BATAS-BATAS KEDAULATAN NEGARA PARADIGMA KEDAULATAN NEGARA

harus memiliki kebudayaan yang berkepribadian untuk menjaga agar eksistensinya tetap kokoh di tengah gempuran budaya-budaya asing. Ketiga kriteria kedualatan negara yang disebutkan oleh Soekarno seperti dijelaskan di atas merupakan syarat mutlak agar eksistensi negara dengan kedaulatannya tetap terjaga di tengah hegemoni globalisasi seperti yang terjadi saat ini. Globalisasi dengan implikasi negatif yang dibawanya benar-benar mengancam eksistensi kedaulatan negara dalam tiga bidang yang disebutkan oleh kriteria tersebut. Dalam bidang politik negara terancam dengan intervensi negara tertentu dalam mendesakkan kepentingannya, terutama dengan dalih menjaga ketertiban-keamanan dunia dan pengelolaan sumber daya alam. Dalam bidang ekonomi negara juga terancam dengan ekspansi modal besar-besaran yang tak mengenal batas negara dan cengkeraman perusahaan-perusahaan multinasionaltransnasional yang mengeruk sumber daya alamnya dengan dukungan lembaga-lembaga internasional yang sangat berpengaruh. Dan dalam bidang budaya, dengan dukungan kemajuan di bidang teknologi dan informasi, negara mendapat ancaman dari budaya asing yang bertentangan dengan budaya lokal yang mampu merangsek sampai ke pelosok suatu negara.

B. BATAS-BATAS KEDAULATAN NEGARA

Agar kekuasaan negara—dengan kedaulatannya—tidak menjadi absolut dan jelas, maka diperlukan pembatasan-pembatasan yang jelas. Pembatasan tersebut terjadi diberbagai aspek, seperti pada pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara yang tertuang dalam bentuk pemisahan atau pembagian kekuasaan, kemudian pembatasan kedaulatan pada wilayah kekuasaan suatu negara, dan pembatasan kedaulatan pada hukum dasar konstitusi, karena negara yang berdaulat biasanya selalu diiringi dengan bentuk negara yang berdasarkan hukum, seperti Indonesia. Hal pertama yang harus dibatasi adalah kepemilikan kekuasaan antar lembaga yang terdapat dalam negara. Pembatasan ini biasa disebut sebagai pemisahan atau pembagian kekuasaan. Doktrin mengenai pemisahan kekuasaan separation of power pertama kali dikemukakan oleh John Locke, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704, dalam buku Two Treaties On Civil Goverment. Dalam buku itu Locke menyebut bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam Trias Politica, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan federatif. 54 Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, misalnya raja dan presiden, sedangkan kekuasaan legislatif merupakan lembaga perumus undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental negara lainnya. Menurut Locke kekuasaan legislatif ini tidak bisa dialihkan kepada siapa pun atau lembaga manapun karena pada hakekatnya kekuasaan legislatif adalah manifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh parlemen yang merupakan pengejawantahan atau bentuk representasi semua kelas sosial masyarakat baik kaum bangsawan, orang-orang kaya maupun rakyat jelata. Kekuasaan suara di parlemen itu menurut Locke ditentukan oleh prinsip mayoritas. Mengenai kekuasaan federatif, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, 54 Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 48. perdamaian, liga dan aliansi antar negara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. 55 Dengan pemisahan kekuasaan seperti ini, Locke berharap penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa dapat dicegah, sekaligus menjamin hak-hak warga negara. Pemikiran Locke tentang pemisahan kekuasaan dikembangkan lebih lanjut oleh filsuf Prancis Montequieu 1689-1755 dalam bukunya L’Esprit Des Lois The Spirit of The Laws yang membagi Trias Politica dalam bentuk kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mengenai kekuasaan eksekutif dan legislatif, pandangan Montesquieu tidak berbeda dengan pendapat Locke, perbedaannya hanya pada kekuasaan yudikatif. Menurut Montesquieu kekuasaan yudikatif adalah lembaga yang tugas utamanya mengadili pelanggaran undang-undang. Konkritnya di Indonesia lembaga- lembaga tersebut adalah Presiden eksekutif, DPR legislatif, dan Mahkamah Agung yudikatif. Doktrin pemisahan kekuasaan ini terutama pandangan Montesquieu berlangsung di banyak negara pada masa sekarang, misalnya Amerika Serikat, sebagian besar negara di Eropa, Indonesia, dan lain-lain. Namun, seiring perkembangan zaman, penerapannya berbeda dengan konsep aslinya, artinya pemisahan kekuasaan antar ketiga lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak berjalan secara tegas dan banyak mengalami perkembangan atau tegasnya, menurut Miriam Budiarjo, telah bergeser menjadi pembagian kekuasaan division of powers . Misalnya seperti yang terjadi di Amerika, dengan asumsi bahwa kekuasaan yang terdapat dalam lembaga-lembaga negara tersebut bisa saja 55 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Jakarta: Gramedia, 2001, h. 203. diselewengkan oleh pemegang kekuasaannya, maka diperlukan sistem “checks and balaces” untuk membendung kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan tersebut. 