Sufisme dalam Konteks Kemodernan

BAB IV KONTEKSTUALISASI SUFISME DALAM KEMODERNAN DAN

KEINDONESIAAN

A. Sufisme dalam Konteks Kemodernan

1. Makna Kemodernan Penyebutan tahap perkembangan sejarah manusia yang sedang berlangsung sekaran ini sebagai “zaman modern” bukannya tanpa masalah. Masalah itu timbul karena inti dan hakikat zaman sekarang bukanlah kebaruannya “modern” berarti baru, seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi tahap yang berarti berikutnya. Di samping itu, perkataan “modern” mengisyaratkan suatu penilaian tertentu yang cenderung positif “modern” berarti maju dan baik, padahal dari sudut hakikatnya, zaman modern itu sesungguhnya bersifat netral. Artinya, bisa bersifat atau berdampak fositif, dan juga sebaliknya. menurut Nurcholish, pengertian yang mudah tentang “modernisasi” adalah pengeritan yang identik, atau hampir identik dengan pengertian “rasionalisasi”, yakni proses perombakkan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. 1 Maka “modernitas” bisa diartikan dengan kondisi konkret zaman modern yang di dalamnya meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Ditinjau dari sosio-historis, periode sejarah yang lazim disebut “modern” mempunyai banyak perbedaan pandangan tentang jiwa dengan periode 1 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987 h. 172. 50 sebelumnya periode pertengahan 2 . Menurut Bertrand Russell, ada dua hal terpenting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas agama dalam konteks Barat saat itu otoritas gereja, dan menguatnya otoritas sains. 3 Peristiwa- peristiwa penting yang turut mendorong modernitas antara lain, Revolusi Industri Inggris dan Revolusi Prancis pada abad ke-18. 4 Menurut Nurcholish, betapa pun hebatnya zaman modern, namun kreativitas itu, dalam perspektif sejarah dunia dan umat manusia secara keseluruhan, masih merupakan kelanjutan berbagai hasil usaha achievements umat manusia sebelumnya. Unsur-unsur kultural kehidupan modern seperti bahasa, norma-norma etis, bahkan huruf dan angka serta temuan-temuan ilmiah, meskipun dalam bentuknya yang masih germinal dan embrionik, adalah produk zaman sebelumnya, yaitu zaman Agraria. Tanpa pernah ada zaman Agraria, zaman modern sendiri sama sekali mustahil. Oleh sebab itu, pertama-tama zaman modern harus dipandang sebagai kelanjutan wajar dan logis perkembangan kehidupan manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnya di dunia ini. 5 Karena merupakan suatu kelanjutan logis sejarah, maka modernitas adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Lambat atau pun capat modernitas tentu muncul di kalangan umat manusia, entah kapan dan di bagian mana dari muka bumi ini. Jika 2 Masyarakat abad pertengahan adalah masyarakat yang relatif kecil, homogen, tanpa pembagian kerja, dimana tradisi, adat istiadat, dan agama memainkan peran kunci. Donny Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra, 2006, h. 68. 3 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko et. al., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 645. 4 Donny, Percik Pemikiran Kontemporer, h. 69. 5 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Cet. 6, Jakarta: Paramadina, 2008, h. 446. “kebetulan” momentum zaman modern dimulai oleh Eropa Barat Laut sekitar dua abad yang lalu, maka sebenarnya telah pula terjadi “kebetulan” serupa sebelumya, yaitu dimulainya momentum zaman Agraria dari Lembah Mesopotamia bangsa Sumeria sekitar lima ribu tahun yang lalu. 6 Lebih jauh lagi, munculnya zaman Agraria juga disebut sebagai permulaan sejarah, dan zaman sebelumnya disebut zaman “prasejarah” yang tanpa “peradaban”. Karena itu Lembah Mesopotamia dianggap sebagai tempat “buaian” peradaban manusia. 7 Jadi, modernitas kemodernan, jika seandainya sekarang ini belum muncul, tentu akan membuka kemungkinan bagi kelompok manusia mana pun, dengan keungulan relatif antara mereka, untuk memunculkannya. Namun karena dimensi pengaruhnya yang global dan cepat itu, maka modernitas sekali dimulai oleh suatu kelompok manusia dalam hal ini bangsa-bangsa Barat, tidak mungkin lagi bagi kelompok manusia lain untuk memulainya dari titik nol. Kembali kepada kemodernan yang merupakan suatu kelanjutan logis sejarah, pada gilirannya membawa dampak negatif yang sangat menantang, yaitu materialisme. Dimulai dengan kenyataan bahwa teknikalisasi – sebagai salah satu wujud kemodernan – dapat berakibat kepada merosotnya peranan agama, 8 atau paling tidak mendorong ajaran agama pada posisi pinggiran, jika bukan 6 Jika zaman modern membawa implikasi terbentuknya Negara-negara nasional, maka konsep dan lembaga kenegaraan itu sendiri adalah akibat langsung dan diciptakan oleh zaman Agraria. 7 Patut diingat bahwa semua agama besar, baik yang Semitik Yahudi, Kristen dan Islam maupun yang “Asia” Hiduisme, Budhisme, Konfusionisme lahir dan berkembang di zaman Agraria. Zaman Agraria itu sendiri, semenjak permulaannya oleh bangsa Sumeria, telah berlangsung selama sekitar lima puluh abad, sementara zaman modern, dalam bentuknya yang mekar sekarang ini, baru berlangsung sekitar dua abad saja. Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 447. 8 Fenomena tragis ini telah ditunjukkan dalam sejarah awal zaman modern di Barat, dimana otoritas gereja digantikan oleh otoritas sains. Lihat, Russel, Sejarah Filsafat Barat, h. 645- 647. membuatnya tidak relevan dengan kenyatan hidup manusia. 9 Pada kenyataannya, Masyarakat modern bukan lagi masyarakat kecil dimana satu sama lain saling kenal dan bergotong royong secara sukarela. Masyarakat modern adalah masyarakat orang-orang asing yang heterogen secara kultural dan agama, dimana norma hubungan antar-manusia dieksploitasi dalam bentuk kontrak 10 “saya bekerja bukan karena saya kenal anda, tetapi karena menurut perjanjian anda akan mengupah saya 100 perak per jam”. Berkenaan dengan bangsa Indonesia, masalah yang harus kita perhatikan adalah kenyataan religo-sosio-kultural bahwa sebagian besar bangsa kita adalah Muslim. Hal ini mengisyaratkan adanya potensi konflik antara modernitas – dengan materialisme sebagai implikasinya – di satu pihak dan Islam-Indonesia di pihak lainnya. Namun, menurut Nurcholish, sebenarnya ada segi dari Islam dan tradisi kaum Muslim yang diharapkan secara lebih menentukan mengambil bagian dalam usaha-usaha menanggulangi berbagai krisis zaman Modern, yakni pemahaman hakikat tawhîd yang diwujudkan melalu amal perbuatan yang dilakukan berdasarkan dorongan batinnya. 11 Jika pola revolusi ilmiah umumnya tidak lebih dari pada hasil dari mencari pemcehan teka-teki puzzle solving – dan bukannya terbit dari semangat mencari Kebenaran Terakhir Ultimate Truth 12 – 9 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 72. 10 Donny, Percik Pemikiran Kontemporer, h. 69. 11 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 531. 12 Dalam proses-proses kreatifitas ilmiah modern, umumnya, tidak mau, atau tidak berani, mengaku sebagai mencari “kebenaran”, melainkan lebih banyak mencari pemecahan berbagai teka-teki yang terkandung dalam suatu paradigma ilmiah yang dianggap mapan. Nurcholish, Tradisi Islam, h. 73. maka sebab utamanya adalah karena hilangnya semangat tawhîd dalam diri manusia modern. Dari penjelasan tentang kemodernan – dengan implikasi positif dan negatifnya – sebagai suatu kelanjutan logis sejarah, maka faktor – yang disebut Nurcholish dengan – “the man behind the gun” memegang peran amat menentukan dalam menjadikan teknologi bermanfaat atau bermudarat. “The man” adalah hakikat yang diwujudkan melalu amal perbuatan yang dilakukan berdasarkan dorongan batinnya. 13 2. Sufisme dan Kemodernan Zaman modern, dengan perkembangan ilmu pengetahuan atau sains serta teknologi sebagai bentuk terapannya, tidak dapat dibantah telah membuat hidup umat manusia menjadi lebih baik, atau jauh lebih baik. Kenyataan ini diperkuat oleh adanya dambaan semua bangsa untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan kemajuan, kekuatan dan kemakmurannya. Tetapi dari sisi lain, – yang gelap – ialah ketika ilmu pengetahuan berkembang menjadi “paham ilmu-pengetahuan” atau scientism, menuju ke arah pertumbuhan sebuah ideologi tertutup. Yaitu ideologi atau paham yang memandang ilmu pengetahuan sebagai hal terakhir final, memiliki nilai kemutlakan, dan serba cukup dengan dirinya sendiri. Kenyataan ini terlihat ketika sains modern meyakini bahwa 13 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 532. hakikat hanyalah kenyataan empirik, dan kemudian meragukan hal-hal di luar jangkuannya. 14 Pada gilirannya hal ini dapat berakibat kepada merosotnya peranan agama, atau paling tidak mendorong agama pada posisi pinggiran, jika bukan membuatnya tidak relavan dengan kenyataan hidup manusia. 