BAB IV PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP  KEDAULATAN
NEGARA INDONESIA
A.  Globalisasi dan Peminggiran Peran Negara
Pada  era  globalisasi  ini  negara  dituntut  harus  melakukan  kebijakan deregulasi, melakukan liberalisasi ekonomi, membuka selebar-lebarnya jalan bagi
investasi  asing,  menurunkan  tarif  impor,  dan  melakukan  privatisasi.  Tuntutan- tuntutan  tersebut  sebenarnya  mengarah  kepada  minimalnya  peran  negara  karena
doktrin  ekonomi-politik  yang  dibangun  pada  era  globalisasi  ini  adalah  doktrin ideologi  neoliberalisme  yang  memandang  pertumbuhan  ekonomi  suatu  negara
hanya akan terjadi jika negara membuka pasar selebar-lebarnya bagi investasi dan negara  tidak  ikut  campur  dalam  perekonomian  biarkan  pasar  yang  menentukan
pasar bebas. Teori  mengenai  mekanisme  pasar  bebas  ini  sebenarnya  pertama  kali
dicetuskan  oleh  Adam  Smith  melalui  teori  “absolute  advantage”  yang dikemukakannya  dalam  buku  The  Wealth  of  Nation.  Smith  mengajarkan  bahwa
semua  bangsa  akan  mendapat  untung  jika  mengadakan  perdagangan  dan mendukung  kebijakan  laissez  faire  pasar  bebas.  Perdagangan  bebas  akan
membuat  sumberdaya  dunia  dipakai  secara  amat  efisien  dan  dengan  demikian akan  menghasilkan  kesejahteraan  dunia  secara  maksimal.  Selanjutnya  pemikirin
Smith  ini  dikembangkan  oleh  David  Ricardo  dengan  teori  “comparative advantage”
dalam bukunya Principles of Political Economy and Taxation 1817, dengan  teorinya  ini  Ricardo  berpendapat  bahwa,  karena  setiap  negara  pasti
memiliki  keunggulan  dalam  hal  produksi  yang  berbeda  dengan  negara  lainnya, maka alangkah lebih baik jika masing-masing negara mengonsentrasikan produksi
pada produk-produk unggulan tersebut dan kemudian, untuk mendapatkan produk lain,  negara  melakukan  perdagangan  dengan  negara  lainnya  yang  memiliki
keunggulan produk yang berbeda.
68
Perkembangan selanjutnya dari perkembangan perdagangan bebas ini adalah munculnya  teori  “competitive  advantage”  yang  dituangkan  oleh  Michael  Porter
dalam  bukunya  The  Competitive  Advantage  of  Nation  1990.  Dalam  teori  ini, negara  tidak  hanya  berdagang  tetapi  juga  bersaing.  Kalau  sebuah  negara  ingin
memperoleh kemakmuran diukur dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, ia harus bersaing  dengan  negara-negara  lain  untuk  merayu  modal  yang  dimiliki  oleh
perusahaan-perusahaan multinasional  yang  jumlahnya terbatas itu. Dalam rangka persaingan  inilah  negara  berlomba  mengurangi  hambatan  untuk  terjadinya
perdagangan bebas
maupun masuknya
investor,  dan  sekaligus juga
mengembangkan  kekayaan  yang  dimilikinya  seperti  struktur  ekonomi  nasional, nilai-nilai, kultur, dan sejarah bangsa.
I.  Wibowo  berpendapat  bahwa  teori  competitive  advantage  merupakan revisi  radikal  terhadap  teori  comparative  advantage  karena  dalam  teori  baru  itu
negara  tidak  hanya  harus  membuka  pasar,  tetapi  juga  menyediakan  fasilitas- fasilitas untuk menarik modal yang dimiliki oleh para investor, terutama investor
68
Ricardo  mencohtohkan  Inggris dan Portugal.  Inggris  yang menjadi penghasil wool ulung lebih baik tidak mencoba untuk memproduksi anggur yang menjadi keunggulan Portugal. Inggris
tetap menjadi penghasil wool, dan Portugal penghasil anggur. Keduanya akan menikmati wool dan anggur dengan kualitas unggul, kalau keduanya melakukan perdagangan. Lihat I. Wibowo, “Emoh
Negara: Neoliberalisme dan  Kampanye Anti Negara,” dalam  I. Wibowo  Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme
Yogyakarta: Cinderalas, 2003, h. 279. Lihat juga dalam Halwani, Ibid., h. 203.
global.