56 Sistem ini menggambarkan bahwa setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya. Misalnya, presiden diberi wewenang untuk memveto rancangan undang-undang yang telah disepakati oleh Congress, akan tetapi dipihak lain veto ini dapat dibatalkan oleh Congress dengan dukungan 23 dari Majelis. Mahkamah Agung mengadakan check terhadap badan eksekutif dan badan legislatif melalui judicial review hak uji, dan di lain pihak Hakim Agung yang telah diangkat oleh badan eksekutif dapat diberhentikan oleh Congress jika ternyata melakukan tindakan kriminal. Praktek pembagian kekuasaan seperti di atas juga terjadi di Indonesia. Badan eksekutif di Indonesia tidak hanya bertindak sebagai pelaksana undang- undang atas persetujuan parlemen, tetapi juga bergerak dalam bidang legislatif, misalnya, menyusun rancangan undang-undang, membuat Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan sebagainya. Pemerintah juga berkecimpung di bidang yudikatif, misalnya memberi grasi, amnesti, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi. Pembatasan kedaulatan yang kedua adalah dalam bidang wilayah. Oleh karena dunia ini tidak hanya dihuni oleh satu negara tetapi banyak negara, maka masing-masing negara memiliki kedaulatan dalam wilayah yang dikuasai atau didiaminya. Untuk menciptakan ketertiban kepemilikan wilayah maka diaturlah 56 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.xxv Jakarta:Gramedia, 2003, h. 153. perjanjian internasional mengenai kedaulatan wilayah masing-masing negara, baik di wilayah darat, air, maupun udara. Pengaturan tegas mengenai batas wilayah ini menjadi penting karena wilayah merupakan tempat berlindung bagi rakyat sekaligus sebagai tempat bagi pemerintah untuk mengorganisir dan menyelenggarakan pemerintahan. Penentuan batas-batas suatu wilayah daratan, baik yang mencakup dua negara atau lebih, pada umumnya berbentuk perjanjian atau traktat. Misalnya: 1. Traktat antara Belanda dan Inggris pada tanggal 20 Juli 1891 menentukan batas wilayah Hindia Belanda di Pulau Kalimantan. 2. Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas tertentu dengan Papua Nugini yang ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1973. 57 Mengenai wilayah lautan, pada awalnya terdapat dua konsepsi pokok mengenai wilayah lautan, yaitu res nullius dan res communis. Res nullius adalah konsepsi yang menyatakan bahwa laut itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing- masing negara. Konsepsi ini dikembangkan oleh John Sheldon 1584-1654 dari Inggris dalam buku Mare Clausum atau The Right and Dominion of The Sea. Sedangkan Res communis adalah konsepsi yang beranggapan bahwa laut itu adalah milik masyarakat dunia sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara. Konsepsi ini kemudian dikembangkan oleh Grotius dari Belanda pada tahun 1608 dalam buku Mare Liberum laut bebas. Karena konsepsi inilah, kemudian Grotius dianggap sebagai bapak hukum internasional. 58 57 Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 21. 58 Ibid., h. 21. Dewasa ini, masalah wilayah lautan telah memperoleh dasar hukum, yaitu Konferensi Hukum Laut Internasional III tahun 1982 yang diselenggarakan oleh PBB atau United Nations Conference on The Law of The Sea UNCLOS di Jamaica. Konferensi PBB itu ditandatangani oleh 119 peserta dari 117 negara dan 2 organisasi kebangsaan di dunia tanggal 10 Desember 1982. Dalam bentuk traktat multilateral, batas-batas laut terinci sebagai berikut. 