BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Banyaknya jumlah orang Jawa yang ada di Sumatera, dikarenakan adanya gelombang transmigrasi baik yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda maupun
oleh pemerintahan Orde Baru. Program transmigrasi yang dicanangkan Belanda, sebagai bagian dari politik etis atau politik balas budi juga. Hal ini mendorong
orang Jawa untuk berpindah ke berbagai wilayah di Indonesaia terutama di Sumatera. Lampung adalah daerah pertama yang dijadikan tempat awal proyek
transmigrasi tersebut, yang mengakibatkan sekitar 61 penduduk Lampung kini adalah bersuku Jawa, kemudian disambung dengan transmigrasi ke daerah
Kerinci, Gayo, dan seluruh Sumatera Priantono, 2009. Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh 44.66 orang Jawa, bahkan ada
catatan yang menyebutkan lebih dari 50. Suku Melayu 7.63, Batak Toba tercatat 19.44, Karo 6.64, Mandailing 6.32, Simalungun 2.72, Nias,
0.40, Pakpak 0.16. Sementara kelompok pendatang selain Jawa adalah Cina 3.63 kelompok ini pernah mencapai jumlah lebih dari 20, Minangkabau
3.30, Aceh 1.26, Berarti Suku Batak secara keseluruhan meliputi jumlah lebih dari 36 Siyo, 2008:88
Kepindahan orang Jawa ke Sumatera pada abad ke-19 dengan tujuan sebagai pekerja kontrak yang menggantikan kuli kontrak asal Cina yang memiliki
upah yang relative mahal. Oleh sebab itu pemerintah kolonial Belanda pada masa itu lebih Senang memilih kuli asal India dan juga Jawa yang upahnya relatif lebih
Universitas Sumatera Utara
murah Breman, 1997:53. Perpindahan orang Jawa sendiri diperkirakan mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan 20, hal ini karena faktor dorongan kemaun
sendiri yang didasarkan untuk tujuan pencarian lahan baru untuk pertanian, atau paksaan yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda. Orang Jawa berpindah dalam
jumlah besar di Semenanjung Malaysia, khususnya di Johor dan Selangor, kemudian sebagai kuli kontrak di kawasan Deli, Sumatera Utara, sehingga
lahirlah istilah ‘Pujakesuma’ atau Putra Jawa Kelahiran Sumatera Siyo,2008:74 Sebelumnya Orang Jawa pendatang ini dikenal deangan Sebutan “Jakon”
Jawa Kontrak ataupun “Jadel” Jawa Deli, sebutan-sebutan itu adalah sebutan yang dulu identik dengan orang Jawa Sebagai Pekerja Perkebunan di tanah Deli.
Karena pada awal kedatangan orang Jawa ke Sumatera adalah sebagai kuli kontrak perkebunan di Sumatera. JakonJadel adalah sebutan yang mungkin
sebuah streotip etnis yang diberikan oleh orang yang bukan Jawa. Sekarang untuk lebih halusnya, orang sering menyebut orang Jawa dengan Pujakesuma Putera
Jawa Kelahiran Sumatera. Sebagian orang yang bukan Orang Jawa atau bahkan mereka sendiri yang masih keturunan Jawa atau karena lahir di Sumatera,
beranggapan bahwa Pujakesuma adalah sebutan yang lebih terhormat sebagai pengganti istilah Jakon ataupun Jadel yang mengandung konotasi status social
yang rendah. Jakon atau Jawa Kontrak adalah sebutan bagi mereka yang memiliki
ikatan kerja dengan para panguasa pada zaman kolonialisme, mereka ditempatkan di kawasan-kawasan terdalam atau daerah daerah terpencil yang memiliki potensi
perkebunan seperti perkebunan karet, sawit dan juga kopi. Ketika masa kontrak mereka habis, sebagian dari orang-orang Jawa tersebut tidak kembali ke Pulau
Universitas Sumatera Utara
Jawa, mereka memilih tetap bertahan di perkebunan yang mereka tinggali. Sedangakan istilah Jadel atau Jawa Deli, adalah sebutan bagi mereka yang dating
dan bekerja sebagai kuli di perkebunan di Tanah Deli Medan. Mereka bakerja sebagai Kuli pada perkebunan tembakau di Medan atau pada saat itu lebih dikenal
dengan sebutan Perkebunan Tembakau Deli Baca Breman, Menjinakan Sang Kuli, ketika masa kontrak mereka juga habis mereka mamilih untuk tinggal
dipedalaman atau mencari tempat baru yang lebih tenang Siyo, 2008:83 Dalam perkembangannya, orang Jawa yang ada di Sumatera membentuk
kelompok – kelompok yang mencirikan keetnisitasan mereka, tujuan pembentukan didasari dari rasa senasib sepenangunggan, pada dasarnya mereka
adalah keturunan atau generasi dari para Jakon atau Jadel yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang terdapat di Tanah Deli. Perkumpulan –
perkumpulan etnis yang muncul yang didasari oleh berbagai macam latar belakang membuat orang Jawa yang ada diperantauan seakan semakin dekat
dengan tanah kelahiran mereka. Pada tahun 1980an munculah perkumpulan etnis Jawa yang dikenal dengan Pujakesuma.
Keberadaan perkumpulan atau paguyuban berdasarkan etnik atau kedaerahan di berbagai daerah telah menyebabkan masyarakat disuatu tempat juga
berupaya untuk menunjukkan identitas keberadaannya. Dengan kata lain perkumpulan etnis atau marga menjadi symbol akan keberadaan mereka ditengah
masyarakat lain, misalnya saja pada etnis Batak, Minang, dan Melayu. Paguyuban secara khusus mencirikan suku ataupun kedaerahannya. Sehingga fungsi
paguyuban memiliki fungsi sosial dan juga budaya, bahkan sebagai tempat berlindung untuk mencari ketenangan dan menjauhkan diri dari rasa kegelisahan
Universitas Sumatera Utara
serta rasa takut di tempat yang bukan daerah tanah leluhurnya. Bahkan orang Jawa sendiri merasa bahwa tanah Sumetara juga merupakan tanah kelahiran mereka
yang patut mereka bangun Selain Pujakesuma, bermunculan pula berbagai perkumpuan –
perkumpulan yang belatar belakang etnis Jawa juga seperti: − PAJAR Paguyuban jawa Rembug Paguyuban ini sama seperti
Pujakesuma hanya saja dalam penyaluran aspirasi politiknya, lebih diarahkan pada PBR Partai Bintang Reformasi
− PJB Paguyuban Jawa Bersatu, persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota paguyban ini adalah Orang Jawa dan beragama
Islam − FKPPWJ, organisasi ini didirikan sebagai wadah forum komunikasi
menyatukan pendapat dan aspirasi warga Jawa, baik yang lahir di Jawa maupun diluar Jawa bahkan diluar negeri. Sedangkan organisasi
untuk kaum mudanya adalah Generasi Muda Jawa Gema Jawa − Ikatan Keluarga Solo dan lain-lain.
Pujakesuma perkumpulan tertua bagi etnis Jawa yang ada di Sumatera yang berdirinya pada tahun 1980-an. Pujakesuma merupakan sebuah paguyuban
yang dirikan untuk orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera ataupun yang tidak lahir di Sumatera
1
1
Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang Informan yaitu Bapak Supeno ; “bahwa orang yang mendirikan Paguyuban ini adalah orang Jawa yang lahir di Sumatera dan ataupun tidak lahir di Sumatera,
maksudnya para pendiri Paguyuban ini juga ada yang tidak lahir di Sumatera. Jadi bagi meraka yang mau bergabung di Paguyuban ini dipersilahkan dengan senang hati, walaupun dia lahir di sumatera atau pun tidak
lahir di sumatera.
