Pengaturan Benturan Kepentingan Conflict of Interest

BAB IV UPAYA MENGATASI TERJADINYA BENTURAN KEPENTINGAN

A. Pengaturan Benturan Kepentingan Conflict of Interest

Undang-Undang Pasar Modal Pasal 82 ayat 2 menyebutkan, bahwa Bapepam dapat mewajibkan emiten atau perusahaan publik untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen untuk secara sah dapat melakukan transaksi yang berbenturan kepentingan, yaitu kepentingan-kepentingan ekonomis emiten atau perusahaan publik dengan kepentingan ekonomis pribadi Direksi atau Komisaris atau juga pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik. Undang-Undang Pasar Modal mencantumkan ketentuan mengenai hal ini menandakan bahwa praktik demikian telah berlangsung lama dan berpotensi merugikan salah satu pihak, karena adanya unsur kolusi dan pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan informasi 70 . Di Indonesia sendiri, dasar hukum pengaturan transaksi benturan kepentingan di Indonesia, selain Undang-undang Pasar Modal, adalah Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-84PM1996 tanggal 24 Januari 1996, sebagaimana diubah dengan Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-12PM1997 tanggal 30 April 1997 dan dengan Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-32PM2000 tanggal 22 Agustus 2000 tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu atau singkatnya, Peraturan IX.E.1 . Namun 70 M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 241. dalam pelaksanaannya, Peraturan IX.E.1 ini cukup rumit dan memiliki cakupan yang luas sehingga tidak menutup kemungkinan adanya pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaannya oleh Perusahaan Publik atau Emiten yang akan mengadakan Transaksi Benturan Kepentingan Transaksi yang mengandung benturan kepentingan sesuai dengan Peraturan Bapepam No. IX.E.I, adalah jika suatu transaksi di mana seorang Komisaris, Direktur, atau Pemegang Saham utama mempunyai Benturan Kepentingan, maka transaksi dimaksud harus disetujui oleh Pemegang Saham Independen atau wakil mereka yang diberi wewenang untuk itu sebagaimana diatur dalam peraturan ini. Persetujuan mengenai hal tersebut harus ditegaskan dalam bentuk akta Notaris. Beberapa ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 yang relevan terhadap masalah transaksi self dealing adalah sebagai berikut: Pasal 97 yang berbunyi :”Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Pasal 84 UUPT No.1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 99 UUPT No.40 Tahun 2007 yang berbunyi sebagai berikut : 1 Anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila : a. Terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan,atau b. Anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan. 2 Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, yang berhak mewakili perseroan adalah : a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan; b. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan; atau c. Pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan. Dalam hal anggaran dasar tidak menetapkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, RUPS mengangkat 1satu orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan. Selanjutnya Pasal 85 UUPT No.1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 97 UUPT No.40 Tahun 2007, menyebutkan sebagai berikut : 1 Direksi bertanggungjawab atas pengurusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat 1. 2 Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab. 3 Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2. 4 Dalam hal Direksi terdiri atas 2 dua anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat 3 tiga berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. 5 Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat 3 tiga apabila dapat membuktikan a.Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya b.Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. c.Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian dan d.Telah megambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. 