primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum perkawinan.
Selain itu dilakukan dengan melakukan wawancara dengan nara sumber, yaitu dengan ibu Dra. Susi Rusida, Kasi Perkawinan dan Perceraian Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil Kota Medan
4. Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode
deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam
melihat keabsahan perkawinan beda agama yang di langsungkan di luar negeri. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dianalisa dengan cara kualitatif,
selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif
32
Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui wawancara yang dilakukan, inventarisasi karya ilmiah,
peraturan Perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi
32
Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, halaman 2. Prosedur Deduktif yaitu Bertolak dari Suatu Proposisi Umum yang
Kebenarannya telah Diketahui dan Diyakini dan Berakhir pada Suatu Kesimpulan yang Bersifat Lebih Khusus. Pada Prosedur ini Kebenaran Pangkal Merupakan Kebenaran Ideal yang Bersifat Aksiomatik
Self Efident yang Esensi Kebenarannya Sudah Tidak Perlu Dipermasalahkan Lagi.
kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalani dilakukan secara
kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.
BAB II KEDUDUKAN PERKAWINAN BEDA AGAMA
DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
A. Sahnya Perkawinan dan Syarat-Syarat Perkawinan
1. Sahnya Perkawinan
Pengertian perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan yang bersifat nasional. Dalam
kaitannya menyaring pelbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam membuat pengertian perkawinan yang timbul dari pluralisme hukum dalam masyarakat
Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya dalam hukum perkawinan. Pengertian perkawinan yang dimaksud adalah menurut :
a. Hukum Adat
Erat kaitannya dengan corak konkrit, kontan dan komunalnya bahwa perkawinan
33
adalah mempersatukan anggota warganya yaitu antara seorang pria dan seorang wanita sebagai sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya
secara tertib, sarana untuk melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup kelompoknya dan juga sarana untuk meneruskan garis keluarga dari suatu
persekutuan. b.
Hukum positif
33
Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 12
Perkawinan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh
negara pendapat Scholten dalam menterjemahkan pengertian menurut BW.
34
Perkawinan menurut agama Islam sendiri adalah suatu proses akad atau ikatan lahir batin di antara seorang pria dan wanita. Yang menjamin halalnya pergaulan
sebagai suami dan istri dan sahnya hidup berumah tangga. Dengan tujuan untuk membentuk keluarga sejahtera
35
, serta atas dasar suatu kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak dan dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang
sudah diatur oleh agama.
36
Undang-Undang Perkawinan, yang memuat mengenai sahnya perkawinan secara materiil dalam Pasal 2 ayat 1 dan secara formil dalam Pasal 2 ayat 2, maka
secara nasional mengenai sahnya perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia.
37
Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan sebagai syarat materil suatu perkawinan, menentukan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu” Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar
34
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1982, hal. 31
35
Abdurahman Al-Mukaffi, Op. cit
36
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press. 1988. Hal. 27-33
37
Nurdin Ilyas, Pernikahan yang Suci, Berlandaskan Tuntunan Agama, Bintang Cemerlang,
Yogyakarta, 2000, hal. 13
1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya
dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan. Setelah perkawinan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Pasal 2 ayat 1, maka untuk selanjutnya dilaksanakan pencatatan perkawinan sebagai syarat formil, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 yang
berbunyi: “Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Diberlakukannya Undang-Undang perkawinan yang bersifat nasional ini, secara perlahan telah berpengaruh dalam hal proses perkawinan. Serta membatasi
berlakunya ketentuan hukum adat menyangkut perkawinan, apabila ada yang bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan ketentuan perundang-undangan
dalam bidang hukum agama. Oleh sebab itulah, hukum adat yang biasanya berpengaruh dalam pelaksanaan proses perkawinan, semakin banyak ditinggalkan.
Kesulitan dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat, serta besarnya pengaruh hukum agama, baik Islam, Nasrani Katholik maupun Protestan, ataupun Hindu dan
Buddha, yang kemudian diserap oleh Undang-Undang perkawinan memperbesar pergeseran pelaksanaan proses perkawinan.
38
38
Bahder Johan Nasution dan Sri Warijati, Hukum Perdata Islam, Kompetensi Peradilan
Agama, Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan shodaqah, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm.12.
Walaupun dalam kenyataannya tidak mutlak hukum adat ditinggalkan, karena hukum adat sifatnya fleksibel dan praktis sehingga mampu untuk menerima
intervensi dari hukum agama dan menyerap hukum agama tersebut khususnya hukum agama Islam yang telah lama diserap oleh hukum adat dalam kaitannya
dengan perkawinan, sehingga sahnya perkawinan dan syarat perkawinan menurut hukum agama juga telah diresepsi oleh hukum adat.
Pada azasnya, Hukum Perkawinan Indonesia melarang terjadinya perkawinan antara kedua calon mempelai yang berbeda agama atau kenyakinan. Hal ini
sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketegasan pelarangan perkawinan beda agama ditegaskan pula dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 yang menegaskan bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang: mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.
39
Adanya resepsi hukum adat dalam ke dalam hukum agama Islam tidak menimbulkan perubahan yang besar atau drastis bagi seorang pemeluk agama Islam
39
Notaris Herman, Perceraian Dalam Perkawinan Beda Agama, http:herman- notary.blogspot.com200906opini-perceraian-dalam-perkawinan-beda.html, diakses tanggal 14
Nopember 2009.
yang juga memegang teguh hukum adatnya. Hal ini berbeda dengan orang-orang yang memberlakukan KUHPerdata terhadap dirinya.
