Pengaruh globalisasi terhadap kedaulatan Negara Indonesia

(1)

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP

KEDAULATAN NEGARA INDONESIA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

Oleh

Nurul Ghazy

NIM: 104033201104

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2009 M.


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 26 Januari 2009


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillâhi rabbi al-‘âlamîn, mungkin hanya ungkapan itu yang patut dan layak penulis ungkapkan saat ini mengiringi rasa syukur tiada tara atas segala nikmat dan anugerah yang telah dicurahkan oleh Allah swt. Rabb yang Maha Perkasa sekaligus Maha Penyayang, Maha Berkehendak sekaligus Maha Tahu, dan Maha Kuat sekaligus Maha Lembut. Hanya dengan kehendak-Nyalah akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam tak henti akan selalu penulis sampaikan kepada manusia paling agung ciptaan-Nya Muhammad saw. Rosul paling akhir yang membawa kebenaran hakiki di bumi ini, semoga penulis termasuk manusia yang mendapat syafaatnya di hari akhir kelak.

Dalam prosesnya, penulisan skripsi ini tidak bisa dibilang mudah, namun problema, dinamika, dan dialektika yang selalu mengiringinya akan selalu penulis kenang sebagai salah satu bagian proses dalam hidup untuk menjadi manusia yang lebih baik. Dalam proses tersebut penulis banyak mendapatkan bantuan berharga dari beberapa pihak. Oleh karenanya, meskipun ungkapan terima kasih tak cukup untuk mengganjar bantuan tersebut, izinkanlah penulis untuk mengungkapkannya. Ungkapan terima kasih tiada tara yang pertama dan sekaligus utama penulis sampaikan kepada Ayahanda dan Ibunda penulis: Bpk. H. Agus Sholahuddin Mas’ud, M.Pd. & Hj. Rini Nuraini, S.Ag. kepada kalianlah penulis dedikasikan karya ini. Doa, kasih sayang, dan dukungan materiil dari kalian yang tak terhitung, menjadi spirit tak ternilai dalam proses penulisan skripsi ini. Semoga Tuhan mengampuni dosa kalian dan menyayangi kalian sebagaimana kalian menyayangi penulis.


(4)

Kepada kakak dan kedua adikku: Nur Ifansyah, Nurul Fadhillah dan Muhammad Bintang Giffari terima kasih banyak atas dukungan kalian agar penulis secepatnya menyelesaikan skripsi dan menjadi sarjana. Semoga kalian cepat menyusul.

Untuk Bpk. A. Bakir Ihsan, M.Si. selaku pembimbing, penulis merasa berhutang budi atas bimbingan, saran, dan masukannya yang sangat berharga dalam proses penulisan skripsi ini, semoga amal baik bapak diganjar dengan anugerah berlimpah oleh Allah swt.

Kepada seluruh teman-teman penulis, mohon maaf tak dapat disebutkan semua, baik di jurusan PPI angkatan 2004 (Aziz, Iin, Hayat, Ipeh, Acu, Hafiz, Nurkholis, Rahmat, dll.) Maupun di dalam lingkungan Forum Mahasiswa Alumni Lirboyo (Gus Zaenal, Gus Muin, Gus Day, Gus Ded, Gus Syarif, Tiharoh, Rofiah, Ikhwan, Andi, Arif, Kang Soim, Kang Rosyid, dll.) terima kasih banyak atas kesediaan kalian menemani dan menjadi kawan setia penulis dalam menjalani perkuliahan di UIN dan selama hidup di Ciputat, sekaligus dalam proses penulisan skripsi ini.

Khusus kepada Nurmala, segala motivasi, candaan, dan bantuannya kepada penulis menjadi satu spirit tersendiri yang tak terlupakan. Terima kasih banyak atas kesetiaan menemani penulis pada masa-masa sulit dari proses penulisan tugas akhir ini.

Terakhir, terima kasih kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin & Filsafat, Bapak Dekan beserta jajarannya, Ketua & Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam, dan seluruh dosen yang secara langsung maupun


(5)

tidak telah mentransfer ilmu kepada penulis. Semoga rahmat Allah swt. selalu tercurah kepada kalian.

Meskipun dalam skripsi ini masih banyak ditemukan kekurangan, namun, penulis berharap, semoga skripsi ini dapat diterima dengan baik dan bermanfaat sekaligus menghasilkan yang baik pula bagi penulis khususnya dan semua pihak umumnya, Amin.

Ciputat, 26 Januari 2009 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan... 9

BAB II TEORI DAN SEJARAH GLOBALISASI A. Definisi Teori Globalisasi ... 11

B. Sejarah Globalisasi ... 20

C. Aktor-aktor Globalisasi ... 22

BAB III PARADIGMA KEDAULATAN NEGARA A. Makna dan Paradigma Kedaulatan Negara ... 25

B. Batas-batas Kedaulatan Negara ... 35

C. Kedaulatan Negara di dalam Konstitusi ... 43

BAB IV EKSISTENSI KEDAULATAN NEGARA DI TENGAH GLOBALISASI A. Globalisasi & Peminggiran Peran Negara ... 49


(7)

B. Globalisasi Sebagai Bentuk Neo-Imperialisme ... 58

1. Intervensi Asing & Utang ... 62

2. Undang-undang Penanaman Modal Asing ... 68

C. Masa Depan Kedaulatan Negara ... 73

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 78


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini dunia sedang berhadapan dengan arus tranformasi menuju globalisasi. Siapa atau apa pun yang ada di dunia ini tidak ada yang dapat menghindar dari proyek besar berskala internasional ini, baik individu, kelompok, maupun sebuah negara yang berdaulat. Proyek globalisasi ini berdampak terhadap segala aspek kehidupan seperti politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan bahkan peradaban. Bagi sebagian masyarakat dunia sistem ini dianggap sebagai prospek, sebagian lainnya menganggap sistem ini sebagai ancaman, dan bahkan adapula yang acuh tak acuh terhadap tema besar ini, meskipun secara langsung maupun tidak mereka telah merasakan dampaknya.

Globalisasi merupakan sebuah konsep yang berasal dari perkembangan sistem di Barat. Kemunculannya berbarengan dengan kemunculan paham Neoliberalisme pada pertengahan 1980-an. Globalisasi yang menekankan pada privatisasi, anti intervensi negara dalam ekonomi, dan kepercayaan absolut pada mekanisme pasar ini, diimplementasikan lewat badan-badan dunia seperti World Trade Organization (WTO), International Monetery Fund (IMF), World Bank atau Bank Dunia; dan perusahan-perusahan internasional (Transnasional Corporations) seperti Exxon, Freeport, General Motor, dan lain-lain.

Menurut Mansour Fakih, Globalisasi dalam perspektif ekonomi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah


(9)

dicanangkan sejak zaman kolonialisme.1 Globalisasi merupakan tahapan ketiga proses eksploitasi manusia atas manusia (penjajahan). Tahap pertama adalah kolonialisme, kedua developmentalisme, dan terakhir globalisasi. Globalisasi dalam arti politik merupakan wujud dari hegemoni baru negara-negara pemilik modal dalam kerangka penguasaan negara-negara nirmodal (tidak memiliki modal).2

Mereka yang menganggap globalisasi sebagai prospek, umumnya adalah mereka yang merasa diuntungkan oleh proses ini yaitu negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, karena mereka memiliki modal, baik dalam bidang ekonomi dan politik. Bahkan aktor-aktor globalisasi (IMF, WTO, WB, dan TNCs) berada dalam pengaruhnya, sehingga kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga di atas adalah untuk kepentingan negara maju tersebut.

Bagi mereka yang merasa cemas terhadap globalisasi, paling tidak memiliki dua alasan. Yang pertama yaitu karena globalisasi menerapkan sistem ekonomi kapitalis, dan yang kedua karena melihat ideologi Neoliberal yang menopangnya. Kedua hal tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi negara-negara miskin dan berkembang yang terkelompokkan ke dalam negara Dunia Ketiga.

Yang pertama merujuk pada konsep Kapitalisme yang berorientasi pada bagaimana memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dan meminimalisir kerugian, serta mengakumulasi modal. Ketika orientasi tersebut telah tercapai, maka pemilik modal akan dengan sendirinya memiliki otoritas politik dan kekuasaan. Hal tersebut tentu membuat resah sebagian negara-negara di Dunia

1

Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist Press, 2002), h. 209-210.

2

Pravendi Januarsa, “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno,”artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135


(10)

Ketiga. Asumsinya adalah ketika modal yang sudah jelas kepemilikiannya didominasi oleh perusahaan-perusahaan trans-nasional yang sebagian besar berpusat di wilayah negara-negara maju, sebut saja Amerika Serikat, tentu melalui mekanisme globalisasi pendapatan mereka akan semakin meningkat, mereka menjadi semakin kaya, dan leluasa menghegemoni kehidupan negara lain, guna merealisasikan kepentingan mereka. Sedangkan negara-negara miskin dan berkembang akan tetap pada kategori dan berstatus sebagai negara dengan “tangan di bawah” dan bergantung pada kebijakan negara-negara Adi Daya.3

Menyangkut ideologi Neoliberal yang menopang globalisasi, masyarakat Dunia Ketiga melihatnya sebagai ancaman lebih luas pada peradaban mereka. Ideologi ini secara umum dipahami sebagai ide yang membawa nilai hak dan kebebasan individual melalui mekanisme pasar bebas, menjunjung tinggi rasionalitas, dan mendistorsi peran agama dalam masyarakat dan politik.4 Dengan adanya globalisasi, maka gerbang bagi penyebarluasan paham ini di berbagai penjuru dunia semakin terbuka lebar. Padahal tiap negara yang berdaulat memiliki batasan nilai dan landasan moral tersendiri, yang tidak bisa begitu saja menerima nilai-nilai baru.

Dalam percaturan politik global negara-negara maju sangat berpengaruh, karena mereka memiliki kepentingan yang sangat besar, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun keamanan. Di bidang politik negara-negara maju/Barat sangat berkepentingan untuk menyebarkan ideologi Demokrasi. Di bidang ekonomi negara-negara Barat berkepentingan untuk mendapatkan sumber mineral

3

Arief Budiman, Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan Dunia Ketiga (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 113-120.

