BAB III TINDAKAN YANG TERMASUK DALAM BENTURAN KEPENTINGAN
DIREKSI DENGAN PERUSAHAAN DAN PENGATURANNYA
A. Transaksi Untuk Pribadi Self Dealing
Transaksi self dealing adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh Direksi secara pribadi, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan yang
dipimpinnya sebagai pihak lawan transaksi.Transaksi untuk pribadi ini merupakan perwujudan dari transaksi yang melekat kepentingan interested transaction oleh
Direksi suatu perseroan yang merupakan suatu transaksi yang dilakukan oleh Direksi langsung atau tidak langsung dengan perseroan itu sendiri
Transaksi self dealing yang tidak langsung misalnya:
57
. 1.
Transaksi antara anggota famili dari Direksi dengan perseroan. 2.
Transaksi antara 2 dua perseroan dengan Direksi yang sama. 3.
Transaksi antara perseroan dengan perseroan lain dalam perusahaan mana pihak Direksi mempunyai kepentingan financial tertentu.
4. Transaksi antara perusahaan induk holding dengan anak perusahaan.
5. Transaksi orang dalam Insider Trading di dalam perseroan yang dilakukan
oleh Direktur secara tidak langsung. Dengan demikian, sebenarnya transaksi untuk diri sendiri dari Direksi tersebut
termasuk ke dalam salah satu dari transaksi berbenturan kepentingan conflict of
57
Munir Fuady I, Op. Cit, hal 208
interest ,sehingga transaksi tersebut bertentangan pula dengan prinsip fiduciary duty dan duty of care and loyality dari Direksi. Hal ini juga sebagai salah satu jelmaan dari
prinsip hukum perseroan bahwa Direksi tidak boleh mencari untung secara pribadi dalam kedudukannya sebagai Direksi perseroan tersebut.
1. Transaksi untuk pribadi self dealing ini dikatakan bahwa pihak Direksi
memiliki benturan kepentingan conflict of interest dengan perseroan.Transaksi self dealing, yakni transaksi antara perseroan dengan Direksi yang dalam sejarah
semula dilarang by definition, kemudian dalam perkembangannya mulai dipilah- pilah untuk dinilai mana yang dilarang dan mana yang diperbolehkan oleh sektor
hukum. Di banyak negara, transaksi self dealing ini dibebankan kewajiban disclosure ke pundak Direksi yang berbenturan kepentingan. Karena transaksi
self dealing yang tidak layak bertentangan dengan kewajiban fiduciary duty dari Direksi, maka hukum membebankan kewajiban pribadi kepada Direksi yang
melakukan deal tersebut. Karena itu agar diperkenankan oleh hukum, maka transaksi self dealing tersebut haruslah dilakukan secara fair bagi perseroan,
tidak mengandung unsur-unsur penipuan, atau ketidakadilan, dan untuk transaksi tertentu dibebankan kewajiban disclosure kepada masyarakat, bahkan bagi
perusahaan terbuka, ketentuan hukum di Indonesia selangkah lebih maju, yakni dengan dibebankannya kewajiban persetujuan rapat umum pemegang saham
independen.Contoh dari transaksi self dealing yang di dalamnya terdapat benturan kepentingan adalah penjualan aset perseroan kepada pribadi Direksi
atau kepada salah satu anggota keluarga dari Direksi. Umumnya konsekuensi
hukum dari transaksi self dealing adalah berupa pertanggung jawaban pribadi dari Direksi yang bersangkutan. Karena transaksi self dealing termasuk ke dalam
transaksi yang berbenturan kepentingan yakni, dalam transaksi tersebut terdapat kepentingan dari pihak Direksi, padahal lawan dari transaksi tersebut adalah
perseroan, maka adalah lumrah saja jika transaksi tersebut sangat rentan terhadap akibat tidak fair bagi perseroan. Karena itu, kalaupun transaksi seperti itu
diperkenankan, haruslah dibuktikan secara nyata bahwa transaksi tersebut tetap layak dan dilakukan secara fair dan businesslike . Jadi jika menyangkut dengan
harga transaksi, harga tersebut tetap harga yang layak tanpa adanya tindakan mark up atau mark down.
58
Karena itu, fokus pengadilan dalam transaksi self dealing tetap kepada apakah fair atau tidak terhadap transaksi yang dilakukan
oleh Direksi tersebut. Dengan demikian, khusus dalam hal transaksi self dealing, tidak berlaku doktrin business judgement rule, yang pada prinsipnya
mengajarkan bahwa pengadilan tidak ikut campur untuk menilai atau melakukan secondguess terhadap kebijaksanaan bisnis dari Direksi perseroan.
