modal dan bursa dunia dibandingkan sebagai alat produksi. Ketiga, dampak yang ditimbulkan oleh aktifitas aliran modal tersebut menyentuh sektor-sektor riil dan
perdagangan. Dalam situasi seperti ini, kaum kapitalis dapat mengeruk keuntungan yang besar dari aktifitas spekulasi tanpa menanggung resiko atau
beban yang selama ini dipikul dunia industri dan perdagangan dalam menghadapi red-tape
birokrasi, pemogokan buruh, dan semacamnya. Bila para petualang pasar modal ini melihat kerugian yang mungkin akan timbul, maka kaum kapitalis ini
dapat dengan mudah memindahkan modal mereka ke pasar modal di negara- negara lainnya yang lebih menguntungkan. Keempat, kekuatan pasar secara
efektif telah mentransformasikan negara menjadi komoditi yang menarik bagi penanaman investasi, sehingga semuanya itu meningkatkan tingkat investasi.
82
Ekses negatif lainnya dari fenomena arus finansial global ini adalah ruang gerak dan campur tangan pemerintah nasional semakin berkurang karena negara
diperlemah oleh tumbuhnya kekuatan perusahaan multinasional dan para pemilik modal. Kekuasaan tidak lagi menjadi monopoli negara, tetapi berpindah dan
tumbuh semakin kuat pada perusahaan-perusahaan mulitinasional MNCTNC.
1. Intervensi Asing Utang
Bentuk imperialisme yang dialami oleh Indonesia adalah adanya campur tangan asing dalam proses pengambilan kebijakan negara. Intervensi asing ini
terjadi melalui berbagai cara, misalnya, dengan memberikan masukan dan ide langsung melalui beberapa ahlinya dan LSM-LSM dalam proses pengambilan
kebijakan atau amandemen undang-undang sebuah negara, dan melalui utang.
82
Budi Winarno, Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia, h. 5.
Cara yang pertama terjadi di Indonesia ketika berlangsungnya amandemen UUD 1945 tahun 2002, hal ini seperti yang diakui oleh DR. Valina Singka
Subekti anggota Panitia Ad Hoc I MPR RI 1999-2004. Ketika itu beberapa LSM, baik dalam negeri maupun asing seperti Cetro, Koalisi Perempuan
Indonesia, IDEA, IFES, NDI, dll, memberi masukan secara langsung dan giat membangun wacana publik dan meramaikannya di media massa tentang
demokratisasi, hak asasi manusia, liberalisasi ekonomi, dan lain sebagainya. Bahkan Andrew Ellis konsultan ahli NDI selalu hadir dalam setiap rapat Panitia
Ad Hoc I MPR dan aktif memberi masukan, buku-buku, dan makalah-makalah terkait pentingnya amandemen UUD 1945 kepada para anggota panitia tersebut.
83
Lalu mengenai masalah utang, Teresa Hayter, seperti dikutip Revrisond Baswir, berdasarkan hasil penelitiannya yang dibiayai Bank Dunia di empat
negara Amerika Latin: Columbia, Chile, Brazil, dan Peru, secara tegas menyimpulkan bahwa “utang luar negeri pada dasarnya bukanlah transfer
sumberdaya yang bebas persyaratan.” Menurut Hayter, hal-hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri meliputi: a pembelian barang
dan jasa dari negara pemberi pinjaman; b peniadaan kebebasan dalam melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, nasionalisasi perusahaan asing;
c permintaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi “yang dikehendaki”, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur
tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi.
84
83
Usep Ranawijaya, dkk. Ancaman Terhadap Jatidiri Bangsa Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2008, h. 83-86.
84
Revrisond Baswir, “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia,” Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif
Pembangunan Ekonomi Indonesia Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006, h. 2.
Selanjutnya, ketika berbicara mengenai IMF, Bank Dunia, dan USAID, Hayter secara jelas menyatakan bahwa sudut pandang ketiga lembaga itu dalam
menetapkan syarat pemberian pinjaman cenderung seragam. Fokus kebijakan ketiganya, terutama IMF dan Bank Dunia, senantiasa mengarah pada
pengendalian inflasi serta perintah untuk memotong investasi publik dan belanja kesejahteraan. Menurut Hayter, faktor utama di balik kecenderungan tersebut
adalah posisi dominan Amerika Serikat pada ketiga lembaga itu. Implikasinya, walaupun tidak dinyatakan secara terbuka, dalam memberikan pinjaman,
ketiganya tidak hanya mengevaluasi proyek yang akan mereka biayai, tetapi juga negara yang akan menerima pinjaman tersebut.
