B. Relevansi Metode Dakwah Khalifah Umar bin Khattab pada Masa
Sekarang
Dalam menjalankan dakwah untuk menegakkan Daulah Islamiyah. Khalifah Umar bin Khattab melaksanakan beberapa metode dakwah yang ada,
yaitu al-Hikmah dan al-Mauidzatil Hasanah. Beliau tidak menggunakan metode dakwah al-Mujadalah. Sebagaimana maksud surat an-Nahl ayat 125
yang berbunyi:
☺ ☺
☺ ☺
“Serulah manusia kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” Q.S. an-Nahl: 125
1. Al-Hikmah
a. Mengenal Strata Mad’u
Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab di Madinah ini merupakan bagian dari dakwah bil hikmah karena metode
ini menekankan pada penyebaran ilmu pengetahuan. Dalam menyampaikan dakwahnya, Khalifah Umar tidak terlalu
mementingkan strata mad’u. Dalam konteks kekinian metode dakwah ini tidak relevan untuk
diterapkan. Hal ini dikarenakan ada banyak perbedaan-perbedaan baik tingkat sosial dan tingkat pendidikan yang harus dihadapi oleh da’i.
Tingkat pendidikan mad’u sangat mempengaruhi pemahamannya dalam menerima pesan dakwah dari seorang da’i. Oleh karena itu
seorang da’i harus mampu memperhatikan dan menyesuaikan pesan dakwah pada waktu menyampaikan dakwahnya.
b. Bila Harus Bicara dan Diam
Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ini merupakan bagian dari dakwah bil hikmah, karena metode ini
menekankan bahwa di mana Khalifah Umar harus bicara dan di mana beliau harus bicara. Dalam menyampaikan dakwahnya, Khalifah Umar
selalu memperhatikan kondisi psikologis si mad’u agar dakwahnya dapat dipahami dan dikerjakan. Khalifah Umar mampu memposisikan
dirinya, tidak egois dan sombong dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau selalu meminta nasihat kepada para sahabat bahkan rakyatnya
agar tidak tergelincir ke lembah kekufuran. Dalam konteks kekinian metode dakwah ini relevan untuk
diterapkan pada masa kini. Hal ini dikarenakan banyak da’i yang kurang memperhatikan kondisi psikologis mad’unya, serta tingkat
sosial dan tingkat pendidikan yang harus dihadapi oleh da’i. karena hal itu sangat mempengaruhi pemahaman mad’u dalam menerima pesan
dakwah dari seorang da’i.
c. Mencari Titik Temu dalam Dakwah
Metode ini dikategorikan sebagai metode bil hikmah. Sebagaimana diketahui bahwa dakwah berarti aktifitas mengajak
manusia ke jalan Allah SWT yang sifatnya mengajak. Dalam
mengajak tentunya tidak diperkenankan dengan cara-cara yang memaksa, menghakimi dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi
yang akan merugikan dan merusak arti dakwah itu sendiri. Namun, realitas menunjukkan banyaknya perbedaan baik dari
segi kultural maupun sosial yang tentu menggambarkan perbedaan paradigma dan cara pandang mad’u sehingga disinilah dilemanya. Di
satu sisi dakwah tidak boleh keluar dari koridor mengajak. Di sisi lain dakwah merupakan suatu kewajiban yang harus disampaikan kepada
umat. Sementara itu seorang da’i harus menyadari adanya benturan-
benturan nilai di masyarakat. Maka peranan seorang da’i dituntut untuk membaca mad’u dari berbagai persepsinya sehingga da’i dapat
mengetahui darimana dakwah harus dimulai. Dengan kata lain da’i harus mencari titik temu, sehingga dakwah yang disampaikan memiliki
gelombang yang sama dengan alam pikiran mad’u. Kegagalan mencari titik temu merupakan awal dari kegagalan berdakwah. Karena ketika
pertama kali da’i menyampaikan risalah akan mendapat penolakan jika tidak mengetahui betul kondisi alam pikiran mad’u.
Mencari titik temu dalam berdakwah merupakan kunci keberlangsungan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Da’i
harus mencari kalimatun sawa’. Kalimat yang sama yang mempertemukan pikiran da’i dengan mad’u.
Dalam upaya mencari titik temu ini Khalifah Umar bin Khattab melakukan musyarawah kepada para sahabat untuk memutuskan suatu
perkara yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Beliau tidak gegabah dalam memutuskan suatu perkara. Oleh karena itu beliau
selalu menimbang-nimbang suatu perkara dengan seksama agar tidak menimbulkan kemudharatan kepada rakyatnya.
d. Toleransi Tanpa Kehilangan Sibghah