Seperti telah disebutkan bahwa pengaturan terhadap transaksi self dealing adalah dimaksudkan sebagai suatu langkah operasionalisasi dari doktrin hukum
perseroan bahwa seorang Direksi tidak boleh mengambil keuntungan secara pribadi dari perseroan belum tentu dirugikan. Namun, prinsip hukum ini tidak berlaku mutlak
bahkan sering kontroversional. Karena itu, mencari untuk pribadi tersebut akhirnya
58
Ibid
menimbulkan berbagai teori dan doktrin hukum, yang dikaitkan dengan faktor sebagai berikut :
59
1. Adanya kebutuhan bisnis yang reasonable yang tidak dapat dielakkan untuk
membuat transaksi bisnis antara Direksi dengan perseroannya. 2.
Adanya kecendrungan serius untuk penyalahgunaan kewenangan Direksi yang cendrung akan menguntungkan pihak Direksi dalam transaksi self dealing
tersebut. Pada prinsipnya dalam sejarah terjadi evolusi perkembangan pengaturan
hukum tentang self dealing yaitu sebagai berikut :
60
1. Pelanggaran total flat prohibition terhadap transaksi self dealing
2. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan dilakukan secara fair
dan disetujui oleh mayoritas Direksi independen. 3.
Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan pengadilan menganggapnya bahwa transaksi tersebut telah dilakukan secara fair.
4. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan dilakukan secara fair
atau disetujui oleh mayoritas pemegang saham independen yang telah di informasikan secara layak well informed.
Sejarah perkembangan hukum tentang transaksi self dealing ini terefleksi dari perkembangannya dalam sejarah hukum Amerika Serikat. Di sana pengaturan hukum
tentang transaksi self dealing ini berkembang dalam empat tahap sebagai berikut :
59
Ibid.
60
Ibid
1. Tahap I :Sejak 1880 Dalam tahap pertama ini semua kontrak self dealingdisamaratakan. Yakni semua
kontrak self dealing – by definition – dilarang atau dapat dibatalkan oleh perseroan atau oleh pemegang saham tanpa melihat apakah kontrak tersebut fair
atau tidak. 2. Tahap II : Sejak Tahun 1990
Perkembangan doktrin
self dealingdalam tahap kedua ini adalah bahwa suatu kontrak self dealing dapat dibenarkan manakala memenuhi kedua syarat sebagai
berikut : a.
Disetujui oleh mayoritas pemegang Direksi yang tidak berbenturan kepentingan b.
Transaksi tersebut tidak mengandung unsur-unsur ketidakadilan dan penipuan. Akan tetapi, manakala dalam kontrak tersebut mayoritas Direksi memiliki
kepentingan, maka kontrak self dealing tersebut – by definition – dilarang atau dapat dibatalkan oleh perseroan atau oleh pemegang saham tanpa melihat apakah
kontrak tersebut fair atau tidak. 3.
Tahap III :Sejak Tahun 1960 Dalam tahap ini suatu kontrak self dealing dianggap sah manakala terpenuhi
salah satu dari 3 tiga unsur sebagai berikut : a.
Transaksi tersebut adil dan layak just and reasonable b.
Disetujui oleh mayoritas yang tidak berbenturan kepentingan, atau
c. Diratifikasi oleh pemegang saham yang tidak berbenturan kepentingan
Pengaturan seperti yang dikembangkan di tahap keempat misalnya diberlakukan oleh Undang-undang perseroan Corporate Act California Tahun 1975,
melalui Pasal 310. Dengan demikian, dalam sejarah hukum perseroan terjadi perkembangan dari prinsip hukum tentang self dealing yang tegas bahkan kaku, yakni
yang melarang atau dapat dibatalkan terhadap semua transaksi self dealing, berkembang kepada ketentuan yang lebih relaks. Perkembangan dalam sejarah ini
terjadi karena berkembangnya beberapa teori hukum perseroan sebagai berikut :
61
1. Teori Pengaruh Manajerial
Menurut teori manajerial managerial influence theory, maka perkembangan sejarah tentang pengaturan self dealing ini adalah sebagai akibat dari
berkembangnya pemikiran-pemikiran yang lebih memihak kepada manajemen perseroan yang merupakan pelaku self dealing tersebut. Menurut teori ini, pihak-
pihak pengadilan dan legislatif terpesona dalam cengkraman pihak manajer perseroan.