69
Implikasi  serius  dari  teori  ini  adalah  bahwa  negara  harus  semakin mundur dari  kegiatan  intervensinya  dalam  ekonomi,  terutama  di  bidang  regulasi
dan  redistribusi  kekayaan.  Karena  pendapatan  negara  dari  pajak  menurun, implikasi lebih jauh adalah dikuranginya alokasi dana untuk kesejahteraan sosial.
Teori inilah yang kemudian menjadi landasan bagi perdagangan bebas yang pada era globalisasi ini berlangsung semakin massif.
Teori-teori  mengenai  pasar  bebas  inilah  yang  menjadi  landasan  bagi peminggiran peran negara. Pasar harus berkuasa dan negara harus minggir. Ajaran
bahwa pasar harus bebas di mana-mana dengan  menggunduli  negara  inilah  yang menjelma menjadi ajaran “neoliberalisme” yang sekaligus juga menjadi dasar bagi
globalisasi. Negara memang tidak sepenuhnya hilang, tetapi ia masih diperlukan, setidaknya  untuk  menyediakan  infrastruktur,  menjamin  penegakan  hukum,  dan
menjamin keamanan. Gejala peminggiran  negara  ini telah menimpa beberapa negara Barat,  yaitu
Inggris  dan  Amerika  Serikat  pada  tahun  1970-an,  dan  semakin  menguat  sejak ambruknya  Uni  Soviet  dan  Blok  Timur,  termasuk  Cina.  Peminggiran  negara
melanda  Inggris  sejak  naiknya  Margaret  Thacther,  sang  Iron  Lady,  ke  kursi Perdana  Menteri  pada  tahun  1979.  Negara  yang  telah  menjalankan  kebijakan
untuk  kesejahteraan rakyat  welfare  dikecam  dan  dikritik.  Mulai  tahun  1980-an dan seterusnya, di Inggris terjadilah privatisasi perusahaan-perusahaan negara dan
pemangkasan  kebijakan  kesejahteraan  welfare  policy.  Pada  tahun  1991 menjelang  akhir  pemerintahan  partai  konservatif  sebagian  besar  keperluan
umum  telekomunikasi,  gas,  bandara,  air,  dan  listrik  ditambah  perusahaan-
69
Ibid., h. 280.
perusahaan  besar  yang  semula  dikendalikan  oleh  pemerintah  seperti  BP,  Cable and  Wireless
,  Jaguar,  dan  sebagainya  sudah  diprivatisasikan  semua.  Ada seluruhnya  empat  wilayah  dari  welfare  policy: pelayanan  kesehatan,  pendidikan,
santunan  penganggur,  dan  pensiun  hari  tua,  semuanya  mengalami  pemangkasan oleh  Thacher,  diteruskan  oleh  Jhon  Major,  bahkan  oleh  Tony  Blair  dari  Partai
Buruh.
70
Negara  harus  mundur  dari  semua  keterlibatan  di  bidang-bidang  tersebut karena dianggap sebagai biang keladi merosotnya pertumbuhan ekonomi, inflasi,
defisit  belanja  negara,  dan  seterusnya.  Inilah  negara  tempat  lahir  ekonom kondang,  Jhon  Maynard  Keynes,  yang  mengajarkan  pentingnya  peran  negara
dalam  ekonomi,  tetapi  justru  di  Inggris  dimulailah  gerakan  menggunduli  peran negara.  Inggris  yang  selalu  menjadi  percontohan  dari  lahirnya  sebuah  welfare
state ,  tidak  dinyana-nyana  juga  menjadi  negara  yang  memelopori  pembubaran
welfare state. Kepeloporan Inggris ini bergema ke negara-negara di daratan Eropa. Prancis
dan  Italia,  kemudian  Jerman  juga  menyusul  dan  menjiplak  kebijakan  yang diterapkan di Inggris. Mereka beramai-ramai mengadakan privatisasi, mengurangi
subsidi,  menurunkan  pajak  perusahaan,  dan  sebagainya.  Jumlah  pegawai  negeri dikurangi  hingga  ke  tingkat  minimal.  Negara  dirampingkan,  defisit  dikurangi.
