan alasan yang tidak kuat, sehingga permohonan itu tidak akan diterima atau ditolak oleh Pengadilan Niaga. Tindakan ini dilakukan dengan maksud untuk menghambat agar kreditur lain tidak mengajukan permohonan pailit terhadap debitur tersebut atau setidak-tidaknya akan menghambat kreditur lain mengajukan permohonan pailit.

2. Satu atau lebih kreditur 50

Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU dengan tegas menyatakan bahwa satu atau lebih kreditur pailit dapat mengajukan permohonan pailit. UUK dan PKPU pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) mengenal 3

50


(56)

(tiga) jenis kreditur yaitu kreditur konkuren, kreditur separatis dan kreditur preferen. Khusus mengenai kreditur separatis dan kreditur preferen, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan.

Pembagian kreditur dalam kepailitan sesuai dengan prinsip structured creditors atau prinsip structured prorata yang diartikan sebagai prinsip yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing antara lain kreditur separatis, preferen, dan konkruen. Pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditur yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditur lain yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata (pari passu prorata parte).

Kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak jaminan terhadap hipotek, gadai, hak tanggungan, dan jaminan fidusia.

Kreditur preferen adalah kreditur yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditur preferen terdiri dari kreditur preferen khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUHPerdata, dan kreditur preferen umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUHPerdata.


(57)

Kreditur konkuren adalah kreditur yang mempunyai hak mendapatkan pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh harta kekayaan debitur. Kreditur konkruen merupakan kreditur yang biasa yang tidak dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hipotik, dan hak tanggungan dan pembayarannya dilakukan secara berimbang. Kreditur inilah yang umum melaksanakan prinsip pari passu prorata parte, pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh kekayaan debitur

3. Kejaksaan 51

Undang-undang kepailitan telah memberikan kewenangan kepada kejaksaan dalam kepailitan yaitu : pertama, Pasal 2 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000, bahwa: “kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan demi kepentingan umum.” kedua, Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa: “kejaksaan dapat mengajukan permohonan agar pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap sebagianatau seluruh kekayaan debitur dalam perkara kepailitan.” ketiga, Pasal 93 ayat (1) dan Pasal 93 ayat (2) yang menentukan bahwa: “pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditur atau lebih setelah mendengarkan

51


(58)

keterangan hakim pengawas dapat memerintahkan supaya debitur pailit ditahan, baik ditempatkan di rumah tahanan maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan Jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Perintah penahanan dilaksanakan oleh Kejaksaan yang ditunjuk oleh hakim pengawas.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU menyebutkan: “Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit”. Yang dimaksud “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:

a. Debitur melarikan diri

b. Debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan

c. Debitur mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat

d. Debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas

e. Debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu atau f. Dalam hal lainnya menurut Kejaksaan merupakan kepentingan


(59)

Penjelasan Pasal 2 menyebutkan bahwa, dalam permohonan pernyataan pailit tersebut, Kejaksaan dapat melaksanakannya atas inisiatif sendiri atau berdasarkan masukan dari masyarakat atau lembaga (instansi pemerintah atau badan lain yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan).

4. Bank Indonesia.

Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan memberikan keputusan untuk dinyatakan pailit suatu bank, haruslah terdapat keterlibatan Bank Indonesia. Sebab Bank Indonesia merupakan bank sentral yang menentukan kebijakan perbankan Indonesia, yang mempunyai kewenangan untuk memberi izin usaha.52

a. kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan

Pasal 1 angka 1 UU OJK menyatakan otoritas jasa keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Otoritas jasa keuangan berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Pasal 6 UU OJK mengatur tugas otoritas jasa keuangan, yaitu: “otoritas jasa keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

b. kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal

52

Sutan Remy Sjahdeini, “Undang-Undang Kepailitan: Dalam Perspektif Hukum, Politik dan Ekonomi” Makalah ini disajikan pada tanggal 7 Mei 1998 di Jakarta.


(1)