4

B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,”dalam I. Wobowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), h. 70.


(11)

untuk memenuhi kebutuhannya akan sumber daya alam tersebut, Barat juga memiliki kepentingan untuk memasarkan produk yang mereka ciptakan. Di bidang keamanan, dengan dalih untuk menjamin keamanan dunia, Barat melakukan kampanye perang melawan terorisme. Didukung dengan infrastruktur yang mereka miliki seperti media komunikasi, transportasi, dan modal yang besar peran negara-negara Barat menjadi sangat besar.5

Peran dan pengaruh Barat yang demikian besar dalam percaturan politik global memunculkan persepsi kuat bahwa pada era globalisasi ini telah terjadi praktek kolonialisme dan imperialisme baru. Misalnya kebijakan-kebijakan luar negeri yang dipraktekan oleh Amerika Serikat, khususnya pasca tragedi 11/9 2001. Isu-isu seperti senjata nuklir, senjata pemusnah massal, dan terorisme dijadikan argumentasi untuk menekan kelompok tertentu atau bahkan untuk menginvasi negara tertentu.

Lalu bagaimana dengan negara-negara selain Barat? Pada era globalisasi ini negara-negara berkembang dan miskin dibuat sangat tergantung dengan utang luar negeri yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank. Masyarakat negara miskin dan berkembang dibuat kecanduan dengan produk-produk teknologi maju melalui Konsumerisme yang disiarkan oleh media massa. Selain itu, perusahaan-perusahaan internasional milik negara maju (Transnational Corporations[TNCs] atau Multinational Corporations[MNCs]) menguasai hampir semua lini utama perekonomian dunia. Bahkan banyak perusahaan-perusahaan lokal di negara miskin dan berkembang terpaksa gulung tikar karena kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan internasional yang

5

“Bangsa Indonesia Menyambut Globalisasi,” artikel diakses pada 11 Semptember 2008 dari situs http://hildaku.blog.com/568343/


(12)

memiliki modal besar dan teknologi yang canggih. Perusahaan asing juga memonopoli eksplorasi penambangan sumber mineral di negara-negara miskin dan berkembang.

Dengan demikian terlihat jelas bahwa TNCs merupakan bagian dari aktor penting globalisasi selain negara-negara maju; lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF & WB); dan WTO. Tetapi peran TNCs dalam globalisasi tidak berhenti pada penguasaan sumber daya mineral negara-negara miskin dan berkembang saja. Karena untuk memuluskan tujuan penguasaan tersebut, TNCs harus terlebih dahulu memengaruhi dan menekan pemerintah dari negara miskin dan berkembang untuk memberlakukan peraturan yang memuluskan jalan mereka. TNCs menekan dan memengaruhi pemerintah negara korban globalisasi tersebut dengan cara mendesakkan kepentingannya di dalam kesepakatan– kesepakatan yang dibuat oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF, World Bank, dan WTO. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk menekan negara berkembang dan miskin untuk melakukan reformasi kebijakan nasionalnya. Umumnya kebijakan negara yang harus direformasi adalah kebijakan di bidang pertanahan, investasi, perpajakan, dan tata hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah (desentralisasi) yang berpotensi menghambat investasi secara langsung.6

Kebijakan di bidang investasi, misalnya, memaksa negara untuk membuka pasar selebar-lebarnya agar perusahaan-perusahaan asing dapat dengan bebas berinvestasi. Pemerintah juga ditekan untuk tidak menerapkan kebijakan-kebijakan yang dapat menghambat investasi (deregulasi) seperti penerapan pajak

6


(13)

yang murah, buruh yang murah, dan kontrak karya yang panjang dan fleksibel.7 Penerapan deregulasi ini berimplikasi pada melemahnya peran negara dalam menentukan kebijakan sesuai dengan kepentingan rakyatnya. Fakta ini juga menunjukan bahwa globalisasi ternyata memengaruhi sikap anti-negara, dalam arti menolak segala bentuk campur tangan pemerintah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Jalan yang ditempuh untuk menyukseskan desakan-desakan itu adalah salah satunya melalui utang. Lembaga-lembaga atau negara-negara donor (pemberi utang) mencantumkan syarat reformasi kebijakan tersebut sebagai salah satu syarat utang. Dengan demikian tampak di sini bahwa utang merupakan instrumen campur tangan asing.

Implikasi dari reformasi kebijakan nasional negara miskin dan berkembang tersebut adalah semakin terpinggirkannya rakyat miskin, terbengkalainya nasib para petani kecil, nelayan, pedagang, dan masyarakat adat khususnya dalam hal perebutan sumber daya alam terutama tanah, hutan, dan laut.

Fakta di atas menampakkan melemahnya kedaulatan negara khususnya negara miskin dan berkembang (Negara Dunia Ketiga) di tengah hegemoni globalisasi terutama dalam hal kemandirian menentukan kebijakan-kebijakan untuk kepentingan negeri sendiri.

Sebagaimana kita ketahui bahwa negara yang berdaulat adalah negara yang bisa menentukan nasib bangsanya sendiri (otonom) tanpa intervensi negera

7

I. Wibowo, “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti-Negara,” dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 266.


(14)

manapun.8 Oleh karenanya ketika sebuah negara tidak lagi dapat mengatur/menentukan urusan-urusannya kepada dirinya sendiri sebagai negara yang berdaulat, maka visi dan misi menciptakan negara yang maju dan sejahtera tidak akan tercapai. Betapa tidak, misalnya Indonesia sebagai bagian dari negara Dunia Ketiga yang memiliki utang terhadap lembaga-lembaga donor harus mengikuti apapun syarat yang diajukan oleh lembaga pemberi utang tersebut. sedangkan persyaratan yang dipaksakan ternyata untuk kepentingan perusahaan-perusahaan internasional, lembaga-lembaga dan negara-negara donor bukan untuk kepentingan negara penerima utang.

Namun demikian, dalam perkembangan kontemporer, banyak negara yang mulai menampilkan keberaniannya untuk menerapkan kebijakan di luar

mainstream kepentingan global. Misalnya Indonesia, dalam bidang politik,

dengan mendesak AS dan sekutunya agar menarik pasukan dari Irak, Abstain dalam rapat Dewan Keamanan PBB tentang Resolusi sanksi bagi Iran. Dalam bidang ekonomi, di dalam konstitusinya Indonesia tetap memberlakukan pasal 33 UUD 1945 yang dikenal sebagai landasan hukum bagi intervensi negara. Ini artinya bahwa pada era hegemoni globalisasi ini kedaulatan negara tidak serta merta hilang dan musnah begitu saja.

Dari fenomena yang dipaparkan di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh pembahasan mengenai pengaruh globalisasi terhadap kedaulatan negara Indonesia ke dalam sebuah karya yang berbentuk skripsi.

8

Muhajir Arif Rahmani, “Arti Penting Kedaulatan Negara,” artikel diakses pada 11 September 2008 dari situs http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3763_0_3_0_M, lihat juga dalam Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tatanegara, (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 25.


(15)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Karena tema globalisasi adalah tema yang umum dan luas, maka pada skripsi ini penulis lebih membatasi permasalahan pada globalisasi dalam perspektif politik. Dalam perspektif ini globalisasi menjadi suatu kekuatan yang mampu mendesak negara untuk menciptakan kebijakan yang dapat melemahkan kedaulatannya. Dalam skripsi ini penulis juga membatasi pembahasan mengenai kedaulatan negara pada kedaulatan dalam bidang politik, dalam arti kemandirian negara dalam menentukan dan menjalankan kebijakan dalam dan luar negerinya.

Lebih jelasnya, untuk membatasi ruang pembahasan skripsi, penulis merumuskannya dalam pertanyaan Bagaimana Pengaruh Globalisasi Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penulis menetapkan judul Pengaruh Globalisasi Terhadap Kedaulatan

Negara Indonesia secara akademis memiliki tujuan:

1. Memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang konsep globalisasi dan kedaulatan negara serta keterkaitan antara keduanya.

2. Mengetahui dampak globalisasi terhadap kedaulatan negara, khususnya bagi negara Indonesia.

D. Metode Penelitian

Metode pengumpulan data yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode kepustakaan (library research). Sebagai sumber primer penulis menggunakan buku-buku tentang globalisasi dan kedaulatan negara, baik yang ditulis oleh para


(16)

pakar dalam negeri maupun luar negeri, seperti Buku Globalisasi Peluang atau

Ancaman bagi Indonesia karya Budi Winarno, buku Neoliberalisme karya I.

Wibowo et.al., buku Runtuhnya Teori Pembangunan & Globalisasi karya Mansour Fakih, buku Dasar-dasar Ilmu Tatanegara karya Budiyanto, dan lain-lain. Adapun sebagai sumber sekundernya penulis menggunakan tulisan-tulisan atau artikel-artikel yang tersebar di berbagai majalah, surat kabar, dan internet yang terkait dengan pembahasan mengenai globalisasi dan kedaulatan negara.

Sedangkan metode pembahasan dalam skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis. Dengan metode ini, penulis akan menggambarkan dan memaparkan secara obyektif pola kerja globalisasi yang berpengaruh terhadap eksistensi kedaulatan negara berdasarkan referensi yang digunakan. Setelah itu, penulis akan menganalisa secara lebih mendalam baik melalui analisa sendiri maupun dengan menggunakan bantuan para pakar. Dengan itu diharapkan akan didapatkan pengetahuan yang obyektif dan seimbang sekaligus kritis.

Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), terbitan CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, maka penulis menyusunnya ke dalam lima bab. Bab I akan mengungkap seputar signifikansi tema yang diangkat. Mengapa tema yang akan ditulis ini layak diangkat sebagai sebuah skripsi. Akan diungkapkan mulai dari landasan pemikiran sampai sistematika penulisannya.


(17)

Bab II adalah gambaran umum seputar teori dan sejarah globalisasi sebagai landasan teoritis untuk memahami pembahasan pada bab selanjutnya. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai definisi teori globalisasi, sejarah, dan aktor-aktor globalisasi.

Bab III akan membahas mengenai paradigma kedaulatan negara. Pada pembahasan seputar kedaulatan negara ini akan dijelaskan mengenai makna dan paradigma kedaulatan negara, batas-batas kedaulatan negara, dan sumber kedaulatan negara Indonesia yang terdapat dalam konstitusi.

Pada Bab IV merupakan bab inti, di dalamnya penulis akan mencoba menjelaskan mengenai pengaruh globalisasi terhadap kedaulatan negara Indonesia. Pembahasan diawali dengan pemaparan tentang globalisasi dan peminggiran peran negara, kemudian penulis akan mencoba mengungkapkan proses neo-imperialisme yang bersembunyi dibalik proses globalisasi, dan bagian terakhir merupakan analisa tentang masa depan eksistensi kedaulatan negara.

Bab V merupakan bab penutup dari skripsi ini yang berisi kesimpulan dari tema yang diangkat yaitu bahwa globalisasi mengancam kedaulatan negara Indonesia, dan disertai juga dengan saran-saran yang konstruktif dari penulis.


(18)

BAB II

TEORI DAN SEJARAH GLOBALISASI

A. Definisi Teori Globalisasi

Perkembangan dunia internasional dewasa ini telah memunculkan suatu terminologi baru, yaitu globalisasi. Tentang pengertian globalisasi hingga saat ini belum ada satu definisi baku yang dapat mewakili semua kepentingan dari berbagai sudut pandang yang digunakan untuk memahami globalisasi. Yang pasti, globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.9

Secara bahasa kata globalisasi berasal dari kata global, menurut kamus Dwi Bahasa Oxford-Erlangga kata itu mengandung arti seluruh; sejagat; seantero dunia.10 Dalam bahasa Indonesia penambahan sufiks “isasi” pada akhir sebuah kata memiliki arti proses sehingga globalisasi diartikan sebagai pengglobalan seluruh aspek kehidupan.11

Ada juga yang melihat globalisasi sebagai terjemahan dari bahasa Prancis

monodialisation yang berarti menjadikan sesuatu mendunia atau bersifat

internasional, yakni menjadikannya dari sesuatu yang terbatas dan terdeteksi. Oleh karenanya, globalisasi dapat pula diartikan menghilangkan batas-batas

9

“Pengertian Globalisasi,” artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari http://fransis.wordpress.com/2008/02/17/pengertian-globalisasi.html

10

Joycem Hawkins, Kamus Dwi Bahasa Oxpord-Erlangga (Jakarta: Erlangga, 1996), h. 142.

11


(19)

kenasionalan dalam bidang ekonomi dan membiarkan segala sesuatu bebas melintas dunia dan menembus level internasional.12

Meskipun secara bahasa globalisasi memiliki arti yang mapan. Namun, sebagai teori globalisasi hingga saat ini belum memiliki definisi yang mapan kecuali sekedar definisi kerja (working definition) sehingga tergantung dari sisi mana orang memandangnya. Secara sederhana working definition ini terbagi menjadi dua, yaitu (1) yang memaknai globalisasi sebagai sebuah proses global dan (2) yang memandang globalisasi sebagai hasil akhir dari sebuah proses.

Orang yang memandang globalisasi sebagai sebuah proses cenderung melihat globalisasi sebagai suatu proses sosial atau proses sejarah atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat. Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan, seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi.

Definisi seperti di atas diamini oleh Martin Albrow dengan mengatakan ”Globalisasi menyangkut seluruh proses di mana penduduk dunia terinkorporasi ke dalam masyarakat dunia yang tunggal, masyarakat global,”13 dan Malcom

12

M. Istijar, “Globalisasi; Antara Impian dan Kenyataan,” Modul Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI (Ciputat: LS-ADI Press, 2003), h. 1.

13

M. Istijar, “Globalisasi Anak Kandung Kapitalisme,” Modul Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI, h. 29.


(20)

Waters, seorang sosiolog Australia, yang mengatakan bahwa “Globalisasi adalah sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang.”14

Sedangkan orang yang memandang globalisasi sebagai hasil akhir sebuah proses melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara maju sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti politik, budaya, dan agama.15 Pada definisi inilah kemudian globalisasi penulis pandang sebagai ancaman bagi kedaulatan negara Indonesia.

Kapitalisme pada dasarnya bersumber dan berakar pada pandangan filsafat ekonomi klasik, terutama ajaran Adam Smith yang dituangkan dalam karyanya

Wealth of Nation (1776). Selain Adam Smith, yang umumnya disebut sebagai tokoh perintis pandangan ekonomi klasik adalah pemikir ekonomi lainnya, seperti David Ricardo, James Mill, Thomas Robert Malthus, dan Jean Baptiste Say. Keseluruhan filsafat pemikiran penganut ekonomi klasik tersebut dibangun di atas landasan filsafat ekonomi liberalisme. Mereka percaya pada kebebasan individu

(personal liberty), pemilikan pribadi (private property), dan inisiatif individu serta

14

“Pengertian Globalisasi,” artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari http://sobatbaru.blogspot.com/2008/05/pengertian-globalisasi.html

15

“Globalisasi,” artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.html


(21)

usaha swasta (private enterprise).16

Karl Marx menjelaskan bahwa kapitalisme berwatak universal, artinya, Kapitalisme tidak dapat hidup dalam satu negeri. Hanya dengan berada di mana-mana, bertempat di mana-mana-mana, dan menjalin hubungan di mana-mana-mana, barulah sistem perekonomian ini bisa eksis. Watak kapitalisme inilah yang melahirkan ekspansi dan pada akhirnya imperialisme. Berkaitan dengan hal ini, Lenin mengatakan bahwa “imperialisme sebagai tahap akhir kapitalisme,”17 dan James Petras menilai imperialisme adalah ungkapan yang paling tepat untuk memahami globalisasi yang sedang terjadi saat ini.18

Upaya pendefinisian globalisasi sesungguhnya, sudah gencar dilakukan sejak tahun 1990-an oleh para ilmuan, mulai dari ilmuan ekonomi, politik, sosiologi, budayawan, bahkan oleh ahli geografi. Semuanya memiliki maindset

globalisasi yang beragam sesuai dengan bidang ilmu yang mereka geluti. Tetapi, umumnya wilayah pendefinisian globalisasi cenderung mengambil perspektif ekonomi karena memang sistem ini lahir sebagai sebuah sistem ekonomi yang berdampak pada semua aspek kehidupan.

George Ritzer, seorang sosiolog Amerika, mengingatkan bahwa karakteristik yang paling penting dari globalisasi adalah bias western-nya, artinya, segala sesuatu yang berkaitan dengan globalisasi, baik ide maupun prakteknya, selalu disesuaikan dengan perkembangan di Barat dan ide di luar dunia Barat tak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan ide Barat tersebut. Bahkan

16

Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Insist Press, 2002), h. 45-46.

17

Franz Magnis Suseno, Dalam Bayang-bayang Lenin (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 10.

18

Revrisond Baswir, “Menelanjangi Globalisasi,”pengantar dalam James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21. Penerjemah Agung Prihantono (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), h. viii.


(22)

Anthony Giddens, seperti dikutip Ritzer, secara terang-terangan mengatakan “Globalisasi berasal dari Barat, membawa jejak kekuasaan ekonomi dan politik Amerika”. Selain itu, menurut Ritzer juga, proses globalisasi ditandai dengan usaha menuju homogenitas (keseragaman) seluruh aspek kehidupan, baik kultur, ekonomi, maupun politik oleh Barat, terutama Amerika.19

Dari perspektif kultur, trend menuju homogenitas ini identik dengan istilah

imperialisme kultural atau dengan kata lain terjadinya ekspansi kultur

Barat/Amerika terhadap kultur tertentu di daerah lain. Dari berbagai budaya Barat yang berpenetrasi ke seluruh dunia, yang paling mencolok dampaknya adalah budaya materialistis dan sekuler. Gejala materialistis bisa kita lihat manakala melimpahnya materi/harta benda dianggap sebagai barometer keberhasilan hidup. Sedangkan gejala sekuler dapat kita saksikan ketika dalam tatanan bermasyarakat dan bergaul sudah mengabaikan norma-norma susila dan norma agama.

Afirmasi terhadap “budaya global/Barat” hampir niscaya merupakan negasi terhadap budaya lokal masyarakat-masyarakat belahan bumi Selatan. Hegemoni budaya global mendorong pendiskreditan budaya-budaya lokal sehingga bersifat terlalu kedaerahan (jadi tidak global), kuno (jadi tidak modern dan global), dan ketinggalan jaman. Pendiskreditan ini dengan sendirinya diikuti oleh peminggiran budaya-budaya tersebut. Mengingat bahwa konsumerisme bukan hanya sekedar “gaya hidup” yang dangkal belaka, melainkan berakar pada suatu filsafat yang lebih dalam (yaitu individualisme), penegakan budaya global juga berarti

19

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Penerjemah Alimandan (Jakarta: Kencana, 2003), h. 588.


(23)

transformasi mendasar masyarakat-masyarakat di luar negara Barat, yang kerap diikuti oleh benturan dan resistensi dalam prosesnya.20

Dalam bidang ekonomi logika homogenizing pun tetap berlaku. Joseph Stiglitz, peraih hadiah Nobel Ekonomi 2001, melihat globalisasi sebagai penyebaran sistem ekonomi kapitalisme neoliberal ke seluruh kawasan di dunia.21

Sesuai dengan namanya ideologi atau sistem ekonomi kapitalisme neoliberal adalah merupakan kelanjutan dari gagasan liberalisme klasik Adam Smith (1723-1790) pada abad ke-18, seiring dengan perkembangan sejarah paham ini menemukan bentuk barunya di tangan ekonom terkemuka, yaitu, Freidrick von Hayek dan Milton Friedman pada abad ke-20. Paham neoliberalisme inilah yang menjadi pijakan ekonomi berbasis perdagangan dan pasar bebas sekaligus menjadi ideologi globalisasi.

