Syarat Perkawinan Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri

2. Syarat Perkawinan

Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 ayat 2, maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil maupun formil, yang ditentukan oleh Undang-Undang. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah terdiri dari: a. Syarat Materil Menurut Undang-Undang Perkawinan 1. Perkawinan harus dengan persetujuan kedua mempelai Pasal 6 ayat 1 guna menghindari terjadinya pemaksaan perkawinan ; 2. Bagi seorang pria telah diizinkan melakukan perkawinan pada usia 19 tahun sedangkan wanita 16 tahun Pasal 7 ayat 1, kecuali jika terdapat penyimpangan dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk Pasal 7 ayat 2. Bagi yang berusia belum mencapai 21 tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat 1, harus mendapat izin dari kedua orangtua kecuali kalau salah seorang telah meninggal atau tidak mampu menyatakan kehendak, maka dapat diwakilkan oleh orangtua yang masih ada atau wali jika kedua orang tua sudah tidak ada. 3. Ketiadaan halangan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 8, yaitu karena hubungan darah yang sangat dekat, hubungan semenda, hubungan susuan, hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal poligami, hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku terdapat suatu larangan. Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, tidak dapat kawin lagi kecuali karena izin Pengadilan, sesuai Pasal 9. 4. Suami istri yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, maka tidak boleh ada perkawinan lagi sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum agama dan kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 10. 5. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu, untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, sesuai ketentuan Pasal 11. b. Syarat Formil Syarat formil ini berkaitan dengan hal mengenai tatacara pelaksanaan perkawinan Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan, yang diatur dalam Pasal 10 dan 11 Peraturan Pemerintah. Nomor 9 Tahun 1975. B. Pengaturan Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Perkawinan Indonesia Walaupun terdapat perbedaan, akan tetapi semuanya memuat materi yang sama dalam suatu pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung kesamaan tersebut adalah dalam hal : 1. Subjeknya harus antara pria dan wanita, 2. Timbulnya suatu ikatan, 3. Dalam proses pengikatannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut, sehingga terdapat suatu pengakuan atas ikatan yang timbul. Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa kesamaan yang terdapat dalam memberikan pengertian perkawinan itu telah pula diresepsi oleh Undang-Undang perkawinan nasional yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah instrumen, hukum memang tidak hanya digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan masyarakat, melainkan juga harus mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai lagi dan menciptakan pola-pola baru yang serasi dengan tingkah laku manusia dalam masyarakat tersebut. 47 Pandangan ini dikembangkan oleh Roscoe Pound dengan teorinya “Law as a tool of social engineering”. Salah satu langkah yang digunakan dalam teori ini adalah dengan memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, terutama pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan yang majemuk. 48 Pembahasan dalam bagian ini mencoba menelaah peraturan mengenai perkawinan beda agama dalam peraturan-peraturan produk pemerintah di Indonesia. Terkait dengan hal tersebut maka tulisan ini akan mencoba menelusurinya dalam Peraturan Perkawinan CampuranRegeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 Gemengde Huwelijken Regeling, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Secara lebih mendetail tentang pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia, dalam uraian berikut akan dipaparkan peraturan-peraturan yang terkait 47 O. K. Chairuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 97. 48 Ibid, hal.143. dengan pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia. Dalam Peraturan Perkawinan CampuranRegeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad 1898 Nomor 158 Gemengde Huwelijken Regeling, beberapa ketentuan tentang perkawinan beda agama adalah sebagai berikut: Pasal 1: Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran. Pasal 6 ayat 1: Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang selalu disyaratkan. Pasal 7 ayat 2: Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan. Beberapa pasal di atas secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah terjadinya perkawinan. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan beda agama adalah Pasal 2 ayat 1, Pasal 8 huruf f dan Pasal 57. Pasal 2 ayat 1 berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan Pasal 8 huruf f berbunyi: Perkawinan dilarang antara dua orang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pasal di atas memuncul beberapa penafsiran yang berbeda yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 huruf c dan Pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non- muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al- Kitab. Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. 49 Sedangkan Pasal 44 menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non- muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al- Kitab. Selanjutnya Pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut: 49 M.Muhibuddin, Tafsir Baru Perkawinan Beda Agama di Indonesia, makalah, http:www.pa-wonosari.netassetnikah_beda_agama.pdf, diakses tanggal 30 Oktober 2009. a. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan. b. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang- undangan. Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan beda agama. Meskipun sudah dilarang, perkawinan beda agama masih terus dilakukan. Berbagai cara ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari negara. Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974. Dalam penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga tidak mengatur adanya perkawinan beda agama, selanjutnya pada pasal 2 ayat 1 disampaikan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing¬masing agamanya dan kepercayaannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum agama merupakan landasan filosofis dan landasan hukum yang merupakan persyaratan mutlak dalam menentukan keabsahan perkawinan. Oleh karena dengan mendasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak dimungkinkan adanya perkawinan beda agama, karena pada masing-masing agama telah ada ketentuan hukum yang mengikat kepada mereka dan mengandung perbedaan yang prinsip serta tidak mungkin untuk dipersatukan. Tidak diaturnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 menagrtikan bahwa Undang-Undang menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam Al Baqarah 2:221. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang I Korintus 6: 14-18. Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, menurut Fridolin Ukur, maka: Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing. Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka. 50 Pendapat berbeda disebutkan Farida Prihatini, yang menyebutkan bahwa Majelis Ulama Indonesia melarang perkawinan beda agama. Pada prinsipnya, lanjut Farida, agama-agama lain juga tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam. Itu 50 Zaldi Munir, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Agama-Agama, http:zaldym.wordpress.com20080715perkawinan-beda-agama-dalam-perspektif-agama-agama ,diakses tanggal 20 November 2009. zina. 51 Namun di sisi lain larangan ini dianggap sebagai tindakan diskriminatif bagi pasangan yang ingin menikah. 52 Wahyono Darmabrata mencatat ada empat cara yang lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah. 1. Meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12 Tahun 1983. 2. Perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan menurut hukum agama seorang mempelai biasanya suami, baru disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahannya perkawinan mana yang dianggap sah. Jika perkawinan menurut hukum yang kedua terakhir menjadi persoalan kembali tentang status perkawinan pertama. 3. Kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan menyatakan tunduk pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan berpindah agama sebagai bentuk penundukan hukum. 4. Yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri. Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya menyiasati susahnya kawin beda agama di Indonesia. 53 51 Ibid. 7 52 “Perkawinan Beda Agama dipandang dari Aspek Hak Asasi Manusia”, http:bh4kt1.multiply.comjournalitem18PERKAWINAN_BEDA-AGAMA_DARI_ASPEK_HAK_ ASASI_MANUSIA, Adanya penolakan terhadap perkawinan beda-agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia itu sendiri. Tidak mengakui sebuah perkawinan yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing- masing mempelai merupakan sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama. Masalah agama merupakan salah satu komponen Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai peraturan perUndang-Undangan tertinggi di Indonesia. Pasal 28E ayat 1 dan Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar NRI 1945 dengan tegas menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang. Kebebasan beragama ini pada dasarnya juga berarti bahwa negara tidak turut campur dalam masalah- masalah agama. ecara filosofis, pengaturan seperti ini tidaklah sesuai dengan cita-cita penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pengaturan mengenai hak-hak dasar dalam bidang perkawinan tidak diselaraskan dengan peraturan perUndang-Undangan lainnya. Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Hak Asasi Manusia secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Dalam hal ini, prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan yang sah adalah kehendak bebas dari kedua pihak. 53 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, CV. Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal. 102. Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan. 54 Permasalahan yang mungkin terjadi, jika ternyata terjadi pemutusan perkawinan atau cerai. Kalau nanti mau cerai, apakah bisa di Pengadilan Negeri. Namun kalau luar negerinya ada yang beragama di Kantor Urusan Agama, karena di luar negeri tidak ada Kantor Urusan Agama. di luar negeri semua perkawinan dicatatkan di catatan sipil. Kalau beragama Islam, hanya dilakukan mesjid saja karena tidak ada Kantor Urusan Agama di luar negeri. Sebagai sebuah peristiwa dalam kehidupan, perkawinan pasangan laki-laki dan perempuan Warga Negara Indonesia harus dicatatkan. Pentingnya pencatatan 54 Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. perkawinan bagi pasangan Warga Negara Indonesia semakin dipertegas secara teknis dalam Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Perkawinan seorang Warga Negara Asing dengan Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dilakukan dihadapan Kantor Urusan Agama di wilayah domisili pengantin wanita yang kemudian dikeluarkan akta nikah. Apabila perkawinan dilaksanakan secara Kristen ataupun agama lainnya, maka perkawinan tersebut harus didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang kemudian akan dikeluarkan surat tanda bukti pelaporan perkawinan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.. Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 56 antara 2 orang Warga Negara Indonesia atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. C. Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama Ada perbedaan pendapat mengenai status perkawinan beda agama, yaitu: 1. Pernikahan beda agama tidak dibenarkan dan merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang perkawinan berdasarkan pada Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f yang dengan tegas menyebutkan hal itu. Oleh karena itu pernikahan beda agama adalah tidak sah dan batal demi hukum. 2. Pernikahan beda agama adalah diperbolehkan dan sah dan oleh sebab itu dapat dilangsungkan, sebab pernikahan tersebut termasuk dalam pernikahan campuran. Menurut pendapat ini titik tekan Pasal 57 tentang perkawinan campuran terletak pada “dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Oleh karena itu pasal tersebut tidak saja mengatur pernikahan antara dua orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tetapi juga mengatur pernikahan antara dua orang yang berbeda agama. Menurut pendapat ini pelaksanaan pernikahan beda agama dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran. 3. Undang-Undang pernikahan tidak mengatur tentang masalah pernikahan beda agama. Oleh karena itu dengan merujuk Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, maka peraturan-peraturan lama selama Undang-Undang Perkawinan belum mengaturnya dapat diberlakukan. Dengan demikian maka masalah pernikahan beda agama harus berpedoman kepada peraturan perkawinan campuran. 55 Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan dalam Gemengde Huwelijken Regeling dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen tidak dapat dipakai karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar antara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.

1. Pandangan Yang Menyatakan Perkawinan Beda Agama adalah