6 Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit110 satu persepuluh bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan. 7 Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 5 tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama perseroan. Penjelasan dari Pasal 97 ayat 6 :” Dalam hal tindakan Direksi merugikan perseroan, maka pemegang saham yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 97 ayat 6 dapat mewakili perseroan untuk melakukan tuntutan atau gugatan terhadap Direksi melalui pengadilan. Selanjutnya Pasal 88 UUPT No.1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 102 UUPT No.40 Tahun 2007 menentukan sebagai berikut : 1 Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan hutang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan. 2 Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak boleh merugikan pihak ketiga yang beritikad baik. 3 Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tanpa persetujuan RUPS, tetap mengikat perseroan sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik. 4 Ketentuan kuorum kehadiran danatau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 mutatis mutandis berlaku bagi keputusan RUPS untuk menyetujui tindakan Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1. Dari ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tidak melarang dilakukannya self dealing oleh Direksi perseroan. Jadi dengan demikian, boleh saja misalnya seorang pihak Direksi perseroan melakukan transaksi atau membeli aset perseroan dengan syarat-syarat sebagai berikut : 1. Dalam melakukan transaksi dengan Direksi, maka perseroan haruslah diwakili oleh Direksi yang lain atau siapapun lainnya yang berhak mewakili perseroan sesuai ketentuan dalam anggaran dasar perseroan. Apabila anggaran dasar tidak menentukan dalam hal yang demikian siapa yang berwenang mewakili perseroan maka RUPS menangkat 1satu orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan. Pasal 99 ayat 1b juncto ayat 2 Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. 2. Tidak ada kewajiban disclosure terhadap perseroan, terhadap Direksi lain, atau terhadap pemegang saham manakala Direksi melakukan transaksi self dealing. Apabila transaksi tersebut merupakan pengalihan atau jaminan hutang atas sebagian besar dari aset perseroan, berlaku ketentuan tentang kewajiban RUPS dengan quorum dan voting dengan jumlah suara khusus, dan harus diumumkan dalam 2dua surat kabar harian. Lihat Pasal 102 Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Akan tetapi, ketentuan seperti ini berlaku untuk semua jenis transaksi, bukan hanya untuk kasus self dealing, melainkan juga terhadap semua transaksi penjualan atau penjaminan atas sebagian besar aset. 3. Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, tidak ada kewajiban Direksi yang melakukan self dealing untuk meminta persetujuan pihak Direksi atau Pemegang Saham yang independen yang tidak mempunyai benturan kepentingan, bahkan tidak ada kewajiban untuk meminta persetujuan RUPS. 4. Jika transaksi self dealing terjadi dalam perusahaan terbuka perusahaan go public, maka terdapat kewajiban disclosure kepada pemegang saham yang hanya diikuti oleh pemegang saham independen. 5. Transaksi self dealing yang mengandung Conflict of Interest harus layak dan fair, karena itu tidak boleh mengandung unsur penipuan atau ketidakadilan. Jika mengandung unsur penipuan atau ketidakadilan, maka transaksi yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 97, yang menyatakan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan, dan setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana tersebut diatas. Pasal 99 ayat 1 UUPT menentukan bahwa dalam hal terjadi benturan kepentingan dari salah satu anggota Direksi pada satu sisi dengan kepentingan perseroan pada sisi yang lain, maka anggota Direksi tersebut tidak diizinkan untuk mewakili perseroan. Demikian juga apabila terjadi suatu perkara di pengadilan antara salah satu anggota Direksi dengan perseroan, maka anggota Direksi tersebut tidak di izinkan untuk mewakili perseroan di hadapan pengadilan. Kemudian Pasal 99 ayat 2 UUPT mengatur bahwa ” Yang berhak mewakili perseroan adalah Anggota Direksi lainnya, Dewan Komisaris, Pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS. yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan”. B.Prinsip Good Corporate Governance GCC Lahirnya Peraturan Nomor IX.E.I. merupakan respon terhadap konflik kepentingan conflict of interest yang biasanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, karena adanya kolusi yang didasarkan pada kewenangan dan tidak transparannya proses pengambilan keputusan. Latar belakang budaya perusahaan yang berasal dari perusahaan keluarga yang membesar menjadi konglomerasi makin membuka kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan yang mengandung konflik kepentingan. Perilaku kolutif di dunia bisnis sering kali terdengar terjadi akibat tumbuh, berkembang dan membesarnya suatu