surat keberatan tertanggal 25 Agustus 2010, namun tanggal stempel pos yang dikirim tertanggal 27 Agustus 2010. Dasar pengajuan perlawanan tersebut adalah tidak diperhatikannya kedudukan KPP Pratama Bandung Bojonagara sebagai kreditur preferen/istimewa yang memiliki hak mendahulu sebagai perwakilan negara atas utang pajak terkait Pasal 60 ayat (2) UUK dan PKPU, Pasal 21 ayat (3a) UU KUP, dan Pasal 19 ayat (6) UU PPSP dalam daftar pembagian harta pailit oleh kurator, yang mengakibatkan jumlah pembayaran yang seharusnya diterima oleh KPP Pratama Bandung Bojonagara lebih kecil daripada PT. Bank Mandiri Persero (Tbk) yang kedudukannya sebagai kreditur separatis. Namun, dasar pertimbangan hakim mengacu kepada syarat formilnya, yaitu terhadap tenggang waktu pengajuan surat keberatan oleh KPP Pratama Bandung Bojonagara yang telah lalai/terlambat menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan atas daftar pembagian harta pailit PT. Metrocorp Indonusa oleh kurator terkait Pasal 193 ayat (1) UUK dan PKPU, yang memberikan kewenangan kepada hakim pengawas untuk menetapkan tenggang waktu pengajuan surat keberatan terhadap daftar pembagian harta pailit secara subjektif, sehingga hakim Pengadilan Niaga dalam Putusan No. 16/Pailit/2007/PN.Niaga.Jkt.Pst Jo. No. 01/PKPU/2007/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 12 Oktober 2010 menolak permohonan keberatan pemohon KPP Pratama Bandung Bojonagara atas daftar pembagian harta pailit kepada para kreditur PT. Metrocorp Indonusa. Terhadap putusan tersebut KPP Pratama Bandung Bojonagara mengajukan permohonan kasasi dan diterima oleh kepaniteraan pengadilan pada tanggal 19 Oktober 2010 dengan Putusan


(2)

Mahkamah Agung No. 963 K/Pdt.Sus/2010 yang menolak permohonan kasasi KPP Pratama Bandung Bojonagara. Kedudukan kantor pelayanan pajak sebagai kreditur istimewa dalam mengajukan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit ditinjau berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010 seharusnya dapat diterima dan dikabulkan apabila secara judexfacti KPP Pratama Bandung Bojonagara tidak lalai/terlambat dalam mengajukan keberatan atas daftar pembagian harta pailit yang dibuat oleh kurator. Hal tersebut dikarenakan kedudukan KPP Pratama Bandung Bojonagara sebagai kreditur preferen/istimewa yang juga berhak mengajukan keberatan atas daftar pembagian harta pailit dan memiliki hak mendahulu sebagai perwakilan negara atas utang pajak terkait Pasal 60 ayat (2) UUK dan PKPU, Pasal 138 UUK dan PKPU, Pasal 193 ayat (1) UUK dan PKPU, Pasal 21 ayat (3a) UU KUP, dan Pasal 19 ayat (6) UU PPSP, serta Penjelasan Umum Butir 4 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, harus didahulukan pembayaran utangnya daripada kreditur-kreditur lainnya.

B. Saran

1. Kedudukan kreditur preferen dalam mengajukan permohonan pailit berdasarkan perundang-undangan di Indonesia saat ini sudah sangat jelas karena pada dasarnya pengajuan permohonan pailit tidak melihat kedudukan kreditur, yang terpenting dalam permohonan pailit, syarat-syarat dari permohonan pailit sudah dilengkapi. Adapun perbaikan dalam prosedur permohonan kepailitan ini adalah kejelasan terkait dengan pembagian harta


(3)

harta pailit kepada para kreditur dengan harus mengutamakan kedudukan masing-masing kreditur.

2. Prosedur permohonan keberatan atas pembagian harta pailit sudah benar akan prosesnya dan dapat melindungi kreditur lainnya dalam hal pembagian harta pailit. Akan tetapi yang harus diperbaiki adalah dalam prosedur ini dapat menggunakan teknologi yang ada sekarang ini sebagai bentuk efesiensi waktu tempat dan biaya. Pastinya pelaksanaan ini juga harus melalui aturan terkait perubahan ini. Oleh karenanya aturan untuk memperbolehkan pengajuan permohonan keberatan melalui cara online seperti email atau menggunakan sistem teknologi lainnya dapat dibuat.

3. Kedudukan kantor pelayanan pajak sebagai kreditur istimewa dalam mengajukan permohonan keberatan atas pembagian harta pailit ditinjau dari undang-undang kepailitan berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010 sudah tepat untuk mengajukan keberatan, namun yang menjadi masalah adalah pada keterlambatan dalam pengajuan keberatan tersebut. Terhadap hal ini harus ada perbaikan sumber daya manusia pada kantor pelayanan pajak agar lebih teliti dalam hal menanggapi permasalahan-permasalahan seperti ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku:

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.

Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.1990.

Badrulzaman, Mariam Darus. Bab-Bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fidusia. Bandung: PT. Citra Aditia Bakti. 1991.

Djohansah, J. Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni. 2001.

Fuady, Munir. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2002.