Pengusaha swasta, termasuk pengusaha swasta internasional, diberi ruang seluas- luasnya untuk beroperasi.
71
Entah  kebetulan  entah  tidak,  di  seberang  Lautan  Atlantik,  di  Amerika Serikat,  muncul  Ronald  Reagan  sebagai  presiden,  yang  tidak  kalah  agresif
70
Ibid., h. 269.
71
Noreena  Herzt,  Perampok  Negara  Kuasa  Kapitalisme  Global  dan  Matinya  Demokrasi. Penerjemah M. Mustafied Yogyakarta: Alenia, 2005, h. 17-47.
dibandingkan  Margaret  Thacher  dalam  gerakan  menolak  negara.  Pengeluaran untuk kesejahteraan dikurangi, kecuali program-program untuk orang usia lanjut.
Hambatan  perdagangan  dikurangi  atau  dibuang  sama  sekali,  semacam  subsidi disingkirkan  kecuali  subsidi  pertanian  akibat  krisis  pertanian  tahun  1984-1985.
Regulasi  terhadap  bisnis  dikurangi,  kecuali  untuk  pabrik  senjata.  Sementara  itu pajak  pada  orang-orang  kaya  diturunkan  secara  dramatis  pada  tahun  1982  dan
1987.
72
Pada  belahan  bumi  yang  lain,  pada  waktu  yang  kurang  lebih  sama,  sejak tahun  1980  negara  Cina  juga  melancarkan  usaha  besar-besaran  untuk  melucuti
negara.  Tokohnya  adalah  Deng  Xiaoping,  seorang  yang  oleh  Mao  Zedong dikatakan  sebagai  “pejalan  kapitalis  no.  2.”  Ramalan  ini  tidak  meleset  karena
sejak  tahun  itu  hingga  hari  ini  Cina  menganut  sistem  ekonomi  terencana  pusat selama  30  tahun,  secara  konsisten,  setapak  demi  setapak,  mengurangi  peran
negara, memberi kebebasan berusaha kepada pengusaha swasta. Negara tidak lagi membuat perencanaan terpusat terhadap ekonomi, tidak menentukan harga barang
maupun  jasa,  tidak  memegang  monopoli  dalam  produksi  barang.  Perusahaan swasta  bermunculan,  juga  perusahaan  swasta  asing.  Ekonomi  Cina  yang  lama
dilindungi  oleh  dinding  proteksionisme  yang  tinggi  kini  terbuka  terhadap perdagangan  internasional.  Seperti  di  Eropa dan  Amerika  Serikat,  subsidi  untuk
welfare menyusut drastis.
Tidak lama sesudah Cina, gurunya,  Uni Soviet, tidak malu mengikuti jejak dalam  mempreteli  negara  dari  perannya  di  bidang  ekonomi.  Gorbachev
merupakan tokoh sentral. Rencana semula cuma mengadakan reformasi ekonomi,
72
I. Wibowo, “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti Negara,” h. 269.
ternyata  berubah  menjadi  ambruknya  seluruh  sistem  politik.  Pada  tahun  1991 sistem  komunisme  bubar  di  Uni  Soviet,  dan  diganti  dengan  sistem  kapitalisme.
Seperti di Cina perdagangan internasional menerobos masuk pasar Rusia.
73
Tetapi dua tahun sebelum Uni Soviet, sistem komunisme sudah berguguran di  negara-negara  Eropa  Timur  yang  menjadi  negara  satelit  Uni  Soviet.  Mulai
dengan Polandia, negara-negara  lainnya menyusul satu persatu mengganti sistem komunisme  dengan  sistem  kapitalisme.  Secara  ideologis  peristiwa  ini  sering
dirayakan  sebagai  kemenangan  sebuah  sistem atas  sistem  tandingan,  tetapi  sama dengan  yang  terjadi  di  Amerika  Serikat  maupun  Eropa,  inilah  saat  “negara”
dijadikan  kambing  hitam  atas  kegagalan  ekonomi.  Bersama-sama  mereka
menyatakan “anti negara.”