perusahaan yang tidak ditopang oleh suatu sikap yang tidak benar. Krisis Moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia memperlihatkan bukti itu 71 Peraturan Nomor IX.E.I. adalah untuk mengantisipasi perbuatan pihak-pihak tertentu yang mengandung konflik kepentingan yang diistilahkan dengan benturan kepentingan transaksi tertentu. Pemberlakuan ketetentuan ini sejalan dengan prinsip Good Corporate Governance, yaitu menghormati hak pemegang saham, memberikan perlakuan yang sama diantara pemegang saham, dan melindungi kepentingan pemegang saham minoritas. Good Corporate Governance telah diawali sejak 200 tahun lalu ketika Blackstone menggambarkan korporasi sebagai little republic. Dengan analogi itu menandakan bahwa suatu korporasi harus dikelola sebagaimana suatu republik, 71 M. Irsan Nasarudin-Indah Surya, Op. Cit. hal. 244 dengan demikian unsur pengelolaan perusahaan seperti halnya suatu republik harus diselenggarakan melalui tindakan-tindakan seperti berikut : 72 a. Pemilihan anggota Dewan Direksi board of director oleh pemegang saham melalui pemberian suara yang merupakan hak dasar pemegang saham b. Organ legislatif perusahaan board of director yang merupakan sentral kewenangan manajerial. Kewenangan perusahaan berada pada board of director c. Birokrasi perusahaan yang terdiri dari board of director dan eksekutif pelaksana sehari-hari manajemen perusahaan day to day management. Ide dasar yang muncul dari GCC ini adalah untuk memisahkan fungsi dan kepentingan di antara para pihak stakeholder dalam suatu perusahaan, yaitu pihak yang menyediakan modal atau pemegang saham, pengawas, dan pelaksana sehari-hari usaha perusahaan dan masyarakat luas. Dengan pemisahan tersebut perusahaan akan lebih efisien. Dalam perkembangan selanjutnya Corporate Governance CG dijadikan sebagai aturan atau standard dibidang ekonomi yang mengatur prilaku pemilik perusahaan, Direksi, Manajer dengan merinci tugas dan wewenang serta pertanggungjawaban kepada pemegang saham. CG mengandung prinsip-prinsip yang melindungi kepentingan perusahaan, pemegang saham, manajemen, board of directors, dan investor, serta pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan. Prinsip- prinsip tersebut adalah melalui penerapan fairness, transparancy, accountability,dan responsibility. 73 72 Ibid. hal. 97 73 Ibid. Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms menguraikan istilah pengelolaan perusahaan corporate governance dari Ira M. Millstein, “The Evolution of Corporate Governance in the United States,” yang dibacakan di depan Forum Ekonomi Dunia, di Davos, Swiss pada tanggal 2 Februari 1998, dimana dikatakan bahwa istilah “pengelolaan perusahaan” memiliki banyak definisi. Istilah tersebut dapat mencakup segala hubungan perusahaan, yaitu hubungan antara modal, produk, jasa dan penyedia sumber daya manusia, pelanggan dan bahkan masyarakat luas. Istilah pengelolaan perusahaan juga dapat mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan untuk dapat dipertanggungjawabkan di depan para pemegang saham perusahaan publik, seperti juga audit juga kerja dari pasar untuk mengkontrol perusahaan. Istilah itu dapat juga mengacu pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, dan juga dapat mengacu kepada keaktifan pemegang saham. 74 Secara lebih sempit, istilah pengelolaan perusahaan dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dari dewan Direksi. Adapun sebutan yang tepat untuk definisi ini adalah pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan antara manajer perusahaan dan pemegang saham, didasarkan pada suatu pandangan bahwa dewan Direksi merupakan agen para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan untuk dikelola guna kepentingan perusahaan tersebut. 74 Dalam Bismar Nasution, Diktat Hukum Pasar Modal, Good Corporate Governance,Perl Universitas Sumatera Utara, 2002.Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan Corporate Governance, Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan , kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal.3-4. Secara singkat istilah pengelolaan perusahaan tersebut oleh Gregory dan Simms diuraikan dengan pandangan definisi luas dan terbatas. Secara terbatas, istilah tersebut berkenaan dengan hubungan antara manajer, Direktur dan pemegang saham perusahaan. Istilah tadi juga dapat mencakup hubungan antara perusahaan itu sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat. Sedangkan, secara luas istilah pengelolaan perusahaan dapat meliputi kombinasi hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktik pribadi yang memungkinkan perusahaan menarik modal masuk, berkinerja secara efesien, menghasilkan keuntungan dan memenuhi harapan masyarakat secara umum dan sekaligus kewajiban hukum. 