Pada dasarnya kedua paham tersebut sama,22 yakni menganjurkan: pertama,

liberalisasi, artinya jika ingin ekonomi maju maka perdagangan harus dibebaskan seluas-luasnya, begitu juga dengan sektor fiskal/keuangan harus didorong lebih liberal dan kian ketat bersaing agar terjadi peningkatan efisiensi. Kedua,

privatisasi, negara dilarang untuk menguasai aset-aset publik atau memiliki perusahaan (seperti BUMN di Indonesia), hendaknya penguasaan aset-aset publik tersebut diserahkan kepada individu-individu. Dan ketiga, deregulasi, negara tidak berhak ikut campur dalam urusan ekonomi karena negara tidak memiliki alasan

20

Robert H. Imam, “Neoliberalisme, Era Baru, dan Peradaban Pasar,” dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), h. 316.

21

Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan. Penerjemah Aan Suhaeni (Tangerang: Marjin Kiri, 2005), h. 216.

22

B. Herry Priyono mencacat ada sedikit perbedaan antara liberalisme klasik Adam Smith dengan Neoliberalisme yaitu hanya pada peran pemerintah. Kalau pada liberalisme klasik Smith memberi ruang pada peran pemerintah lewat penyelenggaraan tata-keadilan, oleh karenanya akumulasi kekayaan oleh individu adalah dalam rangka pembangunan suatu bangsa (the wealth of nation), sedangkan neoliberalisme tidak. Lihat B. Herry Priyono, “Dalam Pusaran Neoliberalisme,” dalam I. Wibowo dan Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 55.


(24)

apapun untuk mencampuri dan menguasai ‘pasar’, tugas negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang menjamin lancarnya kinerja tiga anjuran neoliberalisme tersebut.23

Ketiga paket kebijakan neoliberalisme tersebut dikenal juga dengan istilah

Washington Consensus yang penerapannya dipaksakan oleh negara-negara maju penganut neoliberalisme kepada negara-negara miskin dan berkembang melalui organisasi-organisasi internasional seperti WTO, IMF, dan World Bank.

Pada dasarnya semua proses homogenizing sistem perekonomian global ini merupakan harapan dan hasil perjuangan dari perusahaan-perusahaan transnasional karena merekalah yang paling diuntungkan dari proses tersebut. Selama dasawarsa menjelang berakhirnya millenium, perusahaan-perusahaan transnasional berskala raksasa tersebut (TNCs)24 meningkat jumlahnya secara pesat dari sekitar 7000 TNCs pada tahun 1970 dan dalam tahun 1990 jumlah itu mencapai 37.000 TNCs. Selain jumlahnya meningkat, TNCs juga dapat menguasai perekonomian dunia. Kekuatan ekonomi TNCs yang luar biasa tersebut akan semakin bertambah jika globalisasi berjalan. Mereka pada saat yang lalu saja berhasil menguasai 67% dari perdagangan dunia antar TNCs dan menguasai 34,1% total perdagangan global. Lebih lanjut, TNCs juga telah menguasai 34,1% total perdagangan global. Ada sekitar 100 TNCs dewasa ini menguasai ekonomi dunia. Mereka mampu mengontrol sampai 75% perdagangan dunia.25

23

A. Tony Prasetiantono, “IMF (International Monetary Fund),” dalam I. Wibowo dan Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 120.

24

Perusahaan transnasional/Transnational Corporation (TNC) dapat didefinisikan sebagai perusahaan yang kegiatan bisnisnya bersifat internasional dan lokasi produksinya terletak di beberapa negara.

25


(25)

Perspektif politik juga menekankan pada proses menuju homogenitas, yaitu menyebarluaskan model nation-state ke seluruh dunia dan tumbuhnya model tata pemerintahan di seluruh dunia yang kurang lebih serupa (demokrasi). Bahkan Benjamin Barber, seperti dikutip Ritzer, menganalisa akan terbentuknya sebuah orientasi politik tunggal yang semakin pervasif (menyebar) di seluruh dunia, atau ia mengistilahkannya dengan “McWorld.”26

Tesis demikian juga diperkuat dengan pendapat Ulrich Beck, seorang ilmuan sosial penting yang menulis buku What Is Globalization?. Menurut Beck ada perbedaan antara globalisme, globalitas, dan globalisasi. Globalisme adalah pandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberalisme yang menopangnya. Dalam globalisme, sifat global yang multidimensionalitas direduksi menjadi dimensi ekonomi saja.

Pandangan Beck lebih komprehensif terhadap makna globalitas. Ia melihat proses transnasional ini bukan hanya ekonomi, tetapi juga melibatkan ekologi, kultur, politik, dan masyarakat sipil. Globalitas berarti mulai sekarang tidak ada kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas; semua temuan, kemenangan, dan bencana memengaruhi seluruh dunia.

Beck melihat globalisasi sebagai menurunnya kekuatan bangsa-bangsa dan batas-batas nasional. Jadi, globalisasi berarti denationalization, berarti pula bangkitnya organisasi transnasional dan mungkin negara transnasional.27

26

Ritzer, Teori Sosiologi Modern, h. 589.

27


(26)

Globalisasi dalam bentuk yang semakin jelas dewasa ini, seperti diungkapkan di atas, mempunyai maksud westernisasi dunia atau dengan ungkapan lain Amerikanisasi dunia. Martin Khor dan Mansour Fakih menyebutnya sebagai “bentuk baru kolonialisasi,” bahkan mantan Menteri Agama RI, Said Agil Husein al-Munawar pernah mengatakan:

“Arus globalisasi yang menggejala saat ini lebih berbentuk ‘Amerikanisasi’ karena pengaruh Amerika Serikat dalam ekonomi, politik, dan budaya yang begitu kuat. Tujuan pokok globalisasi adalah ekonomi yang menggunakan kekuatan politik dan budaya untuk meraih tujuan ekonomi tersebut. globalisasi saat ini ingin mengubah dunia ke arah sistem pasar tunggal yang didominasi oleh perusahaan multinasional, namun, tanpa terciptanya kesamaan kesempatan. Praktek globalisasi sekarang ini memanipulasi teori darwin. Dalam artian, praktek itu telah mengubah teori darwin yang berprinsip ‘terbaiklah yang bertahan’ menjadi ‘terkuatlah yang bertahan’.”28

Pandangan tentang teori globalisasi yang paling ekstrim disampaikan oleh Mansour Fakih, ekonom Indonesia, yang mengatakan bahwa globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak zaman kolonialisme.29 Menurutnya, globalisasi merupakan kelanjutan dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses pengintegrasian ekonomi nasional terhadap ekonomi global menjadi sebuah ancaman bagi Indonesia, karena negara dituntut oleh kepentingan global untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap kepentingan global tersebut ketimbang kepentangan nasionalnya.

28

“Menteri Agama Kritik Globalisasi Barat,” Kompas, 6 Mei 2003, h. 2.

29


(27)

B. Sejarah Globalisasi

Sangat sulit menentukan kapan sesungguhnya proses globalisasi itu dimulai. Kalau kita mengacu pada makna harfiahnya yang berarti pengglobalan,

sesungguhnya, globalisasi telah berlangsung sejak ribuan tahun silam, yaitu sejak masa awal dari adanya sistem politik dan kemasyarakatan dunia. Tepatnya setelah sistem city state (negara kota) Athena dan Sparta digantikan oleh berbagai imperium, perluasan imperium itu menandai awal dari proses globalisasi. Imperium-imperium tersebut antara lain adalah Byzantium; Dinasti Tang di China; dan Kekhalifahan Islam.

Era globalisasi selanjutnya, adalah ketika masa imperium ini berganti menjadi era kebangkitan Barat, beberapa negara di kawasan Eropa mengalami kemajuan, dan karena kebutuhan mendesak akan bahan-bahan mentah seperti rempah-rempah yang tak tersedia di wilayahnya maka negara-negara Eropa ini melakukan kolonialisasi atau penjajahan ke belahan dunia lain, seperti di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Selatan.

Proses pengglobalan/globalisasi dunia ini terus belangsung hingga saat ini melalui berbagai dimensi, baik kultur, ekonomi, maupun politik, dengan memanfaatkan kemajuan di bidang industri dan informasi. Globalisasi dari masa ke masa ini melahirkan paradoks, satu sisi menguntungkan pihak yang memiliki keunggulan dalam berbagai bidang—seperti militer, teknologi, dan industri—dan merugikan pihak yang tidak memiliki keunggulan tersebut.

Dari perspektif teori, seperti yang dikatakan Mansour Fakih, bahwa sejarah globalisasi adalah kelanjutan proses sejarah dominasi manusia terhadap manusia lainnya. Proses sejarah dominasi itu pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga


(28)

periode formasi sosial. Fase pertama adalah periode kolonialisme, yakni fase perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Melalui fase kolonialisme inilah proses dominasi manusia dengan segenap teori perubahan sosial yang mendukungnya telah terjadi dalam bentuk penjajahan secara langsung selama ratusan tahun. Proses ini berakhir pada saat terjadinya revolusi negara-negara jajahan segera setelah berakhirnya Perang Dunia II, sekitar enam puluh tahun silam.

Fase kedua, yaitu setelah berakhirnya era kolonialisme yang dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme. Pada era ini dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial mereka, atau dengan kata lain, melalui hegemoni cara pandang dan ideologi.

Fase ketiga, yaitu globalisasi yang terjadi menjelang abad duapuluh satu, ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui Structural Adjusment Program (Program Penyesuaian Struktural)30 oleh lembaga finansial global (IMF & World Bank),31 dan disepakati oleh forum GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) atau pada saat sekarang dikenal dengan WTO

30

Structural Adjusment Program (SAP) adalah resep yang dipaksakan oleh lembaga keuangan internasional (IMF & World Bank) dan WTO kepada negara-negara yang mengalami masalah dalam hal keuangan. Isi dari resep tersebut adalah (1) liberalisasi, (2) deregulasi, dan (3) privatisasi. Lihat A. Tony Prasetiantono, “IMF (International Monetary Fund),” h. 119.