Kesimpulan Hayter itu belakangan dipertegas oleh Hudson. Menurut Hudson tujuan pemberian pinjaman oleh Amerika sejak 1960 memang tidak
dimaksudkan untuk membantu negara-negara penerima pinjaman, melainkan untuk meringankan tekanan terhadap neraca pembayaran negara tersebut.
Kebijakan itu erat kaitannya dengan upaya pemerintah Amerika untuk mensubsidi peningkatan ekspor berbagai barang dan jasa mereka ke seluruh penjuru dunia.
85
Dalam rangka itu, sebagaimana diakui oleh John Perkins, Amerika tidak hanya ingin bekerja melalui mekanisme hubungan ekonomi-politik biasa.
Amerika secara terstruktur mengembangkan sebuah profesi yang dikenal sebagai preman ekonomi economic of hitman, yang bernaung di bawah Badan
Keamanan Nasional NSA Amerika, yang secara khusus bertugas untuk membangkrutkan negara-negara dunia ketiga.
86
85
Ibid., h. 3.
86
John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man. Penerjemah Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani Jakarta: Abdi Tandor, 2005, h. 3-32.
Tiga catatan penting yang perlu diangkat ke permukaan mengenai keberadaan preman ekonomi itu adalah sebagai berikut. Pertama, preman
ekonomi bekerja di bawah Koordinasi Badan Keamanan Nasional The National Security Agency
. Walaupun secara resmi para ekonom penjajah direkrut, dilatih, dan bekerja di bawah koordinasi NSA, tetapi secara operasional mereka
dipekerjakan secara terselubung melalui perusahaan-perusahaan swasta Amerika. Perkins antara lain menyebut perusahaan-perusahaan seperti Monsanto, General
Electric, Nike, General Motors, dan Wal-Mart, sebagai beberapa contoh. Kedua
, misi para preman ekonomi adalah memperoleh komitmen para pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berbelanja secara kredit ke Amerika.
Dalam menjalankan misinya, seorang preman ekonomi diperkenankan melakukan apa pun, termasuk melakukan cara-cara ilegal. Target mereka adalah mendorong
para pejabat negara-negara Dunia Ketiga untuk berutang sebanyak-banyaknya, sehingga negara mereka tidak mampu membayarnya. Kata-kata Perkins di bawah
ini setidaknya menggambarkan hal tersebut: “Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek tersebut ialah
membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima utang yang sudah
kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing. Dengan demikian ketergantungan keuangan negara penerima utang menjadi permanen sebagai
instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari pemerintah-pemerintah penerima utang. Maka semakin besar jumlah utang semakin baik. Kenyataan
bahwa beban utang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial
lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam pertimbangan.”
87
Ketiga , kegagalan para preman ekonomi bukanlah akhir dari upaya
pemerintah Amerika dalam mewujudkan dominasinya. Dua hal dapat terjadi
87
Ibid., h. 15-16.
menyusul kegagalan tersebut. Pertama, berlangsungnya operasi CIA, yaitu yang ditandai oleh terjadinya berbagai peristiwa yang mengarah pada penggulingan
atau pembinasaan seorang pejabat negara Dunia Ketiga. Kedua, penaklukan negara-negara Dunia Ketiga yang bersangkutan melalui operasi militer.
88
Menarik untuk menyimak sejarah masuknya dominasi asing ke Indonesia sejak era Soeharto sebagai bentuk imperialisme. Dengan naiknya Soeharto
sebagai penguasa baru di Indonesia 1966, sikap pemerintah terhadap utang luar negeri berubah secara drastis. Hal itu tidak hanya tampak pada strategi
pembangunan yang dijalankannya, atau pada jumlah utang baru yang dibuatnya, tetapi terutama tampak secara mencolok pada berbagai tindakan yang
dilakukannya dalam memulihkan kondisi ekonomi Indonesia. Beberapa tindakan yang dilakukan Soeharto dalam memulihkan kondisi
ekonomi Indonesia adalah sebagai berikut: pertama, memperbaiki hubungan dengan para kreditor, terutama negara-negara blok Barat dan lembaga-lembaga
keuangan multirateral. Tujuannya adalah untuk memperoleh utang luar negeri baru dan meminta penjadwalan kembali pembayaran utang luar negeri yang
diwariskan Soekarno. Hasil yang diperolehnya adalah sebagai berikut. Pertama,
menyusul pertemuan negara-negara kreditor blok Barat di Tokyo pada September 1966, yang dikenal sebagai the Paris Club, bulan Oktober 1966
Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima pinjaman siaga sebesar 174 juta dollar AS. Selanjutnya, menyusul pertemuan serupa di Paris pada Desember
1966, Indonesia memperoleh komitmen untuk menerima tambahan pinjaman sebesar 375 juta dollar AS.