. Paguyuban ini berdiri sebagai wadah tampat penyaluran
Universitas Sumatera Utara
Budaya Jawa yang masih melekat pada masyarakat Jawa yang ada di Sumatera. Munculnya paguyuban juga dapat dikatakan sebagai rasa etnisitas agar tetap eksis
di tengah-tengah persaingan hidup antar etnik. Paguyuban berasal dari kata guyub
2
, Dalam kamus bahasa Indonesia, paguyuban adalah perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, didirikan orang-orang
sepaham memiliki ide yang sama dan dari daerah yang sama untuk membina persatuan kerukunan diantara para anggotanya.. Dengan demikian satu
kelompok etnik memiliki suatu identitas khas yang berbeda dengan kelompok etnik lain, yang dengan mudah terlihat dari cara mereka mengekspresikan dan
menata pengelolaan dan penguasaan terhadap sumber daya alam, ekonomi, dan politik
3
Belakangan ini orang Jawa yang berada didalam paguyuban Pujakesuma bukanlah sepenuhnya orang yang asli memiliki darah Jawa, bahkan sebagaian
orang yang tergabung dalam Paguyuban ini terdapat juga orang-orang yang bukan asli orang Jawa, dikarenakan orang tua mereka baik yang memiliki dara h Jawa
ataupun tidak menikah dengan etnis lain sehingga mereka memiliki identitas sebagai orang Jawa. Paguyuban Pujakesuma sendiripun dijadikan sebagai symbol
identitas bahwa mereka adalah orang Jawa. Pujakesuma bukan hanya milik orang Jawa, akan tetapi milik semua akan tetapi milik semua orang. Sesuai dengan
perkembangannya Paguyuban ini juga menerima mereka yang Bukan orang Jawa untuk bergabung dengan Paguyuban ini, mereka biasa disebut dengan anggota
Luar biasa. Pujakesuma itu bukan hanya membicarakan budaya, tetapi Pujakesuma itu membicarakan tentang kehidupan, apakah itu perekonomian,
.
2
Secara etimologi, Guyub berasal dari bahasa jawa yang berarti kumpul dalam satu ikatan.
3
Irwan Abdullah Resolusi Konflik Etnis Di Indonesia: Suatu kerangka konseptual
Universitas Sumatera Utara
teknologi, pertanian, kesenian, olahraga, keagamaan dan lain-lain www.hariansuarasumut.com
Dalam masyarakat Jawa urban
4
, pemimpin lokal lurah dilihat sebagai bapak dan pemimpin mereka, karena ia adalah bagian dari mereka dan dipilih
dalam suasana semangat masyarakat dan konsultasi, gagasan ini diungkapkan dalam pepatah Jawa manunggaling kawulo lan gusti yang berarti masyarakat dan
pemimpin adalah satu
5
Pemimpin adalah orang yang harus menjadi jembatan dan kepercayaan bagi para oang-orang yang ada dibawahnya untuk menyampaikan dan menerima
aspirasi dari para anggotanya, sekalipun pemimpin merupakan cakupan kecil dari sebuah perkumpulan. pengertian kepemimpinan adalah seorang yang memiliki
status kepemimpinan, suatu posisi penguasaan atau pengendalian yang membudaya di dalam kelompok masyarakat. Menjadi simbol suatu gerakan yang
memahami dengan benar akan dirinya sendiri secara internal dan eksternal yang mempunyai peranan sebagai juru bicara kelompoknya. Memiliki sedikit pengikut
atau tidak mempunyai pengikut secara langsung, tetapi yang meletakkan jalan dikemudian hari akan dilalui atau diikuti orang lain Erfandi :www.multiply.com
. Gagasan persatuan ini berkembang dari suatau pola normative di mana konsep ‘rukun’ keselarasan dan keseimbangan menempati
posisi yang begitu sentral. muntuk meningkatkan kehidupan, seseorang membutuhkan patron, pelindung diluar rumah, sosok semacam ini haruslah
banyak akal, mampu menarik dan melindungi pengikutnya, dan dengan demikian semua mempunyai kepentingan bersama. Mulder 2001 :80
4
Baca Joep Bijmer dan Martin Reurink Kpemimpinan Lokal di Lingkungan Urban Jawa dari Ideologi ke Realita, hal 155
5
Dalam Bahasa Jawa Gusti diartikan sebagai Tuhan, tetapi dalam kata-kata tersebut diartikan sebagai menyatunya manusia dengan Tuhan, atau dengan kata lain bahwa Pemimpin adalah titisan Tuhan.
Universitas Sumatera Utara
Kepemimpinan senantiasa tumbuh dan akan kembali kepada visi, misi, keinginan, kebutuhan, aspirasi, dan nilai-nilai fundamental dari masyarakat yang
dipimpinnya. Dalam jargon politik ini sering dirumuskan baik sebagai kepemimpinan yang aspiratif ataupun sebagai kepemimpinan yang demokratis.
Tanpa ini kepemimpinan akan kehilangan legitimasi. Kepemimpinan adalah sesuatu yang visioner, rasional, kolektif, dan bertujuan, kepemimpinan diarahkan
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tetapi jangkauan dari domain kepemimpinan, lebih terbatas jika dikontraskan dengan jangkauan dan domain dari kekuasaan.
Kepemimpinan tidak memanipulasi motif-motif pengikutnya, seperti yang sangat mungkin berlaku di lahan kekuasaan. Pemimpin memimpin manusia, bukan
memimpin benda www.lampungpost.com Keikut sertaan orang Jawa dalam berpolitik terlihat pada pemilihan calon
Gubernur Sumetara Utara, seorang tokoh Pujakesuma yang juga merupakan ketua umum Pujakesuma Propinsi Sumatera Utara yang bernama Ir. Suherdi,
mengajukan diri sebagai calon Gubernur Sumatera Utara. Dengan harapan di dukung oleh masyarakat Jawa yang merupakan penduduk Mayoritas di Sumatera
Utara, tetapi hasilnya malah ia kalah dari Gatot Pujonugroho yang juga merupakan orang Jawa tetapi tidak lahir di Sumatera Utara. Sebelumnya juga
Sigit Pramono yang merupakan orang Jawa, mencalonkan diri sebagai walikota Medan ternyata dia juga kalah dalam perolehan suara dari Abdilah yang
berpasangan dengan Ramli. Ketidak kompakan orang Jawa dalam pemilihan seorang tokoh pemimpin,
menunjukkan bahwa etnis Jawa tidak mau ambil pusing dalam hal politik, hal ini didasarkan pada ideologi yang sudah tertanam sejak zaman nenek moyang mereka
Universitas Sumatera Utara
yaitu orang Jawa itu memiliki sifat “adem, ayem, tentrem” dingin, tenang, dan hidup tenang. Seaindainya saja orang-orang Jawa yang ingin bermain dikancah
politik membulatkan suara untuk satu orang tokoh, maka perpecahan suarapun kemungkinan tidak akan terjadi.
Hal ini juga didasari karena ide berdirinya Paguyuban Pujakesuma bukan sebagai kendaraan politik melainkan sebagai wadah tempat menunjukkan identitas
mereka, bahwa orang Jawa itu ada diantara etnis lain ditempat ia merantau. Ketidak kompakan orang Jawa dalam hal politik, dikarenakan adanya Budaya
Falsafah Jawa yang mengajarkan bahwa mereka harus hidup dengan tenang, tidak harus duduk diatas segalanya. Pujakesuma memposisikan dirinya sebagai identitas
diri bukan sebagai kendaraan politik. Dalam kontekstualnya orang Jawa dapat dipahami dengan dua hal yaitu
apakah orang Jawa itu sendiri sebagai konsepsi atau ideologi yang berarti orang Jawa itu sendiri mengerti akan budaya, tatakrama, dan norma-norma yang terpatri
dalam jiwa mereka sejak kecil. Kedua apakah orang Jawa itu sendiri hanya biologisnya saja yang berarti orang Jawa hanya sebagai identitas saja, tanpa
mereka mengerti akan budaya dan norma-norma serta tatakrama yang berlaku dalam budaya jawa.
1.2 Perumusan Masalah