15 Dalam masyarakat serupa itulah timbul sinyalemen bahwa teknologi modern mengakibatkan alienasi, yaitu keadaan seseorang yang “terasing” dari dirinya sendiri dan nilai kepribadiannya, karena ia menjadi tawanan sistem yang melingkarinya dan di mana ia hidup, tanpa ia sendiri berdaya berbuat sesuatu apa pun. 16 Pada gilirannya, manusia modern menjual jiwanya untuk memperoleh kekuasaan terhadap lingkungan alam manusia, dan ia menciptakan suatu situasi di mana kontrol terhadap lingkungan berubah menjadi pencekikan, yang selanjutnya tidak hanya berubah menjadi kehancuran tatanan masyarakat tapi juga perbuatan bunuh diri. 17 Dengan kata lain, Beberapa implikasi negatif dari kemodernan itu melahirkan kegelisahan yang akut dalam jiwa manusia modern. Permasalahan yang muncul – dari kemodernan – kemudian adalah jika kemodernan – sebagaimana yang telah diungkapkan Nurcholish – adalah suatu kelanjutan logis sejarah atau perkembangan alami manusia, maka ketidak cocokan itu bisa bermakna serius, yaitu ketidak cocokan antara alam manusia dengan manusia itu sendiri serta ajaran agamanya. Namun optimistik Nurcholish tetap 14 Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. e.d, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Bandung: mizan, 2006h, h. 2768. 15 Nurcholish, Tradisi Islam, h. 73. 16 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 531. 17 Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyu Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta, Gramedia, 2009, h. 1. kuat dalam memandang relevansi tasawuf dalam kemodernan. Menurut Nurcholish, kita perlu menumbuhkan kembali keyakinan kepada keserasian atau keseimbangan mîzân atau tawâzun atara diri kita sebagai jagad kecil atau mikro-kosmos dengan dengan alam raya keseluruhan sebagai makro-kosmos. 18 Ini juga berarti menumbuhkan kembali dimensi religusitas dalam kehidupan manusia modern. Karena religiusitas adalah milik praktis setiap orang. Manusia hidup tidak mungkin tanpa rasa dimensi kedalaman tertentu yang menyentuh emosi dan jiwanya atau ruhaninya. 19 Demikian pula pada manusia modern, dimensi religius atau spiritual bukannya tak ada, tapi karena manusia modern “hidup di pingir lingkaran eksistensi”, tidak pada pusat spiritualitas dirinya, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. 20 Dengan kata lain permasalahan modernitas, atau sebagaian orang yang mempermasalahkan relavansi agama dengan modernitas, adalah dikarenakan memudarnya daerah kegaiban atau mistik dalam penghayatan keagamaan. Padahal tindakan keagamaan pada dasarnya dilakukan karena pengakuan adanya kenyataan supra-empiris atau gaib dan misteri mistik. 21 Permasalahan tidak selesai sampai di situ. Pengakuan akan adanya kenyataan supra-empiris atau gaib pun terdapat pada manusia primitif dengan berbagai ritual pemujaannya 22 . Sebagai tokoh pembaru Islam, – yang mempunyai misi memurnikan ajaran Islam dari bid‘ah dan khurafat – Nurcholish, justru 18 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Cet. 2, Jakarta: Paramadina, 2000, h. 81. 19 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 9. 20 Komaruddin, Agama Masa Depan, h. 3. 21 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 148. 22 Seperti agama-agama berhala yang melakukan pemujaan atas dasar pandangan bersahaja terhadap fenomena-fenomena alam serta pengkultusan kepada leluhur. melihat sisi positif lainnya dari kemodernan. Bahkan kemodernan menopang dan meningkatkan misi pemurnian ajaran agama atau meningkatkan religiusitas yang paling murni dan sejati. Yakni sikap keagamaan yang memandang keparcayaan atau iman sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan yang menimbulkan perasaan bahagia karena nilai intrinsiknya. Religiusitas dalam dimensi ini tidak mengaharapkan kegunaan di luari imannya sendiri. Maka agama menjadi semakin murni, dalam arti bahwa keagamaan tidak lagi banyak mengandung nilai instrumental. 