Makna Pemimpin Menurut Orang Jawa” (Studi Deskriptif Pada paguyuban Pujakesuma)

(1)

Makna Pemimpin Menurut Orang Jawa

(Studi Deskriptif Pada Paguyuban Pujakesuma)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi tugas dab melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Antropologi

Oleh Dani Syahpani

050905035

Departemen Antropologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Medan

2009


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan kesempatan berupa kesehatan yang diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan dapat menyelesaikan studi dan skripsi yang berjudul : “Makna Pemimpin Menurut Orang Jawa” (Studi Deskriptif Pada paguyuban Pujakesuma).

Penulis tidak dapat menyelesaikan semua ini tanpa bantuan dari semua pihak yang membantu dalam proses penyelesaian skripsi mulai dari awal sampai skripsi ini dapat diselesaikan.

Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara

2. Drs. Zulkifli Lubis, MA (Bang Zul) selaku Ketua Departemen Antropologi Universitas Sumatera sekaligus sebagai Dosen Wali selama menjalani pendidikan di Uiversitas Sumatera Utara khususnya di Departemen Antropologi

3. Drs. Irfan Simatupang, MSi. (Bang Irfan) selaku Sekretaris Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara

4. Drs. Agustrino, M.SP (Mas Agus) sebagai Dosen Pembimbing dalam penulisan proposal sampai penulisan skiripsi ini. Terimakasih untuk waktu, ilmu, saran dan pengetahuan yang mas berikan selama penulisan skripsi ini. 5. Dra. Sri Alem, M.Si (Kak Alem) sebagai ketua penguji proposal dan juga

meja hijau, juga mau berbagi ilmu dangan penulis dan membantu dalam menyelesaikan perbaikan skripsi.

6. Dra. Mariana Makmur, MA. (Kak Mariana), selaku penguji proposal dan telah membantu penulis dalam perbaikan proposal dan juga skripsi.

7. Para Dosen Departemen Antropologi, Staf Pegawai FISIP, Pegawai Perpustakaan Fakultas dan Pegawai Perpustakaan Universitas.


(3)

8. Bapak Joko sebagai Ketua Ranting Paguyuban Pujakesuma Medan Johor yang telah memberi informasi yang dibutuhkan penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini.

9. Bapak Suherdi selaku Pimpinan Dewan Pimpinan Wilayah Paguyuban Pujakesuma Sumatera Utara.

10.Kepada seluruh warga Paguyuban Pujakesuma dan juga informan yang telah membantu memberikkan informasi yang penulis butuhkan.

11.Bang Ahyar dan juga Bang Saruhum yang telah mau meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan semangat, nasehat dan juga kritikan yang pedas sebagai penambah motifasi untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

12.Kak Dwi, kak Aulia Kemala Sari (kak kekem) dan juga kak Anis, yang telah memberikan motifasi dan semangat kepada penulis serta mau berbagi waktu untuk berdiskusi dan meminjamkan buku-buku yang berguna bagi selesainya tugas akhir ini

13.Penghargaan yang sebesar-besarnya penulis berikan kepada Kedua Orangtua yang sangat saya sayangi, Ayahanda Panut I. Wirya dan Juga Ibunda Sari , terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang tidak terukur, ketulusan, dukungan, doa dan materi sejak lahir hingga penulis bisa seperti sekarang ini dan tidak akan pernah tergantikan dengan apapun juga dan oleh siapapun juga 14.Kepada kakak penulis, Siti Pansyari yang telah memberikan semangat dan

juga nasehat yang bermanfat bagi penulis. Kepada kedua adik penulis, Krisye Agus Pasandi dan juga Muhammad Dede Jauhari, Kepada keluarga besar ku semua baik dari pihak Ayah dan Mama, terimakasih atas dukungan dan doanya selama ini.

15.Kepada Sahabat terbaikku Andri Nugraha, yang telah meluangkan waktu untuk menemani penulis melakukan penelitian dan penyelesaian tugas akhir skripsi ini.

16.Kepada sahabat-sahabat ku, Ozie, Tasvin, Eva, Hery S, Hery M, Darwin, Ruzi, dan Marsono yang selalu ada setiap aku butuhkan, selalu memberikan dorongan, semangat, dukungan dan doa.


(4)

17.Kerabat Antropologi seluruhnya, dimana selama bersama-sama menjalani perkuliahan telah memberikan dukungan dan kesan-kesan yang menyenangkan yang tidak terlupakan, Domy, Mufida, Mey, Minar, Imbi, Sri W, Sri G, Maja, Tuti, Tika, Risa dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

18.Kepada angkatan ’06, luksan, Charles, Danur, Tika, Sari, dan lainnya. Angkatan 07’ Tino, Fiza, Ziza, Bitha, Tata, Davi, Fardin. Angkatan ’08 Vina, Dea, Putri Santa, dan seluruh Kerabat Antropologi dari 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, dan 2009 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

19.Terkhusus Buat orang-orang yang telah memberikan semangat yang tak pernah putus kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

Penulis juga mohon maaf atas kekurangan skripsi ini, mungkin dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih membutuhkan penyempurnaan sehingga masih diperlukan penyempurnaan dan juga perbaikan EYD. Penulis juga berharap adanya masukan bagi pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bisa berguna bagi berbagai pihak, akhir kata penulis ucapkan ribuan terima kasih kepada seluruh orang-orang yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

Medan, Mret 2010


(5)

Abstraksi

Makna Pamimpin Menurut Orang Jawa (Dani Syahpani, 2010). Skripsi

ini Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelas Sarjana

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Makna Pemimpin Orang Jawa di Perantauan di Sumatera khusunya di Medan yang tergabung dalam Paguyuban Pujekesuma. Pemimpin adalah orang yang memiliki kewenangan dan juga otoritas penuh dalah sebuha organisasi tidak terkecuali pada Paguyuban Pujakesuma. Pemimpin di dalam Paguyuban ini menerapkan unsur-unsur dan aturan-aturan yang telah diwariskan dari para orang tua mereka yang berasal dari Jawa.

Rasa menghormati dan tata krama yang tertanam dalam prinsip hormat, prinsip kerukunan, serta Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe yang berarti berbuat dengan seikhlas hati tanpa meminta pamrih atau balasan. Selain itu pemimpin harus memiliki wibawa dan juga kharisma yang terpancar dari dalam diri seorang pemipin itu sendiri. Seperti yang di sebutkan Kontjaraningrat bahwa pemimpin memerlukan tiga unsur penting untuk menjalankan kewibawaannya dengan memuaskan, yaitu, kekuasaan, kewibawaan dan juga popularitas.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, berupa pengamatan dan wawancara. Wawancara dilakukan terhadapa para anggota Paguyuban Pujakesuam, baik ia memiliki jabatan tertentu ataupun tidak. Penelitin ini dilakukan di Dewan Pimpinan Ranting Paguyuban Pujakesuma Medan Johor dan juga DPW Paguyuban Sumatera Utara

Pemimpin di dalam peguyuban Pujakesuma tidaklah hanya sebatas pemimpin yang formal, artinya bahwa masih ada orang yang dianggap lebih memiliki wewenang dan pengambil keputusan di dalam Paguyuban Pujakesuma. Mereka adalah para sesepuh yang memiliki wewenang tentang sebuha keputusan, apakah sebuah tindakan atau pilihan itu harus diikuti atau tidak oleh para anggota paguyuban Pujakesuma. Karena para sesepuh lebih dianggap mempunyai sifat manunggaling kawulo gusti yang berarti pemimpin adalah titisan Tuhan.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ...i

Kata Pengantar ...ii

Abstraksi ...v

Daftar isi ...vi

BAB I. Pendahuluan ...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Rumusan Masalah ...9

1.3. Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian ...9

1.4. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...10

1.5. Tinjauan Pustaka ...10

1.6. Metode Penelitian...17

a. Penetuan informan ...18

b. Teknik Wawancara ...18

c. Teknik Observasi...18

1.7. Analisa Data ...18

BAB II.Sejarah datangnya orang Jawa di Sumatera ...19

2.1. Sejarah datangnya orang Jawa di Sumatera ...19

2.2. Sejarah Terbentuknya Pujakesuma ...24

2.3. Visi dan Misi Paguyuban Pujakesuma ...26

2.4. Motto Paguyuban Pujakesuma ...26

2.5. DPD,DPC, dan DPRa ...27

2.6. Keanggotaan Paguyuban Pujakesuma...27

2.7. Hubungan Sosial Paguyuban Pujakesuma ...29

2.7.1. Interaksi Sosial Paguyuban Pujakesuma dengan Lingkungannya ...29

2.7.2. Interaksi Sosial Paguyuban Pujakesuma dengan Orang Jawa ...30

2.8. Kegiatan Paguyuban Pujakesuma ...31

2.8.1. Kegiatan Sosial Masyarakat...31

2.8.2. Kegiatan Kesenian...32

2.8.3. Kegiatan Ritual Keagamaan ...32

a. Slametan/Sukuran ...33

b. Punggahan ...34


(7)

BAB III. PEMIMPIN BAGI ORANG JAWA ...36

3.1. Jenis Kekuasaan dan Tipe Pemimpin ...36

3.1.1. Kekuasaan ...36

3.1.2. Tipe Pemimpin ...40

3,2. Pemimpin Bagi Orang Jawa ...43

3,3. Bentuk dan Dukungan Bagi Pemimpin ...47

3.3.1. Dukungan Spritual...47

3.3.2. Dukungan Politik ...48

3,5. Pemahaman Budaya Jawa ...51

BAB IV. Pemimpin di Dalam Paguyuban Pujakesuma ...54

4,1. Prinsi Hidup Orang Jawa ...54

4.4.1 Prinsip Kerukunan ...54

4.4.2. Prinsip Hormat ...55

4.4.3. Sepi Ing Pamreh Rame Ing Gawe ...56

4.4.4. Penerapan Dalam Kehidupan Sehari-hari ...57

4.2. Paguyuban Sebagai Simbol Kesatuan Etnis ...59

4.3. Kepengurusan di Dalam Paguyuban Pujakesuma ...63

4.4.1. Pemimpin Didalam Paguyuban Pujakesuma ...63

4.3.2. Dewan Pembina dan Majelis Pertimbangan Pujakesuma ...67

BAB VI. Pemimpin Formal dan Pemimpin Informal di Dalam Paguyuban Pujakesuma ...69

5.1. Pemimpin Formal dan Informal ...69

5.2. Perbedaan Pemimpin Formal dan Informal ...70

5.3. Persamaan Pemimpin Formal dan Informal ...71

BAB V. KESIMPULAN ...72

5.1. Kesimpulan ...72


(8)

Abstraksi

Makna Pamimpin Menurut Orang Jawa (Dani Syahpani, 2010). Skripsi

ini Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelas Sarjana

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Makna Pemimpin Orang Jawa di Perantauan di Sumatera khusunya di Medan yang tergabung dalam Paguyuban Pujekesuma. Pemimpin adalah orang yang memiliki kewenangan dan juga otoritas penuh dalah sebuha organisasi tidak terkecuali pada Paguyuban Pujakesuma. Pemimpin di dalam Paguyuban ini menerapkan unsur-unsur dan aturan-aturan yang telah diwariskan dari para orang tua mereka yang berasal dari Jawa.

Rasa menghormati dan tata krama yang tertanam dalam prinsip hormat, prinsip kerukunan, serta Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe yang berarti berbuat dengan seikhlas hati tanpa meminta pamrih atau balasan. Selain itu pemimpin harus memiliki wibawa dan juga kharisma yang terpancar dari dalam diri seorang pemipin itu sendiri. Seperti yang di sebutkan Kontjaraningrat bahwa pemimpin memerlukan tiga unsur penting untuk menjalankan kewibawaannya dengan memuaskan, yaitu, kekuasaan, kewibawaan dan juga popularitas.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, berupa pengamatan dan wawancara. Wawancara dilakukan terhadapa para anggota Paguyuban Pujakesuam, baik ia memiliki jabatan tertentu ataupun tidak. Penelitin ini dilakukan di Dewan Pimpinan Ranting Paguyuban Pujakesuma Medan Johor dan juga DPW Paguyuban Sumatera Utara

Pemimpin di dalam peguyuban Pujakesuma tidaklah hanya sebatas pemimpin yang formal, artinya bahwa masih ada orang yang dianggap lebih memiliki wewenang dan pengambil keputusan di dalam Paguyuban Pujakesuma. Mereka adalah para sesepuh yang memiliki wewenang tentang sebuha keputusan, apakah sebuah tindakan atau pilihan itu harus diikuti atau tidak oleh para anggota paguyuban Pujakesuma. Karena para sesepuh lebih dianggap mempunyai sifat manunggaling kawulo gusti yang berarti pemimpin adalah titisan Tuhan.