40
Berdasarkan pada kenyataan sosial seperti yang telah diuraikan di atas. Maka seperti yang dikemukan Achmad Ichsan, bahwa perlu kiranya pengkajian ulang
terhadap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan. Oleh karena masih berkembangnya pendapat perkawinan itu tidak hanya urusan duniawi tetapi juga
masalah Tuhan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkawinan gereja kerkelijk huwelijk yang merupakan salah satu contoh perkawinan secara agama yang tidak
dilampirkan di Pencatatan Sipil Burgerlijk Stand sehingga perkawinan tersebut sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut Undang-Undang terutama pada Pasal 2 ayat
2 Undang-Undang Perkawinan.
41
Untuk itulah, guna menghindari timbulnya persepsi yang berbeda seperti contoh yang dikemukakan di atas. Diusahakan adanya Hukum Negara yang
ditetapkan oleh pihak yang berwajib dengan syarat harus sinkron dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-
Undang Perkawinan: Bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertama
ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agamakerokhanian, sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahirjasmani, tetapi juga unsur bathinrokhani juga mempunyai peranan yang penting membentuk keluarga yang bahagia rapat
40
Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga: Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Menuju Ke Hukum Keluarga Nasional, Armico. Bandung, 1998. Hal. 28-30.
41
Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986. Hal. 19.
hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orangtua.”
Juga seperti yang tercantum dalam butir ketiga dari penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan, yang berbunyi:
“Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang
hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-Undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum
Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.”
Terlepas dari adanya kelemahan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan seperti yang telah diuraikan di atas. Maka sudah menjadi ketentuan yang pasti, bahwa
sahnya suatu perkawinan harus dijalankan dengan agama masing-masing dan kepercayaannya itu. Dalam hal ini terlihat bahwa hukum negara, yaitu Undang-
Undang Perkawinan telah melakukan suatu bentuk sinkronisasi terhadap hukum agama yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain, menyerahkan sepenuhnya
persyaratan yang timbul atau yang datangnya dari hukum agama dan kepercayaannya selama tidak bertentangan dengan hukum negara yang ada. Misalnya bagi penganut
agama Islam, untuk melangsungkan suatu pernikahan harus memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai dengan yang ditentukan dalam agama Islam.
42
Begitu pula untuk pemeluk agama lainnya, apabila segala persyaratan yang timbul dari hukum agama masing-masing terpenuhi, maka hukum negara akan
menguatkan atau mengukuhkan perkawinan itu dengan mencatatkan perkawinan
42
Abdul A’a Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, terjemahan Achmadi Rais, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hal. 34.
tersebut. Sesuai yang tercantum pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, yaitu pada Kantor Urusan Agama KUA bagi yang beragama Islam dan Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil bagi yang beragama di luar agama Islam, sebagai suatu syarat administrasi guna mengadakan suatu tertib administrasi bagi setiap
perkawinan yang dilangsungkan. Berdasarkan uraian di atas, maka Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975,
menentukan dalam suatu hukum perkawinan:
43
a. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Islam:
1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai
dengan hukum agama Islam. 3.
Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor 1 dan 2, maka bagi orang Indonesia asli diberlakukan hukum agama Islam yang
diresipir dalam hukum adat, bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa
berlaku hukum Adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.
b. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Nasrani Katholik dan Protestan: 1.
Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 2.
Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai dengan hukum agama Nasrani Katholik dan Protestan.
3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor 1 dan 2, maka bagi
orang Indonesia asli Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit
perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum Adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku
KUHPerdata.
c. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan
Eropa yang beragama Hindu maupun Budha 1.
Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
43
Ibid, Hal. 26-29
2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan
sesuai dengan agama Hindu maupun Budha. 3.
Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor 1 dan 2, maka bagi orang Indonesia asli diberlakukan hukum adat, bagi
Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahannya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum Adatnya
masing-masing dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.
Sahnya suatu perkawinan yang berdasarkan hukum agama, tidak akan menimbulkan masalah jika kedua mempelai memiliki agama yang sama. Akan tetapi
akan timbul masalah jika terdapat perbedaan agama. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka Mahkamah Agung memberi kemungkinan, yaitu
44
adanya musyawarah antara suami dan istri untuk memilih hukum agama yang diberlakukan, sesuai dengan
prinsip keseimbangan yang dianut dalam Undang-Undang Perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut Undang-Undang
Perkawinan, suatu perkawinan dianggap sah: a.
Diselenggarakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tata
tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau calon istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua
calon suami istri dan atau keluarganya
45
b. Dilaksanakan menurut tata tertib yang ditentukan oleh hukum masing-
masing agama dan kepercayaan. c.
Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh pegawai pencatat nikah dari Kantor Catatan Sipil bagi orang non-muslim pribumi
maupun keturunan dan Kantor Urusan Agama KUA bagi muslim baik pribumi maupun keturunan.
46
44
Djuhaendah Hasan, Op.Cit. Hal. 60-62
45
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama., Mandar Maju Bandung, 1990. Hal. 26-27.
46
Martimah Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan, PT. Pradnya Paramita Jakarta, 1991. Hal. 23.
2. Syarat Perkawinan