75 Grup Penasehat Bisnis Sektor Organization for Economic Coorperation and Development OECD mengenai pengelolaan perusahaan membuat satu laporan mengenai prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan corporate governance dari pandangan sektor swasta dengan menitikberatkan pada “apa yang diperlukan oleh suatu pengelolaan untuk menarik modal.” Laporan tersebut diketua oleh, Ira M. Millstein Laporan Millstein. 76 Dalam Laporan Millstein itu disebutkan, intervensi pemerintah dalam masalah pengelolaan perusahaan adalah cara yang paling efektif dalam rangka menarik modal, jika intervensi tersebut terfokuskan pada empat bidang. Salah satu bidang diantara tiga bidang lainnya adalah bidang transparansi. Tiga bagian lainnya ialah, pertama, pemastian adanya perlindungan atas hak–hak pemilik saham minoritas dan asing, dan 75 Ibid 76 Laporan Millstein itu dimuat dalam Business Sector Advisory Group, “Report to the OECD on Corporate Governance: Improving Competiveness and Access to Capital in Global Markets April 1998. Diuraikan Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, Op. cit., hal.12. pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya bahan. Kedua, pengklarifikasian peran dan tanggung jawab pengelolaan serta usaha-usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan kepentingan pemilik saham untuk diawasi oleh dewan Direksi. Ketiga, pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat adalah bidang transparansi, 77 yang sekaligus menjadi salah satu prinsip OECD dalam pengelolaan perusahaan. Prinsip transparansi tersebut menyatakan, bahwa “kerangka pengelolaan perusahaan harus dapat memastikan bahwa pengungkapan informasi yang akurat atau tepat dilaksanakan berkaitan dengan materi yang menyangkut perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan dan kepemimpinan dari suatu perusahaan.” 78 Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas merupakan trend dan perkembangan terpenting saat ini. Bagi negara-negara tertentu, memasuki era perdagangan bebas memerlukan persiapan, misalnya mengefektifkan dan mengefisienkan perekonomian adalah suatu prasyarat kondisional. Belajar dari krisis keuangan dan ekonomi di Asia, lembaga-lembaga keuangan internasional seperti World Bank, Asian Development Bank ADB, International Monetary Fund IMF, Consultative Group on indonesian CGI, berkesimpulan bahwa penerapan GCC adalah hal yang cukup mendesak untuk segera diimplementasikan oleh kalangan pelaku usaha dan solusi bagi krisis. Secara historis Corporate Governance CG 77 Holly J.Gregory dan Marshal E. Simms, Op. cit., hal. 12-13. 78 Ibid, hal. 15. adalah suatu konsep yang telah lama dirintis dan dijalankan oleh pakar hukum bisnis di negara-negara Anglo-Saxon dan beberapa negara Eropa. Menurut Saleem Sheikh dan SK Chatterjee CG adalah ” as a social contract between the company and the winder constituencies of the corporation which morally obliges the corporation and its directors to take account of the interests of other stakeholders.” 79 Berkaitan dengan prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan yang baik oleh OECD tersebut, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia dibuat Bapepam, juga menetapkan strategi pengembangan pasar modal. Salah satu strategi yang ditekankan, bahwa agar good corporate governance dapat dimengerti dan diterapkan dengan baik, maka perlu dicermati kajian yang dilakukan oleh OECD terhadap prinsip-prinsip utama good corporate governance, termasuk prinsip keterbukaan. 80 Upaya mencapai good corporate governance tersebut, juga sesuai dengan pernyataan Bapepam, bahwa salah satu penyebab rentannya perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap benturan kepentingan adalah lemahnya penerapan good corporate governance dalam pengelolaan perusahaan. 81 Prinsip transparansi selanjutnya disebut “keterbukaan” penting untuk mencegah penipuan fraud atau KKN. Sangat baik untuk dipahami ungkapan yang pernah diungkapkan Barry A.K Rider: “sun light is the best disinfectant and electric 79 M.Irsan Nasarudin, Op. Cit. hal. 95 80 Bapepam, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, Jakarta, Bapepem, 1999, hal.17. 81 Ibid. light the policeman.” Dengan perkataan lain, Rider mengatakan bahwa “more disclosure will inevitably discourage wrongdoing and abuse.” 