(9)

BAB I

Pendahuluan

1.1Latar Belakang

Banyaknya jumlah orang Jawa yang ada di Sumatera, dikarenakan adanya gelombang transmigrasi baik yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda maupun oleh pemerintahan Orde Baru. Program transmigrasi yang dicanangkan Belanda, sebagai bagian dari politik etis atau politik balas budi juga. Hal ini mendorong orang Jawa untuk berpindah ke berbagai wilayah di Indonesaia terutama di Sumatera. Lampung adalah daerah pertama yang dijadikan tempat awal proyek transmigrasi tersebut, yang mengakibatkan sekitar 61% penduduk Lampung kini adalah bersuku Jawa, kemudian disambung dengan transmigrasi ke daerah Kerinci, Gayo, dan seluruh Sumatera (Priantono, 2009).

Provinsi Sumatera Utara dihuni oleh 44.66 % orang Jawa, bahkan ada catatan yang menyebutkan lebih dari 50%. Suku Melayu 7.63%, Batak (Toba) tercatat 19.44%, Karo 6.64%, Mandailing 6.32%, Simalungun 2.72%, Nias, 0.40%, Pakpak 0.16. Sementara kelompok pendatang selain Jawa adalah Cina 3.63% (kelompok ini pernah mencapai jumlah lebih dari 20%), Minangkabau 3.30%, Aceh 1.26%, Berarti Suku Batak secara keseluruhan meliputi jumlah lebih dari 36% (Siyo, 2008:88)

Kepindahan orang Jawa ke Sumatera pada abad ke-19 dengan tujuan sebagai pekerja kontrak yang menggantikan kuli kontrak asal Cina yang memiliki upah yang relative mahal. Oleh sebab itu pemerintah kolonial Belanda pada masa itu lebih Senang memilih kuli asal India dan juga Jawa yang upahnya relatif lebih


(10)

murah (Breman, 1997:53). Perpindahan orang Jawa sendiri diperkirakan mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan 20, hal ini karena faktor dorongan kemaun sendiri yang didasarkan untuk tujuan pencarian lahan baru untuk pertanian, atau paksaan yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda. Orang Jawa berpindah dalam jumlah besar di Semenanjung Malaysia, khususnya di Johor dan Selangor, kemudian sebagai kuli kontrak di kawasan Deli, Sumatera Utara, sehingga lahirlah istilah ‘Pujakesuma’ atau Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Siyo,2008:74)

Sebelumnya Orang Jawa pendatang ini dikenal deangan Sebutan “Jakon” (Jawa Kontrak) ataupun “Jadel” (Jawa Deli), sebutan-sebutan itu adalah sebutan yang dulu identik dengan orang Jawa Sebagai Pekerja Perkebunan di tanah Deli. Karena pada awal kedatangan orang Jawa ke Sumatera adalah sebagai kuli kontrak perkebunan di Sumatera. Jakon/Jadel adalah sebutan yang mungkin sebuah streotip etnis yang diberikan oleh orang yang bukan Jawa. Sekarang untuk lebih halusnya, orang sering menyebut orang Jawa dengan Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera). Sebagian orang yang bukan Orang Jawa atau bahkan mereka sendiri yang masih keturunan Jawa atau karena lahir di Sumatera, beranggapan bahwa Pujakesuma adalah sebutan yang lebih terhormat sebagai pengganti istilah Jakon ataupun Jadel yang mengandung konotasi status social yang rendah.

Jakon atau Jawa Kontrak adalah sebutan bagi mereka yang memiliki ikatan kerja dengan para panguasa pada zaman kolonialisme, mereka ditempatkan di kawasan-kawasan terdalam atau daerah daerah terpencil yang memiliki potensi perkebunan seperti perkebunan karet, sawit dan juga kopi. Ketika masa kontrak mereka habis, sebagian dari orang-orang Jawa tersebut tidak kembali ke Pulau


(11)

Jawa, mereka memilih tetap bertahan di perkebunan yang mereka tinggali. Sedangakan istilah Jadel atau Jawa Deli, adalah sebutan bagi mereka yang dating dan bekerja sebagai kuli di perkebunan di Tanah Deli (Medan). Mereka bakerja sebagai Kuli pada perkebunan tembakau di Medan atau pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan Perkebunan Tembakau Deli ( Baca Breman, Menjinakan Sang Kuli), ketika masa kontrak mereka juga habis mereka mamilih untuk tinggal dipedalaman atau mencari tempat baru yang lebih tenang (Siyo, 2008:83)

Dalam perkembangannya, orang Jawa yang ada di Sumatera membentuk kelompok – kelompok yang mencirikan keetnisitasan mereka, tujuan pembentukan didasari dari rasa senasib sepenangunggan, pada dasarnya mereka adalah keturunan atau generasi dari para Jakon atau Jadel yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang terdapat di Tanah Deli. Perkumpulan – perkumpulan etnis yang muncul yang didasari oleh berbagai macam latar belakang membuat orang Jawa yang ada diperantauan seakan semakin dekat dengan tanah kelahiran mereka. Pada tahun 1980an munculah perkumpulan etnis Jawa yang dikenal dengan Pujakesuma.

Keberadaan perkumpulan atau paguyuban berdasarkan etnik atau kedaerahan di berbagai daerah telah menyebabkan masyarakat disuatu tempat juga berupaya untuk menunjukkan identitas keberadaannya. Dengan kata lain perkumpulan etnis atau marga menjadi symbol akan keberadaan mereka ditengah masyarakat lain, misalnya saja pada etnis Batak, Minang, dan Melayu. Paguyuban secara khusus mencirikan suku ataupun kedaerahannya. Sehingga fungsi paguyuban memiliki fungsi sosial dan juga budaya, bahkan sebagai tempat berlindung untuk mencari ketenangan dan menjauhkan diri dari rasa kegelisahan


(12)

serta rasa takut di tempat yang bukan daerah tanah leluhurnya. Bahkan orang Jawa sendiri merasa bahwa tanah Sumetara juga merupakan tanah kelahiran mereka yang patut mereka bangun

Selain Pujakesuma, bermunculan pula berbagai perkumpuan – perkumpulan yang belatar belakang etnis Jawa juga seperti:

− PAJAR (Paguyuban jawa Rembug) Paguyuban ini sama seperti Pujakesuma hanya saja dalam penyaluran aspirasi politiknya, lebih diarahkan pada PBR Partai Bintang Reformasi

− PJB (Paguyuban Jawa Bersatu), persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota paguyban ini adalah Orang Jawa dan beragama Islam

− FKPPWJ, organisasi ini didirikan sebagai wadah forum komunikasi menyatukan pendapat dan aspirasi warga Jawa, baik yang lahir di Jawa maupun diluar Jawa bahkan diluar negeri. Sedangkan organisasi untuk kaum mudanya adalah Generasi Muda Jawa (Gema Jawa)

− Ikatan Keluarga Solo dan lain-lain.

Pujakesuma perkumpulan tertua bagi etnis Jawa yang ada di Sumatera yang berdirinya pada tahun 1980-an. Pujakesuma merupakan sebuah paguyuban yang dirikan untuk orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera ataupun yang tidak lahir di Sumatera1

1

Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang Informan yaitu Bapak Supeno ; “bahwa orang yang mendirikan Paguyuban ini adalah orang Jawa yang lahir di Sumatera dan ataupun tidak lahir di Sumatera, maksudnya para pendiri Paguyuban ini juga ada yang tidak lahir di Sumatera. Jadi bagi meraka yang mau bergabung di Paguyuban ini dipersilahkan dengan senang hati, walaupun dia lahir di sumatera atau pun tidak lahir di sumatera.


(13)

Budaya Jawa yang masih melekat pada masyarakat Jawa yang ada di Sumatera. Munculnya paguyuban juga dapat dikatakan sebagai rasa etnisitas agar tetap eksis di tengah-tengah persaingan hidup antar etnik.

Paguyuban berasal dari kata guyub2, Dalam kamus bahasa Indonesia, paguyuban adalah perkumpulan yang bersifat kekeluargaan, didirikan orang-orang sepaham (memiliki ide yang sama dan dari daerah yang sama) untuk membina persatuan (kerukunan) diantara para anggotanya.. Dengan demikian satu kelompok etnik memiliki suatu identitas khas yang berbeda dengan kelompok etnik lain, yang dengan mudah terlihat dari cara mereka mengekspresikan dan menata pengelolaan dan penguasaan terhadap sumber daya (alam, ekonomi, dan politik)3

Belakangan ini orang Jawa yang berada didalam paguyuban Pujakesuma bukanlah sepenuhnya orang yang asli memiliki darah Jawa, bahkan sebagaian orang yang tergabung dalam Paguyuban ini terdapat juga orang-orang yang bukan asli orang Jawa, dikarenakan orang tua mereka baik yang memiliki dara h Jawa ataupun tidak menikah dengan etnis lain sehingga mereka memiliki identitas sebagai orang Jawa. Paguyuban Pujakesuma sendiripun dijadikan sebagai symbol identitas bahwa mereka adalah orang Jawa. Pujakesuma bukan hanya milik orang Jawa, akan tetapi milik semua akan tetapi milik semua orang. Sesuai dengan perkembangannya Paguyuban ini juga menerima mereka yang Bukan orang Jawa untuk bergabung dengan Paguyuban ini, mereka biasa disebut dengan anggota Luar biasa. Pujakesuma itu bukan hanya membicarakan budaya, tetapi Pujakesuma itu membicarakan tentang kehidupan, apakah itu perekonomian,

.

2


(14)

teknologi, pertanian, kesenian, olahraga, keagamaan dan lain-lain

Dalam masyarakat Jawa urban4, pemimpin lokal (lurah) dilihat sebagai bapak dan pemimpin mereka, karena ia adalah bagian dari mereka dan dipilih dalam suasana semangat masyarakat dan konsultasi, gagasan ini diungkapkan dalam pepatah Jawa manunggaling kawulo lan gusti yang berarti masyarakat dan pemimpin adalah satu5

Pemimpin adalah orang yang harus menjadi jembatan dan kepercayaan bagi para oang-orang yang ada dibawahnya untuk menyampaikan dan menerima aspirasi dari para anggotanya, sekalipun pemimpin merupakan cakupan kecil dari sebuah perkumpulan. pengertian kepemimpinan adalah seorang yang memiliki status kepemimpinan, suatu posisi penguasaan atau pengendalian yang membudaya di dalam kelompok masyarakat. Menjadi simbol suatu gerakan yang memahami dengan benar akan dirinya sendiri secara internal dan eksternal yang mempunyai peranan sebagai juru bicara kelompoknya. Memiliki sedikit pengikut atau tidak mempunyai pengikut secara langsung, tetapi yang meletakkan jalan dikemudian hari akan dilalui atau diikuti orang lain (Erfandi :www.multiply.com)

. Gagasan persatuan ini berkembang dari suatau pola normative di mana konsep ‘rukun’ (keselarasan dan keseimbangan) menempati posisi yang begitu sentral. muntuk meningkatkan kehidupan, seseorang membutuhkan patron, pelindung diluar rumah, sosok semacam ini haruslah banyak akal, mampu menarik dan melindungi pengikutnya, dan dengan demikian semua mempunyai kepentingan bersama. Mulder (2001 :80)

4

Baca Joep Bijmer dan Martin Reurink (Kpemimpinan Lokal di Lingkungan Urban Jawa dari Ideologi ke Realita, hal 155)

5

Dalam Bahasa Jawa Gusti diartikan sebagai Tuhan, tetapi dalam kata-kata tersebut diartikan sebagai menyatunya manusia dengan Tuhan, atau dengan kata lain bahwa Pemimpin adalah titisan Tuhan.