88
Ibid. 3-32.
Setelah itu, menyusul pertemuan kelompok Paris di Amsterdam pada Februari 1967, yang sekaligus menandai lahirnya Inter-Govermental Group on
Indonesia IGGI, Indonesia kembali memperoleh komitmen pinjaman siaga
sebesar 95,5 juta dollar AS. Adapun penjadwalan kembali pembayaran utang luar negeri Indonesia, dengan negara-negara blok Barat, baru disepakati tahun 1970.
Sedangkan dengan negara-negara blok Timur disepakati tahun 1971 dan 1972. Pendaftaran kembali keanggotaan Indonesia pada lembaga-lembaga
keuangan multirateral, berlangsung secara bertahap pada tahun 1967. Pendaftaran kembali ke IMF berlangsung bulan Februari 1967. Pendaftaran kembali ke Bank
Dunia berlangsung bulan Mei 1967. Sedangkan pendaftaran keanggotaan ke ADB berlangsung bersamaan dengan pendirian lembaga tersebut tahun 1968.
89
Kedua ,
melanjutkan pelaksanaan
program stabilisasi
IMF serta
mengeluarkan kebijakan ekonomi yang lebih bersahabat dengan sektor swasta dan investasi asing. Sebagaimana diketahui, sesuai dengan persyaratan utang luar
negeri yang diminta Amerika, pelaksanaan program stabilisasi IMF ini telah berlangsung sejak 1963. tetapi menyusul terjadinya tragedi 30 September 1965,
pelaksanaan program tersebut terpaksa dihentikan. Dalam era Soeharto, dengan dikeluarkannya paket kebijakan 3 Oktober 1966, pelaksanaan program stabilisasi
IMF itu dilanjutkan kembali.
90
Sesuai dengan permintaan IMF, hal yang harus dilakukan Indonesia untuk meningkatkan stabilitas ekonomi dalam garis besarnya meliputi: penyusunan
anggaran berimbang, pelaksanaan kebijakan uang ketat, penghapusan subsidi dan
89
I. Palmer, The Indonesia Economy Since 1965: A Case Study of Political Economy, London: Frank Cass, 1978, h. 28-29.
90
Frans Seda, Mengenang Situasi Lahirnya Peraturan 3 Oktober 1966 dalam Bustomi Hadjid Ronodirdjo dkk, ed., Presiden Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia Evaluasi
Pembangunan Pemerintah Orde Baru, Bandung: Harapan Bandung, 1983, h. 99.
peningkatan harga komoditas layanan publik, peningkatan peranan pasar, penyederhanaan prosedur ekspor, dan peningkatan pengumpulan pajak.
Sehubungan dengan kebijakan untuk lebih bersahabat dengan sektor swasta dan asing, tepat bulan Januari 1967, pemerintah Soeharto menerbitkan Undang-
Undang Penanaman Modal Asing UU PMA No. I1967. UU PMA yang baru ini lebih liberal dari pada UU yang digantikannya. Bersamaan dengan itu,
perusahaan-perusahaan swasta asing yang dinasionalisasikan Soekarno pada 1963-1965, diundang kembali untuk melanjutkan kegiatan mereka di Indonesia.
91
Dengan berlangsungnya pembalikan orientasi Indonesia, yaitu dari yang berorientasi pada peningkatan kemandirian ekonomi menuju peningkatan
ketergantungan, rasanya tidak berlebihan bila peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Seoharto diwaspadai sebagai proses sistematis berlangsungnya transisi
kolonialisme di Indonesia. Artinya, setelah merdeka dari kolonialisme Belanda, pembuatan utang luar negeri secara besar-besaran di era pemerintahan Soeharto,
patut diwaspadai sebagai proses sistematis penjerumusan Indonesia ke dalam perangkap neoimperialisme Amerika.
2. Undang-Undang Penanaman Modal Asing