2. Teori Perubahan Sistem Hukum dan Perilaku Sosial
Teori kedua yang menjelaskan mengapa ada perubahan aturan hukum dalam sejarah dari larangan secara mutlak dan rigid terhadap transaksi self dealing
61
Ibid, hal. 213.
kepada aturan hukum yang lebih relaks adalah karena adanya perubahan patron hukum dan sejarah yang menjurus kepada sistem hukum dan perilaku sosial yang
lebih mengarah kepada adanya sistem hukum yang lebih permisif dan fleksibel. Dalam hal ini aturan hukum berkembang kepada sistem yang terbuka open
ended sehingga hakim dapat menafsirkannya secara fleksibel untuk disesuaikan dengan keadaan, situasi, dan kondisi dan kasus perkasus.
3. Teori Pengaruh Lawyer
Teori ketiga yang mencoba menjelaskan mengapa aturan main untuk self dealing dalam sejarah hukum perseroan berkembang dari sistem larangan secara kaku
kepada sistem yang lebih releks dan fleksibel adalah karena adanya pengaruh dari pihak lawyer yang menyerukan agar kasus-kasus self dealing iuji di
pengadilan yang tentu diajukan oleh lawyer, sehingga dengan aturan yang fleksibel, menyebabkan lebih banyak pekerjaan bagi pengadilan yang tentunya
bertambah banyaknya pekerjaan dari lawyer. 4.
Teori Pengaruh Hakim Pengadilan Teori keempat yang menjelaskan mengapa aturan main untuk self dealing dalam
sejarah hukum perseroan berkembang dari sistem larangan secara kaku, kepada sistem yang lebih relaks dan fleksibel adalah karena pengadilan mulai menyadari
bahwa adakalanya transaksi self dealing bukan lagi berbahaya bagi perseroan melainkan justru diperlukan oleh perseroan. Mengakui transaksi self dealing
secara selektif ini jauh lebih sesuai dengan kebutuhan daripada melarangnya secara mutlak dengan berpegang secara kaku kepada posisi trustee dengan
hubungan fiduciary dari Direksi perseroan. Contoh dari transaksi self dealing adalah penjualan aset perseroan kepada
Pribadi Direksi atau kepada salah satu anggota keluarga dari Direksi. Umumnya konsekuensi hukum dari self dealing adalah berupa pertanggungjawaban pribadi dari
Direksi yang bersangkutan. Terhadap transaksi self dealing, Direksi diwajibkan untuk melakukan keterbukaan. Yang mesti dilakukan Direksi terhadap transaksi self dealing
adalah sebagai berikut : a.
Terhadap transaksi dengan perseroan berupa jual beli saham perseroan dengan Direksi tersebut.
b. Terhadap transaksi lainnya antara Direksi dengan perseroan.
Benturan Kepentingan Conflict of Interest antara Direksi secara pribadi dengan PT, sebagai berikut:
1. Direktur tidak boleh menggunakan kekayaan atau uang PT untuk membuat keuntungan bagi dirinya, apabila terjadi Direktur tidak hanya melanggar tugasnya
breach of his duty, tetapi keuntungan yang diperoleh akan menjadi milik PT. Direktur menyalahgunakan kekayaan PT, untuk keuntungannya sendiri, sehingga
dapat dituntut secara pidana, karena harta PT hanya boleh digunakan untuk tujuan yang telah ditentukan.
2. Direktur tidak boleh menggunakan informasi yang diperoleh atas dasar jabatan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya. Maksudnya adalah menggunakan
informasi tersebut guna memperoleh keuntungan bagi dirinya atau untuk orang lain yang mengakibatkan kerugian pada PT. Direktur mengetahui bahwa
perusahaannya menghadapi risiko likuidasi dan menggunakan informasi tersebut untuk melindungi dirinya dan perusahaan lainnya yang juga dia sebagai
Direkturnya, sehingga terhindar dari konsekuensi likuidasi tersebut. 3. Direktur tidak boleh menggunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan
pribadinya. Apabila Direktur menggunakan jabatannya untuk memperoleh keuntungan pribadi, Direktur tersebut bertanggung jawab kepada perusahaan.
4. Direktur tidak boleh menahan keuntungan yang dibuat dengan alasan dan di dalam fiduciary relationship dengan perusahaan. Maksudnya terhadap Direktur yang
melakukan atau making a secret propit, perusahaan sangat keras. Keuntungan atau manfaat tersebut harus dilaporkan kepada perusahaan dan disetujui. Bila
tidak, Direktur harus bertanggung jawab.
62
Hal ini juga merupakan cerminan dari prinsip hukum perseroan bahwa Direksi tidak boleh mencari keuntungan secara pribadi dalam kedudukannya sebagai Direksi
perseroan.
B. Transaksi Kesempatan Perseroan Corporate Opportunity