menguji kebenaran hipotesis tersebut. Maka, masih terbuka lebar bagi penulis untuk melakukan penelitan skripsi ini, di samping juga belum ada yang meneliti
sebelumnya sebagaimana telah penulis kemukakan di atas.
D. Tujuan Penulisan
1. Tujuan untuk melengkapi tugas akademi, sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana Strata satu S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Mengetahui secara jelas pemahaman Nurcholish Madjid tentang sufisme
dan relevansinya dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan.
E. Metode Penelitian
Dalam upaya memaparkan penelitian ini, penulis menggunakan metode library research atau penelitian kepustakaan. Artinya, data-data yang dihadirkan
diperoleh dari data primer dalam hal ini tentunya buku-buku yang ditulis oleh Nurcholish Madjid. Sebagaian karya Nurcholish Madjid yang menjadi rujukan
utama dalam penelitan ini adalah Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2008, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,
1987 dan beberapa karya lain yang ditulis olehnya. Disamping itu, penulis juga menggunakan beberapa data sekunder berupa buku-buku yang mengkaji tentang
pemikiran Nurcholish Madjid serta buku-buku lainnya yang memiliki korelasi dengan topik pembahasan dalam skripsi ini.
Adapun pendekatan metodologi penelitan ini besifat deskriptif dan analisis kritis. Pendekatan deskriptif ini mengandaikan sebuah uraian yang cermat dan
objektif berdasarkan beberapa sumber yang digunakan. Artinya, penelitian ini ingin mengungkapkan pemikiran sufisme yang memiliki relevansi dengan konteks
kemodernan dan keindonesiaan semata-mata apa adanya objektif. Sedangkan pendekatan analisis kritis adalah menganalisa serta menilai scara kritis
keseluruhan data yang telah diperoleh melalui pendekatan deskriptif tersebut, sehingga dapat terungkap akan kekuatan dan begitu pula kelemahan dari konsep
sufisme Nurcholish Madjid. Terakhir berkaitan dengan teknik penulisan, penulis merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh Ceqda Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan I, 2007.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gamabaran yang jelas tentang apa yang menjadi topik kajian dalam skripsi ini, maka penulis merasa perlu untuk memaparkan
sistematika penulisannya. Bab I, menjelaskan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah,
tinjauan pustaka, tujuan penulisan, metode penelitan, dan sistematika penulisan. Bab II, penulis menampilkan profil Nurcholish Madjid dengan memotret
riwayat hidup dan pendidikan, serta corak pemikiran dan iklim intelektual sekitar yang mempengaruhinya, berikut beberapa karyanya yang merefleksikan
perkembangan pemikirannya.
Bab III, memaparkan tentang pandangan Nurcholish Madjid tentang sufisme secara umum. Bab ini meliputi: makna dan hakikat sufisme serta
kedudukannya dalam Islam, tradisi awal sufisme dan perkembangannya, Tarekat dan Korelasinya dengan sufisme, kemudian Sufisme Baru.
Bab IV, menjelaskan pandangan Nurcholish Madjid tentang kontekstualisasi sufisme dalam kemodernan dan keindonesaan. Bab ini meliputi:
Pertama, sufisme dalam konteks kemodernan, di dalamnya mencakup makna kemodernan, serta kedudukan tasawuf dalam kemodernan. Kedua, sufisme dalam
konteks keindonesiaan, mencakup relevansi sufisme dan kebudayaan lokal, sufisme dan kebhinnekaan, sufisme dan politik, sufisme dan pendidikan, serta
sufisme dan dunia usaha. Bab V, penutup berupa kesimpulan akhir sebagai jawaban dari rumusan
masalah yang diajukan dalam penelitian ini dan diakhiri dengan saran.
BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Nurcholish Madjid yang populer dipanggil Cak Nur – selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut Nurcholish – adalah seorang cendikiawan muslim yang
merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia dilahirkan pada 17 Maret 1939, bertepatan dengan 26 Muharam 1358 H. di
Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur.
1
Ia dibesarkan dari latar keluarga pesantren. Ayahnya Abdul Madjid, seorang kiai jebolan Pesantren Tebuireng, Jombang,
yang didirikan dan dipimpin oleh pendiri Nahdlatul Ulama NU, Hadratus Syaikh Hasyim Asy‘ari.
2
Meskipun ayahnya berlatar belakang pendidikan NU, namun dalam segi politik, ayahnya, begitu pula ibunya adalah tokoh pendukung
MASYUMI yang tulus. Nurcholish, pertama kali mendapatkan pelajaran agama lewat ayah dan
ibunya serta di madrasah yang didirikan oleh keluarganya pada 1948. Selain itu, ia juga mengikuti Sekolah Rakyat SR di kampungnya.
3
Setelah tamat Sekolah Rakyat, Kemudian melanjutkan pendidikannya tingkat menengah SMP di
pesantren Dârul ‘Ulûm, Rejoso, Jombang selama dua tahun,
4
dan kemudian
1
Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. e.d, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Bandung: mizan, 2006,
h. iv.
2
Dedy Djamaludin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, Nurcholish Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat,
Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998, h. 121.
3
Dedy, Zaman Baru Islam, h. 122.