82 Selanjutnya, dia menyatakan bahwa dalam pasar keuangan pendapat tersebut tidak perlu lagi dibuktikan, tetapi lebih banyak tergantung informasi apa yang harus diungkapkan dan kepada siapa informasi itu disampaikan. 83 Fungsi prinsip keterbukaan untuk mencegah penipuan tersebut adalah pendapat yang paling tua. 84 Dengan demikian prinsip keterbukaan menjadi isu utama yang harus dikaji. Prinsip keterbukaan sekarang ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah merupakan sejarah yang panjang dalam kegiatan perusahaan atau dunia pasar modal. Untuk lebih memahami pembenaran prinsip keterbukaan tersebut, dapat diikuti pengamatan Coffee tentang perlunya sistem keterbukaan wajib mandatory disclosure system, dimana dengan teori yang lebih sederhana ia dapat menjelaskan bagaimana sistem keterbukaan difokuskan. Coffee. Jr mengatakan, bahwa ada dasar substansial untuk dipercaya bahwa ketidak efisienan yang lebih besar akan terjadi tanpa sistem keterbukaan wajib, karena biaya sosial yang berlebih akan dikeluarkan investor untuk mengejar laba perusahaan. Pengamatan Coffee tentang perlunya mempertahankan sistem keterbukaan wajib tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerapan keterbukaan bagi perusahaan dalam hal ini yang telah berbentuk badan hukum seperti halnya Perseroan Terbatas. Gunanya untuk mengatur pemberian informasi mengenai keadaan keuangan dan 82 Bismar Nasution , Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pasca Sarjana, Jakarta, 2001. 83 Ibid, hal. 514. 84 Ibid, hal.418. informasi lainnya kepada investor atau stakeholders. Dengan perkataan lain, tujuan yang ingin dicapai ketentuan penerapan keterbukaan itu adalah untuk menghasilkan dokumen yang menceritakan kepada investor atau stakeholders, mengenai berbagai hal yang seharusnya diketahui oleh mereka. Dengan pemberian informasi berdasarkan prinsip keterbukaan itu, maka dapat diantisipasi terjadinya kemungkinan investor atau stakeholders tidak memperoleh informasi atau fakta material. Sebaliknya, informasi itu juga sangat berfungsi karena berisi fakta materiel, yang dapat dibuat sebagai bahan untuk memberantas benturan kepentingan dalam perusahaan. Untuk memastikan seorang Direksi dapat menjalankan tugasnya secara independen, Direksi harus memenuhi kriteria formal sebagai berikut:. 85 1. Mampu melakukan perbuatan hukum. 2. Tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang bersalah menyebabkan perusahaan dinyatakan pailit. 3. Tidak pernah dipidana karena merugikan keuangan negara. 4. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan yang bersangkutan. 5. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan Direktur dan atau Komisaris lainnya pada perusahaan yang bersangkutan. 85 Bismar Nasution Dan Zulkarnain Sitompul, Hukum Perusahaan, Books Terrace Library, Bandung, 2005. 6. Tidak bekerja rangkap sebagai Direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan yang bersangkutan. 7. Tidak menduduki jabatan eksekutif atau mempunyai hubungan bisnis dengan perusahaan yang bersangkutan dan perusahaan-perusahaan lainnya yang terafiliasi dalam jangka waktu 3 tahun terakhir. 8. Tidak menjadi partner atau principal di perusahaan konsultan yang memberikan jasa pelayanan professional pada perusahaan dan perusahaan- perusahaan lainnya yang terafiliasi. 9. Tidak menjadi pemasok dan pelanggan signifikan atau menduduki jabatan eksekutif dan Dewan Komisaris perusahaan pemasok dan pelanggan signifikan dari perusahaan yang bersangkutan atau perusahaan-perusahaan lainnya yang terafiliasi. 10. Bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan yang lain yang dapat diinterpretasikan akan menghalangi atau Selain kriteria formal seperti disebutkan diatas, seorang Direksi harus memiliki beberapa kriteria dan kompetensi pribadi antara lain sebagai berikut: 1. Memiliki integritas dan kejujuran yang tidak diragukan. 2. Memahami seluk beluk pengelolaan bisnis dan atau keuangan perusahaan. 3. Memahami dan mampu membaca laporan keuangan perusahaan 4. Memiliki kepekaan terhadap perkembangan lingkungan yang dapat mempengaruhi bisnis perusahaan. 5. Memiliki wawasan luas dan kemampuan berpikir strategis. 6. Memiliki karakter kepemimpinan, mampu berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang lain. 7. Memiliki komitmen dan konsisten dalam melakukan profesinya sebagai Komisaris independen. 8. Memiliki kemampuan untuk berpikir objektif dan independen secara profesional.

C. Prinsip Fiduciary Duty Yang Diemban Direksi