Latar Belakang Masalah Kontekstualisasi sufisme dalam kemoderenan dan keindonesiaan : studi atas relevansi pemikiran sufisme nurcholish madjid di indonesia

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peradaban dunia kahir-akhir ini tengah menjalankan proyek modernisme dimana penekanan individualisme dan rasionalisme empirisme serta sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan menjadi salah satu ciri masyarakatnya yang paling menonjol. Harus diakui bahwa modernisme telah memacu perkembangan msyarakat dalam bebagai bidang kehidupan. Namun pada saat yang sama, modernisme meggiring manusia memasuki masa-masa krisis bagi kualitas nilai kemanusiaannya. Hal ini ditandai dengan fenomena perilaku dan pola pikir manusia yang semakin menjauh dari eksistensi kemanusiaanya. Nilai- nilai kemanusiaa telah banyak diabdikan dan dikorbankan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Supremasi rasionalisme, empirisme, positivisme dan pragmatisme tampil dengan gagahnya di permukaan bumi ini, seraya dianggap telah berhasil menggeser dogmatisme agama. 1 Dengan didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Realitas alam raya yang oleh doktrin-doktrin agama selalu dikaitkan dengan selubung metafisika dan kebesaran Sang Pencipta, kini hanya dipahamai semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannya dengan 1 Nurcholish Madjid et. Al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, Jakarta: Mediacita, 2000, h. 97. 1 Tuhan. 2 Akibatnya, kehidupan masyarakat modern menjadi kehilangan salah satu aspeknya yang paling fundamental yaitu aspek spiritual. Pada gilirannya, manusia lupa akan eksistensi dirinya sebagai ‘âbid hamba di hadapan Tuhan, karena mereka sudah terputus dari akar-akar spiritualitas. Ini merupakan fenomena yang menunjukkan betapa manusia modern spiritualitasnya begitu akut, yang mengakibatkan mereka cenderung tidak mampu menjawab berbagai persoalan hidupnya, kemudian terperangkap dalam “kehampaan spiritual”, atau yang dalam bahasa sosiolog disebut alienasi. 3 Masalah alienasi adalah masalah kejiwaan dimana manusia mengalami keterasingan jiwa. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan sekaligus membebaskannya dari derita aliensi, jusru dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhirnya ultimate goal, karena Tuhan Maha Wujud omnipresent dan Maha Absolut. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi akan tidak berarti di hadapan eksistensi Yang Absolut. Keyakinan dan perasaan inilah yang akan memberikan kekuatan, kendali, dan kedamaian jiwa seseorang sehingga yang bersangkutan merasa senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan, yang selalu menjadi pegangan hakiki. 4 Dengan kata lain, manusia tidak bisa dipahami tanpa ketergantungan dengan Tuhan sekaligus keterkaitan dengan manusia lain baik secara individual maupun komunal. Pemahaman seperti ini sesungguhnya berada dalam wacana spritualitas dan dalam khazanah intelektual Islam yang biasa disebut “tasawuf” atau “sufisme”. 2 Nurcholish et. Al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: h. 99. 3 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005, h. 3. 4 Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, h. 5. Tasawuf, sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran akan adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat qurb dengan Tuhan. 5 Selanjutnya tasawuf atau sufisme menjadi salah satu khazanah Islam yang menarik perhatian kaum intelkutaual baik di Timur maupun di Barat. Doktrin-doktrin sufisme terus merembes – terlepas dari beberapa golongan dari tradisi keilmuan Islam yang menolak doktrin tasawuf 6 – ke dalam ranah intelektual para pemikir besar Islam. Dalam pada itu, sekalipun sufisme berkembang dan dapat bertahan hingga berabad-abad, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya, terdapat pula pergeseran dalam ajaran-ajaranya. Karena dalam masa perkembangannya tasawuf menerima, atau barangkali lebih tepat memasukkan unsur-unsur dari luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara kaum Muslim dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syiria dan Persia yang dalam beberapa hal, khususnya di bidang filsafat lebih dulu maju daripada kaum Muslim sendiri. 7 Namun demikian, Kenyataannya sufisme terus berkembang pesat dan masih tetap hidup selama berabad-abad hingga mencapai kepulauan Indonesia. Kehadiran ajaran tasawuf berikut lembaga-lembaga tarekatnya di Indonesia, sama tuanya dengan kehadiran Islam itu sendiri sebagai agama yang masuk di kawasan ini. Sufisme secara langung terlibat dalam penyebaran Islam di 5 Harun Nasutian, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, jilid II, Jakarta: UI Press, 1986, h. 71. 6 Dalam perkembangannya, terdapat hubungan yang senantiasa tidak harmonis antara tasawuf dengan kedua cabang ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu ilmu kalam dan ilmu fiqh atau syari’ah. Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,1997, h. 47. 7 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48. Indonesia. 8 Aktivitas para pendakwah sufi bertindak sebagai motor dalam penyebaran Islam hingga akhirnya sufisme tersebar di berbagai kepulauan Indonesia. Tasawuf memainkan peranan besar dan menentukan dalam membentuk pandangan religius, spiritual, dan intelektual di Kepulauan Indonesia. Bukan hanya dalam proses islamisasi semata, tasawuf juga menunjukkan peranannya yang cukup signifikan dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. 