BAB II TEORI DAN SEJARAH GLOBALISASI
A. Definisi Teori Globalisasi
Perkembangan dunia internasional dewasa ini telah memunculkan suatu terminologi baru, yaitu globalisasi. Tentang pengertian globalisasi hingga saat ini
belum ada satu definisi baku yang dapat mewakili semua kepentingan dari berbagai sudut pandang yang digunakan untuk memahami globalisasi. Yang pasti,
globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia
melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.
9
Secara bahasa kata globalisasi berasal dari kata global, menurut kamus Dwi Bahasa Oxford-Erlangga
kata itu mengandung arti seluruh; sejagat; seantero dunia.
10
Dalam bahasa Indonesia penambahan sufiks “isasi” pada akhir sebuah kata memiliki arti proses sehingga globalisasi diartikan sebagai pengglobalan
seluruh aspek kehidupan.
11
Ada juga yang melihat globalisasi sebagai terjemahan dari bahasa Prancis monodialisation
yang berarti menjadikan sesuatu mendunia atau bersifat internasional, yakni menjadikannya dari sesuatu yang terbatas dan terdeteksi. Oleh
karenanya, globalisasi dapat pula diartikan menghilangkan batas-batas
9
“Pengertian Globalisasi,”
artikel diakses
pada 21
Oktober 2008
dari http:fransis.wordpress.com20080217pengertian-globalisasi.html
10
Joycem Hawkins, Kamus Dwi Bahasa Oxpord-Erlangga Jakarta: Erlangga, 1996, h. 142.
11
Adi Gunawan, Kamus Praktis Ilmiah Populer Surabaya: Kartika, 2001, h. 147.
kenasionalan dalam bidang ekonomi dan membiarkan segala sesuatu bebas melintas dunia dan menembus level internasional.
12
Meskipun secara bahasa globalisasi memiliki arti yang mapan. Namun, sebagai teori globalisasi hingga saat ini belum memiliki definisi yang mapan
kecuali sekedar definisi kerja working definition sehingga tergantung dari sisi mana orang memandangnya. Secara sederhana working definition ini terbagi
menjadi dua, yaitu 1 yang memaknai globalisasi sebagai sebuah proses global dan 2 yang memandang globalisasi sebagai hasil akhir dari sebuah proses.
Orang yang memandang globalisasi sebagai sebuah proses cenderung melihat globalisasi sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah atau proses
alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-
eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya
masyarakat. Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam
interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia.
Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan, seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi
informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Definisi seperti di atas diamini oleh Martin Albrow dengan mengatakan
”Globalisasi menyangkut seluruh proses di mana penduduk dunia terinkorporasi ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, masyarakat global,”
13
dan Malcom
12
M. Istijar, “Globalisasi; Antara Impian dan Kenyataan,” Modul Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI
Ciputat: LS-ADI Press, 2003, h. 1.
13
M. Istijar, “Globalisasi Anak Kandung Kapitalisme,” Modul Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI
, h. 29.
Waters, seorang sosiolog Australia, yang mengatakan bahwa “Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan
sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang.”
14
Sedangkan orang yang memandang globalisasi sebagai hasil akhir sebuah proses melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-
negara maju sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme
dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya
karena tidak mampu bersaing. Sebab globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti
politik, budaya, dan agama.
15
Pada definisi inilah kemudian globalisasi penulis pandang sebagai ancaman bagi kedaulatan negara Indonesia.
Kapitalisme pada dasarnya bersumber dan berakar pada pandangan filsafat ekonomi klasik, terutama ajaran Adam Smith yang dituangkan dalam karyanya
Wealth of Nation 1776. Selain Adam Smith, yang umumnya disebut sebagai
tokoh perintis pandangan ekonomi klasik adalah pemikir ekonomi lainnya, seperti David Ricardo, James Mill, Thomas Robert Malthus, dan Jean Baptiste Say.