31

IMF berdiri pada bulan Juli 1944 di kota kecil Bretton Woods, yang terletak di negara bagian New Hampshire Amerika Serikat. World Bank yang dahulu dikenal dengan International Bank of Reconstruction and Development (IBRD) juga didirikan pada tahun tersebut oleh negara Amerika, Ingris dan 42 negara lainnya. IMF bertugas di bidang moneter sedangkan World Bank di bidang pembangunan ekonomi. Lihat Ibid., h. 115.


(29)

(World Trade Organization).32 Sejak saat itulah suatu era baru telah muncul menggantikan era sebelumnya, yaitu globalisasi.

Mengenai ketiga fase dominasi tersebut, Fakih menulis:

“Secara teoritis sebenarnya tidak ada perubahan ideologi dari ketiga periode zaman tersebut, bahkan semakin bertambah canggih pendekatan, mekanisme, dan sistem yang secara ekonomis berwatak eksploitatif, secara politik berwatak represif, dan secara budaya berwatak hegemonik dan diskursif, dari sebagian kecil elit masyarakat yang dominan terhadap rakyat kecil.”33

Sesungguhnya, ada perbedaan antara fase pembangunan dan globalisasi, yaitu kalau pada fase pembangunan lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi nasional dan mereka lebih melihat ke dalam negeri sendiri, dalam era globalisasi mereka didorong untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi global, di mana aktornya bukan hanya negara tetapi perusahaan transnasional (TNCs) dan bank-bank transnasional (TNBs), serta lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF), serta birokrasi perdagangan regional dan global seperti WTO, Nafta, Apec, ASEAN, dan sebagainya.

C. Aktor-aktor Globalisasi

Globalisasi sebagai proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh aktor-aktor utama proses tersebut. Ada tiga aktor utama, pertama, adalah perusahaan multinasional yang

32

GATT adalah forum yang didirikan pada tahun 1947 dengan tujuan untuk mengatur lalu lintas perdagangan internasional, dalam hal ini adalah perdagangan barang, dan sebagai sebuah forum GATT sifatnya tidak mengikat. Namun, kelak forum ini mengalami evolusi menjadi lebih mengikat setelah berubah menjadi WTO pada tahun 1995, ruang lingkupnya pun menjadi lebih luas, yakni meliputi tiga bidang: perdagangan barang (trade in goods), perdagangan jasa (trade in service), dan hak atas kekayaan intelektual terkait perdagangan (trade related intellectual property right). Lihat Bonnie Setiawan, “Antara Doha dan Cancun: Cengkeraman Neoliberalisme pada Tubuh WTO,” dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme, h. 85.

33


(30)

besar yang dengan dukungan negara-negara yang dipengaruhi dan diuntungkan olehnya (yaitu negara maju)34 membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan global yang dikenal dengan WTO yang kemudian menjadi aktor kedua. Ketiga,

adalah lembaga keuangan global IMF dan Bank Dunia. Ketiga aktor globalisasi tersebut menetapkan aturan-aturan seputar investasi, Intelectual Property Rights

dan kebijakan internasional. Kewenangan lainnya adalah mendesak atau mempengaruhi serta memaksa negara-negara melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. Proses memperlicin jalan pengintegrasian tersebut ditempuh dengan cara mengubah semua aturan kebijakan yang menghalangi ketiga aktor-aktor globalisasi, terutama perusahaan multinasional untuk beroperasi dalam bentuk ekspansi produksi, pasar, maupun ekspansi investasi. Berkaitan dengan hal tersebut Fakih menulis “...sesungguhnya globalisasi tidak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan rakyat ataupun keadilan sosial di negara-negara Dunia

34

Pengaruh negara-negara maju pada lembaga-lembaga internasional semacam IMF, Bank Dunia, dan WTO bisa dilihat dari sistem hak suara (voting strengths) di lembaga-lembaga tersebut. IMF dan Bank Dunia memiliki sistem suara yang ditentukan berdasarkan saham anggota. Hal itu dengan sendirinya akan membuat suara selalu didominasi negara yang memiliki saham lebih besar, dalam hal ini negara-neagra maju. Sistem demikian membuat berbagai kebijakan yang diambil lebih menguntungkan kepentingan negara maju. WTO memiliki sistem sedikit berbeda. Setiap negara anggota memiliki satu suara, dan ini membuat negara miskin dan negara berkembang yang bergabung di dalamnya dapat lebih berperan dalam memengaruhi proses pengambilan keputusan. Walaupun di atas kertas hal tersebut adalah benar, dalam kenyataan proses yang terjadi tidak semudah itu. Hal ini disebabkan karena dalam berbagai perundingan, di mana terdapat perbedaan pendapat sangat tajam, juga dilakukan pertemuan informal bersifat terbatas, baik pada tingkat menteri maupun pejabat tinggi. Pada pertemuan-pertemuan yang dikenal dengan green room, room F meeting, maupun Chairman Consultative Group (CCG), negara maju yang memiliki kepentingan berbeda dengan negara berkembang dan negara miskin dapat melakukan tekanan, terutama dengan menggunakan mekanisme bilateral untuk memastikan negara-negara berkembang dan miskin sepakat menerima kepentingan negara maju. Lihat Riza Pramahendra, “Tata Kelola Globalisasi dan Dampaknya Pekerjaan Rumah untuk Indonesia,” dalam Sugeng Bahagijo, ed.,


(31)

Ketiga (termasuk Indonesia), melainkan lebih didorong demi motif kepentingan pertumbuhan dan akumulasi kapital berskala global...”35

35


(32)

BAB III

PARADIGMA KEDAULATAN NEGARA

A. Makna dan Paradigma Kedaulatan Negara

Sebelum membahas tentang kedaulatan negara, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan pengertian negara. Secara literal istilah negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis). Kata staat, state, etat itu diambil dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.

Kata status atau statum lazim diartikan sebagai standing atau station

(kedudukan). Istilah ini dihubungkan dengan kedudukan persekutuan hidup manusia, yang juga sama dengan istilah status civitatis atau status republicae.

Dari pengertian yang terakhir inilah, kata status pada abad ke-16 dikaitkan dengan negara.36 Penggunaan kata “negara” di Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta

nagari atau nagara, yang berarti wilayah, kota, atau penguasa.37

Secara terminologi, para pakar teori negara mengungkapkan definisi yang berbeda-beda, di antaranya adalah Roger H. Soltau yang mendefinisikan negara sebagai “alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat,” Harold J. Laski mengatakan bahwa “negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih

36

Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani

(Jakarta:UIN, 2004), h. 41.

37


(33)

agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerja sama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama,” Max Weber mengatakan “negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk menggunakan kekerasan terhadap warganya.” Dan masih banyak tokoh lain yang memiliki definisi berlainan. Namun, secara sederhana negara dapat diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat.38

Dari pengertian, dan teori negara di atas dapat kita mengerti bahwa negara merupakan organisasi yang di dalamnya terdapat kekuasaan yang besar. Meskipun para ahli bersepakat dengan definisi tersebut, namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai dari mana sumber kekuasaan tersebut diperoleh oleh negara dan siapa atau lembaga apa di dalam negara yang memiliki wewenang memegang kekuasaan tersebut.

Mengenai sumber kekuasaan, terdapat dua arus pemikiran yang berbeda pendapat mengenai dari manakah asal kekuasaan negara. Pendapat yang pertama diwakili oleh teori Teokrasi yang menyatakan bahwa asal atau sumber dari kekuasaan itu adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada jaman abad pertengahan, yaitu dari abad IV sampai abad XV Masehi. Penganut dari teori ini

38


(34)

antara lain adalah Augustinus (354-430), Thomas Aquinas (1226-1274), dan Marsilius.

Pendapat yang kedua adalah yang diberikan oleh teori hukum alam. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat; kekuasaan yang ada pada rakyat ini tidak lagi dipandang berasal dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini, melalui kontrak sosial, diserahkan kepada seseorang atau sekelompok orang (raja/pemerintah) untuk memerintah dan menyelenggarakan kepentingan masyarakat. Tokoh-tokoh teori ini antara lain: Thomas Hobbes, John Locke (1632-1704), dan J.J. Rousseau (1712-1778).39

Selanjutnya tentang pemilik kekuasaan di dalam negara. Dalam hal ini tentu yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Kedaulatan berasal dari kata “daulat” yang dalam teori pemerintahan berasal dari kata daulah (Arab), sovereignity (Inggris), souvereiniteit (Prancis), supremus

(Latin), dan sovranita (Italia) yang berarti “kekuasaan tertinggi.”40 Kekuasaan tertinggi berarti kekuasaan untuk dapat menentukan kebijakan pada taraf tertinggi dan terakhir. Dan secara istilah kedaulatan berarti “hak negara untuk melaksanakan kekuasaan penuh atas status kemerdekaannya tanpa boleh ada campur tangan dari pihak lain terhadap masalah internal maupun eksternalnya.”41

Salah satu pemikir yang mendefinisikan kedaulatan secara tegas adalah Jean Boddin, filosof Prancis yang hidup pada abad XVI, dengan mengatakan bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu negara, yang sifatnya: tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal

artinya hanya negara yang memiliki. Jadi, di dalam negara tidak ada kekuasaan

39

Soehino, Ilmu Negara, cet. II (Yogyakarta: Liberty, 1981), h. 150.

40

Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 24.

41


(35)

lain yang berhak menentukan atau membuat undang-undang. Asli berarti kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Abadi artinya kekuasaan itu tetap ada selama negara itu berdiri sekalipun pemegang pemerintahan sudah berganti-ganti. Dan tidak dapat dibagi-bagi berarti bahwa kedaulatan itu tidak dapat diserahkan kepada orang atau badan lain, baik sebagian maupun seluruhnya. Bila ada kekuasaan lain yang membatasinya, tentu kekuasaan tertinggi yang dimilikinya akan lenyap.42

Mengenai siapakah yang memiliki kedaulatan di dalam negara terdapat lima teori berbeda yang menjelaskan, yaitu (1) teori kedaulatan Tuhan, (2) teori kedaulatan raja, (3) teori kedaulatan negara, (4) teori kedaulatan hukum, dan (5) teori kedaulatan rakyat.