(15)

Kepemimpinan senantiasa tumbuh dan akan kembali kepada visi, misi, keinginan, kebutuhan, aspirasi, dan nilai-nilai fundamental dari masyarakat yang dipimpinnya. Dalam jargon politik ini sering dirumuskan baik sebagai kepemimpinan yang aspiratif ataupun sebagai kepemimpinan yang demokratis. Tanpa ini kepemimpinan akan kehilangan legitimasi. Kepemimpinan adalah sesuatu yang visioner, rasional, kolektif, dan bertujuan, kepemimpinan diarahkan mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tetapi jangkauan dari domain kepemimpinan, lebih terbatas jika dikontraskan dengan jangkauan dan domain dari kekuasaan. Kepemimpinan tidak memanipulasi motif-motif pengikutnya, seperti yang sangat mungkin berlaku di lahan kekuasaan. Pemimpin memimpin manusia, bukan memimpin benda (www.lampungpost.com)

Keikut sertaan orang Jawa dalam berpolitik terlihat pada pemilihan calon Gubernur Sumetara Utara, seorang tokoh Pujakesuma yang juga merupakan ketua umum Pujakesuma Propinsi Sumatera Utara yang bernama Ir. Suherdi, mengajukan diri sebagai calon Gubernur Sumatera Utara. Dengan harapan di dukung oleh masyarakat Jawa yang merupakan penduduk Mayoritas di Sumatera Utara, tetapi hasilnya malah ia kalah dari Gatot Pujonugroho yang juga merupakan orang Jawa tetapi tidak lahir di Sumatera Utara. Sebelumnya juga Sigit Pramono yang merupakan orang Jawa, mencalonkan diri sebagai walikota Medan ternyata dia juga kalah dalam perolehan suara dari Abdilah yang berpasangan dengan Ramli.

Ketidak kompakan orang Jawa dalam pemilihan seorang tokoh pemimpin, menunjukkan bahwa etnis Jawa tidak mau ambil pusing dalam hal politik, hal ini didasarkan pada ideologi yang sudah tertanam sejak zaman nenek moyang mereka


(16)

yaitu orang Jawa itu memiliki sifat “adem, ayem, tentrem” (dingin, tenang, dan hidup tenang). Seaindainya saja orang-orang Jawa yang ingin bermain dikancah politik membulatkan suara untuk satu orang tokoh, maka perpecahan suarapun kemungkinan tidak akan terjadi.

Hal ini juga didasari karena ide berdirinya Paguyuban Pujakesuma bukan sebagai kendaraan politik melainkan sebagai wadah tempat menunjukkan identitas mereka, bahwa orang Jawa itu ada diantara etnis lain ditempat ia merantau. Ketidak kompakan orang Jawa dalam hal politik, dikarenakan adanya Budaya Falsafah Jawa yang mengajarkan bahwa mereka harus hidup dengan tenang, tidak harus duduk diatas segalanya. Pujakesuma memposisikan dirinya sebagai identitas diri bukan sebagai kendaraan politik.

Dalam kontekstualnya orang Jawa dapat dipahami dengan dua hal yaitu apakah orang Jawa itu sendiri sebagai konsepsi atau ideologi yang berarti orang Jawa itu sendiri mengerti akan budaya, tatakrama, dan norma-norma yang terpatri dalam jiwa mereka sejak kecil. Kedua apakah orang Jawa itu sendiri hanya biologisnya saja yang berarti orang Jawa hanya sebagai identitas saja, tanpa mereka mengerti akan budaya dan norma-norma serta tatakrama yang berlaku dalam budaya jawa.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini difokuskan pada bagaimana visi dan misi Paguyuban Pujakesumua sebagai wadah perkumpulan orang Jawa di perantauan dan relevansinya dengan kehidupan berpolitik.


(17)

1.3 Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di kota Medan. Medan menjadi alasan peneliti dikarenakan Medan sangat kompleks dengan berbagai macam organisasi Etnis. Disamping itu jumlah penduduk Etnis Jawa dikota Medan merupakan jumlah terbesar, tetapi terendah dalam sektor pemerintahan. Alasan lain adalah paguyuban Pujakesuma yang ada di Medan merupakan DPW yang terbesar dan memiliki banyak kegiatan yang rutin dilakukan satu bulan sekali. Lebih tepatnya peneiliti akan melakukan penelitian di daerah Medan Johor.

1.4 Tujuan Panelitian dan Manfaat Penelitian

Adapau tujuan dari penulisan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui bagaimana visi dan misi Paguyuban Pujakesuma sebagai wadah perkumpulan orang Jawa di perantauan dan relevansinya terhadap kehidupan politik.

2. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang komunitas etnis di Sumatera Utara khususnya di medan

Hasil penelitian ini yang berupa tulisan, nantinya diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan pengetahuan tentang kepemimpinan di dalam sebuah Paguyuban Pujakesuma pada orang Jawa di Sumatera Utara umumnya dan Medan pada khususnya. Tulisan ini juga diharapkan dapat menambah bahan bacaan serta penerapan dari teori yang telah dipelajari selama mengikuti perkuliahan.


(18)

1.5 Tinjauan Pustaka

Segala sesuatu tentang aktivitas manusia yang dilakukan sehari-hari adalah merupakan bagian dari pengetahuan, didalamnya terkandung nilai-nilai dan aturan yang didapat melaui proses belajar dan juga pengalaman manusia dan semua terkandung didalam ‘mind’ manusia. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya, tingkatan ini adalah ide-ide yang mengopsesikan hal-hal yang bernilai dalam kehidupan masyarakat, suatu nilai budaya terdiri atas kosepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenal hal-hal yang harus mereka rasa sangat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat: 187)

Menurut Koentjaranigrat masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu system adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh suatu identitas bersama. Dalam masyarakat yang terbagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan identitas kultural, akan sulit mencapai keterpaduan social, keterpaduan social yang dimaksud adalah suatu kondisi yang memungkinkan masing-masing kelompok dapat menjalin komunikasi tanpa harus kehilangan identitas dari mereka.

Kota Medan, sebagai kota yang majemuk dan sering disebut miniaturnya Indonesia di diami oleh berbagai etnik dan agama selain itu Medan juga tidak


(19)

memiliki budaya dominan ataupun kelompok dominan6. Menurut Geertz konsepsi masyarakat majemuk sebagai salah satu masyarakat yang terbagi-bagi kedalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dan masing-masing terikat dalam ikatan primordial7

Di dalam situasi diperantauan asosiasi memegang peranan penting, yang bukan saja sebagai simbol identitas komunitas asal tertentu, tetapi juga memiliki tujuan sosial atau ekonomi. Masyarakat yang terbagi kedalam asosiasi - asosiasi . Ikatan primordial itu memiliki kekuatan memaksa yang sering mengorbankan rasionalitas, orang yang terikat pada anggota keluarga, suku, atau agama tertentu bukan karena keserasian hubungan pribadi, kebutuhan praktis atau kewajiban yang dibebankannya tetapi karena sedikitnya bobot yang lahir dari ikatan itu sendiri

Paguyuban timbul untuk memenuhi hasrat manusia sebagai makhluk sosial agar bisa berhubungan secara intensif dengan orang lain, baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya. Paguyuban (gemeinschaft) ataupun bentuk assosiasi yang lain dapat diindikasikan sebagai upaya pelestarian identitas (Sihaloho 2006:421)

Koentjaraningrat menyebutkan bahwa Perkumpulan merupakan kesatuan manusia yang berdasarkan azas guna ciri-ciri perkumpulan itu sendiri meliputi Association, gesellchaft, solidarite contractual. Kelompok memenuhi syarat dengan adanya sistem interaksi antara para anggota, dengan adanya adat, istiadat serta sistem norma yang mengatur interaksi itu. Dengan adanya kontuinitas serta dengan adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota tadi.

6

Kelompok dominan adalah kelompo yang merasa kuat, merasa mampu untuk mengatur dan menguasai orang lain sesuai kehendaknya melalui dominant value system yang diciptaknnya (Simanjuntak, 2005: 57)

7


(20)

itu kemudian melakukan identifikasi kultural. Yaitu masing-masingorang mempertimbangkan diri meraka sebagai representasi dari sebuah budaya particular. Menurut Rogers & Steinfatt (dalam Rahradjo), identifikasi kultural akan menentukan individun yang termasuk dalam ingroup dan individu-individu yang termasuk kedalam outgroup.

Russel dalam Simanjuntak, (2002 : 266), menyebut kekuasaan sebagai produk pengaruh yang diharapkan. Bila seorang tujuan yang juga diinginkan orang lain, serta memperoleh keinginan lainnya, maka itu memiliki kekuasaan lebih besar.. Weber dalam simanjuntak, (2002:267), menyebut didalam kekuasaan terdapat kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendak kepada orang lain, walaupun orang lain melakukan perlawanan. Jadi kekuasaan adalah kesempatan untuk menguasai orang lain, sehingga orang lain mematuhi gagasan seseorang atau kelompok orang lain. Geertz mengungkapkan bahwa Negara adalah arena persaingan etnik dalam mempengaruhi kekuasaan

Menurut Koentjaraningrat (1990:199), pemimpin memerlukan tiga unsur penting untuk menjalankan kewibawaannya dengan memuaskan, yaitu 1) kekuasaan, 2) kewibawaan, dan 3) popularitas.

Kekuasaan yang terdapat dalam soosk seorang pemimpin menurut pandangan tradisi orang Jawa adalah sebagai sesuatu yang kongkret, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, dan sebagai kekuasaan mempunyai implikasi-implikasi moral yang inheren. Dalam kepercayaan tradisi Jawa terdapat dua jenis model pencarian kekuasaan:


(21)

• Tradisi Ortodoks, ialah melalui cara dan praktek yoga seperti; berpuasa, tidak tidur, bersemadi, tidak melakukan hubungan seksual, dan

memberikan sesaji

• Tradisi Heterodok, ialah melalui cara mabuk-mabukan, pesta-pesta seks dan pembunuhan ritual

Balandier mengungkapkan bahwa tidak ada masyarakat tanpa kekuasaan politik dan tidak ada kekuasaan politik tanpa hirarki-hirarki serta hubungan-hubungan tak seimbang diantara individu-individu dan kelompok-kelompok. Semua masyarakat, pada derajat yang berbeda, bersifat heteroge; sejarah lalu menambahkan elemen baru atasnya dengan tanpa menghapuskan elemen-elemen yang lama sepenuhnya; diferensiasi atas fungsi-fungsi pun menggadakan kelompok-kelompok yang mengemban fungsi-fungsi tadi, atau membuat kelompok-kelompok yang sama menmepati aspek-aspek yang berbeda menurut situasinya.

Kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga sering dikenal sebagai kemampuan untuk memperoleh konsensus anggota organisasi untuk melakukan tugas manajemen agar tujuan bersama dapat tercapai

Ada 5 teori mengenai kepemimpinan yang efektif yaitu

Competency Perspective

Dalam Competency Perspective, seorang pemimpin yang efektif harus memiliki 7 kompetensi :

Drive yaitu pemimpin memiliki motivasi dari dalam diri sendiri untuk mencapai tujuan


(22)

Leadership Motivation yaitu pemimpin memiliki kemauan yang keras untuk mempengaruhi bawahannya.

Integrity yaitu kepemimpinan yang dapat dipercayai dan melaksanakan apa yang dikatakannya.

Self-confidence yaitu seorang pemimpin memiliki keyakinan akan kemampuannya.

Intelligence yaitu pemimpin memiliki kemampuan kognitif yang di atas rata-rata untuk memproses informasi yang banyak.

Knowledge of the business yaitu pemimpin memiliki pengetahuan mengenai lingkungan bisnisnya untuk mengambil keputusan.

Emotional Intelligence yaitu seorang pemimpin memiliki kemampuan dalam menguasai emosinya dan emosi orang lain, memisahkannya dan menggunakan informasi untuk memandu pikiran dan tindakannya.

Behavioral Perspective

Dari sudut pandang Behavioral, kepemimpinan dianggap efektif bila mengerti perilaku bawahannya sehingga bisa mempengaruhi dan memotivasi bawahannya, dalam hal ini setiap orang diperlakukan dengan cara yang berbeda. Tipe orang ada 2 yaitu tipe anak kecil dan tipe orang dewasa, dalam menghadapi tipe anak kecil pemimpin harus menggunakan People-Oriented Leadership, sedangkan menghadapi orang dewasa harus menggunakan Task-Oriented Leadership.


(23)

Menurut pandangan Contingency, seorang pemimpin harus dapat membaca situasi, gaya pemimpin harus sesuai dengan situasi, dan dapat berubah menurut situasi.

Transformational Perspective

Menurut pandangan transformasi, pemimpin harus bisa melahirkan pemimpin dengan jalan mengkomunikasikan visinya, memodelkan, membangun komitmen dan menciptakan visi

Romance Perspective

Pandangan terakhir adalah Romance Perspective of Leadership, Pandangan sebelumnya telah membuat asumsi dasar mengenai kepemimpinan, tetapi ada sebuah bukti bahwa eksekutif senior memiliki pengaruh dalam kinerja sebuah organisasi. Pandangan ini menjelaskan ada 3 proses persepsi yang menyebabkan orang untuk menekankan pentingnya kepemimpinan dalam menjelaskan kegiatan organisasi, proses ini adalah Attributing Leadership, Stereotyping Leadership dan Kebutuhan untuk mengendalikan situasi

Artinya bahwa kebutuhan dan perubahan pada sebuah perkumpulan didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan dan situasi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, yang diakibatkan persaingan-persaingan antar etnik untuk menunjukkan jati diri dari tiap etnik tertentu.

Kebudayaan menurut Clifford Geertz merupakan “tenunan makna”, atau ide-ide, yang terdapat dalam simbol-simbol, yang dengannya orang melanjutkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengungkapkan sikapnya. Geertz


(24)

berpendapat bahwa simbol-simbol memuat makna dari hakekat dunia dan nilai-nilai yang diperlukan seseorang untuk hidup didalam masyarakatnya. Simbol merupakan rumusan-rumusan, pandangan-pandangan yang kelihatan dari abstraksi-abstraksi pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk-bentuk yang di inderai, perwujudan-perwujudan konkret dari gagasan-gagasan, sikap-sikap, putusan-putusan, kerinduan-kerinduan atau keyakinan-keyakinan dari dalam diri manusia. Tidak ada kejelas nyata, alami, atau hubungan penting antara simbol dengan apa yang disimbolkan atau apa yang dimaknai

Manusia dikatakan sebagai makhluk simbolik karena kemampuan manusia dalam memberi makna terhadap berbagai hal di dalam kehidupannya, Manusia begitu membutuhkan sumber-sumber simbolis dala lingkup kebudayaannya untuk menemukan pegangan-pegangan di dalam dunianya. Gagasan-gagasan, nilai-nilai, tindakan-tindakan, bahkan emosi-emosi yang dialami oleh pribadi individu dalam suatu masyarakat merupakan hasil dari kebudayaan. Menjadi manusia adalah menjadi individu, dan manusia menjadi individu di bawah pengarahan pola-pola kebudayaan yang sifatnya kolektif yaitu sistem makna yang tercipta secara historis yang dengannya manusia memberi bentuk dan arahan bagi kehidupannya.

Barth menjelaskan bahwa suatu kelompok etnik adalah suatu organisasi social (golongan social) yang askriftif, yang berkenaan dengan asal muasal yang mendasar dan umum, memiliki identitas dan menjadi atau merupakan bagian atau sub system dalam system social yang luas. Bagian-bagian kelompk etnik yang terdapat ditengah-tengah masyarakat atau yang ada pada tiap kelompok etnik, dipimpin oleh pemimpin yang mereka anggap dapat membawa mereka atau memajukan kelompok etnik mereka diantara etnik yang lain


(25)

1.6 Metode Penelitian

Peneltian ini bersifat deskriftif, yang menggunakan data kualitatif dan juga mengumpulakn data sebanyak mungkin dari lapangan. Data yang didapat diharapkan telah dapat menjawab permasalahan dari tujuan penulisan karya ilmiah ini.

a. Penentuan informan

Penelitian ini menggunakan beberapa jenis informan yaitu;

1. Informan pangkal: adalah orang-orang yang berada dalam paguyuban Pujakesuma, informan ini telah dapat memberikan informasi dan data yang diperlukan

2. Informan kunci: adalah mereka orang-orang yang memiliki pengaruh penting didalam paguyuban Pujakesuma, atau menduduki posisi penting dalam Paguyuban tersebut seperti para sesepuh-sesepuh dari paguyuban, dan tokoh-tokoh yang ada di dalam paguyuban Pujakesuma.

b. Teknik wawancara

Teknik wawancara digunakan untuk mengetahui dan memperoleh jawaban tentang bagaimana konsep kepemipinan menurut orang Jawa yang ada didalam Paguyuban tersebut. Wawancara ini menggunakan wawancara mendalam (dept interview).


(26)

c. Teknik observasi

Teknik observasi dilakukuan untuk melihat kegiatan dan aktivitas yang ada di dalam paguyuban Pujakesuma. Peneliti juga menggambarkan keadaan Paguyuban Pujakesuma serta aktivitasnya yang rutin dilakukan dengan para anggotanya

1.7 Analisis Data

Analisis data yang dilakukan adalah dengan meneliti kembali data yang telah diperoleh dari lapangan secara kualitatif. Data yang telah didapat diklasifikasikan sesuai dengan bagiannya masing-masing sesuai dari daftar interview guide yang telah dibuat, setelah itu data di sesuaikan dengan kategori tertentu sesuai dengan bagian dan juga kelompok data masing-masing sesuai dengan masalah yang telah ditetapkan.


(27)

BAB II

Sejarah Datangnya Orang Jawa di Sumatera

2.1.

Sejarah datangnya Orang Jawa ke Sumatera

Terjadinya arus migrasi penduduk yang deras dari pulau Jawa untuk menjadi kuli kontrak di Sumatera berlangsung menjelang terjadinya depresi ekonomi dunia. Para penduduk miskin di Jawa yang terutama berada di desa-desa terpencil, dibawa ke Sumatera Timur untuk di jadikan pekerja di sejumlah perkebunan di wilayah tersebut. Selain itu pemerintah kolonial Belanda mengubah kebijakan kolonisasi, dengan menciptakan koloni penduduk asal Jawa di perkebunan-perkabunan yang telah mereka buat.

Kebijakan kolonisasi penduduk dari pulau Jawa ke luar Jawa dilatarbelakangi oleh:(1) Melaksanakan salah satu program politik etis, yaitu emigrasi untukmengurangi jumlah penduduk pulau Jawa dan memperbaiki tarafkehidupan yang masih rendah. (2) Pemilikan tanah yang makin sempit dipulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkantaraf hidup masyarakat di pulau Jawa semakin menurun. (3) Adanya kebutuhan pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar pulau Jawa. Politik etis yang mulai diterapkan pada tahun 1900 bertujuan mensejahterakan masyarakat petani yang telah dieksploitasi selama dilaksanakannya culture stelsel (sistem tanam paksa).

Pembukaan Onderneming (perkebunan besar) yang dilaksanakan oleh perusahaan perkebunan asing (orang-orang Eropa) baik Hindia Belanda maupun


(28)

perusahaan asing lainnya yang dilindungi oleh Pemenritah Hindia Belanda8

Bersamaan dengan pesatnya pembukaan lahan baru untuk perkebunan tembakau, tahun 1890-1920 adalah era dimana masuknya gelombang kuli untuk bekerja di perkebunan tembakau swasta milik Belanda datang secara besar-besaran. Para kuli yang disebut kuli kontrak adalah kebanyakan dari Jawa. Kebanyakan dari mereka tertipu oleh bujukan para agen pencari kerja yang mengatakan kepada mereka bahwa Deli adalah tempat dimana pohon yang berdaun uang (metafor dari tembakau). Dijanjikan akan kaya raya namun kenyataannya mereka dijadikan budak. Selama puluhan tahun mereka menjalani kehidupan yang sangat tidak manusiawi, upah yang sangat rendah, perlakuan kasar majikan

. Perkembangan yang pesat dalam pembangunan perkebunan ini, karena pada masa itu Belanda sudah mulai memasuki era imperialism modern dengan memberlakukan Undang-Undang Agraria tahun 1870 bagi seluruh wilayah HIndia Belanda, yang menciptakan iklim kemantapan berusaha bagi para pengusaha Belanda atau orang lainnya.

9

Orang-orang asing berlomba menanamkan modal ke Sumatera Timur. Oleh karena sulit mendatangkan buruh Cina dan India ke Sumatera Timur, maka kuli kontrak didatangkan dari Jawa. Masuknya kuli kontrak asal Jawa dan China ke Medan tentu mengubah warna daerah ini

.

10

8

Wong Jowo Di Sumatera, 2008:72

9

Wong Jowo Di Sumatera, 2008:74

. Mereka datang karena tertipu bujuk rayu makelar pencari tenaga kerja. Pada masa Hindi Belanda orang Jawa didatangkan dari kampung miskin di Jawa. Awalnya “Werk” atau agen pencari

10


(29)

“kuli” datang kepelbagai kampung/desa di Jawa yang dilanda paceklik, menggoda mereka untuk bekerja ke sumatera.

Kedatangan kuli asal Jawa di mulai pada tahun 1880, pemerintah Tiongkok makin mempersulit buruhnya ke deli. Sementara itu, pemerintah Inggris di India juga mengajukan berbagai persyaratan bagi pekerja Tamil yang hendak ke Deli. Namun, calo buruh kebun di penang dan singapura tetap memasok tenaga ke Deli, dengan tipuan hendek memperkrjakan meraka ke Johor. Oleh karena itu, tahun 1880 awal kedatangan buruh Jawa ke Deli, yaitu masukya 150 orang dari bagelen. Jumlah ini mengalir terus, sampai akhirnya mengalahkan jumlah buruh kebun asal Cina dan Tamil

Selain itu, upah para buruh Jawa lebih rendah dari pada buruh Cina yang pada waktu itu juga merupakan kuli kontrak. Mereka (orang Cina) datang lebih dulu ke Sumatera Timur untuk sebagai kuli kontrak ketimbang kuli kontrak asal Jawa. Sehingga Pemerintah colonial mendorong kedatangan perempuan dari Jawa dan mengizinkan majikan mengerahkan mereka sebagai tenaga kerja penuh. Pada tahun 1905, diantara 33.961 orang kuli kontrak Jawa terdapat 6.290 orang perempuan11

Istilah “koeli” diperkirakan berasal dari bahasa Inggris cooli yang mengadopsi kata kuli dari bahsa Tamil yang artinya upahan untuk pekerjaan kasar. Perkelahian pemberontakan sampai dengan pembunuhan, merupakan cerita sehari-hari di perkebunan. Jadi kuli kontrak adalah sebutan bagi mereka yang hidup sengsara di Jawa, kemudian mengikatkan diri pada perjanjian kerja yang akhirnya tetap membuat mereka sengsara di negeri seberang, yakni Sumatera.

.


(30)

Pada tahun 1900-an, liberalisasi ekonomi dipandang sebagai kunci menuju “kamakmuran” di negeri jajahan Belanda ini. Dimana konsentrasi terbesar terlatak di Sumatera Timur, saat terjadi ledakan ekspansi capital swasta di berbagai jenis perkebunan seperti tembakau dan karet. Saat itulah, pertumbuhan kuli kontrak dari Jawa mengalami ledakan. Ribuan kuli kontrak didatangkan guna menyulap hutan belantara menjadi perkebunan. Tinggal di barak-barak perkebunan dengan kondisi mengenaskan, nyaris tanpa kemajuan selain sekedar bisa makan. Malah berbagai kesenian yang mereka bawa dari tanah leluhur porak-poranda.

Di Sumatera Utara, Kuli Kontrak akhirnya menjadi suatu istilah yang menunjukkan betapa parahnya kehidupan manusia. Hubungan seks sangat longgar, kawin cerai merupakan hal yang biasa. Setiap kali para kuli menerima gaji, pengusaha kolonian menggelar perhelatan besar, berbagai tarian-tarian digelar, alcohol, seks, dan judi dihalalkan. Para Bandar datang dari kota untuk menguras isi kantong Kuli Kontrak. Hal ini memang dirancang untuk terus memiskinkan mereka, sehingga terus memperpanjang kontrak, karena gaji yang mereka terima tidak pernah tersimpan.

Semakin padatnya penduduk Jawa dan dugaan itulah penyebab semakin miskinnya sebagian penduduk pedalaman, itu juga mendorong pemerintah kolonial bersikap toleran terhadap pengiriman tenaga kerja ke Sumatera Timur. Keengganan masa lalu karena rasa tak puas dengan tingkat upah yang terlalu rendah telah lenyap dan kini kian kuat anjuran pemerintah kepada mereka yag tak mempunyai mata pencaharian di daerah kelahirannya untuk nerangkat ke Sumatera Timur. Karena Jawa semakin penting sebagai pemasok kuli pada sekitar


(31)

pergantian abad ini jumlah kuli yang diangkut berkisar sekitar 7.000 orang setahun12

Pada tahun 1926, kuli kontrak laki-laki Jawa berjumlah 142.000 orang, sedangkan buruh wanita Jawa 52.400 orang. Namun, catatan Belanda lainnya menunjukkan tahun 1920 saja, jumlah orang Jawa di Sumatera Timur ada 353.551 orang, melebihi jumlah orang Melayu yang tercatat 285.553 orang. “sampai menjelang Perang Dunia II, 3/5 penduduk Sumatera Timur adalah orang Jawa”

.

13

Perkembangan tersebut menghasilkan banyak perubahan. Dalam tempo dua puluh tahun. Bedeng-bedeng (batas tanah) warisan generasi silam nyaris tak kelihatan lagi. Kebanyakan telah berubah menjadi rumah permanen atau semi . pada masa Orde Lam, kondisi para kuli ini tidak banyak berubah. Gawatnya urusan pangan, telah menghasilkan migrasi besar-besaran kembali ke buruh tani dari Jawa ke Sumatera. Namun, di perantuan pun situasi mereka tidak lebih baik. Politik Berdikari penguasa Orde Lama telah menimbulkan kesulitan pangan dimana-mana .

Baru pada tahun 1980-an, ketika ekonomi Indonesia mulai memasuki era Industri dan jasa keadaan mulai berubah. Pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara mencapai delapan persen per tahun, telah mendorong peningkatan belanja masyarakat. Sector jasa, perdagangan, dan industry melaju sesuai laju permintaan. Karenanya, para kuli kontrak dan keluarganya sebagaian mulai bergerak ke kota, untuk bekerja sebagai buruh pabrik, pelayan toko, kuli bangunan, sampai penjual pecel dan juga pembantu rumah tangga.

12


(32)

permanen, berbarengan dengan itu, secara cultural mereka telah menjadi bagian dari Kota

2.2. Sejarah Terbentuknya Pujakesuma

Paguyuban Pujakesuma adalah paguyuban yang berdiri pada tanggal 10 Juli 1980. Sebelum berdirinya paguyuban ini, paguyuban ini adalah sebuah sanggar dan perkumpulan seni dan budaya jawa yang berdanama IKJ (Ikatan Kesenian Jawa) yang didirikan oleh Letkol Sukardi. Dengan seiring perkambangan waktu maka pada Tahun 1979-an IKJ diubah namanya menjadi Paguyuban Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera/Keberadaan Sumatera), paguyuban ini pada awalnya didirikan oleh Bapak Danu. Ia merupakan tokoh kesenian Jawa pada masa itu, kemudian Paguyuban diresmikan pada Tahun 1980. Berdasarkan keputusan yang ditetapkan pada masa itu, paguyuban ini berdiri sebagai wadah berkumpulnya orang-orang yang berketurunan Jawa, keturunan jawa meliputi seluruh Pulau Jawa baik apakah seorang tersebut berasa dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan juga DKI Jakarta. Dalam musyawarah mereka, mereka menjelaskan bahwa yang terpenting adalah orang Jawa yang lahir di Sumatera atau berada di sumatera maupun diluar pulau jawa.

Selain itu, Paguyuban ini juga bertujuan untuk meningkatkan taraf ekonomi dan social masyarakat Jawa di Sumatera Utara. Paguyuban Pujaksuma merupakan sebuah organisai yang murni tanpa mengharapkan pamrih, paguyuban ini bertujuan mengembangkan nilai-nilai budaya dan leluhur yang baik. Seperti kata-kata yang memiliki nilai filosofi seperti “Sepi Ing pemreh Rame Ing


(33)

Gawe14

Karena bagitu terus tanpa perkembangan, dapat disimpulkan bahwa untuk memperbaiki tingkat kehidupan mereka harus dimulai dengan memperbaiki kesejahteraan, dan tidak mungkin meningkatkan taraf hidup tanpa perbaikan ekonomi. Untuk itu menurut Danu (Wakil Sekretaris Generasi Muda Pujakesuma Sumatera Utara), berbagai kegiatan ekonomi juga telah dirintis dalam Pujakesma, salah satunya Koperasi Kesuma Bangsa yang memiliki berbgaia kegiatan usaha”

, motto ini sudah tertanam dalam Paguyuban Pujakesuam sebagai lendasan bertindak mereka.

Sesuai dengan latar belakang ekonomi yang mendasari kedatagan sebagian besar etbis Jawa di Sumatera, disamping Budaya, kemiskinan merupakan satu keprihatinan utama. Seperti diketahui bahwa orang Jawa yang berada di Sumatera pada umunya berada di perkebunan, sehingga banyak ditemui dalam masyarakat kalau orang tuanya buruh perkebunan, anak, cucu, hingga cicitnya pun menjadi buruh.

15

Sejak Kasim Siyo mulai memimpin Pujakesuma pada tahun 1997, kegiatan Pujakesuma waktu itu sebenarnya sedang lesu, banyak anggota yang merasa enggan. Pada masa orde baru Pujakesuma telah disalahgunakan untuk kepentingan salah satu partai poitik. Karenanya dalam kepenguruasannya, diputuskan bahwa Pujakesuma tidak akan berpolitik, tetapi kembali pada asalnya sebagai paguyuban, untuk mengembangkan kebudayaan Jawa serta kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.

14

moto ini memiliki arti bahwa tidak mengharapkan pamrih atau imbalan tetapi banyak berbuat untuk kepentingan umum dengan tidak mementingkan kepentingan pribadi dan lebih


(34)

Setelah keluar dari politik praktis, kegiatan ini mulai kembali bergairah. Seperti memperoleh gairah hidupnya kembali, kerinduan masyarakat Jawa perantuan mendapat tempatnya di Pujakesuma. “sekalipun demikian, masih banyak juga yang traum, takut dibawa-bawa ke politik lagi, sehingga masih banyak yang belum terlibat”16

a. Rukun : 'rukun' itu damai, tak banyak berselisih/bertengkar 2.3 Visi dan Misi Paguyuban Pujakesuma

Sebagai salah Paguyuban etnis Jawa tertua di Sumatera, Paguyuban Pujakesuma memiliki tujuan selain untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia juga meningkatkan kehidupan kehidupan social ekonomi warga Pujakesuma di lingkungannya.. Selain itu Paguyuban ini juga merupakan sebagai Wadah Partisipasi Pujakesuma dalam membangun kesenian, kebudayaan, olah raga, SDM dan perekonomian yang ada di Wilayah Sumatera dan wilayah yang lainnya.

2.4. Motto Pujakesuma

Paguyuban Pujakesuma memiliki motto yang tercantum dalam AD/ART, motto Paguyuban Pujakesuma ini menjadi ikatan konstektual dalam kehidupan sehari-hari anggota Pujakesuma dan juga dalam pelaksanaan organisasi Paguyuban ini. Motto Paguyuban Pujakesuma berupa:

sesama anggota pujakesuma dan juga sesama orang Jawa di lingkungan mereka tinggal

16


(35)

b. Raket : 'raket'17

baik sesama orang Jawa maupun etnis lain.

artinya dekat-akrab serta menjaga kerukunan c. Rageng : 'regeng', artinya bernuansa hangat,

rame;

d. Rumekso : 'rumekso' maksudnya menjaga, saling melindungi satu dengan yang lainnya.

2.5. DPD,DPC, dan DPRa

Sekarang, sesuai dengan perkembangan zaman dan berjalannya waktu. Maka paguyuban ini memiliki 19 DPD, termesuk 2 DPD di Riau yaitu di Kabupaten Kampar, serta DPD jabodetabek. Dari seluruh DPD tersebut, terdapat 228 DPC, dan 5.600 Ranting. Selain itu Paguyuban ini juga memiliki perwakilan di Amsterdam Belanda, di Milan Italia, serta di Fankurt Jerman. “untuk perwakilan di luar negeri kegiatannya masih sekedar silaturahmi dan arisan saja”18

17

Untuk ‘e’ dalam kata-kata raket, rageng, rumeko, dibaca dengan e lemah

2.6. Keanggotaan Paguyuban Pujakesuma.

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa anggota Paguyuban Pujakesuma adalah orang-orang Keturunan Jawa/ Suku Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, maupun DKI Jakarta) selain itu Paguyuban ini juga banyak diikuti oleh orang yang bukan orang Jawa, mereka merupakan orang-orang yang mau bersama-sama membangun nilai-nilai Budaya dan juga mempertahankan nilai budaya yang bersifat fisik maupun non fisik.

Keanggotaan Paguyuban Pujakesuma dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu :


(36)

• Anggota Aktif : merupakan orang-orang yang tergabung dan menjadi Anggota Paguyuban Pujakesuma baik orang-orang keturunan Jawa ataupun bukan. Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang aktif menjadi pengurus di dalam Paguyuban ini.

• Anggota Pasif : adalah merupakan seluruh orang Jawa yang ada di Sumatera yang menjadi anggota tetap ataupun simpatisan dari Paguyuban ini. Anggota Pasif juga merupakan orang yang masih memiliki darah katurunan Jawa.

Ketentuan tentang keanggotaan ini dapat dilihat pada Anggaran Rumah Tangga pada BAB I pasal I yaitu :

Keanggotaan Pujakesuma adalah setiap Warga Negara Indonesia keturunan suku Jawa, hasil pembaharuan atau simpatisan / suku lain yang dapat diterima menjadi anggota “PUJAKESUMA” serta memenuhi ketentuan sebagai berikut :

1. Telah berusia 15 Tahun keatas lanjut usia

2. Mau mengikuti kegiatan yang ditentukan PUJAKESUMA

3. Menerima / menyetujui Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta program umum organisasi dan peraturan organisasi 4. Ditetapkan dan disyahkan pengurus PUJAKESUMA sebagai

anggota khusus bagi simpatisan lain.

2.7. Hubungan Sosial Paguyuban Pujakesuma


(37)

Paguyuban Pujakesuma sebagai salah satu paguyuban etnis Jawa juga menjalin hubungan baik dengan perkumpulan etnis lainnya, paguyuban ini sering melakukan kegiatan bersama dalam hal menjaga kelestarian budayanya. Seperti pada tahun 2007, Paguyuban Pujakesuma bersama dengan MABMI bersama-sama menggelar pertunjukan seni budaya masing-masing yang dilakukan di Istana Maimun.

Selain itu Pujakesuma yang merupakan orgnisasi orang Jawa, meggunakan falsafah orang Jawa yaitu memayu hayuning bawana. Pada masyarakat Jawa Tradisional (umunya kelas bawah) falsafah ini memberikan kewajiban pada manusia untuk memlihara dan melestarikan alam, karena alam telah memberikan kehidupan bagi manusia. Pada masyarakat modern (umumnya kelas menengah dan kelas atas), falsafah tersebut dikembangkan dengan pemahaman bahwa manusia harus dapat memelihara perdamaian dunia, agar bebas dari rasa ketakutan, kemiskinan, kelaparan, kekurangan, dan peperangan. Falsafah tersebut juga mengajarkan manusia agar memiliki budi pekerti yang luhur, sehingga dunia menjadi aman dan tenteram19

Falsafah hidup orang Jawa yang digunakan oleh Paguyuban Pujakesuma, merupakan sebagai penanaman dan pelestarian budaya Jawa serta etika dan nilai-nilai yang tekandung didalamnya. Selain itu etika adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dipergunakan masyarakat untuk mengetahui bagaimana harus bersikap dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kerukunan yang dijaga oleh Paguyuban Pujakesuma adalah salah satu keadaan ideal yang diharapkan dapat mempertahankan dalam semua

.


(38)

hubungan social, baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan tetangga, dan juga dalam pengelompokkan masyarakat.

2.7.2. Interaksi Sosial Paguyuban Pujakesuma dengan Orang Jawa

Orang Jawa baik yang lahir ataupun tidak lahir dijawa adalah merupakan bagian anggota dari Paguyuban Pujakesuma, sehingga paguyuban pujakesuma sendiri menjadi wadah berkumpulnya orang Jawa. Di Paguyban ini, orang-orang Jawa yang masih memiliki dan mencintai budaya Jawa berkumpul dalam satu ikatan. Paguyuban Pujakesuma sendiri juga member pelayanan bagi orang-orang Jawa dan juga menjadi jembatan untuk mempertahankan tradisi Jawa di tanah perantauan. Hubungan baik tetap dilakukan dengan melakukan kegiatan-kegiatan social sepert; gotong royong, sunat masal. Selain itu paguyuban ini juga melakukan kegiatan ritual keagamaan seperti; sukuran/selamatan, punggahan, dan suroan.

Kegiatan-kegiatan sosial kemasayarakatan yang dilakukan oleh Paguyuban tersebut, dimaksudkan agar Paguyuba yang merupakan sebagai wadah orang Jawa untuk berkumpul dan melestarikan budaya mereka menjadi lebih dapat dimanfaatkan dan lebih menyatu dengan hati orang-orang Jawa. Paguyuban Pujakesuma adalah cerminan orang Jawa, karena segala falsafah hidup orang Jawa juga ditanamkan didalam Paguyuban Pujakesuma.