59 a Batas Laut Teritorial Setiap negara mempunyai kedaulatan atas laut teritorial yang jaraknya sampai 12 mil laut, diukur dari garis lurus yang ditarik dari pantai. b Batas Zona Bersebelahan Sejauh 12 mil laut di luar batas laut teritorial atau 24 mil dari pantai adalah batas zona bersebelahan. Di dalam wilayah ini negara pantai dapat mengambil tindakan dan menghukum pihak-pihak yang melanggar undang- undang bea-cukai, fiskal, imigrasi, dan ketertiban negara. c Batas Zona Ekonomi Eksklusif ZEE ZEE adalah wilayah laut dari suatu negara pantai yang batasnya 200 mil laut diukur dari pantai. Di dalam wilayah ini, negara pantai yang bersangkutan berhak menggali kekayaan alam lautan serta melakukan kegiatan ekonomi tertentu. Negara lain bebas berlayar atau terbang di atas wilayah itu, serta bebas pula memasang kabel dan pipa di bawah lautan itu. Negara pantai yang bersangkutan berhak menangkap nelayan asing yang kedapatan menangkap ikan dalam ZEE-nya. d Batas Landas Benua 59 Ibid., h. 22. Landas benua adalah wilayah lautan suatu negara yang lebih dari 200 mil laut. Dalam wilayah ini negara pantai boleh mengadakan eksplorasi dan eksploitasi, dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat internasional. Sedangkan untuk masalah wilayah udara pada saat ini belum ada kesepakatan di forum internasional mengenai kedaulatan di ruang udara. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang kemudian diganti oleh pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan eksklusif di ruang udara di atas wilayahnya, artinya negara berhak mengadakan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah udaranya, misalnya untuk kepentingan radio, satelit, dan penerbangan. Mengenai ruang udara air space, di kalangan para ahli masih terjadi silang pendapat karena berkaitan dengan batas jarak ketinggian di ruang udara yang sulit diukur. Sebagai contoh, Indonesia, menurut undang-undang no. 20 tahun 1982 menyatakan bahwa wilayah kedaulatan dirgantara yang termasuk orbit geo-stationer adalah 35.761 km. 60 Para ahli yang berbeda pendapat mengenai batas wilayah udara di antaranya adalah Lee, Von Holzen Dorf, dan Henrich’s yang masing-masing berpendapat: 61 1. Lee Ia berpendapat bahwa lapisan atmosfir dalam jarak tembak meriam yang dipasang di darat dianggap sama dengan udara teritorial negara. Di luar jarak tembak itu, harus dinyataka sebagai udara bebas, dalam arti dapat dilalui oleh semua pesawat udara negara manapun. 2. Von Holzen Dorf 60 Ibid. , h. 23. 61 Ibid. Ia menyatakan bahwa ketinggian ruang udara adalah 1.000 meter dari titik permukaan bumi yang tertinggi. 3. Henrich’s Ia menyatakan bahwa negara dapat berdaulat di ruang atmosfir selama masih terdapat gas atau partikel-partikel udara atau pada ketinggian 196 mil. Di luar atmosfir, negara sudah tidak lagi mempunyai kedaulatan. Batasan kedaulatan negara selanjutnya adalah melalui hukum konstitusi, pembatasan oleh hukum seperti ini terjadi pada negara yang berdasar atas hukum rechtsstaat, artinya negara dalam melaksanakan akstivitasnya penyelenggaraan pemerintahannya tidak boleh berdasarkan atas kekuasaan belaka tetapi harus berdasarkan pada hukum yang berlaku. Kata konstitusi berasal dari bahasa Prancis Constitur yang berarti membentuk. Dalam bahasa Belanda istilah konstitusi dikenal dengan istilah Grondwet, yang berarti undang-undang dasar. Sedangkan di Jerman dikenal dengan istilah Grundgesetz, yang juga berarti undang-undang dasar. Secara terminologi Konstitusi berarti sejumlah aturan-aturan dasar dan ketentuan- ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk dasar hubungan kerja sama antara negara dan masyarakat rakyat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. 62 Konstitusi juga dapat dipahami sebagai bagian dari social contract kontrak sosial yang memuat aturan main dalam berbangsa dan bernegara antara rakyat dan negara, di 62 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, h. 91- 90. dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban rakyatwarga negara dan alat- alat pemerintahan negara. Seperti sudah disinggung di atas bahwa konstitusi berfungsi untuk memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik. Namun selain itu, konstitusi juga berfungsi untuk menjamin hak-hak warganegara, seperti yang dikatakan oleh Miriam Budiarjo: “Undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.” 63 Selain sebagai pembatasan terhadap kekuasaan negara dan cerminan bagi terjaminnya hak-hak warganegara, konstitusi juga berfungsi sebagai gambaran ruang lingkup kedaulatan negara. Konstitusi negara Indonesia yang kemudian dikenal dengan Undang-undang Dasar 1945, menggambar ketiga fungsi tersebut.

C. Kedaulatan Negara di dalam Konstitusi