1. Kedaulatan Tuhan

Di antara teori kedaulatan lainnya, teori kedaulatan Tuhan dianggap yang paling tua atau paling dulu muncul. Teori ini memandang bahwa Tuhanlah yang memiliki kedaulatan dalam sebuah negara. Teori ini berkembang pada abad IV sampai abad XV Masehi dan sangat erat kaitannya dengan agama Kristen.

Para penganut teori ini kesemuanya adalah penganut teori teokrasi yaitu Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Augustinus mengatakan bahwa yang memiliki kedaulatan adalah Tuhan dan Paus menjadi wakil Tuhan di dunia untuk menjalankan kedaulatannya. Tetapi Paus harus berbagi tugas dengan raja; Paus dalam urusan keagamaan dan raja dalam urusan keduniawian.

42


(36)

Pandangan Marsilius agak berbeda, dia hanya menitikberatkan pemegang kedaulatan di dunia hanya kepada raja. Akibat dari ajaran ini pada masa itu adalah tindakan para raja yang sewenang-wenang, mereka merasa berkuasa untuk berbuat apa saja menurut kehendaknya, dengan alasan bahwa perbuatannya itu adalah sudah menjadi kehendak Tuhan. Raja tidak merasa bertanggung jawab kepada siapapun kecuali kepada Tuhan.43

2. Kedaulatan Raja

Teori kedaulatan raja ini sesungguhnya tak berbeda jauh dengan teori kedaulatan Tuhan. Teori ini berkembang pada sekitar abad XV. Teori ini dilatarbelakangi oleh perkembangan kekuasaan yang sudah bergeser dari Gereja (Paus) ke Raja. Tokoh-tokoh yang mempopulerkan teori ini di antaranya adalah: Niccolo Machiavelli, Jean Boddin, Thomas Hobbes, dan G.W.F. Hegel. Umumnya mereka benpendapat bahwa kedaulatan negara terletak di tangan raja, karena raja dianggap sebagai penjelmaan kehendak Tuhan dan raja juga merupakan bayangan dari Tuhan di bumi ini. Agar negara kuat, raja harus berkuasa mutlak dan tak terbatas; posisi raja berada di atas undang-undang; dan rakyat harus rela menyerahkan hak-hak asasi dan kekuasaannya secara mutlak kepada raja.44

Contoh negara yang menerapkan teori ini adalah Prancis pada masa dipimpin oleh Raja Louis XIV (1643-1715) dengan ucapannya yang amat terkenal “L’Etat C’est Moi” yang berarti, “negara adalah saya.”

3. Kedaulatan Negara

43

Soehino, Ilmu Negara, h. 153.

44


(37)

Teori ini berkembang di Eropa antara abad XV-XIX. Diilhami oleh gerakan Renaissance dan ajaran Niccolo Machiavelli tentang negara sebagai sentral kekuasaan. Teori ini memandang bahwa kekuasaan pemerintah bersumber dari kedaulatan negara (staats-souvereiniteit); negara dianggap sebagai sumber kedaulatan yang memiliki kekuasaan tidak terbatas; karena negara abstrak, maka kekuasaannya diserahkan kepada raja atau presiden atas nama negara; negaralah yang menciptakan hukum. Oleh sebab itu, negara tidak wajib tunduk kepada hukum. Tokoh yang mendukung teori ini di antaranya adalah: George Jellinek, Paul Laband, Adolf Hitler, dan B. Mussolini. Khusus kedua tokoh yang disebutkan belakangan bahkan mempraktekkannya ketika mereka masing-masing menjadi pemimpin negara Jerman dan Italia. Mereka menganggap dirinya sebagai pusat kekuasaan negara serta memerintah secara totaliter dan sentralistis.45

Kusnardi dan Bintan Saragih melihat teori ini hanya sekedar untuk merevitalisasi teori kedaulatan raja yang sebelumnya sudah usang dan tergantikan oleh teori kedaulatan rakyat. Teori kedaulatan negara juga mengadopsi logika teori kedaulatan rakyat, bahwa jika rakyat berdaulat, berarti juga negara yang berdaulat karena negara adalah bentukan rakyat. Akan tetapi karena negara itu mempunyai arti yang abstrak, timbul pertanyaan siapakah yang memegang kekuasaan negara. Maka yang memegang kedaulatan dalam negara tidak lain dan tidak bukan adalah raja sendiri. Pengertian negara yang abstrak itu dikongkritkan dalam tubuh raja.

45


(38)

Ajaran itu disebut Verkulpringstheorie yang artinya negara menjelma dalam tubuh raja.46

4. Kedaulatan Hukum

Teori ini berkembang setelah Revolusi Prancis dan diilhami oleh semboyan rakyat Prancis ketika itu, yaitu Liberte (kebebasan); Egalite

(persamaan); dan Fraternite (persaudaraan) yang ingin hidup lepas dari kesewenang-wenanganan penguasa (raja). Tokohnya yang terkenal antara lain adalah H. Krabbe, Immanuel Kant, dan Kranenburg.

Menurut teori ini yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum. Karena baik raja/penguasa, rakyat/warganegara, maupun negara itu sendiri tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku, dan perbuatannya harus sesuai dengan ketentuan hukum; yang berdaulat adalah hukum; dan setiap tindakan negara harus didasarkan pada hukum.

Lalu apa yang menjadi sumber hukum? Menurut Krabbe sumber itu adalah rasa keadilan dan kesadaran hukum yang terdapat di dalam jiwa masyarakat. Hukum itu tidaklah lahir dari kehendak negara, artinya hukum itu terlepas dari kehendak negara. Hal ini berkaitan dengan teorinya yang mengatakan bahwa hukum itu adalah salah satu dari sekian banyak jenis perasaan kita. Krabbe menambahkan selain manusia punya rasa susila, keindahan, keagungan dan sebagainya, ia juga punya rasa hukum. Hukum adalah bagian dari jiwa manusia, misalnya, ketika melihat sesuatu yang janggal pastilah jiwa kita akan berkata hal itu tidak sesuai. Oleh karenanya,

46

Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, cet.III (Jakarta: Gaya Media Pratama), h. 122.


(39)

kesadaran hukum juga adalah salah satu fungsi dari jiwa manusia. Jadi, karena hukum adalah jiwa dan perasaan kita, maka ia berada di luar kehendak kita dan bahkan negara.47

5. Kedaulatan Rakyat

Pengaruh dari teori kedaulatan hukum di atas adalah lahirnya teori kedaulatan rakyat, karena teori kedaulatan hukum tersebut menempatkan rakyat tidak hanya sebagai objek, tetapi juga subjek dalam negara. Teori kedaulatan rakyat muncul pada abad XVII dan terus berkembang hingga sekarang. Di antara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah John Locke, Montesquieu, dan J. J. Rouseau.

Teori ini memandang bahwa yang memiliki dan menjadi sumber kedaulatan sebuah negara adalah rakyat. Jadi, yang berdaulat adalah rakyat. Rakyat merupakan kesatuan yang dibentuk oleh individu-individu melalui perjanjian masyarakat (social contract), kemudian rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memberikan sebagian haknya kepada penguasa untuk kepentingan bersama. Penguasa dipilih dan ditentukan atas dasar kehendak rakyat/umum (volonte generale) melalui perwakilan yang duduk di dalam pemerintahan. Namun, pemerintah tidak memerintah secara absolut, karena pemerintah yang berkuasa tidak serta merta menguasai hak rakyat sepenuhnya.48

Dari pembahasan tentang teori-teori kedaulatan di atas, tiga teori yang dibahas terlebih dahulu (kedaulatan Tuhan, raja, dan negara) mengarah kepada absolutisme kekuasaan negara yang pada umumnya dipegang oleh seorang raja.

47

Soehino, Ilmu Negara, h. 156-157.

48


(40)

Namun, seiring perkembangan zaman dan pengaruh teori demokrasi modern, pada saat ini teori-teori tersebut tergantikan oleh teori kedaualatan rakyat yang mengidealkan kekuasaan/kedaulatan berada di tangan rakyat, karena negara terbentuk berdasarkan kehendak rakyat, bahkan kalaupun raja yang memimpin negara tersebut hal itu karena persetujuan dari rakyat. Karena rakyat banyak maka tidak mungkin jika rakyat bersama-sama menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan yang mereka miliki, akan tetapi rakyat menunjuk dan menentukan pemerintah untuk mengatur negara sesuai dengan kehendak mereka. Paul Hirst dan Grahame Thompson menamakan kedualatan seperti ini sebagai kedaulatan yang demokratis.49

Selanjutnya, kedaulatan yang dimiliki tiap negara mempunyai kekuatan yang berlaku ke dalam (interne-souvereiniteit) dan ke luar (externe-souvereiniteit). Kedaulatan ke dalam berarti bahwa pemerintah/negara memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kedaulatan ke luar berarti pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada kekuatan lain, selain ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.50 Demikian juga, negara lain harus pula menghormati kekuasaan negara yang bersangkutan, dengan tidak mencampuri urusan dalam negerinya. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Paul Hirst dan Grahame Thompson bahwa “setiap negara adalah berdaulat dan karena itu setiap negara menentukan di dalam dirinya kebijakan internal dan eksternalnya.”51

49

Paul Hirst dan Grahame Thompson, Globalisasi Adalah Mitos. Penerjemah P. Soemitro (Jakarta: YOI, 2001), h. 263.

50

Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 25.