(39)

2.8.1. Kegiatan Sosial Masyarakat

Paguyuban Pujakesuma yang merupakan perkumpulan etnis Jawa, menjaga hubungan baik dengan masyarakat baik yang merupakan orang Jawa maupun bukan Jawa. salah satu aktivitas rutinitas kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan gotong royong membersihkan lingkungan perumahan. Biasanya kegiatan gotong royong dilakukan RT atau kelurahan, kegiatan ini dilakukan oleh Dewan Pembina Ranting dari tiap Paguyuban Pujakesuma. Kegiatan rutin ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga hubungan baik dengan penduduk di sekitar paguyuban ini berada.

Selaian itu kegitan lainnya seperti sunat masal dan kawin masal di selenggarakan olah Paguyuban ini. Menurut keterangan Bapak Supeno:

Kegiatan seperti ini merupakan bukti bahwa paguyuban pujakesuma kita ini pedulai sama orang lain. Kalau sunat masal dan kawin masal kita buat berarti kita sudah membantu orang lain yang tidak mampu, sedikit mengurangi beban orang lain, kan gak masalah selain itu kita juga dapat ridho dari Allah sang pencipta.orang Jawa yang memiliki sifat santun dan suka menjaga kebersihan, haruslah tetap menjaga ligkungan dimana ia tinggal. Hal seperti itu dapat terlihat dari seseringmungkin kita buat acara gotong royong bersama dalam rangka menjaga lingkungan agar tetap bersih dan nyaman.

Kegiatan-kegiatan yang bersifat kegotong royongan seperti tersebut diatas, tidak hanya dilakukan oleh orang Jawa yang tergabung dalam Paguyuban Pujakesuma. Melainkan juga diikuti oleh semua orang-orang yang ada disekitar wilayah Pujakesuma, dengna kata lain kegiatan ini juga diikuti oleh orang lain.

\


(40)

Orang Jawa yang pada ummnya berada di kelas menengah bawah, masih menjaga dan memliki rasa kerinduan yang tinggi terhadap Kesenian Jawa. salah satu upaya orang Jawa adalah melaksanakan tata krama atau unggah-ungguh menurut adat Jawa, menggunakan bahasa Jawa, serta melaksanakan upacara-upacara adat. Dalam Pujakesuma, hal itu bisa dilihat dari maraknya berbagai kegiatan kesenian seperti festival kuda lumping, panembrama (semacam koor menyanyikan macapat, satu jenis lagu Jawa), wayang, ludruk, ronggeng, tayub, hingga pemilihan Jaka dan Putri Ayu.

F Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa (1985), sekalipun orang Jawa mau menyesuaikan diri dengan daerah baru, tetapi sesungguhnya cenderung resisten dengan nilai-nilai Jawanya. Berbeda dengan orang Batak, orang Jawa tetap memandang kultur lain sebagai kultur yang berbeda, bukan sebagai bagian dari dirinya. Dalam adaptasinya dengan lingkungan di tanah rantau, nilai-nilai Jawa tersebut menjadikannya rukun dan tenggang rasa dengan lingkungan sosial lain yang berbeda budaya,

2.8.3. Kegiatan Ritual Keagamaan

Paguyuban Pujakesuma juga melakukan kegiatan ritual keagamaan yang masih ada dan tetap dilestarikan, kegiatan ini juga pada umumnya dilakukan oleh orang-orang Jawa pada umumnya. Kegiatan-kegiatan ini seperti :

Slametan/Sukuran

Selametan adalah sebuah acara perjamuan makan seremonila sederhana. Selametan, jika dilihat pemaknaannya adalah sebuah acara


(41)

seremonial seerhana dengan bentuk penyajian makanan dengan mengundang seluruh tetangga, dengan tujuan keselarasan diantara tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Dalam selametan terungkap nilai-nilai dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Sekaigus selametan menimbulkan suatu perasaan kuat bahwa semua warga desa adalah sama derajatnyasatu sama lain, kecuali ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi20

Selametan dibagi kedalam empat jenis yaitu : 1) yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan kelahiran; 2) yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam, Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha, 3) yang ada sangkutannya dengan integrasi social desa, bersih desa (yakni roh-roh jahat); 4) selametan selayang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap, tergantung kepada kejadian luar biasa yang dialami seseorang, kebangkitannya untuk suatu perjalanan jauh, pindah rumah, ganti nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya

.

21

. Slametan dapat dilihat sebagai aspek keagamaan, yaitu sebagai arena dimana rumus-rumus yang berupa doktrin-doktrin agama berubah bentuk menjadi serangkaian metaphor dam symbol22

Selametan yang dilakukan oleh Paguyuban Pujakesuma adalah hanya sebatas jamuan seremonila sederhana dengan mengundang seluruh anggota dan juga sesepuh dari paguyuban ini. Biasanya acara ini dilakukan denga bertepatan dengan hari jadi Paguyuban

20

Suseno SJ, Franz Magniz, (Etika Jawa, hal 15-16)

21


(42)

Pujakesuma atau pada acara-acara lain seperti merayakan kemenangan akan sebuah hal, baru selesai melakukan pertemuan akbar. Acara ini dilakukan sebagai upaya memelihara keakraban, menjaga tali silaturahmi sesama anggota paguyuban dan juga bukan anggota paguyuban.

Punggahan

Punggahan atau Munggahan adalah salah satu acara penting yang dilakukan satu hari menjelang Ramadhan. Orang-orang datang berkumpul di masjid, biasanya, atau berkumpul di salah satu rumah tokoh setempat dan melakuan doa bersama serta dilanjutnya dengan menyantap makanan. Prosesi punggahan ini dilakukan sebagai bentuk ‘sosialisasi’ Ramadhan kepada masyarakat. Dengan adanya punggahan, masyarakat diharapkan lebih siap menghadapi bulan Ramadhan. Punggahan konon merupa-kan budaya dari suku Jawa dan Sunda. Punggahan adalah momen memotong daging sapi dan dimasak jadi rendang untuk santapan selama berpuasa. Rendang daging jadi santapan pilihan karena praktis diolah pada saat sahur. Masyarakat akan saling bertukar masakan, yang sistem-nya dikelola oleh masjid. Pembagian itu menunjuk-kan komitmen untuk berbagi sebagai wujud kekeluargaan di masyarakat.

Paguyuban ini sendiri melakukan Punggahan dua malam sebelum hari pertama Ramadahan atau bulan puasa. Kegiatan ini biasanya dilakukan di depan kantor DPP, atau juga di depan kantor DPW dan tidak jarang pula dilakukan dirumah salah seorang anggota Paguyuban


(43)

yang memiliki status atau menduduki jabatan tertentu di dalam Paguyuban Pujakesuma

Suroan

Masyarakat Jawa yang masih memegang kuat tradisinya memaknai Suroan dengan membersihkan diri dengan mandi di rumah, sungai, laut, diteruskan dengan begadang hingga pagi. Suroan juga dipercaya sebagai saat yang tepat untuk mencuci pusaka seperti keris dan tombak. Pada dasarnya bahwa ritual tersebut mengandung makna menyambut tahun baru, masyarakat Jawa menghadapinya dengan tubuh, raga dan pusaka yang bersih.. tentang malam satu Suro yang dianggap mengerikan karena para mahluk halus bakal berkeliaran sangat bertolak belakang dengan makna malam tahun baru Jawa itu sendiri.

Paguyuban Pujakesuma sendiri memulai semua dari filosofi-filosofi, paguyuban ini merestorasi kebudayaan jawa yang bai menjadi sebuah pendirian kembali peninggalan leluhur positif dan bermanfaat. Pemahaman mengenai suroan atau Muharam dalam Islam ini sangat kental dan ada disetiap kehidupan orang Jawa, karena inilah awalnya manusia untuk berbuat kebaikan baik ke sesama manusia ataupun lingkungannya.


(44)

BAB III

Pemimpin Bagi Orang Jawa

3.1. Jenis Kekuasaan dan Tipe Pemimpin

3.1.1. Kekuasaan

Dalam Paham Jawa, kekuasaan adalah sesuatau yang sama sekali berbeda dengan kata kekuasaan itu sendiri sebagai kata terjemahan dari “power”. Kekuasaan adalah ungkapan energy illahi yang tanpa bentuk, yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos. Kekuatan bukanlah suatu gejala yang khas social yang berbeda dari kekuatan-kekuatan alam, melainkan ungkapa kekuatan kosmis yang dapat kita bayangkan sebagai semacam fludium yang memenuhi seluruh kosmos (Suseno, 1996, hal: 99). Artinya bahwa kekuatan-kekutana itu seperti cairan yang mengisi seluruh alam semesta, tidak terkecuali apappun dan dapat dimiliki oleh siapapun tergantung bagaimana cara seseorang itu memperolehnya.

Dalam tradisi Jawa kuno, jumlah total dalam alam semesta adalah tetap sama saja, jumlah tersebut tidak berkurang tidak pula lebih hal tersebut dikarenakan selalu identik dengan hakikat alam semseta itu sendiri, yang dapat berubah hanyalah pembagian kekuasaan dalam alam semesta. Konsentrasi kekuasaan di suatau tempat dengan sendirinya bearti pengurangan kekuasaan di tempat-tempat lain.

Keberadaan kekuasaan ini terutama terlihat pada akibat-akibat yang ditimbulkannya, maka barangkali ia (kekuasaan) harus terlebih dahulu dipelajari,


(45)

sebelum berpindah kepada apa-apa yang menjadi atribut-atributnya. Kekuasaan itu senantiasa melayani sebuah struktur social, dan dilanggengkan oleh adanya intervensi – intervensi (“kebiasaan” atau hukum, oleh semacam penyesuaian otomatis dengan peraturan-peraturan), fungsi kekuasaan adalah untuk mempertahankan masyarakat terhadap kelemahan-kelemahanny sendiri, menjaga dalam “tata-aturan” yang baik, dan jika perlu utuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang tidak bertentangan dengan apa-apa yang menjadi prinsip-prinsip dasarnya ( Balandier, hal: 44-45).

Kekuasaan menurut pandangan tradisi orang Jawa adalah sebagai sesuatu yang kongkret, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, dan sebagai kekuasaan mempunyai implikasi-implikasi moral yang inheren. Dalam kepercayaan tradisi Jawa terdapat dua jenis model pencarian kekuasaan23

• Tradisi Ortodoks, ialah melalui cara dan praktek yoga seperti; berpuasa, tidak tidur, bersemadi, tidak melakukan hubungan seksual, dan memberikan sesaji

• Tradisi Heterodok, ialah melalui cara mabuk-mabukan, pesta-pesta seks dan pembunuhan ritual

Pada masa sekarang ini kekuasaan dicapai bukan lagi dengan model Heterodok, tetapi masih menggunakan model Ortodoks. Dimana didalamnyasesorang yang akan menjadi pemimpin diajarkan untuk melakukan hal-hal baik, memang tidak secara mutlak mengikuti tradisi ortodoks tersebut. hanya saja model dan tata cara pencapaian kekuasaan tersebut dilakukan dengan hal yang baik.


(46)

Dalam pengertiannya, kekuasaan adalah kualitas yang melekat dalam satu interaksi antara dua atau lebih individu. Jika setiap individu mengadakan interaksi untuk mempengaruhi tindakan satu sama lain, maka yang muncul dalam interaksi tersebut adalah pertukaran kekuasaan. Ada lima tipe kekuasaan, yaitu :

• Kekuasan penghargaan (Reward power)

Tipe kekuasaan ini memusatkan perhatian pada kemampuan untuk memberi imbalan tugas yang dilakukan orang lain. Kekuasaan ini akan terwujud melalui suatu atau situasi yang memungkinkan orang lain menemukan kepuasan. Pernyataan ini mengandung makna, bahwa seseorang dapat melalukan reward power karena ia mampu memberi kepuasan kepada orang lain.

• Kekuasaan paksaan (Coercive power)

Kekuasaan yang bertipe paksaan ini, lebih memusatkan pandangan kemampuan untuk memberi hukuman kepada orang lain. Menurut David Lawless, jika tipe kekuasaan yang poersif ini terlalu banyak digunakan akan membawa kemungkinan bawahan melakukan tindakan balas dendam atas perlakuan atau hukuman yang dirasakannya tidak adil, bahkan sangat mungkin bawahan atau karyawan akan meninggalkan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

• Kekuasan Referensi (Referent power)

Tipe kekuasaan ini didasarkan pada satu hubungan ‘kesukaan’ dalam arti ketika seseorang mengidentifikasi orang lain yang mempunyai kualitas atau persyaratan seperti yang diinginkannya. Dalam uraian yang lebih konkrit,


(47)

seorang pimpinan akan mempunyai referensi terhadap para bawahannya yang mampu melaksanakan pekerjaan dan bertanggung jawab atas pekerjaan yang diberikan atasannya.