23 Dalam pada itu, sebagaimana telah diungkapkan Nurcholish, bahwa modernisasi adalah rasionalisasi, yakni proses perombakan pola berpikir dan tata- kerja lama yang tidak akliah rasional, dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata-kerja baru yang akliah. Keguanaannya adalah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Maka dalam menetapkan penilaian tentang kemodernan, juga berorientasi kepada nilai-nilai besar Islam. Di sini Nurcholish ingin menegaskan bahwa modernisasi adalah suatu keharusan, malahan kewajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau Sunnatullah Hukum Ilahi yang haqq sebab alam adalah haqq. Sunnatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk dapat 23 Contoh sederhana, karena “instrument” untuk memberantas hama tanaman dalam suatu masyarakat industrial modern telah disediakan oleh ilmu dan teknoogi – misalnya dalam bentuk insektisida – maka orang akan semakin berkurang mendekati Tuhan – misalnya dalam bentuk doa – dengan tujuan agar tanamannya di sawah tidak terkena hama; ia – dengan modernitas – mungkin akan berpindah dari religiusitas berdimensi cultural instrumental ke cultural consumatory, di mana ia melihat ibadat sebagai tujuan pada dirinya sendiri yang menjadi sumber kebahagiaan. Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 149. menjadi modern, manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu perintah Tuhan. 24 Namun demikian, karena keterbatasan kemampuannya, manusia tidak dapat sekaligus mengerti seluruh hukum alam ini, melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, maka menjadi modern adalah juga berarti progresif dan dinamis. Maka sekalipun bersikap modern to be modern itu suatu keharusan mutlak, tetapi kemodernan modernitiy itu sendiri relatif sifatnya, sebab terikat oleh ruang dan waktu. Sedangkan yang modern secara mutlak ialah yang benar secara mutlak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta seluruh alam. Jadi, modernitas berada dalam suatu proses, yaitu proses penemuan kebenaran- kebenaran yang relatif, menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah. 25 Bukankah tujuan akhir ultimate goal hidup manusia ialah Kebenaran Akhir Ultimate Truth, yaitu Tuhan itu sendiri atau Kebenaran Ilahi? Dari sini kita bisa melihat relevansi sufisme tasawuf baru atau neo- sufisme yang ditawarkan Nurcholish. Tasawuf yang mengajarkan bahwa kenyataan yang benar atau al-Haqq hanyalah Tuhan semata, dan kaum sufi bertujuan untuk sampai kepada al-Haqq itu 26 dengan memelihara prinsip keseimbangan mîzân atau tawâzun dalam dirinya sendiri, termasuk dalam kehidupan spiritualnya dan tetap bersikap positif kepada dunia. 27 Pembahasan di atas diharapkan dapat memberi gambaran memadai tentang prinsip-prinsip tawhîd, – sebagaimana semangat kaum sufi dalam menghayati dan 24 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 172. 25 Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 174. 26 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,1997, h. 48. 27 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 79. mengamalkan tawhîd – adalah prinsip abadi, berlaku untuk selama-lamanya. Maka dengan sendirinya juga seharusnya dan memang berlaku untuk masa sekarang di zaman modern ini, dan kita dapat melihat apa saja yang dihasilkan sains modern yang sekiranya bisa menguatkan sistem keimanan agama. Itu semua membawa kita ke dalam hidup dan menjalani kehidupan dengan selalu bersandar tawakal kepada Allah, ingat dzikir dengan berdo‘a, dan berbuat hanya atas perintah-Nya dan demi ridlâ-Nya. Selanjutnya Nurcholish mengatakan bahwa yang diperlukan disni adalah adanya sikap istiqâmah agar dapat memperoleh hikmah agama secara optimal – lebih-lebih lagi – dizaman modern ini. Karena kemodernan modernitas, modernity syarat dengan perubahan, bahkan “perubahan yang terlembagakan” institutionalized change. 28 Istiqâmah yang di maksud Nurcholish, tidak bermakna statis. Meskipun mengandung arti kemantapan, tetapi tidak berarti kemandekan, melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Jadi dalam modernitas, yang bericirikan perubahan yang terlembagakan ini, kita harus tetap bergerak, maju, namun tetap stabil, tanpa goyah, apalagi takut dengan oleh lajunya perubahan. Ini bisa terwujud kalau kita – lagi-lagi – menyadari dan meyakini apa tujuan hidup kita, berjalan di atas kebenaran demi kebenaran, untuk sampai akhirnya kembali kepada Tuhan, Sang Kebenaran Mutlak dan Abadi. 28 “Institutionalized change” artinya, jika pada zaman-zaman sebelumya perubahan adalah sesuatu yang “luar biasa” dan hanya terjadi di dalam kurun waktu yang amat panjang, di zaman modern perubahan itu merupakan gejala harian, dan sudah menjadi keharusan. Nurcholish Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1996, h. 174. Kesadaran akan hidup menuju Tuhan itulah yang akan memberi kebahagiaan sejati. 29

B. Sufisme dalam Konteks Keindonesiaan