51


(41)

Jadi, kedaulatan negara yang dimaksud dalam skripsi ini adalah kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat yang kemudian diserahkan kepada negara atau lebih tepatnya kepada pemerintah untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita dibangunnya negara. Lebih tegasnya, kamus politik mengartikan kedaulatan negara sebagai “hak negara untuk melaksanakan kekuasaan penuh atas status kemerdekaannya tanpa boleh ada campur tangan dari pihak lain terhadap masalah internal maupun eksternalnya. Setiap negara bebas untuk membuat keputusan sendiri.”52 Sehingga negara yang berdaulat adalah negara yang bisa menentukan nasib bangsanya sendiri (otonom) tanpa intervensi negera manapun.

Soekarno mencatat bahwa setidaknya negara yang memiliki kedaulatan harus memenuhi tiga kriteria, yaitu (1) berdaulat dalam bidang politik, (2) berdikari dalam bidang ekonomi, dan (3) berkepribadian dalam budaya.53 Berdaulat dalam bidang politik mengisyaratkan bahwa secara politik negara harus merdeka dan bebas dari segala bentuk penjajahan, dan bebas dari intervensi lembaga manapun dalam menentukan kebijakan. Secara ekonomi, kemandirian sebuah negara amat penting, kemandirian perekonomian sebuah negara mencegah terjadinya intervensi atau campur tangan pihak asing dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Misalnya dalam hal pengelolaan sumber daya alam, negara berhak atas apa yang terkandung di dalam wilayahnya dan mengelolanya sebaik mungkin untuk kepentingan rakyatnya. Berkepribadian dalam budaya menjadi penting karena kebudayaan erat kaitannya dengan karakter suatu negara-bangsa dan rasa nasionalisme masing-masing warga negaranya. Sebuah negara

52

B. N. Marbun, Kamus Politik, h. 237.

53

Pravendi Januarsa, “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno,” artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135


(42)

harus memiliki kebudayaan yang berkepribadian untuk menjaga agar eksistensinya tetap kokoh di tengah gempuran budaya-budaya asing.

Ketiga kriteria kedualatan negara yang disebutkan oleh Soekarno seperti dijelaskan di atas merupakan syarat mutlak agar eksistensi negara dengan kedaulatannya tetap terjaga di tengah hegemoni globalisasi seperti yang terjadi saat ini. Globalisasi dengan implikasi negatif yang dibawanya benar-benar mengancam eksistensi kedaulatan negara dalam tiga bidang yang disebutkan oleh kriteria tersebut. Dalam bidang politik negara terancam dengan intervensi negara tertentu dalam mendesakkan kepentingannya, terutama dengan dalih menjaga ketertiban-keamanan dunia dan pengelolaan sumber daya alam. Dalam bidang ekonomi negara juga terancam dengan ekspansi modal besar-besaran yang tak mengenal batas negara dan cengkeraman perusahaan-perusahaan multinasional/transnasional yang mengeruk sumber daya alamnya dengan dukungan lembaga-lembaga internasional yang sangat berpengaruh. Dan dalam bidang budaya, dengan dukungan kemajuan di bidang teknologi dan informasi, negara mendapat ancaman dari budaya asing yang bertentangan dengan budaya lokal yang mampu merangsek sampai ke pelosok suatu negara.

B. BATAS-BATAS KEDAULATAN NEGARA

Agar kekuasaan negara—dengan kedaulatannya—tidak menjadi absolut dan jelas, maka diperlukan pembatasan-pembatasan yang jelas. Pembatasan tersebut terjadi diberbagai aspek, seperti pada pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara yang tertuang dalam bentuk pemisahan atau pembagian kekuasaan, kemudian pembatasan kedaulatan pada wilayah kekuasaan suatu negara, dan


(43)

pembatasan kedaulatan pada hukum dasar (konstitusi), karena negara yang berdaulat biasanya selalu diiringi dengan bentuk negara yang berdasarkan hukum, seperti Indonesia.

Hal pertama yang harus dibatasi adalah kepemilikan kekuasaan antar lembaga yang terdapat dalam negara. Pembatasan ini biasa disebut sebagai pemisahan atau pembagian kekuasaan.

Doktrin mengenai pemisahan kekuasaan (separation of power) pertama kali dikemukakan oleh John Locke, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704, dalam buku Two Treaties On Civil Goverment. Dalam buku itu Locke menyebut bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam (Trias Politica), yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan federatif.54

Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, misalnya raja dan presiden, sedangkan kekuasaan legislatif merupakan lembaga perumus undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental negara lainnya. Menurut Locke kekuasaan legislatif ini tidak bisa dialihkan kepada siapa pun atau lembaga manapun karena pada hakekatnya kekuasaan legislatif adalah manifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara.

Kekuasaan legislatif dijalankan oleh parlemen yang merupakan pengejawantahan atau bentuk representasi semua kelas sosial masyarakat baik kaum bangsawan, orang-orang kaya maupun rakyat jelata. Kekuasaan suara di parlemen itu menurut Locke ditentukan oleh prinsip mayoritas.

Mengenai kekuasaan federatif, Locke berpendapat bahwa kekuasaan itu berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang,

54


(44)

perdamaian, liga dan aliansi antar negara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing.55 Dengan pemisahan kekuasaan seperti ini, Locke berharap penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa dapat dicegah, sekaligus menjamin hak-hak warga negara.

Pemikiran Locke tentang pemisahan kekuasaan dikembangkan lebih lanjut oleh filsuf Prancis Montequieu (1689-1755) dalam bukunya L’Esprit Des Lois

(The Spirit of The Laws) yang membagi Trias Politica dalam bentuk kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Mengenai kekuasaan eksekutif dan legislatif, pandangan Montesquieu tidak berbeda dengan pendapat Locke, perbedaannya hanya pada kekuasaan yudikatif. Menurut Montesquieu kekuasaan yudikatif adalah lembaga yang tugas utamanya mengadili pelanggaran undang-undang. Konkritnya di Indonesia lembaga-lembaga tersebut adalah Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan Mahkamah Agung (yudikatif).

Doktrin pemisahan kekuasaan ini (terutama pandangan Montesquieu) berlangsung di banyak negara pada masa sekarang, misalnya Amerika Serikat, sebagian besar negara di Eropa, Indonesia, dan lain-lain. Namun, seiring perkembangan zaman, penerapannya berbeda dengan konsep aslinya, artinya pemisahan kekuasaan antar ketiga lembaga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) tidak berjalan secara tegas dan banyak mengalami perkembangan atau tegasnya, menurut Miriam Budiarjo, telah bergeser menjadi pembagian kekuasaan (division of powers). Misalnya seperti yang terjadi di Amerika, dengan asumsi bahwa kekuasaan yang terdapat dalam lembaga-lembaga negara tersebut bisa saja

55


(45)

diselewengkan oleh pemegang kekuasaannya, maka diperlukan sistem “checks

and balaces” untuk membendung kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan

tersebut.56

Sistem ini menggambarkan bahwa setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya. Misalnya, presiden diberi wewenang untuk memveto rancangan undang-undang yang telah disepakati oleh Congress, akan tetapi dipihak lain veto ini dapat dibatalkan oleh Congress dengan dukungan 2/3 dari Majelis. Mahkamah Agung mengadakan check

terhadap badan eksekutif dan badan legislatif melalui judicial review (hak uji), dan di lain pihak Hakim Agung yang telah diangkat oleh badan eksekutif dapat diberhentikan oleh Congress jika ternyata melakukan tindakan kriminal.

Praktek pembagian kekuasaan seperti di atas juga terjadi di Indonesia. Badan eksekutif di Indonesia tidak hanya bertindak sebagai pelaksana undang-undang atas persetujuan parlemen, tetapi juga bergerak dalam bidang legislatif, misalnya, menyusun rancangan undang-undang, membuat Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan sebagainya. Pemerintah juga berkecimpung di bidang yudikatif, misalnya memberi grasi, amnesti, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi.

Pembatasan kedaulatan yang kedua adalah dalam bidang wilayah. Oleh karena dunia ini tidak hanya dihuni oleh satu negara tetapi banyak negara, maka masing-masing negara memiliki kedaulatan dalam wilayah yang dikuasai atau didiaminya. Untuk menciptakan ketertiban kepemilikan wilayah maka diaturlah

56


(46)

perjanjian internasional mengenai kedaulatan wilayah masing-masing negara, baik di wilayah darat, air, maupun udara. Pengaturan tegas mengenai batas wilayah ini menjadi penting karena wilayah merupakan tempat berlindung bagi rakyat sekaligus sebagai tempat bagi pemerintah untuk mengorganisir dan menyelenggarakan pemerintahan.

Penentuan batas-batas suatu wilayah daratan, baik yang mencakup dua negara atau lebih, pada umumnya berbentuk perjanjian atau traktat. Misalnya:

1. Traktat antara Belanda dan Inggris pada tanggal 20 Juli 1891 menentukan batas wilayah Hindia Belanda di Pulau Kalimantan.

2. Perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas tertentu dengan Papua Nugini yang ditandatangani pada tanggal 12 Februari 1973.57

Mengenai wilayah lautan, pada awalnya terdapat dua konsepsi pokok mengenai wilayah lautan, yaitu res nullius dan res communis. Res nullius adalah konsepsi yang menyatakan bahwa laut itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara. Konsepsi ini dikembangkan oleh John Sheldon (1584-1654) dari Inggris dalam buku Mare Clausum atau The Right and Dominion of The Sea.

Sedangkan Res communis adalah konsepsi yang beranggapan bahwa laut itu adalah milik masyarakat dunia sehingga tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara. Konsepsi ini kemudian dikembangkan oleh Grotius dari Belanda pada tahun 1608 dalam buku Mare Liberum (laut bebas). Karena konsepsi inilah, kemudian Grotius dianggap sebagai bapak hukum internasional.58

57

Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, h. 21.

58


(47)

Dewasa ini, masalah wilayah lautan telah memperoleh dasar hukum, yaitu Konferensi Hukum Laut Internasional III tahun 1982 yang diselenggarakan oleh PBB atau United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS) di Jamaica. Konferensi PBB itu ditandatangani oleh 119 peserta dari 117 negara dan 2 organisasi kebangsaan di dunia tanggal 10 Desember 1982.