Aktor-aktor  yang  menjadi  juru  kampanye  paling  meyakinkan  dari  ajaran pasar  bebas  dan  kemudian  anti-negara  ini  antara  lain  adalah  World  Bank,  IMF,
WTO, dan negara-negara Baratmaju. Kesemuanya merupakan aktor globalisasi. World  Bank,  dengan  statusnya  sebagai  institusi  keuangan  terkemuka  di
dunia,  memberi  nasehat  kepada  negara  untuk  mengambil  sikap  yang  investor friendly
seperti mengurangi aneka hambatan, termasuk hambatan yang datang dari serikat-serikat  buruh.  Mengenai  masalah  buruh, World  Bank  mengingatkan  agar
negara  tidak  melakukan  tawar-menawar  dengan  mereka  pada  tingkat  nasional, sektoral, atau industrial. Kalau serikat buruh ingin memperjuangkan haknya, maka
mereka  sebaiknya  mengadakan  bergaining  pada  tingkat  perusahaan  saja.  Yang penting negara tidak mempengaruhi jalannya mekanisme pasar bebas.
73
Ibid., h. 270.
Sedangkan yang dilakukan IMF untuk mengikis peran negara adalah dengan menuntut “structural adjustment programme” atau program penyesuaian strutural
kepada  negara  pengutang.  Program  tersebut  terdiri  dari  tiga  hal:  liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Banyak negara tidak bisa mengelak dari
tuntutan ini karena dalam keadaan tak berdaya, dan ini menjadi cara paling efektif untuk mengikis peran negara sampai ke tingkat paling minimal.
WTO,  sebagai  institusi  yang  langsung  berkepentingan  dengan  masalah perdagangan  dan  investasi,  mati-matian  memperjuangkan  agar  asas  perdagangan
bebas  dilaksanakan  oleh  negara-negara  anggotanya  maupun  oleh  negara  calon anggota.  WTO  sangat  berperan  untuk  membongkar  dinding  proteksionisme  dan
melucuti  semua  subsidi  yang  diberikan  oleh  negara.  Bagi  WTO,  semua  aktor ekonomi  tidak  boleh  mendapat  pertolongan  dari  negara,  negara  harus  minggir.
Mereka harus bersaing di pasar bebas dunia. Kalau desakan untuk meminggirkan negara oleh institusi multilateral masih
tidak  cukup  kuat,  maka  tugas  yang sama  diambil  alih oleh  negara  Barat.  Modus desakan yang dilakukan oleh negara Barat ini adalah dengan memberikan bantuan
utang  yang  disertai  dengan  beberapa  syarat.  Misalnya,  bantuan  ekonomi Amerika  serikat  lewat  Alliance  for  Progress  didirikan  1961  diberikan  dengan
syarat  bahwa  negara  penerima  utang  akan  mengadakan  pembaruan  di  bidang sosial  dan  politik.  Dengan  kata  lain,  bantuan  yang  diberikan  mensyaratkan  apa
yang disebut “political conditionality.” Artinya, harus ada perubahan politik dan pemerintahan  sebagai  syarat  diberikan  bantuan  untuk  pembangunan.  Ini  berarti
perubahan  ke  arah  demokratisasi  dan  meningkatkan  hak-hak  asasi  manusia,  dan berarti dijalankannya “good governance.”
“Good  governance” berarti  administrasi  yang  sehat,  dan  sekaligus  juga
politik yang demokratis, plus serangkaian keutamaan yang non-ekonomis, seperti kesamaan,  keseimbangan  jender,  menghormati  hukum,  toleransi  sosial,  kultural,
dan  individual.  Tapi  dibalik  deskripsi  ini,  sebenarnya  terselip  teori  politik  kaum neoliberal  yang  mengatakan  bahwa  politik  yang  demokratis  serta  birokrasi  yang
ramping,  efisien  dan akuntabel,  itu perlu bagi  berkembangnya  pasar  bebas.  Ahli pembangunan  yang  beraliran  neolib  memang  percaya  bahwa  kegagalan
pembangunan merupakan konsekuensi langsung dari pemerintah yang otoriter dan governance
yang  amburadul.  Semuanya  itu  mereka  katakan  berakar  dari konsentrasi kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik secara berlebihan di tangan
negara.  Jadi,  tuntutan  akan  good  governance  yang  semula  nampak  sebagai tuntutan  netral,  menjadi  sebuah  tuntutan  yang  bermuatan  agenda  neoliberal:
meminggirkan negara.