9 Namun demikian, perlu diingat bahwa Islam bukanlah agama pertama yang masuk di Indonesia. Pra-Islam, Indonesia telah memiliki “agama asli” 10 yakni berupa konsep-konsep keruhanian dalam masyarakat suku yang secara internal tumbuh, berkembanga dan mencapai kesempurnaannya sendiri tanpa imitasi atau pengaruh eksternal. Selanjutnya, agama yang kemudian dianut orang- orang Indonesia adalah Hindu-Budha yang dibawa oleh para pedagang India. 11 Jadi, sebelum Islam datang, Indonesia telah memiliki tradisi dan kebudayaan lokal yang sudah melekat dalam keyakinan mereka, yakni tradisi dan kebudayaan agama asli serta Hindu-Budha. Kebudayaan lokal inilah yang nantinya akan berdampingan dan berkolaborasi dengan ajaran-ajaran Islam [baca:sufisme]. 8 Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007, h. 252. 9 Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat; Telaah Histori Gerakan Politik Antikolonialisme Tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah di Pulau Jawa, Bandung:Pustaka Hidayah, 2002, h. 27. 10 Agama asli tersebut tidak jauh berbeda dengan agama-agama berhala yang melakukan pemujaan atas dasar pandangan bersahaja terhadap fenomena-fenomena alam. Mereka mempercayai adanya Ruh Tuhan yang mengalir dalam setiap makhluk. Kekuatan tubuh sesuai dengan kapasitas Ruh Tuhan yang mengalir di dalamnya sehingga di antara mereka ada yang memuja dan mengultuskan leluhur atas dasar keyakinan bahwa ruh leluhur lebih kuat daripada ruh mereka sendiri. Bahkan ada yang menyembah binatang buas. Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, Bandung: Mizan, 2001, h. 2. 11 Alwi, Islam Sufistik, h. 3. Sufisme hadir dalam bentuk yang menarik terutama dengan menekankan kontinuitas daripada perubahan dalam kepercayaan dan praktik tradisi keagamaan lokal. Karenanya, model Islam yang tersebar di kawasan ini selama periode awal Islam di Indonesia adalah model sufisme-sinkretis yang dalam beberapa hal tidak sesuai dengan ajaran syariah. 12 Hal inilah yang nantinya menjadi sasaran kritik tokoh-tokoh intelektual Muslim modernis. Terkait dengan hal tersebut dan dalam konteks itu pula, Nurcholish Madjid merupakan salah satu tokoh intelektual muslim modernis yang patut diperhitungkan pemikirannya. Beliau menaruh perhatian yang cukup tinggi dan memiliki pandangan tersendiri mengenai konsep tasawuf serta memiliki pandangan positif terhadap ajaran tasawuf sufisme di tengah-tengah habitat modernitas. Nurcholish Madjid menganggap bahwa tasawuf – yang merupakan inti keagamaan religiusitas yang bersifat esoteris – masih, dan akan tetap relevan dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan. Menurut Nurcholish Madjid kita harus lebih mencermati dan memahami dengan seksama konsep ajaran dan tradisi-tradisi sufisme sehingga tidak terjadi penyelewengan dari ajaran Al-Quran dan hadis. Sufisme tidak harus terkungkung dalam teks-teks kuno yang diwariskan oleh tokoh-tokoh sufi terdahulu. Kerena sufisme tradisional – seiring dengan perkembangannya – dalam beberapa hal banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur asing. 13 Oleh karena itu, sufisme perlu dipahami secara kontekstual, namun tetap terjaga kemurniannya. Dalam pada itu, sebagai bentuk pembaruan konsep ajaran sufisme tradisional, Nurcholish Madjid 12 Huda, Islam Nusantara, h. 253. 13 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48. menawarkan sebuah konsep sufisme baru atau yang biasa disebut dengan “neo- sufisme”. 14 Relevansi tasawuf dalam kehidupan manusia modern diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, misalnya, dalam sebuah pengantar pada Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, karya M. Solihin. Nurcholish Madjid dalam buku itu menegaskan betapa pentingnya tasawuf dalam dimensi kehidupan mayarakat Indonesia-modern karena tasawuf dapat mewarnai segala aktivitas baik yang berdimensi sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan bangsa ini. Ia bisa diamalkan oleh setiap Muslim, dari lapisan sosial mana pun dan di tempat mana pun. 15 Dengan demikian, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam dan melakukan penelitian lebih lanjut tentang pandangan sufisme Nurcholish Madjid ini. Dalam pada itu, sesunggunya konsep sufisme yang ditawarkan Nurcholish Madjid ini sangatlah relevan bila dikaitkan dalam konteks kemodernan dan keindonesiaan mengingat masyarakat Indonesia saat ini telah terkungkung dalam pola hidup modern, dimana manusia menjadi serba dilayani perangkat teknologi yang serba otomatis dan canggih, yang pada gilirannya akan membuat manusia lengah dan tidak menyadari bahwa dimensi spiritualnya terdistorsi. Akibatnya, manusia lupa eksistensi dirinya sebagai ‘âbid hamba di hadapan Tuhan. Demikianlah yang mejadi latar belakang masalah penulisan skripsi ini dengan 14 Istilah neo-sufisme berasal dari Fazlur Rahman, seorang pengkaji Ibn Taimîyah yang sangat bergairah. Neo-sufisme yang dia maksud adalah suatu paham kesufian yang tidak terlalu banyak terkungkung oleh sufisme tradisonal poluler. Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. e.d, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Bandung: Mizan, 2006, h. 3311. 15 Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, h. 6. judul “Kontekstualisasi Sufisme dalam Kemodernan dan Keindonesiaan Studi atas Relevansi Pemikiran Sufisme Nurcholish Madjid di Indonesia”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah