Tidak ada pengaturan mengenai perkawinan antar agama di dalam Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 dapat dipahami, dan merupakan cerminan bangsa betapa
alotnya pembicaraan untuk memutuskan rumusan Pasal 2 ayat 1 tersebut. Di mana sampai akhir disetujuinya RUndang-Undang Perkawinan menjadi Undang-Undang
Perkawinan berlum tercapai kata sepakat untuk melahirkan suatu ketentuan tegas dan berlaku universal tentang aturan mengenai cara melangsungkan perkawinan yang
sah.
73
Sebagai jalan keluarnya, untuk menampung aspirasi dari masing-masing penganut agama dan kepercayaan lahirlah rumusan yang ada sekarang, dengan
menentukan sahnya perkawinan itu menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
D. Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Pandangan Agama di Indonesia
Di Indonesia terdapat 5 agama yang diakui dan banyak dianut oleh masyarakatnya, yaitu Islam, Nasrani Kristen Protestan dan Katholik, Hindu dan
Budha. Dan di setiap agama, perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia. Sehingga bisa dianggap di dalam Hukum Adat di Indonesia telah terdapat pelbagai
bagian dari aturan-aturan agama Hindu, Islam, Nasrani dan Budha.
1. Menurut Agama Islam
Di dalam hukum Islam ada ketentuan yang mengatur secara tegas tentang larangan bagi orang-orang Islam untuk kawin dengan non muslim. Dasar hukumnya
73
Runtung, “Perkawinan Antar Agama Dilema dan Solusinya” , makalah tt, hal.12.
dijumpai dalam Al Qur’an Surat Al’Baqarah ayat 221 : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu.
Para ahli hukumberbeda pendapat dalam menafsirkan Al Qur’an ini. Abdullah bin Umar, menafsirkan pengertian musyrik dengan mencakup semua ummat yang ada
di luar Islam. Termasuk juga haram menikah dengan golongan-golongan ahlul kitab Yahudi dan Nasrani, disebabkan mereka menyekutukan Allah dengan Uzair dan nabi
Isa.
74
Sedangkan 4 mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, berpendapat bahwa menikah dengan perempuan kitabiyah adalah boleh. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan quyud yang wajib untuk
diperhatikan, yaitu, 1 Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; 2 Wanita
Kitabiyah yang muhshanah memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina; 3 Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan
74
Ahmad Kuzaro, Nikah Sebagai Perikatan, Walisongo Press, Semarang, 1995, hal. 36..
dengan kaum Muslimin. Maka, apabila keluar dari ketiga syarat itu ia tidak boleh dinikah.
75
2. Menurut Agama Katolik
P. A. Heuken SJ menguraikan bahwa bagi ummat Katolik yang akan melangsungkan perkawinan haruslah memenuhi syarat-syarat materil dan formal
sebagai berikut: 1 Syarat-syarat materiil:
a. Calon mempelai sudah mengertia makna penerimaan sarkamen perkawinan
beserta akibat-akibatnya b.
Tidak berdasarkan paksaan c.
Pria sudah berumur 16 dan wanita berumur 14 tahun Kan. 1083:1 d.
Tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain Kan. 1085:1 e.
Beragama Katolik f.
Tidak ada hubungan darah terlampau dekat Kan. 1091 g.
Tidak melanggar larangan perkawinan 2 Syarat-syarat formil
75
Abdul Majid, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Islam, 09-04-05, http:asnawiihsan.blogspot.com, diakses tanggal 20 Desember 2009.
a. Dua bulan sebelum hari pernikahan, calon mempelai memberitahukan
maksudnya kepada Pastor Paroki pihak wanita, atau pihak pria bila calon isteri tidak beragama Katolik.
b. Pastor paroki akan mengadakan penyelidikan Kanonik mengenai ada
tidaknya halangan perkawinan dan pengertian calon mempelai tentang makna penerimaan sakramen perkawinan dengan segala akibatnya.
c. Bila tidak ada halangan perkawinan, pastor paroki akan mengumumkan tiga
kali berturut-turut pada musa hari Minggu d.
Bila tidak ada pencegahan perkawinan, pernikahan dapat dilangsungkan pada hari yang ditentukan.
e. Pernikahan dilakukan menurut hukum gereja Katlik, yaitu di hadapan
ordinaris wilayah atau pastor-pastor atau imam diakon yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka untuk meneguhkan perkawinan tersebut.
f. Setelah perkawinan menurut agama selesai, pernikahan tersebut harus
dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
76
Adanya ketentuan di atas mengartikan bahwa hukum agama Katolik juga tidak mengenal perkawinan antara orang-orang yang beragama Katolik dengan yang
bukan Katolik. Namun adanya ketentuan “bila calon istri tidak beragama Katolik, memberi kemungkinan adanya perkawinan antara laki-laki Katolik dengan
perempuan yang bukan beragama Katolik.
77
76
P. A.Heuken, Persiapan Perkawinan, Bina Aksara, Jakarta, 1981, hal. 142-144
77
Runtung, Op.Cit.hal. 8.
3. Menurut Agama Kristen Protestan