Keseluruhan filsafat pemikiran penganut ekonomi klasik tersebut dibangun di atas landasan filsafat ekonomi liberalisme. Mereka percaya pada kebebasan individu
personal liberty, pemilikan pribadi private property, dan inisiatif individu serta
14
“Pengertian Globalisasi,”
artikel diakses
pada 21
Oktober 2008
dari http:sobatbaru.blogspot.com200805pengertian-globalisasi.html
15
“Globalisasi,” artikel
diakses pada
08 Agustus
2008 dari
http:id.wikipedia.orgwikiGlobalisasi.html
usaha swasta private enterprise.
16
Karl Marx menjelaskan bahwa kapitalisme berwatak universal, artinya, Kapitalisme tidak dapat hidup dalam satu negeri. Hanya dengan berada di mana-
mana, bertempat di mana-mana, dan menjalin hubungan di mana-mana, barulah sistem perekonomian ini bisa eksis. Watak kapitalisme inilah yang melahirkan
ekspansi dan pada akhirnya imperialisme. Berkaitan dengan hal ini, Lenin mengatakan bahwa “imperialisme sebagai tahap akhir kapitalisme,”
17
dan James Petras menilai imperialisme adalah ungkapan yang paling tepat untuk memahami
globalisasi yang sedang terjadi saat ini.
18
Upaya pendefinisian globalisasi sesungguhnya, sudah gencar dilakukan sejak tahun 1990-an oleh para ilmuan, mulai dari ilmuan ekonomi, politik,
sosiologi, budayawan, bahkan oleh ahli geografi. Semuanya memiliki maindset globalisasi yang beragam sesuai dengan bidang ilmu yang mereka geluti. Tetapi,
umumnya wilayah pendefinisian globalisasi cenderung mengambil perspektif ekonomi karena memang sistem ini lahir sebagai sebuah sistem ekonomi yang
berdampak pada semua aspek kehidupan. George Ritzer, seorang sosiolog Amerika, mengingatkan bahwa
karakteristik yang paling penting dari globalisasi adalah bias western-nya, artinya, segala sesuatu yang berkaitan dengan globalisasi, baik ide maupun prakteknya,
selalu disesuaikan dengan perkembangan di Barat dan ide di luar dunia Barat tak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan ide Barat tersebut. Bahkan
16
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi Yogyakarta: Insist Press, 2002, h. 45-46.
17
Franz Magnis Suseno, Dalam Bayang-bayang Lenin Jakarta: Gramedia, 2005, h. 10.
18
Revrisond Baswir, “Menelanjangi Globalisasi,” pengantar dalam James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21. Penerjemah Agung Prihantono Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2002, h. viii.
Anthony Giddens, seperti dikutip Ritzer, secara terang-terangan mengatakan “Globalisasi berasal dari Barat, membawa jejak kekuasaan ekonomi dan politik
Amerika”. Selain itu, menurut Ritzer juga, proses globalisasi ditandai dengan usaha menuju homogenitas keseragaman seluruh aspek kehidupan, baik kultur,
ekonomi, maupun politik oleh Barat, terutama Amerika.
19
Dari perspektif kultur, trend menuju homogenitas ini identik dengan istilah imperialisme kultural
atau dengan kata lain terjadinya ekspansi kultur BaratAmerika terhadap kultur tertentu di daerah lain. Dari berbagai budaya Barat
yang berpenetrasi ke seluruh dunia, yang paling mencolok dampaknya adalah budaya materialistis dan sekuler. Gejala materialistis bisa kita lihat manakala
melimpahnya materiharta benda dianggap sebagai barometer keberhasilan hidup. Sedangkan gejala sekuler dapat kita saksikan ketika dalam tatanan bermasyarakat
dan bergaul sudah mengabaikan norma-norma susila dan norma agama. Afirmasi terhadap “budaya globalBarat” hampir niscaya merupakan negasi
terhadap budaya lokal masyarakat-masyarakat belahan bumi Selatan. Hegemoni budaya global mendorong pendiskreditan budaya-budaya lokal sehingga bersifat
terlalu kedaerahan jadi tidak global, kuno jadi tidak modern dan global, dan ketinggalan jaman. Pendiskreditan ini dengan sendirinya diikuti oleh peminggiran
budaya-budaya tersebut. Mengingat bahwa konsumerisme bukan hanya sekedar “gaya hidup” yang dangkal belaka, melainkan berakar pada suatu filsafat yang
lebih dalam yaitu individualisme, penegakan budaya global juga berarti
19
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Penerjemah Alimandan Jakarta: Kencana, 2003, h. 588.
transformasi mendasar masyarakat-masyarakat di luar negara Barat, yang kerap diikuti oleh benturan dan resistensi dalam prosesnya.