74
Contoh  kasus  dari  proses  peminggiran  negara  di  Indonesia  adalah  seperti yang terjadi dalam hal pengaturan kebijakan ketahanan pangan. Lewat LoI Letter
of  Intent Oktober  1997  dan  MEFP  Memorandum  of  Economic  and  Financial
Policies 11  September 1998,  IMF  menuntut diberlakukannya  tariff  impor beras
sebesar 0. Ini  juga berlaku bagi  jagung,  kedele, tepung terigu dan  gula. Selain itu LoI juga mengatur agar BULOG tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan
dan  agar  melepaskannya  ke  mekanisme  pasar.  BULOG  dibatasi  menjadi  sebatas pedagang  beras,  itupun  harus  bersaing  dengan  pedagang  swasta.  Demikian  pula
BULOG  harus  mengambil  pinjaman  dari  bank  komersial,  tidak  lagi  dari  dana BLBI  yang  sangat  ringan.  Liberalisasi  juga  telah  diberlakukan  dalam  hal  harga
74
Ibid, h. 285.
pupuk  dan  sarana  produksi  padi  lainnya  yang  tidak  lagi  disubsidi  pemerintah, melainkan diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara  itu subsidi petani lewat
KUT  kredit  usaha tani  hanya  sebesar  Rp  1,8  trilyun  bandingkan  dengan  dana BLBI.  Dengan  demikian  kini  petani  menghadapi  harga  produksi  yang  mahal,
sementara  harga  jual  padi  hancur.  Liberalisasi  pertanian  sebenarnya  juga  bagian dari  ratifikasi  Indonesia  atas  Agreement  on  Agriculture  AOA dari  WTO,  yang
mengatur penghapusan dan pengurangan tarif serta pengurangan subsidi.
75
Sejak itu masuklah secara besar-besaran impor beras dari luar dengan harga lebih murah dari beras hasil petani lokal. BULOG dan pihak swasta kini berlomba
untuk mendatangkan beras dari mancanegara. HKTI mencatat bahwa hingga akhir Maret 2000, beras impor  yang masuk ke  Indonesia mencapai 9,8 juta ton, 6 juta
ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahal produksi beras dalam  negeri sekitar 30  juta  ton,  sementara  kebutuhan  nasional  diperkirakan  mencapai  32  juta  ton;
sehingga  sebenarnya  Indonesia  hanya  membutuhkan  impor  2  juta  ton.  Karena jeritan  para  petani  dan  kritik  yang  berdatangan,  akhirnya  bea  masuk  impor
dinaikkan  menjadi  30,  itupun  semula  IMF  berkeberatan.  Akan  tetapi  ternyata hal  ini  tetap  bukan  penghalang  bagi  importir  untuk  mengimpor  beras  dari
Thailand, Vietnam dan Australia dengan tetap meraih untung. Harga beras impor dari Thailand misalnya, setelah keluar dari Tanjung Priok dijual Rp 1.600kg, dan
beras  dari  Australia  dijual  Rp  1.400kg;  dan  tetap  masih  meraih  laba  sekitar  Rp 600.  Meskipun  kemudian  pemerintah  menghentikan  impor  beras  pada  Maret
2000,  ternyata  belum  dapat  mengangkat  harga  gabah  di  tingkat  petani.  Beras impor  terus  saja  masuk  dengan  deras.  Akibatnya  yang  parah,  adalah  harga  padi
75
Bonnie  Setiawan,  “Globalisasi  Dan  Pengaruhnya  Terhadap  Ekonomi  Indonesia  Dan Kritiknya,”
artikel diakses
pada 21
Oktober 2008
dari situs
Http:Www.Icrp- Online.OrgWmview.Php?Artid=170Page=20
lokal  terus  merosot  tajam,  sehingga  kini  hanya  mencapai  sekitar  Rp  600kg. Padahal  harga  pupuk  sudah  sekitar  Rp  700kg.  Inilah  awal  dimulainya  tragedi
kehancuran ketahanan pangan Indonesia, bila tidak ada langkah-langkah protektif dengan segera. Petani pedesaan mengalami kebangkrutan dan akan menyebabkan
kerawanan  ekonomi  masyarakat  pedesaan  yang  tak  terkira.  Dengan  liberalisasi pertanian ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh TNC dan importir
besar.
76
B.  Globalisasi Sebagai Bentuk Neo-Imperialisme