Toleransi Tanpa Kehilangan Sibghah

perkara yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Beliau tidak gegabah dalam memutuskan suatu perkara. Oleh karena itu beliau selalu menimbang-nimbang suatu perkara dengan seksama agar tidak menimbulkan kemudharatan kepada rakyatnya.

d. Toleransi Tanpa Kehilangan Sibghah

Hal ini merupakan bagian daripada metode dakwah bil hikmah karena menekankan pentingnya titik temu dalam perbedaan. Titik temu adalah titik tolak di mana perbedaan-perbedaan dapat dipertemukan dalam satu titik persamaan. Dari titik temu inilah, jika diperoleh hal yang sama, maka suatu aktifitas bisa dilanjutkan. Karena secara logika, bila sesuatu dikatakan ada persamaan tentulah terdapat perbedaan di dalamnya, begitu juga sebaliknya, bila ada perbedaan, pastilah ada persamaan. Hal inilah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab kepada mad’unya. Dalam konteks kekinian perbedaan suku dan bangsa menjadi lebur dalam persamaan akidah. Dalam artian Islam menekankan pentingnya persatuan dan persaudaraan. Dalam al-Quran surat al- Hujuraat ayat 10 yang berbunyi: ☺ ☺ ⌧ “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara saudara-saudaramu dan bertaqwalah semoga engkau mendapat rahmat-Nya.” Q.S. al-Hujuraat: 10 e. Uswatun Hasanah Dakwah sangat membutuhkan contoh nyata dan keteladanan. Khalifah Umar bin Khattab telah melakukan hal itu. Beliau sendiri yang menjadi figur dan panutan di medan dakwah. Kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab adalah penyeru kebenaran, yang senantiasa mengamalkannya, semangat di dalamnya dan bersegera menyambut seruannya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Q.S. ash-Shaff: 2-3 Seorang da’i harus memiliki amal shalih, yang diserukannya kepada Allah SWT dengan lisannya juga dengan perbuatannya. Seorang da’i adalah penyeru dengan lisannya sekaligus dengan perbuatannya. Dengan sikap seperti itu mad’u akan terpengaruh dan terkesan dengan dakwahnya, mau mengambil manfaat dengan menerima dakwahnya. Khalifah Umar telah melakukan hal itu semua. Beliaulah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang mampu membedakan antara hak dan yang batil, oleh karena itu Rasulullah SAW menyebut beliau sebagai al-Faruq. Dalam konteks kekinian metode dakwah ini masih relevan digunakan pada masa kini. Karena kebanyakan orang-orang awam dan mereka yang berpendidikan rendah yang tidak mempunyai ilmu kecuali hanya sedikit, mad’u seperti mereka hanya bisa mengambil manfaat dari sirah, akhlak yang utama dan amal yang shalih, di mana mereka tidak mampu mengambil manfaat dari perkataan para da’i yang sering tidak mampu mereka pahami. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim yang mewarisi keislaman orang tua dan nenek moyang, berikut dengan segala bentuk kotoran; bid’ah penyimpangan dan khurafat. Perasaan lemah, terbelakang, taklid, minder, materialisme, dan persepsi yang keliru tentang kehidupan dunia adalah sikap warisan dari para penjajah di negeri Indonesia. Sementara, medan dakwah pada masa sekarang sangat berbeda dengan masa Khalifah Umar bin Khattab. Objek dakwah pada masa Khalifah Umar adalah kaum musyrikin dan kafir yang diseru untuk memeluk Islam dan berimana kepada Allah SWT dengan harus meninggalkan peribadatan kepada patung. Adapun yang menjadi objek dakwah pada masa sekarang adalah kaum muslimin yang meyakini bahwa apa yang mereka anut sebagai warisan dari generasi sebelumnya adalah Islam yang sesungguhnya, meskipun di dalamnya masih terdapat berbagai kotoran dan penyimpangan. Oleh karena itu keteladanan pada masa sekarang harus muncul dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga terbentuk masyarakat muslim yang menjunjung tinggi al-Quran dan as-Sunnah.

f. Dakwah bi Lisan al-Haal