20
Dalam bidang ekonomi logika homogenizing pun tetap berlaku. Joseph Stiglitz, peraih hadiah Nobel Ekonomi 2001, melihat globalisasi sebagai
penyebaran sistem ekonomi kapitalisme neoliberal ke seluruh kawasan di dunia.
21
Sesuai dengan namanya ideologi atau sistem ekonomi kapitalisme neoliberal adalah merupakan kelanjutan dari gagasan liberalisme klasik Adam
Smith 1723-1790 pada abad ke-18, seiring dengan perkembangan sejarah paham ini menemukan bentuk barunya di tangan ekonom terkemuka, yaitu, Freidrick von
Hayek dan Milton Friedman pada abad ke-20. Paham neoliberalisme inilah yang menjadi pijakan ekonomi berbasis perdagangan dan pasar bebas sekaligus menjadi
ideologi globalisasi. Pada dasarnya kedua paham tersebut sama,
22
yakni menganjurkan: pertama, liberalisasi,
artinya jika ingin ekonomi maju maka perdagangan harus dibebaskan seluas-luasnya, begitu juga dengan sektor fiskalkeuangan harus didorong lebih
liberal dan kian ketat bersaing agar terjadi peningkatan efisiensi. Kedua, privatisasi,
negara dilarang untuk menguasai aset-aset publik atau memiliki perusahaan seperti BUMN di Indonesia, hendaknya penguasaan aset-aset publik
tersebut diserahkan kepada individu-individu. Dan ketiga, deregulasi, negara tidak berhak ikut campur dalam urusan ekonomi karena negara tidak memiliki alasan
20
Robert H. Imam, “Neoliberalisme, Era Baru, dan Peradaban Pasar,” dalam I. Wibowo Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme Yogyakarta: Cindelaras, 2003, h. 316.
21
Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan. Penerjemah Aan Suhaeni Tangerang: Marjin Kiri, 2005, h. 216.
22
B. Herry Priyono mencacat ada sedikit perbedaan antara liberalisme klasik Adam Smith dengan Neoliberalisme yaitu hanya pada peran pemerintah. Kalau pada liberalisme klasik Smith
memberi ruang pada peran pemerintah lewat penyelenggaraan tata-keadilan, oleh karenanya akumulasi kekayaan oleh individu adalah dalam rangka pembangunan suatu bangsa the wealth of
nation, sedangkan neoliberalisme tidak. Lihat B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran
Neoliberalisme,” dalam I. Wibowo dan Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 55.
apapun untuk mencampuri dan menguasai ‘pasar’, tugas negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang menjamin lancarnya kinerja tiga anjuran neoliberalisme
tersebut.
23
Ketiga paket kebijakan neoliberalisme tersebut dikenal juga dengan istilah Washington Consensus
yang penerapannya dipaksakan oleh negara-negara maju penganut neoliberalisme kepada negara-negara miskin dan berkembang melalui
organisasi-organisasi internasional seperti WTO, IMF, dan World Bank. Pada dasarnya semua proses homogenizing sistem perekonomian global ini
merupakan harapan dan hasil perjuangan dari perusahaan-perusahaan
transnasional karena merekalah yang paling diuntungkan dari proses tersebut. Selama dasawarsa menjelang berakhirnya millenium, perusahaan-perusahaan
transnasional berskala raksasa tersebut TNCs
24
meningkat jumlahnya secara pesat dari sekitar 7000 TNCs pada tahun 1970 dan dalam tahun 1990 jumlah itu
mencapai 37.000 TNCs. Selain jumlahnya meningkat, TNCs juga dapat menguasai perekonomian dunia. Kekuatan ekonomi TNCs yang luar biasa
tersebut akan semakin bertambah jika globalisasi berjalan. Mereka pada saat yang lalu saja berhasil menguasai 67 dari perdagangan dunia antar TNCs dan
menguasai 34,1 total perdagangan global. Lebih lanjut, TNCs juga telah menguasai 34,1 total perdagangan global. Ada sekitar 100 TNCs dewasa ini
menguasai ekonomi dunia. Mereka mampu mengontrol sampai 75 perdagangan dunia.
