2. Pernikahan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu
dapat dilangsungkan, sebab pernikahan tersebut termasuk dalam pernikahan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57 tentang
perkawinan campuran terletak pada “dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal tersebut tidak saja
mengatur pernikahan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur pernikahan antara dua orang yang
berbeda agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan pernikahan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan
Perkawinan Campuran.
3. Undang-Undang pernikahan tidak mengatur tentang masalah pernikahan
beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, maka peraturan-peraturan lama selama Undang-Undang
Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah pernikahan beda agama harus berpedoman kepada
peraturan perkawinan campuran.
55
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan dalam Gemengde Huwelijken Regeling dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun
falsafah yang sangat lebar antara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan
hukum.
1. Pandangan Yang Menyatakan Perkawinan Beda Agama adalah
Pelanggaran
Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 8 f, maka
instansi baik Kantor Urusan Agama KUA dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada Pasal 2
55
Priskalista, Pernikahan Beda Agama, http:priskalista.wordpress. com2009 0820pernikahan-beda-agama, diakses tanggal 30 Oktober 2009.
ayat 1 jo Pasal 8 f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa dengan perumusan Pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di
luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan
ketentuan yang dilarang oleh agama berarti dilarang juga oleh Undang-Undang perkawinan.
56
Selaras dengan itu, Hazairin menafsirkan Pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan
melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
57
Hal ini juga ditegaskan oleh Herman: Ketegasan larangan perkawinan beda agama adalah mutlak mengingat
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahirjasmani, tetapi unsur bathinrokhani juga mempunyai peranan yang penting. Ketegasan larangan ini
jelas menunjukkan bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
58
Adanya ketentuan dalam pasal 2 1, “ Bahwa sahnya perkawinan apabila dilakukan oleh masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan dalam
Penjelasan atas pasal tersebut ditegaskan, bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum
56
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, CV Haji Masagung, Jakarta, 1993, hal..3
57
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No 11974, Jakarta, Tintamas, Jakarta, 1986, hal. 2
58
Herman, Loc.Cit.
masing-masing agamanya, jelas bahwa perkawinan antar agama tidak sah dan bukan perkawinan.
59
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki- laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang
tidak beragama Islam.
60
Media massa baik elektronik maupun cetak ikut mensosialisasikan kawin campur ini. Dalam banyak tayangan dan pemberitaan, para pelaku kawin campur
digambarkan sebagai pasangan yang selalu bahagia dan harmonis. “Padahal kampanye kawin beda agama yang kini sedang disosialisasikan, sebenarnya juga
termasuk metode kristenisasi, “kata Abu Deedat. Lebih jauh, kelompok pendukung kawin campur juga berusaha mencari pijakan teologis. Mereka menggandeng para
intelektual Muslim untuk melakukan re-interpretasi ayat-ayat al-Quran yang melarang kawin campur. Bertemulah mereka dengan kelompok Islam Liberal kajian
Utan Kayu yang dipimpin Ulil Abshar Abdalla. Lewat jaringan media massa yang mereka miliki, Kajian utan Kayu gencar mensosialisasikan kawin campur.
61
Larangan perkawinan beda agama bagi pemeluk agama Islam ditegaskan dalam Pasal 44 KHI Kompilasi Hukum Islam dengan penegasan bahwa seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam; sedangkan bagi pria Islam menurut Pasal 40 Huruf c KHI dilarang
59
Media Dakwah, September 1997, hal. 68
60
EOH, O.S, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Cet. ke-1, Hal. 117
61
Hartono Ahmad Jaiz, Ahmad Jaiz, Hartono, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Pustaka Al- Kautsar, Jakarta, 2004, Cet. ke-3, hal..227-228
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Larangan ini karena perkawinan menurut agama Islam adalah lembaga yang suci
yang melibatkan nama Allah dalam upacara perkawinan. Hal ini sebagaimana maksud Pasal 2 KHI yang menegaskan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam
merupakan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena, perkawinan merupakan
lembaga yang suci yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
2. Pandangan Yang Membolehkan Perkawinan Beda Agama