• Kekuasan keahlian (Expert power)

Kekuasaa yang berdasar pada keahlian ini, memfokuskan diri pada suatu keyakinan bahwa seseorang yang mempunyai kekuasaan, pastilah ia memiliki pengetahuan, keahlian dan informasi yang lebih banyak dalam suatu persoalan. Seorang atasan akan dianggap memiliki expert power tentang pemecahan suatu persoalan tertentu, kalau bawahannya selalu berkonsultasi dengan pimpinan tersebut dan menerima jalan pemecahan yang diberikan pimpinan.

• Legitimate power (Kekuasaan Legitimasi)

Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang sebenarnya (actual power), ketika seseorang melalui suatu persetujuan dan kesepakatan diberi hak untuk mengatur dan menentukan perilaku orang lain dalam suatu organisasi. Tipe kekuasaan ini bersandar pada struktur social suatu organisasi, dan terutama pada nilai-nilai kultural. Dalam contoh yang nyata, jika seseorang dianggap lebih tua, memiliki senioritas dalam organisasi, maka orang lain setuju untuk mengizinkan orang tersebut melaksanakan kekuasaan yang sudah dilegitimasi tersebut.


(48)

3.1.2. Tipe Pemimpin

Dalam banyak literature disebutkan bahwa, dalam masayarakat jawa terdapat beberapa tipe pemimpin dan juga bagaimana cara mereka mendapatklannya. Hal tersebut :

1. Tipe Karismatis

. Tipe Karismatis seperti ini memiliki kekuatan energy, daya tarik dan wibawa yang besar untuk mempengaruhi orang lain, sehingga pemimpin seperti ini mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal atau orang-orang kepercayaan yang dapat dipercayai sepenuhnya. Pemimpin seperti ini dianggap memiliki kekuatan gaib dan kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain, ia memperolehnya sebagai karunia Yang Mahakuasa. Orang-orang seperti ini memiliki daya tarik tersendiri, keberanian, dan teguh pada pendiriannya sendiri

Sejalan dengan Hal tersebut, Bapak Sarmuji 56 Thn mengungkapkan

Pemimpin kharismatik itu adalah Orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa, udah gitu mereka punya kekuatan gaib yang mereka dapat dengan cara mendekatkan diri dengan Yang Mahakuasa. Yang jelas belum ada yang bisa menggantikan mereka sebagai pemimpin yang dinginkan wong cilik.

Pemimpin Karismatis memegang kekuasaan atas kepentingan bersama, beliau juga mengatakan bahwa pemimpin yang memiliki sifat karismatis adalah orang berjiwa besar dan mampu melindungi bawahannya. Pada tradisi Jawa, Pemimpin juga diartikan sebagai titisan dari sang pencipta yang diutus untuk membawa kebenaran.


(49)

Tipe pemimpin seperti ini sering disebut dengan jenis kepemimpinan yang kebapakan. Pemimpin ini mewariskan tahta kemimpinannya kepada anaknya atau saudaranya, pemimpin jenis ini menganggap bahwa bawahnnya sebagai orang yang belum dewasa dan ia beranggapan bahwa anaknya sebagai pewaris kepemimpinnanyalah yang harus dkembangkan. Pemimpin seperti ini tidak membarikan kesempatan kepada bawahannya untuk berkreasai dan berinisiatif selain itu juga memiliki sifat over protective (terlalu melindungi)

3. Tipe Otoriter

Disebut juga tipe kepemimpinan authoritarian. Dalam kepemimpinan ini, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota – anggota kelompoknya. Baginya memimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Batasan kekuasaan dari pemimpin otoriter hanya dibatasi oleh undang – undang. Bawahan hanya bersifat sebagai pembantu, kewajiban bawahan hanyalah mengikuti dan menjalankan perintah dan tidak boleh membantah atau mengajukan saran. Mereka harus patuh dan setia kepada pemimpin secara mutlak.

4. Tipe lesiser faire

Dalam tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan kepemimpinannya, ia membiarkan bawahannya berbuat sekehendaknya. Keputusan berdasarkan keputusan anggota dan tidak ada dominasi dari pemimpin karena pemimpin sama sekali tidak memberikan control dan koreksi terhadap orang-orang yang dipimpinnya.


(50)

Tipe Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang membangu kepemimpinannya dengan solidaritas rakyat. kepemimpinan populistis ini berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat tradisional. Selain itu pemimpin seperti ini juga kurang mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan dari negara luar. Kepemimpinan jenis ini mengutamakan penghidupan nasionalisme selain itu erat dikaitkan dengan modernitas tradisional.

6. Tipe Administratif atau Eksekutif

Kepemimpinan jenis ini ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrative secara efektif. Kepemimpinan jeis ini disisi oleh orang-orang yang terdiri dari para teknokrat, administrator, dan juga para ahli dibidang pembangunan. Kepemimpinan ini pula dapat membangun birokrasi dan menejemen pembangunan negara yang berorientasi pada modernitas pembangunan.

7. Tipe demokratis

Kepemimpinan demokratis beroriantasi pada manusia, dan memberikan bimbingan yang efesien kepada para pengikutnya. Pemimpin ikut berbaur di tengah anggota – anggota kelompoknya. Hubungan pemimpin dengan anggota bukan sebagai majikan dengan bawahan, tetapi lebih seperti kakak dengan saudara – saudaranya. Dalam tindakan dan usaha – usahanya ia selalu berpangkal kepada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan dan kemampuan kelompok. Dalam melaksanalan tugasnya, pemimpin mau


(51)

menerima dan bahkan mengharapkan pendapat dan saran – saran dari kelompoknya.

Pemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu dan mau mendengarkan nasihar dan sugesti bawahan. Dalam setiap pembuatan rencana dan keputusan selalu meminta nasiha dan masukan dari para orang yang lebih ahli dan juga memberikan pekuang kepada bawahan/orang yang dipimpinnya untuk mengeluarkan pendapat.

3.2. Pemimpin Bagi Orang Jawa

Pemimpin adalah sebuah kata yangs sering didengar setiap hari, pemimpin juga merupakan sebuah tokoh induk baik dari sebuah rumah tangga, organisasi ataupun perkumpulan. Pemimpin juga merupakan symbol dari sebuah kepemimpinan, selain itu mereka juga merupakan orang yang dapat dipercaya dan memiliki kendali atas sebuah keputusan.

Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Rahman,

Pemimpin adalah sosok seseorang yang mampu membawa dan memimpin orang lain untuk kearah yang lebih baik, pemimpin tidak boleh sombong karena ia merupakan contoh sauri tauladan bagi oang lain.

Pemimpin dalam kehidupan sehari-hari merupakan sebuah sosok yang menjadi contoh keteladanan bagi tiap individu-individu yang mempercayainya. Bagi orang jawa pemimpin disama artikan dengan sebuah tokoh yang sangat penting yang membimbing dan menjadi contoh mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pemimpin senantiasa mengadakan konsultasi dengan sejumlah orang, dengan


(52)

mengikuti gagasan dalam pepatah Jawa manunggaling kawulolan (masyarakat dan pemimpin adalah satu)24

a. Pemimpin didalam keluarga .

Dalam kehidupan sehari-hari, orang Jawa membagi pemimpin kedalam beberapa bagian seperti:

Orang Jawa yang memiliki sistem kekerabatan yang bilateral, tidak membedakan sebuah keputusan antara seorang ayah atau ibu. Hanya saja didalam sebuah rumah tangga seorang ayah menjadi pemimpin didalam rumah tangga untuk memimpin dan membimbing keluarganya.

System kekeluargaan orang Jawa berdasarkan prinsip bilateral, kedudukan seseorang dari segi hierarkinya dalam masyarakat bergantung kepada ukuran utama dalam masyarakat. Ukuran utama yang membedakan kedudukan seseorang itu adalah kedudukan dalam sebuah keluarga. Hierarki inilah yang menjadi penentu utama hubungan social dalam masyarakat (Siyo, 2008:91)

Seperti yang diungkakan Ibu Sumiarsih 40 thn, ia mengatakan bahwa :

Dialam keluarga kami segala keputusan diambil secara musyawarah, tetapi ayah dari anak-anak kami memiliki keputusan untuk menetukan baik buruknya keputusan yang kami sepakati. Saya dirumah hanya mengurus dan menjaga anak-anak, tidak ada perbedaan antara saya dan suami saya. Memang kami tidak sepenuhnya tau tetang adat dan budaya Jawa yang asli tapi kami masih mmegang prinsip sopan santun dan ramah tamah serta etika dalam bergaul dengan orang lain.

Ayah (orang tua laki-laki) adalah kepala bijaksana dan pelindung kokoh bagi istri dan anak-anaknya, ia menjamin penghidupan mereka dan menjadi

24

Bijlmer, Joep & Martin Reurink, Kepemimpinan Lokal di Lingkungan Masyarakat Jawa: Dari Ideologi ke Realitas.


(53)

dukungan kuat bagi mereka . dalam kenyataannya perana ibu sebenarnya lebih kuat. Ibu adalah pusat keluarga, pada umumnya memegang keuangan, cukup menentukan dalam pengambilan keputuasan-keputusan penting, misalnya keputusan mengenai pilihan sekolah, pekerjaan, dan pilihan suami atau sitri bagi anak-anaknya (Suseno 1996 : 170).

Dalam kehidupan sehari-hari, pemimpin dialam keluarga Jawa dipimpin oleh seorang ayah, sementara Ibu melindungi anak-anaknya sama seperti ibu-ibi lainnya, namun terdapat kecenderungan bahwa ibu Jawa over protective terhadap putra-putrinya dan sedapat mungkin melindungi anak-anaknya dari pengalaman pengalaman buruk.

Menurut Niels Mulder, kata kunci untuk memahami demokrasi pancasila dan hak asasi manusia tidak terletak dalam pengertian kesetaraan tetapi didalam ide kekeluargaan. Dalam fungsinya sebagai suatu keluarga, dapat ditarik suatu argumen bahwa pada dasarnya, demokrasi pancasila yang dianut bangsa Indonesia itu menaungi suatu asas yaitu kekeluargaan. Kekeluargaan yang berarti keharmonisan antar individu, kerukunan antar individu, dan persatuan dan kesatuan bangsa. Dan oleh karena adanya kesatuan itulah tujuan dapat dicapai.

Lebih lanjut, Niels Mulder menyamakan pemahaman bahwa apa yang baik untuk semua adalah baik untuk seseorang. Bangsa dipandang sebagai sebuah keluarga, atau paling tidak dipimpin oleh prinsip kehidupan keluarga. Kepentingan bersamanya merupakan kepentingan pribadi yang sama-sama dimiliki yang harus dilindungi dari anggota yang bukan keluarga, dan dari mereka yang tidak berprilaku menurut ketentuan keluarga. Dan tugas seorang


(54)

pemimpin harus memiliki kualitas sebagai penunjuk jalan, atau pengasuh yang mendorong, memimpin dan membimbing mereka yang harus dididik. Dengan kata lain, seorang pemimpin adalah seorang bapak dan pelindung yang dapat dipercaya yang harus dihormati dan diteladani, yang prilaku dan keinginannya merupakan perintah dan menaruh perhatian pada anak buahnya (pengikutnya). Sehingga dapat diikatkannya menjadi satu dalam ikatan keluarga.

b. Pemimpin didalam masyarakat

Sosok pemimpin menurut Keeler (1985) adalah dapat memenuhi citra ideal sebagai sosok teladan, seorang pemimpin yang berjiwa kuat, memikat dan penuh dengan sifat baik. Efektifitas kekuasaan diukur dengan kemampuan untuk menyembunyikan instrument kepemimpinan. Memolesnya, dan bukan memperlihatkan bahwa kekuasaanlah yang menjadikannya pemimpin. Budaya jawa tidak dapat dibatasi hanya pada ide tentang kekuasaan, dan ide tentang kekuasaan tidak dapat dibatasi hanya pada masalah tentang sosok teladan. “Budaya jawa adalah sekumpulan ide, norma, keyakinan dan nilai yang sangat beragam sehingga tidak mungkin dapat dilukiskan sebagai ‘keseluruhan yang padu’ sebaliknya, perhatian kita hendaknya dipusatkan pada distribusi dan reproduksi dari pengetahuan yang demikian beragam pada masyarakat”-Eldar Braken (Ponco Reko, wordpress.com)

Itu artinya, masyarakat jawa dalam kepemimpinannya bukan hanya soal untuk memadukan berbagai aspek dalam kepemimpinan, tetapi lebih jauh lagi fokus kepemimpinan itu berada pada pola pikir masyarakat. Sejauh


(55)

ini dapat disimpulkan, kepemimpinan itu erat hubungannya dengan bagaimana pola prilaku masyarakat dalam menjalani hidup. Artinya, kepemimpinan bukan suatu yang mutlak yang dapat disimpulkan begitu saja. Karena kepemimpinan itu sendiri memiliki berbagai acuan yang menyokongnya. Sehingga dalam penentuannya, konteks kepemimpinan harus lebih difokuskan terlebih dahulu. Sebab, moral, pola pikir dan prilaku masyarakat dapat lebih mempengaruhi proses kepemimpinan itu sendiri.