25
23
A. Tony Prasetiantono, “IMF International Monetary Fund,” dalam I. Wibowo dan Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 120.
24
Perusahaan transnasionalTransnational Corporation TNC dapat didefinisikan sebagai perusahaan yang kegiatan bisnisnya bersifat internasional dan lokasi produksinya terletak di
beberapa negara.
25
Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 214.
Perspektif politik juga menekankan pada proses menuju homogenitas, yaitu menyebarluaskan model nation-state ke seluruh dunia dan tumbuhnya model tata
pemerintahan di seluruh dunia yang kurang lebih serupa demokrasi. Bahkan Benjamin Barber, seperti dikutip Ritzer, menganalisa akan terbentuknya sebuah
orientasi politik tunggal yang semakin pervasif menyebar di seluruh dunia, atau ia mengistilahkannya dengan “McWorld.”
26
Tesis demikian juga diperkuat dengan pendapat Ulrich Beck, seorang ilmuan sosial penting yang menulis buku What Is Globalization?. Menurut Beck
ada perbedaan antara globalisme, globalitas, dan globalisasi. Globalisme adalah pandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikan
munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberalisme yang menopangnya. Dalam globalisme, sifat global yang multidimensionalitas
direduksi menjadi dimensi ekonomi saja. Pandangan Beck lebih komprehensif terhadap makna globalitas. Ia melihat
proses transnasional ini bukan hanya ekonomi, tetapi juga melibatkan ekologi, kultur, politik, dan masyarakat sipil. Globalitas berarti mulai sekarang tidak ada
kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas; semua temuan, kemenangan, dan bencana memengaruhi seluruh dunia.
Beck melihat globalisasi sebagai menurunnya kekuatan bangsa-bangsa dan batas-batas nasional. Jadi, globalisasi berarti denationalization, berarti pula
bangkitnya organisasi transnasional dan mungkin negara transnasional.
27
26
Ritzer, Teori Sosiologi Modern, h. 589.
27
Ibid., h. 592.
Globalisasi dalam bentuk yang semakin jelas dewasa ini, seperti diungkapkan di atas, mempunyai maksud westernisasi dunia atau dengan
ungkapan lain Amerikanisasi dunia. Martin Khor dan Mansour Fakih menyebutnya sebagai “bentuk baru kolonialisasi,” bahkan mantan Menteri Agama
RI, Said Agil Husein al-Munawar pernah mengatakan: “Arus globalisasi yang menggejala saat ini lebih berbentuk
‘Amerikanisasi’ karena pengaruh Amerika Serikat dalam ekonomi, politik, dan budaya yang begitu kuat. Tujuan pokok globalisasi adalah ekonomi
yang menggunakan kekuatan politik dan budaya untuk meraih tujuan ekonomi tersebut. globalisasi saat ini ingin mengubah dunia ke arah sistem
pasar tunggal yang didominasi oleh perusahaan multinasional, namun, tanpa terciptanya kesamaan kesempatan. Praktek globalisasi sekarang ini
memanipulasi teori darwin. Dalam artian, praktek itu telah mengubah teori darwin yang berprinsip ‘terbaiklah yang bertahan’ menjadi ‘terkuatlah yang
bertahan’.”
28
Pandangan tentang teori globalisasi yang paling ekstrim disampaikan oleh Mansour Fakih, ekonom Indonesia, yang mengatakan bahwa globalisasi adalah
proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah
dicanangkan sejak zaman kolonialisme.
29
Menurutnya, globalisasi merupakan kelanjutan dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain,
yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses pengintegrasian ekonomi nasional terhadap ekonomi global menjadi sebuah ancaman bagi
Indonesia, karena negara dituntut oleh kepentingan global untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kepentingan global tersebut ketimbang
kepentangan nasionalnya.
28
“Menteri Agama Kritik Globalisasi Barat,” Kompas, 6 Mei 2003, h. 2.
29
Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 209.
B. Sejarah Globalisasi