Ginting, Elvira Dewi. Analisa Hukum Mengenai Pengaturan Reorganisasi Perusahaan dalam Kepailitan. Medan: USU Press. 2010.

Hartono, C. F. G Sunaryati. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir abad ke-20. Bandung: Alumni. 1994.

Hoft, Jerry. Hukum Kepailitan Di Indonesia (Indonesian Bankrupcty Law). Diterjemahkanoleh Kartini Muljadi. Jakarta: Tata Nusa. 2000.

Jono. Perbandingan Hukum Kepailitan. Jakarta. Sinar Grafika. 2008.

Muljon, Djoko. Panduan Brevet Pajak: Akuntansi Pajak dan Ketentuan Umum Perpajakan. Jakarta: CV. Andi Offset. 2009.

Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1988.

Prodjohamidjojo, Martiman. Proses Kepailitan. Bandung : Mandar Maju. 1999. Ricardo Simanjuntak. Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya.

Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum. Jakarta. 2005.

Rochmat, H. Soemitro dan Dewi Kania. Sugiharti. Asas dan Dasar Perpajakan. Bandung. Refika Aditama. 2004.


(5)

Saliman, Abdul R.. Hukum Bisnis untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2005.

Sari , Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. 2007.

Sastrawidjaja, Man S. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.Bandung: Alumni. 2006.

Satrio, J. Hukum Jaminan. Hak Jaminan Kebendaan. Hak Tanggungan. Bandung: PT Citra Adirya Bakti.1998.

Seokanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. 1986.

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan. Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2002.

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. cetakan ketigabela. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2011.

Sholihin, Ahmad Ifham. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010.

Sunarmi. Hukum Kepailitan Edisi 2. Medan: PT. Softmedia. 2010.

Yuhassrie, Emmy (ed). Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya. Jakarta: Pusat pengkajian Hukum 2004.

Jurnal:

Hartono, Sri Redjeki. “Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern”. Majalah Hukum Nasional Nomor 2.

Sunarmi, “Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (civil law system) dengan Amerika Serikat (common law system)” jurnal, Tahun 2004.

Sularto. “Perlindungan Hukum Kreditur Separatis dalam Kepailitan” Jurnal Hukum Bagian Hukum Bagian Hukum Perdata. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Setiawan. “Hak Tanggungan dan Masalah Eksekusinya”. Varia Peradilan. Majalah Hukum. Tahun XI Nomor 131. Agustus 1996.


(6)

________ “Kepailitan; Konsep-Konsep Dasar serta Pengertiannya”. Varia Peradilan Nomor 156

Taroreh, Royke A.. “Hak Kreditor Separatis Dalam Mengeksekusi Benda Jaminan Debitor Pailit”. Jurnal Hukum Vol.II/No.2/Januari-Maret /2014.

Internet:

Irwan Ariwibowo, “Kreditur Preferen Dalam Pajak, Apakah Sama Dalam Versi Kepailitan?”, dalam

http://click-gtg.blogspot.com/2008_06_01_archive.html (diakses tanggal 31 Maret 2015).


Dokumen yang terkait

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Analisis Terhadap Keabsahan Putusan Perceraian Dan Pembagian Harta Bersama Yang Dikeluarkan Oleh Hakim Dari Negara Lain (Singapura) Terhadap Warga Negara Indonesia (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 612 K/Pdt/2003), 2012

5 77 142

Analisis Yuridis Pembagian Harta Bersama Milik Orang Tua Yang Dilakukan Anak Di Kala Kedua Orang Tua Masih Hidup (Putusan MA Tanggal 27 OktobeR 2004, NO. 1187 K/PDT/2000)

2 36 152

Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Debitur Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan

4 71 124

Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Persfektif Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 51 k/ag/1999)

0 55 136

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

KEDUDUKAN NOTARIS SEBAGAI KREDITOR DALAM KEPAILITAN (Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 651 K/Pdt.Sus-Pailit/2014)

5 59 42

ANALISIS KEWENANGAN KURATOR DALAM MELAKUKAN PEMBERESAN HARTA/BOEDEL PAILIT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 769 K/Pdt.Sus-Pailit/2016).

6 12 13

BAB II PEMBAGIAN HARTA PAILIT TERKAIT PENGURUSAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR A. Syarat dan Prosedur Permohonan Pailit - Kedudukan Kantor Pelayanan Pajak Sebagai Kreditur Istimewa Dalam Mengajukan Keberatan Atas Pembagian Harta Pailit (Study Terhadap Putus

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kedudukan Kantor Pelayanan Pajak Sebagai Kreditur Istimewa Dalam Mengajukan Keberatan Atas Pembagian Harta Pailit (Study Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 963 K/Pdt.Sus/2010)

0 0 39