3.3. Bentuk Dukungan bagi Pemimpin

3.3.1. Dukungan Spiritual

Sebuah pengkajian atas teori-teori “pribumi” tentang kekuasaan memperlihatkan bahwa kekuasaan itu sering dikaitkan dengan sebuah kekuaatan yang dipandang substansial sekali, atau, lagi-lagi, sebagai bukti keabsahan kekuasaan sebagai kondisi bagi subordinasi. Dalam masayarakat-masyarakat modern, keterkaitan pun (kekuasaan dan religi) masih berbobot, karena kekuasaan tak pernah kosong dari isi religiusnya, yang kendatipun diperkecil atau diperbalikkan , namun tak pernah tak hadir ( Balandier, 1986: 130,132).

Pada tradisi Jawa kuno, dukungan spiritual bagi seorang pemimmpin dilakukan dengan cara melakukan selametan, dan doa-doa yang dipanjatkan bagi sang pencipta. Para masyarakat berdoa agar pemimpin yang mereka dukung atau pemimpin yang sedang berkuasa mendapatkan kebaikan dan juga selalu melindungi rakyatnya. Selain itu mereka juga membarikan


(56)

persembahan-persembahan berupa sesaji (sajen) kepada roh-roh halus (roh nenek moyang mereka), hal ini dilakukan agar para roh-roh nenek moyang mereka memberikan pertolongan kepada pemimpin mereka.

Pada masa sekarang, orang Jawa terutama masyarakat urban perkotaan, memilih dan mendukung pemimpin hanya sebatasa kesamaan agama dan etnis, Seperti ugkapan Bapak Rahman :

Pemimpin yang saya pilih adalah orang yang memiliki kesamaan suku dengan saya, tetapi saya juga harus kembali melihat latar belakang agamanya. Jika agamanya sama dengan saya maka saya mau memilih orang itu sebagai pemimpin saya. Teapi semuanya tidak terlepas dari etika dan moral seorang pemimpin itu sendiri apakah ia pantas untuk menjadi pemimpin atau tidak. Jadi dukungan yang saya harus memiliki kesamaa agama dengan saya.

Bagi mereka (orang Jawa), perbedaan etnis bukanlah satu masalah hanya saja kesamaan keyakinan masih menjadi satu acuan dalam pilihan mereka dalam memilih seorang pemimpin.

3.3.2. Dukungan Politik

Dukungan politik adalah sebuah upaya untuk memberikan motivasi, tokoh yang dukung tidak adalah mereka yang memiliki ikatan emosional baik keeluargaan, etnis, bahkan terhadap sebuah keyakinan. Dukungan politik yang diberikan tentu merupakan sebuah kata yang sering disebut orang dengan condongnya seseorang atau kelompok terhadap orang yang didukungya. Tentu hal imi tidak terlepas dari adanya budaya politik. Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat, dengan ciri-ciri yang lebih khas.. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijaksanaan pemerintah, kegitan partai-partai


(1)

sebauh organisasi, walau tidak memiliki legalitas kekuasaan tapi setiap anggota organisasi mau mendengarkan kata-katanya bahkan setiap nasehatnya.

5.3. Persamaan Pemimpin Formal dan Pemimpin Informal

Pemipin formal adalah Jabatan yang dimiliki seseorang dalam kemampuannya meliputi proses mempengauhi orang lain dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Dimana Kepemimpinan Formal dalam jabatannya diperoleh dari suatu usaha tertentu dalam pencapaiannya.

Pemimpin informal adalah Jabatan yang dimiliki seseorang dalam kemampuannya meliputi proses mempengauhi orang lain dalam menentukan tujuan tertentu, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Dimana Kepemimpinan Non Formal dalam jabatannya diperoleh tanpa suatu usaha tertentu dalam pencapaiannya.

Sifat Kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang pemimpin sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau pun jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya, (Najwazuhur, Blog.friendster.com)


(2)

BAB VI KESIMPULAN

Kesimpulan

Pemimpin yang mampu melaksanakan fungsi kepemimpinannya dapat dipastikan keadaan kelompoknya akan terwujud dengan baik. Keadaan yang baik jelas akan memperkuat posisi dan kedudukan pemimpin tersebut di dalam kelompok. Oleh karena itu seseorang pemimpin hendaknya mengetahui dan melaksanakan tugas serta fungsinya sebagai pemimpin dengan sebaik-baiknya. Salah satu faktor yang paling penting dalam hal kepemimpinan adalah kualitas yang tinggi yang harus dimiliki oleh pemimpin. Kualitas tersebut mencakup kemampuan mengarahkan visi yang jelas dan ide-ide cemerlang yang dapat dilaksanakan. Kepemimpinan dalam organisasi bertujuan melakukan perubahan secara konstruktif, dengan menetapkan arah-pengembangan visi masa depan dan penerapan strategi untuk melakukan perubahan yang diinginkan organisasi. Seorang pemimpin harus mempunyai visi dan strategi serta implementasi secara tepat.

Dalam Paguyuban Pujakesuma, Pemimpin diartikan juga sebagai Bapak yang dan juga seorang pembimbing yang memiliki sifat Ing Ngarsa Sung Thulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handatani. Serta memiliki sifat-sifat yang Baik serta memiliki kewibawaan. Pamimpin juga harus memiliki kelenturan Budaya atau sifat yang elastis, mau menerima setiap masukan dan menerima perbedaan-perbedaan yang didijumpai dalam kehidupan organisasi maupun kehidupan sehari-hari.


(3)

Keterampilan berkomunikasi, pemimpin yang efektif harus mampu berkomunikasi, baik secar tertulis, lisan maupun non-verbal. Kreativitas, pemimpin harus memiliki kreativitas, selain harus mampu menciptakan iklim kondusif yang mampu mendorong kreativitas anggota dan membantu untuk menjadi lebih kreatif. Manajemen pembelajaran yang mandiri, pemimpin harus selalu memiliki kemauan dan rasa ingin tahu yang besar terhadap pengetahuan-pengetahuan dan keahlian-keahlian yang baru agar mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi.

Para anggota paguyuban Pujakesuma juga mempecayai sosok yang mereka sebut sesepuh. Keputusan tertinggi ada ditangan para sesepuh. Para sesepuh inilah yang menentukan cocok tidaknya atau baik buruknya sesuatu hal yang berkaitan dengan keberlangsungan perjalanan paguyuban pujakesuma sebagai paguyuban etnis Jawa yang lahir di sumatera.


(4)

Daftar Pustaka

Ali, Madekhan

2007 Orang Desa Anak Tiri Perubahan, Anvorroes Pers, Malang Amirin, Tatang M

2000 Menyusun Rencana Penelitian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Balandier, George

1986 Antropologi Politik, Rajawali, Jakarta Bungin, Burhan

2003 Analisis Data Kualitatif, PT. Grafindo Persada, Jakarta Claessen, H.J.M

1987 Antropologi Politik, Suatu Orientasi, Penerbit Erlangga, Jakarta

Erfandari, Hanafi,

2008 Konsep Kepemimpinan Semar dalam Wayang Purwa Ditinjau dari Filsafat Politik,

diakses

tanggal 20 Mei 2009 pukul 14.00 WIB Gauthama, Margaret P

2003 Budaya Jawa dan Masyarakat Modern, Penyunting, Dr. Edi Sedyawati, BPPT PRESS, Jakarta

Geertz, Cliford,

1981 Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta

Koentjaraningrat

1980 Sejarah Teori Antropologi I, Universitas Indonesia, Jakarta Moleong, J, Lexy

2005 Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung

Mulder, Niels

1985 PRIBADI DAN MASYARAKAT DI JAWA, Sinar Harapan, Anggota IKAPI, Jakarta

Reko, Ponco

2009 Kepemimpinan Sebagai Bagian Budaya Bangsa http://kalisengara.wordpress.com/11/10/2009


(5)

Priantono, Bambang

2009

Rahardjo, Turnomo

2005 Menghargai Perbedaan Kultural, Mindfuluuss dalam komunikasi antar etnis, Pustaka pelajar, Yogyakarta Reurink, Martin & Joep Bijlmer

1998 Kepmimpinan Lokal di Lingkungan Urban Jawa: Dari Ideologi ke Realitas,KEPEMIMPINAN LOKAL dan IMPLEMENTASI PROGRAM, Editor Philip Quarles van Ufford, Jakarta, Gramedia

Sihaloho, Misran

2006 Orientasi Etnik Jawa Dalam Pilkadasung Tahun 2005 Di Kota Medan, Jurnal Antrpologi Sumatera, Edisi Pilkada, UNIMED, Medan

Siamnjuntak, Bungaran Anton

2004 Strategi Dominasi Dan Keutuhan Negara Bangsa Yang Pluralistik, ETNOVISI, JUrnal ANtropologi Sosial Budaya, LPM –

Antrop, Departemen Antropologi FISP USU, Medan Sitepu, P.Antonius

2006 Sistem Politik Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan Siyo, Kasim, Dkk

2007 WONG JAWA DI SUMATERA, Sejarah, Budaya, Filosofi & Interaksi Sosial, PuJakesuma, Jakarta

Sukmar Prima

2007 kepemimpinan formal dan non formal dan hubungan antara administrasi dengan kepemimpinan

Suyami

2008 Konsep Kemimpinan Jawa, Editor Salamun, KEPEL Press, Yogyakarta

Sztompkka, Piotur


(6)

Sumber Lain

/2Suhardi-oaj-unsri.pdf, 19-08-09


Dokumen yang terkait

Makna Upacara Tedhak Siten Bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Deskriptif Tentang Makna Upacara Tedhak Siten Bagi Masyarakat Jawa Di Desa Tanjung Jati Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat

3 110 90

Studi komparatif tentang konsepsi manusia menurut aliran pangestu dan paguyuban Sumarah

0 26 70

Konsep Diri Pemain Wayang Orang di Paguyuban Bharata Jakarta (Studi Fenomenologi Tentang Konsep Diri Pemain Wayang Orang di Paguyuban Bharata Jakarta)

0 8 2

KOMUNIKASI ORGANISASI PAGUYUBAN KAMPUNGRAWA AMBARAWA Komunikasi Organisasi Paguyuban Kampungrawa Ambarawa (Studi Deskriptif Kualitatif Hubungan Internal Paguyuban Kampungrawa Ambarawa Kabupaten Semarang).

0 4 15

PENDAHULUAN Komunikasi Organisasi Paguyuban Kampungrawa Ambarawa (Studi Deskriptif Kualitatif Hubungan Internal Paguyuban Kampungrawa Ambarawa Kabupaten Semarang).

0 3 27

KOMUNIKASI ORGANISASI PAGUYUBAN KAMPUNGRAWA AMBARAWA Komunikasi Organisasi Paguyuban Kampungrawa Ambarawa (Studi Deskriptif Kualitatif Hubungan Internal Paguyuban Kampungrawa Ambarawa Kabupaten Semarang).

0 4 15

MAKNA BERBAKTI PADA ORANG TUA DALAM PERSPEKTIF REMAJA MUSLIM JAWA Makna Berbakti Pada Orang Tua Dalam Perspektif Remaja Muslim Jawa.

0 2 18

PENDAHULUAN Makna Berbakti Pada Orang Tua Dalam Perspektif Remaja Muslim Jawa.

0 1 12

MAKNA BERBAKTI PADA ORANG TUA DALAM PERSPEKTIF REMAJA MUSLIM JAWA Makna Berbakti Pada Orang Tua Dalam Perspektif Remaja Muslim Jawa.

0 1 22

KONSTRUKSI MAKNA TATO PADA ANGGOTA KOMUNITAS PAGUYUBAN TATTOO BANDUNG.

0 0 2