10 bilingual  majemuk  sering  mengacaukan  unsur-unsur  dari  kedua  bahasa  yang
dikuasainnya.  Ketiga,  kedwibahasaan  sub-ordinat.  Fenomena  ini  terjadi  pada seseorang  atau  masyarakat  yang  menggunakan  dua  sistem  bahasa  atau  lebih
secara  terpisah,  biasanya  masih  terdapat  proses  penerjemahan.  Seseorang  yang bilingual  sub-ordinat  masih  cenderung  mencampur-adukkan  konsep-konsep
bahasa  pertama  ke  dalam  bahasa  yang  kedua  atau  bahasa  asing  yang  dipelajari. Kondisi  seperti  dijumpai  pada  siswa-siswi  Indonesia  yang  mempelajari  bahasa
asing tertentu. Multilingual  merupakan  hasil  dari  kontak  bahasa  pada  masyarakat  yang
terbuka  menerima  kedatangan  masyarakat  lain  sehingga  mereka  melakukan  alih kode dalam berbahasa.
Multiingualisme  pada  umumnya  dihubungkan  dengan  masyarakat multilingual,  masyarakat  yang  anggota-anggotanya  berkemampuan  atau  biasa
menggunakan  lebih  dari  satu  bahasa  bila  berkomunikasi  antar  sesama  anggota masyarakat.  Pemahaman terhadap masyarakat  multilingual  menghantar kita pada
pemahaman akan konsep multilingualisme, yakni gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kemampuan dan kebiasaan memakai lebih dari satu
bahasa. Harimurti Kridalaksana, 1982:112.
2.2.2 Campur Kode dan Alih Kode
Di antara sesama penutur yang bilingual atau multilingual, sering dijumpai suatu  gejala  yang  dapat  dipandang  sebagai  suatu  interferensi  berbahasa.
Fenomena ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu  kalimat  atau  wacana  bahasa  lain,  gejala  ini  disebut  campur  kode.  Campur
kode  adalah  penggunaan  lebih  dari  satu  bahasa  atau  kode  dalam  satu  wacana
Universitas Sumatera Utara
11 menurut  pola-pola  yang  masih  belum  jelas.  Di  I
ndonesia dikenal bahasa “gado- gado”  yang  diibaratkan  sebagai  sajian  gado-gado,  yakni  campuran  dari
bermacam-macam  sayuran.  Dengan  bahasa  gado-gado  dimaksudkan  penggunaan bahasa campuran bahasa Indonesia dengan salah satu bahasa daerah.
Campur  kode  pada  umumnya  hanya  terjadi  pada  situasi  berbahasa  tidak resmi  dan  didorong  oleh  motif  prestise.  Campur  kode  yang  diulas  di  atas  dapat
dibedakan  dengan  alih  kode,  yakni  peralihan  pemakaian  dari  satu  bahasa  atau dialek  ke  bahasa  atau  dialek  lainnya.  Alih  bahasa  ini  terjadi  karena  perubahan-
perubahan  sosiokultural  dalam  situasi  berbahasa.  Perubahan-perubahan  yang dimaksud adalah faktor-faktor seperti hubungan antara pembicara dan pendengar,
laras bahasa, tujuan berbicara, topik yang dibahas, waktu dan tempat berbincang. Alih kode pada hakikatnya merupakan pergantian pemakaian bahasa atau
dialek.  Rujukannya  ialah  komunitas  bahasa  dialek.  Para  penutur  yang  sedang beralih  kode  berasal  dari  minimum  dua  komunitas  dari  bahasa-bahasa  dialek
yang  sedang  di  praktekkan.  Sebaliknya  pergantian  alih  ragam  bukan  berarti bergantian  komunitas.  Alih  ragam  terjadi  dalam  bahasa  yang  sama,  karena
dorongan perubahan situasi berbicara, topik, status sosial, penutur dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alih kode bahasa atau dialek dilakukan
oleh dua pihak yang memilki dua komunitas bahasa yang sama. Konsep alih kode ini  mencakup  juga  peristiwa  pada  seorang  penutur  beralih  dari  satu  ragam
fungsiolek  misal,  ragam  santai  ke  ragam  lain  misal,  ragam  formal  atau  dari satu dialek ke dialek lain Nababan, 1993:31.
Universitas Sumatera Utara
12
2.2.3 Interferensi