Prinsip Hidup Orang Jawa 1. Prinsip kerukunan

BAB IV Pemimpin Di Dalam Paguyuban Pujakesuma

4.1. Prinsip Hidup Orang Jawa 4.1.1. Prinsip kerukunan Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonid. Rukun berarti “berada dalam keadaan yang selaras”, “tenang dan tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, bersatu dalam maksud untuk saling membantu” Mulder dalam Suseno, 1996:39 . Kata rukun juga mnyangkut dalam cara bertindak seseorang. Jay dalam Suseno mnenybutkan bahwa berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegagan dalam masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubugan- hubungan social tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Bapak Joko menjelaskan bahwa: Rukun berati menjaga diri sendiri dari sifat buruk, dengan kata lain kalau seseorang tidak mengganggu orang lain maka ia juga pasti tidak akan diganggu orang lain, selain itu juga dalam kehidupan sehari-hari menjaga kerukunan berberti menjaga kedamaian lingkungan social di sekitar tempat kita tinggal. Keselarasan social akan muncul jika tidak mengganggu keseimbangan yang lain Pada masyarakat Jawa tradisional, konsep rukun tidak hanya diperuntukkan bagi diri mereka terhadap orang lain yang ada disekitar tempat tinggal mereka, rukun juga berlaku pada seluruh aspek kehidupan mereka, baik lingkungan social maupun alam. Dalam perspektif Jawa ketenangan dam keselarasan social merupakan keadaan normal yang akan terdapat dengan Universitas Sumatera Utara sendirinya selama tidak mengganggu, seperti juga permukaan laut dengan sendirinya halus kalau tidak diganggu oleh angin atau oleh badan-badan yang menentang arus Suseno, 1996:39.

4.1.2. Prinsip Hormat

Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. “Apabila dua orang bertemu, terutama dua orang Jawa, bahasa, pembawaan dan sikap mereka mesti mengungkapkan pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatau tatanan social yang tersusun dengan terperinci dan cinta rasa. Mengikuti aturan dan tatakrama yang sesuai, dengan mengambil sikap hormat atau kebapaan yang tepat dan amat penting.” Suseno, 1996:39 Sikap saling menghormati dalam kehidupan orang Jawa sudah ditanamkan oleh para orang tua dari mulai individu seorang Jawa mulai mengenal dunia sekitarnya. Prinsip hormat adalah sebuah keteraturan yang sudah tertata dan terstruktur berdasarkan hirarki, bahwa keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang waji buntuk mempertahankanya dan untuk membawa diri sesuai dengannya. Pandangan itu sendiri berdasarkan cita-cita tetang sesuatu masyarakat merupakan suatu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu hendaknya diakui oleh semua dengan membawa diri sesuai dengan tuntutan tatakrama sosial Suseno, 1996:60 . Tiap individu dari Orang Jawa membawa keteraturan yang mereka pertahankan sebagai pedoman dan implemementasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sikap hormat Universitas Sumatera Utara menuntut agar seseorang dalam cara berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain. Orang Jawa yang memiliki kedudukan lebih tinggi harus diberi hormat. Sedangkan sikap yang tepat bagi terhadap mereka yang berkedudukan lebih rendah adalah sikap kebapaan atau keibuan dan rasa tanggung jawab. Kalau setiap orang menerima kedudukan itu maka tatanan social akan terjamin. Kesadaran akan kedudukan social masing-masing seluruh kehidupan orang Jawa. Dalam bahasa Jawa tidak ada kemungkinan untuk menyapa seseorang dan bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus memperlihatkan bagaimana kita menafsirkan kedudukan social kita dibandingkan dengan dia. Orang Jawa dalam menyapa orang lain mempergunakan istilah-istilah dari bahasa keluarga. Istilah-istilah itu memiliki keistimewaan bahwa didalamnya hampir selalu terungkap segi yunior – senior Suseno, 1996: 60

4.1.3. Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe

Sepi Ing Pamrih mengandung arti mengosongkan ambisi pribadi yang dapat merugikan orang lain, atau tidak mengharapkan balasan dari perbuatannya yang telah dilakukannya. Sedangkan Rame Ing Gawe memiliki arti baahwa banyak berbuat untuk orang lain dalma hal kebaikan. Konsep ini lebih ditujuakan kepada sorang pemimpin yang bekerja untuk rakyatnya tanpa mengharapkan imbalan apapun.

