Makna dan Hakikat Tasawuf serta Kedudukannya dalam Islam

BAB III SUFISME DALAM PANDANGAN NURCHOLISH MADJID

A. Makna dan Hakikat Tasawuf serta Kedudukannya dalam Islam

Sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagaman eksoterik zhâhirî, lahiri dan esoterik bâthinî, batini sekaligus. Tapi meskipun tekanan yang berlebihan kepada salah satu dari kedua aspek pengahayaan itu akan menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip ekuilibirium tawâzun dalam Islam, namun kenyataanya banyak kaum Muslim yang pengahayatan keislamannaya lebih mengarah kepada yang lahiri lalu disebut ahl al-zhawâhir dan banyak pula yang lebih mengarah kepada yang batini dan disebut ahl al-bawâthin. Kaum syarî’ah, yaitu mereka yang lebih menitik beratkan perhatian kepada segi-segi syarî’ah atau hukum, sering juga disebut kaum lahiri. Sedangkan kaum tharîqah, yaitu mereka yang berkecimpung dalam amalan-amalan “tarekat”, dinamakan kaum batini. 1 “Esoterik” juga biasa disebut mistik atau mistisme. Kita harus ingat bahwa diam atau tutup mulut adalah makna dasar kata Yunani muo yang menjadi akar kata mysterion dan mistisme. 2 Dengan demikian orang dapat mengaitkannya dalam konteks Islam dengan istilah-istilah seperti asrâr misteri-misteri atau bâthin esoterik atau batin, mengingat bahwa kaum Sufi menyebut diri mereka 1 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. 2, Jakarta: Paramadina, 2000, h. 77. 2 Lihat. Lorrens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002, h. 216. 26 sebagai para penjaga misteri-misteri atau asrâr Ilahi. 3 Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientaslis disebut sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis khusus dipakai untuk mistisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisme yang terdapat dalam agama-agama lain. 4 Jadi, tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaniya ketimbang aspek jasmaninya; dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana; sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekakan aspek esoterik ketimbang eksoterik, lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah. Karena para ahli taswuf, yang kita sebut sufi, secara ontologis mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki dan real dibanding dengan dunia jasmani. Bahkan sebab terakhir dari segala yang ada ini, yang kita sebut Tuhan, juga bersifat spiritual. Karena itu, realitas sejati bersifat spiritual. 5 Dari pengertian ini terlihat perbedaan orientasi keagamaan yang signifikan antara kaum lahiri dan batini. Sebagaimana yang menjadi pengetahuan kita, bahwa inti dari keseluruhan sistem agama Islam adalah ajaran tawhîd, dan inti ajaran al-Qur’an adalah tawhîd 3 Sayyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003 h. 459. 4 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan bintang, 2006, h. 43. 5 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta: Erlangga, 2006, h. 3. merupakan sesuatu yang tidak boleh diragukan. 6 Tawhîd kemudian termanifestasikan dalam bentuk ibadah serta amal-perbuatan sebagai bentuk institusi iman. Penghayatan dan pengamalan akan iman inilah yang berbeda penekannya antara kaum lahiri dan kaum batini. Perbedaan atara kedua orientasi keagamaan yang lahiri dan batini itu kemudian mewujudkan diri dalam divergensi sistem-sistem penalaran masing-masing pihak pendukungnya. Maka dalam kedua- duanya kemudian tumbuh cabang ilmu keislaman yang berbeda satu dari yang lain, bahkan dalam beberapa hal tidak jarang bertentangan. Kedua-duanya seolah hendak merebut sumber legitimasi dari al-Qur’an dan menganggap paham serta jalan yang mereka tempuh par excellence. 7 Sama halnya – perbedaan orientasi keagamaan – tasawuf dengan fiqih, demikian pula halnya tasawuf dengan ilmu kalam. Bisa dikatakan antara tasawuf dengan kedua cabang ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu ilmu kalam dan ilmu fiqih atau syari‘ah memang tidak senantiasa harmonis. Tetapi harus dikatakan di sini bahwa pada awalnya perbedaan atara ketiga cabang ilmu itu, terutama antara tasawuf dengan kalam, lebih terletak pada masalah tekanan daripada isi ajarannya. Dikatakan bahwa perbedaan itu lebih terletak pada masalah tekanan dari pada isinya, sebab baik ilmu kalam maupn ilmu tasawuf keduanya berpangkal tolak pada kalimat syadadat lâ ilâha illa Allâh. Menurut kaum sufi, dari kalimat syahadat itu dapat disimpulkan bahwa kenyataan yang benar atau al-Haqq hanyalah Tuhan semata, sedangkan selain Dia hanyalah nisbi belaka. Kaum sufi 6 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,1997, h. 45. 