Dalam bentuk traktat multilateral, batas-batas laut terinci sebagai berikut.59

a) Batas Laut Teritorial

Setiap negara mempunyai kedaulatan atas laut teritorial yang jaraknya sampai 12 mil laut, diukur dari garis lurus yang ditarik dari pantai.

b) Batas Zona Bersebelahan

Sejauh 12 mil laut di luar batas laut teritorial atau 24 mil dari pantai adalah batas zona bersebelahan. Di dalam wilayah ini negara pantai dapat mengambil tindakan dan menghukum pihak-pihak yang melanggar undang-undang bea-cukai, fiskal, imigrasi, dan ketertiban negara.

c) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

ZEE adalah wilayah laut dari suatu negara pantai yang batasnya 200 mil laut diukur dari pantai. Di dalam wilayah ini, negara pantai yang bersangkutan berhak menggali kekayaan alam lautan serta melakukan kegiatan ekonomi tertentu. Negara lain bebas berlayar atau terbang di atas wilayah itu, serta bebas pula memasang kabel dan pipa di bawah lautan itu. Negara pantai yang bersangkutan berhak menangkap nelayan asing yang kedapatan menangkap ikan dalam ZEE-nya.

d) Batas Landas Benua

59


(48)

Landas benua adalah wilayah lautan suatu negara yang lebih dari 200 mil laut. Dalam wilayah ini negara pantai boleh mengadakan eksplorasi dan eksploitasi, dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat internasional.

Sedangkan untuk masalah wilayah udara pada saat ini belum ada kesepakatan di forum internasional mengenai kedaulatan di ruang udara. Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang kemudian diganti oleh pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan eksklusif di ruang udara di atas wilayahnya, artinya negara berhak mengadakan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah udaranya, misalnya untuk kepentingan radio, satelit, dan penerbangan. Mengenai ruang udara (air space), di kalangan para ahli masih terjadi silang pendapat karena berkaitan dengan batas jarak ketinggian di ruang udara yang sulit diukur. Sebagai contoh, Indonesia, menurut undang-undang no. 20 tahun 1982 menyatakan bahwa wilayah kedaulatan dirgantara yang termasuk orbit geo-stationer adalah 35.761 km.60

Para ahli yang berbeda pendapat mengenai batas wilayah udara di antaranya adalah Lee, Von Holzen Dorf, dan Henrich’s yang masing-masing berpendapat:61

1. Lee

Ia berpendapat bahwa lapisan atmosfir dalam jarak tembak meriam yang dipasang di darat dianggap sama dengan udara teritorial negara. Di luar jarak tembak itu, harus dinyataka sebagai udara bebas, dalam arti dapat dilalui oleh semua pesawat udara negara manapun.

2. Von Holzen Dorf

60

Ibid., h. 23.

61


(1)

Misalnya, bentuk kerjasama pengelolaan sumber daya alam dengan perusahaan-perusahaan internasional.

Ketiga, semua elemen di dunia ini harus senantiasa memperjuangkan suatu tatanan yang lebih adil bagi negara-negara di dunia dan masyarakat umum. Karena bagaimanapun juga suatu kebijakan nasional tidak akan pernah efektif tanpa perubahan tatanan dunia seperti saat ini. Karena, segala rekomendasi kebijakan yang dijalankan akan mempunyai hasil yang kurang memuaskan jika situasi global yang menyisakan ketimpangan dan dominasi modal negara-negara maju teru berlanjut.

Keempat, atau yang terakhir, dan sekaligus yang amat penting adalah membangkitkan kembali rasa nasionalisme setiap negara di dunia. Nasionalisme merupakan benteng terpenting sebuah negara dari gempuran globalisasi. Dalam berbagai perspektif, baik ekonomi, politik, maupun budaya, revitalisasi nasionalisme menjadi jawaban bagi melemahnya kedaulatan negara di tengah hegemoni globalisasi seperti saat ini.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Baswir, Revrisond. “Menelanjangi Globalisasi.” Pengantar dalam James Petras dan Henry Veltmeyer. Imperialisme Abad 21. Penerjemah Agung Prihantono. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002

______________. “Utang Luar Negeri dan Neokolonialisme Indonesia.” Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006.

Budiyanto. Dasar-dasar Ilmu Tatanegara. Jakarta: Erlangga, 2003. Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.xxv.

Jakarta:Gramedia, 2003.

“Bangsa Indonesia Menyambut Globalisasi.” Artikel diakses pada

11 Semptember 2008 dari situs

http://hildaku.blog.com/568343/

Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press, 2002.

Gie, Kwik Kian. “50 Tahun Berkeley Mafia; Antara Kenyataan dan Fiksi.” Makalah di sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006.

______________. “Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak 1967.” Dalam Amin Aryoso dkk. UUD 2002 Hasil Amandemen UUD ’45 Menghancurkan Bangsa Secara Ideologi, Politik, Ekonomi, dan Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2008.

Gunawan, Adi. Kamus Praktis Ilmiah Populer. Surabaya: Kartika, 2001.

“Globalisasi.” Artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.html


(3)

Hawkins, Joycem. Kamus Dwi Bahasa Oxpord-Erlangga. Jakarta: Erlangga, 1996.

Herzt, Noreena. Perampok Negara Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya Demokrasi. Penerjemah M. Mustafied. Yogyakarta: Alenia, 2005.

Hirst, Paul dan Grahame Thompson. Globalisasi Adalah Mitos. Penerjemah P. Soemitro. Jakarta: YOI, 2001.

Imam, Robert H. “Neoliberalisme, Era Baru, dan Peradaban Pasar.” Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed., Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003.

Istijar, M. “Globalisasi; Antara Impian dan Kenyataan.” Modul Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI. Ciputat: LS-ADI Press, 2003.

______________. “Globalisasi Anak Kandung Kapitalisme,” Modul Pelatihan Dasar Anti Globalisasi LS-ADI. Ciputat: LS-ADI Press, 2003

Januarsa, Pravendi. “Globalisasi dalam Tinjauan Kritis Soekarno.” Artikel diakses pada 08 Agustus 2008 dari

http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=135

Kusnardi, Moh. dan Bintan Saragih. Ilmu Negara, cet.III. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Lukman, M.H. “Penanaman Modal Asing Berarti Memperkuat Kedudukan Imperialisme di Negeri Kita.” Artikel diakses pada 10 Januari 2009 dari www.geocities.com/edicahy/anti-imperialisme/MH-Lukman.pdf

“Menteri Agama Kritik Globalisasi Barat.” Kompas, 6 Mei 2003. Marbun, B. N. Kamus Politik. Jakarta: Sinat Harapan, 2007.

“Pengertian Globalisasi.” Artikel diakses pada 21 Oktober 2008 dari

http://fransis.wordpress.com/2008/02/17/pengertian-globalisasi.html

Perkins, John. Confessions of an Economic Hit Man. Penerjemah Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani. Jakarta: Abdi Tandor, 2005.


(4)

Palmer, I. The Indonesia Economy Since 1965: A Case Study of Political Economy. London: Frank Cass, 1978.

Pramahendra, Riza. “Tata Kelola Globalisasi dan Dampaknya Pekerjaan Rumah untuk Indonesia.” Dalam Sugeng Bahagijo, ed. Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006. Prasetiantono, A. Tony. “IMF (International Monetary Fund).”

Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003.

Priyono, B. Herry. “Dalam Pusaran Neoliberalisme.” Dalam I. Wobowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras, 2003.

Ransom, David. Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006.

Rahmani, Muhajir Arif. “Arti Penting Kedaulatan Negara.” Artikel diakses pada tanggal 11 September 2008 dari situs http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=A3763_0_3_0_M Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern.

Penerjemah Alimandan. Jakarta: Kencana, 2003.

Ranawijaya, Usep dkk. Ancaman Terhadap Jatidiri Bangsa. Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2008.

Seda, Frans. "Mengenang Situasi Lahirnya Peraturan 3 Oktober 1966." Dalam Bustomi Hadjid Ronodirdjo dkk, ed. Presiden Soeharto Bapak Pembangunan Indonesia Evaluasi Pembangunan Pemerintah Orde Baru. Bandung: Harapan Bandung, 1983.

Suseno, Franz Magnis. Dalam Bayang-bayang Lenin. Jakarta: Gramedia, 2005.

Stiglitz, Joseph E. Dekade Keserakahan. Penerjemah Aan Suhaeni. Tangerang: Marjin Kiri, 2005.

Soehino. Ilmu Negara, cet. II. Yogyakarta: Liberty, 1981.

Setiawan, Bonnie. “Antara Doha dan Cancun: Cengkeraman Neoliberalisme pada Tubuh WTO.” Dalam I. Wibowo & Prancis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003 ______________. “Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap


(5)

Oktober 2008 dari situs Http://Www.Icrp-Online.Org/Wmview.Php?Artid=170&Page=20

Soim, Nur Ahmad. “Mafia Barkeley dan Neo-Kolonialisme Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007.

Sianipar, Gading. "Mendefinisikan Pascakolonialisme? Pengantar Menuju Wacana Pemikiran Pascakolonialisme." Dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia, 2001. Swasono, Sri Edi. “Berkeley Mafia VS Pemikiran Hatta.” Makalah

disampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Mafia Berkeley VS Gagasan Alternatif Pembanguna Ekonomi Indonesia. Jakarta: Koalisi Anti Utang, 2006.

Tilaar, H. A. R. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Grasindo, 1997.

Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: UIN, 2004.

UUD ’45 Amandemen I, II, III, IV. Jakarta: Bintang Indonesia, 2004. Warganegara, Arizka. “Globalisasi dan Islam Politik.” Artikel diakses

pada 11 September 2008 dari http://arizka- giddens.blogspot.com/2008/09/globalisasi-dan-islam-politik-sebuah.html.

Wibowo, I. “Emoh Negara: Neoliberalisme dan Kampanye Anti-Negara.” Dalam I. Wibowo & Francis Wahono, ed. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cinderalas, 2003.

Winarno, Budi. Globalisasi Peluang atau Ancaman bagi Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2008.


(6)