4.1.4. Penerapan dalam kehidupan sehari-hari

Universitas Sumatera Utara Rukun dan sikap hormat adalah dua prinsip utama dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa, kedua prinsip tersebut merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk kongkret semua interaksi. Dalam kehidupan sehari-hari, kedua prinsip memberikan aturan hidup yang mampu menjaga keselarasan dan keteraturan bagi diri mereka dan juga orang di sekitar tempat tinggal mereka. Tata krama yaitu aturan tindak tanduk yang layak dalam situasi tertentu. Interaksi antara dua orang dalam hubungan sosial ditempatkan berdasarkan pernyataan hormat sesuai kedudukan yang dimilikinya. Keluarga Jawa mengenal jenjang-jenjang turunan dengan perincian kasepuhan orang yang lebih tua dan kanoman orang yang lebih muda berdasarkan urutan silsilah Geertz, 1982: 22. Seorang Jawa pada masa kecilnya diajarkan beberapa hal agar kedua prinsip tersebut tertanam dalam diri mereka, seperti wedi takut, isin malu, sungkan segan 26 Dalam pandangan dunia Jawa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanoa hubungan satu sama lain, melainkan bahwa realitas dilihat sebagai suatu kesatuanmenyeluruh Suseno dalam Suyami, . Wedi, isin, dan sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi social untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tututa prinsip hormat. Prinsip kerukunan secara pasti melarang pengambilan posisi yang bisa menimbulkan konflik, sedagkan prinsip hormat melarang pegambilan posisi-posisi yang tidak sesuai degan sikap-sikap hormat yang dituntut. 26 Baca suseno, Etika Jawa, Sebuah Falsafi tentang Kebijakan Hidup Jawa. Universitas Sumatera Utara 2008:3 . Sikap hormat ini, menurut Geertz merupakan unsur yang bagi orang Jawa terdapat dalam berbagai situasi sosial. Yang lebih rendah dari itu misalnya Krama Inggil, Krama, atau Ngoko yang bisa terdengar sehari-hari dalam pergaulan di masyarakat Jawa. Setiap kali orang etnis Jawa berbicara dalam bahasanya, mau tidak mau ia merasa seperti dipaksa untuk mengakui kedudukan orang lain dan menunjukkan sikap hormat. sikap hormat tidak ditimbulkan oleh kepribadian, melainkan oleh status orang yang bersangkutan. Akan tetapi karena kewajiban untuk memberi hormat itu begitu ditekankan, maka situasi yang menuntut sikap hormat itu seringkali menimbulkan tekanan emosional. Dilingkungan sehari-hari juga para anak-anak yang mulai diajarkan mulai mengerti akan kebisaan yang telah ditanamkan oleh orang tua, berikut adalah pemaparan Bapak Sukardi: Sikap hormat harus sudah mulai diajarkan pada anak-anak, misalnya kalau ia berjalan melewati sekumpulan orang tua di depan rumahnya maka anak itu harus sedikit membungkukkan badannya, sambil mengucapkan kata amit permisi. Begitu juga dengan orang lebih tua umurnya dari kita maka harus lebih kita hormati dengan begitu kita juga akan dihormati oleh orang lain. Konsep rukun menjadi dasar utama bagi masayarakat Jawa untuk selalu menjaga hubungan baik dengan sesama. Ketentraman yang mereka jaga juga tidak terlepas dari rasa penghindaran konflik oleh sesama mereka atau orang lain disekitar mereka tinggal. Supeno mengungkapkan bahwa orang Jawa pada umumnya masih mengenal ungkapan wong urip mung mampir ngombeI yang artinya orang hidup hanya singgah untuk minum. dari ungkapan makna Universitas Sumatera Utara tersbut bahwa kehidupan mereka orang Jawa tidak terlepas dari rasa saling mengormati dan juga perbuatan baik, saling rukun antar sesama orang lain. Dalam pemaknaannya konsep-konsep tersebut diatas masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Konsep-konsep yang masih mereka gunakan mereka jadikan pedoman hidup untuk mereka menjalani kehidupan mereka ditengah-tengah masayarakt umum. Penggunaan kata-kata dan aturan, mereka gunakan dari mulai tatanan terkecil yaitu keluarga, kemudian berlanjuta ke kehidupan masyarakat disekitar mereka. Dengan tidak mengganggu orang lain berarti mereka tidak mengganggu orang lain, dan berarti mereka juga telah menjalankan apa yang diajarkan oleh para orang tua mereka tentang hidup saling menghormati dan rukun.

4.2. Paguyuban Sebagai Simbol Kesatuan etnis

Dokumen yang terkait

Makna Upacara Tedhak Siten Bagi Masyarakat Pendukungnya: Studi Deskriptif Tentang Makna Upacara Tedhak Siten Bagi Masyarakat Jawa Di Desa Tanjung Jati Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat

3 110 90

Studi komparatif tentang konsepsi manusia menurut aliran pangestu dan paguyuban Sumarah

0 26 70

Konsep Diri Pemain Wayang Orang di Paguyuban Bharata Jakarta (Studi Fenomenologi Tentang Konsep Diri Pemain Wayang Orang di Paguyuban Bharata Jakarta)

0 8 2

KOMUNIKASI ORGANISASI PAGUYUBAN KAMPUNGRAWA AMBARAWA Komunikasi Organisasi Paguyuban Kampungrawa Ambarawa (Studi Deskriptif Kualitatif Hubungan Internal Paguyuban Kampungrawa Ambarawa Kabupaten Semarang).

0 4 15

PENDAHULUAN Komunikasi Organisasi Paguyuban Kampungrawa Ambarawa (Studi Deskriptif Kualitatif Hubungan Internal Paguyuban Kampungrawa Ambarawa Kabupaten Semarang).

0 3 27

KOMUNIKASI ORGANISASI PAGUYUBAN KAMPUNGRAWA AMBARAWA Komunikasi Organisasi Paguyuban Kampungrawa Ambarawa (Studi Deskriptif Kualitatif Hubungan Internal Paguyuban Kampungrawa Ambarawa Kabupaten Semarang).

0 4 15

MAKNA BERBAKTI PADA ORANG TUA DALAM PERSPEKTIF REMAJA MUSLIM JAWA Makna Berbakti Pada Orang Tua Dalam Perspektif Remaja Muslim Jawa.

0 2 18

PENDAHULUAN Makna Berbakti Pada Orang Tua Dalam Perspektif Remaja Muslim Jawa.

0 1 12

MAKNA BERBAKTI PADA ORANG TUA DALAM PERSPEKTIF REMAJA MUSLIM JAWA Makna Berbakti Pada Orang Tua Dalam Perspektif Remaja Muslim Jawa.

0 1 22

KONSTRUKSI MAKNA TATO PADA ANGGOTA KOMUNITAS PAGUYUBAN TATTOO BANDUNG.

0 0 2