7 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. 6, Jakarta: Paramadina, 2008, h. 252. bertujuan untuk sampai pada al-Haqq itu. 8 Karenanya, para sufi menyebut diri mereka “ahl al-haqîqah”. Penyebutan ini mencerminkan obesesi mereka terhadap kebenaran yang hakiki. Maka, mudah dipahamai kalau mereka menyebut Tuhan dengan “al-Haqq”, seperti yang tercermin dalam ungkapan al-Hallaj w. 922 H., “anâ al-Haqq”. 9 Dari sini terlihat immanensi Tuhan dalam ajaran tasawuf. Selain persoalan transendealisme 10 , ilmu kalam juga lebih mengutamakan pemahaman masalah-masalah ketuhanan dalam pendekatan yang rasional dan logis. Sedangkan tasawuf sangat banyak menekankan pentingnya penghayatan ketuhanan melalui pengalaman-pengalaman nyata dalam olah rohani spiritual exercise yang mengutamakan intuisi. 11 Yang dilakukan kaum sufi – untuk sampai kepada al-Haqq – dengan hanya mencontoh perihidup Nabi Muhammad yang merupakan prototype kehidupan ruhani dalam Islam. Dalam pada itu, mereka pun menempuh jalan dalam mencari pengalaman ruhani yang ukuran sempurnanya adalah mi‘raj Nabi. Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isrâ’-Mi’râj itu adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Namun kaum sufi berusaha untuk meniru dan mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi diri yang 8 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48. 9 Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 6. 10 Dalam teologi aliran ilmu kalam khususnya teologi Asy’ari sangat ditekenkan ajaran bahwa Tuhan adalah transendental, mengatasi dan terpisah dari apa pun yang merupakan ciptaan- Nya. Perincian tentang sifat-sifat Tuhan yang dua puluh mencakup sifat mukhâlafat li al-hawâdits, bahwa Tuhan berbeda dari seluruh makhluk atau alam ciptaan-Nya. Sedangkan dalam tasawuf sebaliknya, bahwa Tuhan adalah serba immanent, senantiasa hadir bersama hamba-Nya dan selalu mawjûd di mana-mana. Lihat. Madjid, Bilik-bilik Pesantren, h. 43-45. 11 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 47. sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia “bertemu” dengan Dzat Yang Mahatinggi itu. “Pertemuan” dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah Hadîts sebagai “sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia”. Sebab dalam “pertemuan” itu, segala rahasia kebenaran “tersingkap” kasyf untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna fanâ dalam Kebenaran. 12 Tasawuf lebih merupakan kumpulan perilaku daripada rumusan doktrin- doktrin. Tasawuf ini seringkali bersifat sangat pribadi. Oleh karena itu pengalaman mistis kaum sufi hampir mustahil dikomunikasikan kepada orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi si empunya sendiri. Karenanya sering terjadi adanya tingkah laku eksentrik dan “di luar garis”, dan orang lain, lebih-lebih sesama sufi sendiri, akan memandangnya dengan penuh pengertian, bahkan kekaguman. 13 Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam perbedaharaan kaum sufi, ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran. Kebenaran al-haqq digambarkan sebagai minuman keras atau khamar. Bahkan untuk sebagaian mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan “dlamîr al-sya’n”, yaitu kata-kata “an” yang berarti “bahwa” dalam kalimat syadat pertama, Asyhadu an lâ ilâh illa Allâh aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensnya 12 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 257. 13 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 258. mereka menghayati tawhîd, sehingga mereka tidak menyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Mahaada. 14 Selanjutnya, di dalam al-Qur’an juga banyak ditegaskan tentang pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi, termasuk ketika al-Qur’an berbicara tentang hukum. Seorang Muslim harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab-kitab fiqih yang selalu dimulai dengan bab pensucian thahârah lahir, sebagai awal pensucian batin. 15 Di sini Madjid ingin mengatakan bahwa tasawuf merupakan “faktor pengimbang” bagi fiqh yang banyak menekankan segi hukum yang lahiri, bagi kalam yang lebih berorientasi kepada pembahasan rasional-dialektis, dan bagi falsafah yang banyak mengandalkan kemampuan rasio atau akal lebih daripada kalam. 16

B. Tradisi Awal Sufisme dan Perkembangannya