4
Ada dua alasan, yang menurut Nurcholish Madjid, mengapa ia hanya bertahan selama dua tahun nyantri di Rejoso. Pertama, karena alasan kesehatan, dan kedua, karena alasan ideologi
atau politik. Dedy, Zaman Baru Islam, 123.
12
akhirnya ia pindah ke pesantren KMI Kulliyatul Mu‘allimîn Al-Islâmiyyah, Pesntren Dâr al-Salâm di Gontor, Ponorogo.
5
Pondok “modern” Gontor dimana Madjid mengenyam pendidikan Islam tingkat SLTPSLTA, adalah pondok pesantren yang berkecenderungan
“modernis”.
6
Di tempat inilah Nurcholish mendapatkan pengetahuan lebih mendalam tentang dasar-dasar agama Islam, serta pelajaran untuk berpikir kritis,
tidak memihak pada salah satu mazhab secara fanatik. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Pesantren Gontor, Nurcholish
melanjutkan pendidikannya di IAIN sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7
Di masa inilah Nurcholish berjodoh dengan Himpunan Mahasiswa Islam HMI, organisasi yang dibesarkan dan sekaligus membesarkannya. Setiap jenjang
organisasi dilaluinya dengan penuh semangat. Karirnya di HMI dimulai dari komisariat, lalu menjadi Katua Umum HMI Cabang Jakarta, hingga akhirnya
berhasil menjadi Katua Umum PB-HMI selama dua periode berturut-turut, yakni pada 1966-1968 dan 1968-1970.
8
Dalam masa itu pula, ia menjadi presiden pertama PEMIAT Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Wakil Sekjen
IIFSO International Islamic Federation of Students Organizations, 1969-1971.
9
5
Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. iv.
6
Disebut “modernis” karma pendidikan di pesantren Gontor berbeda dengan pesantren “tradisional”. Pembeda dari pondok-pondok yang “tradisional”, adalah di Gontor, kitab-kitab
kuning yang dikaji sudah bersifat majemuk. Hal ini menjadi pembeda, karena di pesantren “tradisional”, kitab kuning tertentu saja yang dikaji. Jadi, ada tradisi dan sikap untuk kaji banding
yang mengisyaratkan adanya peluang luas menumbuhkan sikap dan cara pikir “ijtihad”, yang bersifat sintesis, yang memunculkan asumsi bahwa pendapat masa lampau ditempatkan secara
non-mutlak. Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, h. 96.
7
Zamharir, Agama dan Negara, h. 101.
8
Dedy, Zaman Baru Islam, h. 125.
9
Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi.
Masih dalam dunia akademik, pada tahun 1978 Nurcholish pergi ke Amerika untuk mendalami ilmu politik dan filsafat Islam di Universitas Chicago,
Kemudian pada tahun 1984 ia kembali ke Indonesia
10
dengan meraih gelar Ph.D. dalam bidang filsafat Islam dengan disertasi mengenai filsafat dan kalam teologi
menurut Ibn Taimiyah Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelatiaon in Islam.
11
Intelektualitas Nurcholish tidak dapat diragukan, dan eksistensinya dalam ranah pemikiran Islam bersinar hingga taraf internasional sejak tahun 1970-an.
Tahun 1977, ia menjadi sarjana tamu dan pembicara pada konferensi tahunan MESA Middle East Studies Association di San Fransisco, AS. Juga masih dalam
posisi dan peran yang sama, pada AAR American Academy or Religion.
12
Pada tingkat nasional, Nurcholish mulai berkiprah tahun 1980-an, antara lain dengan
ditandai oleh kedudukannya sebagai: 1 anggota Dewan Pers 1991-1997; 2 Anggota Komnas HAM 1993-1998; 3 Anggota Dewan Riset Nasional 1994-
1998; dan 4 Anggota Dewan Penasihat Ikatan Cendikiawan Muslim se- Indonesia ICMI, 1995-1998. Pada tahun 1998, Nurcholish dikukuhkan sebagai
Guru Besar Luar Biasa dalam bidang Falsafah dan Kalam pada Fakultas Ushuluddin, IAIN kini UIN Jakarta.
13
Gagasan Nurcholish terus berkembang, khususnya setelah ia bersama tokoh-tokoh pembaru Islam yang lain mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina
10
Ketika Nurcholish Madjid pulang dari Amerika pada 1984, lebih dari 100 orang menyambutnya di Pelabuhan Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta.
http:www.kampusislam.comindex?pilih=newsmod=yesaksi=lihatid=426, artikel diakses tanggal 4 November 2009.
11
Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. vi.
12
Zamharir, Agama dan Negara, h. 102.
13
Zamharir, Agama dan Negara, h. 103.
pada Oktober 1986.
14
Sejak Paramadina didirikan, aktivitas dakwah dan menulisnya dalam bidang keislaman pun semakin menjadi, hingga akhirnya, ikon
pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia ini, menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah pada Senin 29
Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah RSPI, Jakarta Selatan.
15
Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta, 30 Agustus 2005, dengan upacara militer dipimpin oleh Ketua MPR-RI, Dr. Hidayat
Nurwahid, MA.
16
B. Corak Pemikiran dan Iklim Intelektual yang Mempengaruhinya