Tidak semua orang mampu meraih hikmah, sebab Allah SWT hanya memberikannya untuk orang yang layak mendapatkannya. Barangsiapa
mendapatkannya, maka dia telah memperoleh karunia besar dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:
☺ ☺
”Allah menganugerahkan al-Hikmah kefahaman yang dalam tentang al Quran dan as Sunnah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran dari firman Allah.” Q.S. al-Baqarah : 269
Hikmah adalah bekal da’i menuju sukses. Karunia Allah yang
diberikan kepada orang yang mendapatkan hikmah insya Allah juga akan berimbas kepada mad’unya, sehingga mereka termotivasi untuk merubah
diri dan mengamalkan apa yang disarankan da’i kepada mereka. Hikmah
merupakan pokok awal yang harus dimiliki oleh seorang da’i
dalam berdakwah. Karena dari hikmah ini akan lahir kebijaksanaan- kebijaksanaan dalam menerapkan langkah-langkah dakwah baik secara
metodologis maupun praktis. Oleh karena itu, hikmah yang memiliki
multidefinisi mengandung arti dan makna yang berbeda tergantung dari
sisi mana melihatnya.
2. Al-Mau’idzatil al-Hasanah
Secara bahasa, mau’idzah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau’idzah
dan hasanah. Kata mau’idzah berasal dari kata wa’adza-ya ’idzu-wa’dzan-’idzatan
yang berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan,
38
sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.
Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat, antara lain; a.
Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh H. Hasanuddin, al-Mau’idzatil Hasanah adalah perkataan-perkataan yang
tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Quran.
39
b. Menurut Abdul Hamid al-Bilali, al-Mau’izhah al-Hasanah merupakan
salah satu manhaj metode dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah
lembut agar mereka mau berbuat baik.
40
Dari pengertian yang dipaparkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa mau’idzatil hasanah dapat diartikan sebagai ungkapan yang
mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif wasiat yang bisa dijadikan
pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat.
3. Al-Mujadalah bi al-Lati Hiya Ahsan
38
Lois Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa A’lam, Beirut: Dar Fikr, 1986, h. 907, Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Fikr, 1990, jilid IV, h. 466.
39
Hasanuddin, Hukum Dakwah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, h. 37.
40
Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah fi Ingkar al-Mungkar, Kuwait: Dar al- Dakwah, 1989, h. 260.
Dari segi etimologi bahasa lafazh mujadalah berasal dari kata jadala
yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti wazan faa ala, jaa dala dapat bermakan
berdebat, dan mujaadalah bermakna perdebatan.
41
Kata jadala dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan
ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.
42
Dari segi istilah terminologi terdapat beberapa pengertian al- Mujadalah
al-Hiwar dari segi istilah. al-Mujadalah al-Hiwar berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa
adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya.
43
Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan
cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat. Dari pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa, al-mujadalah
merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima
pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.
41
Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progresif, 1997, h. 175.
42
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000, h. 553.
43
Ali al-Jarisyah, Adab al-Khiwar wa al-Mudhoroh, Al-Munawaroh: Dar al-Wifa, 1989, h. 19.
BAB III BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB