Tarekat dan Korelasinya dengan Sufisme

Menurut Nurcholish, sekarang ini sikap dunia Islam terhadap tasawuf seolah-olah terbagi dua, ada yang lebih berorientasi kepada imam al-Ghazâlî dan mereka yang lebih merorientasi kepada Ibnu Taymîyah. Mungkin tidak bisa dibuat garis pemisah yang tegas antara keduanya, tetapi perbedaan tekanan orientasi itu sangat jelas terasa.

C. Tarekat dan Korelasinya dengan Sufisme

Kehidupan tasawuf dapat dilaksanakan baik dengan cara individual maupun cara kolektif. Melaksanakan tasawuf secara individual ialah mengamalkan sikap-siakp sufistik, seperti takwa, tawakal, sabar, syukur, ikhlas, rida, dan sebagainya. Sedangkan mengamalkan tasawuf secara kolektif ialah melaksanakannya secara bersama-sama melalui persaudaraan sufi yang biasa disebut tarekat. 33 Sebenarnya perkataan “tarekat” tharîqah itu sendiri – menurut Madjid – secara harfiah berarti “jalan”, sama dengan arti perkataan “syarîa’ah”, “sabîl”, “shirâth”, dan “manhaj”. Dalam hal ini yang dimaksud ialah jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridla-Nya, dengan menaati ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti “jalan” itu terdapat dalam kitab suci al-Qur’an: 34 “Kalau saja mereka berjalan dengan terguh di atas thariqah, maka Kami Allah akan melimpahkan kepada mereka air kehidupan sejati yang melimpah”. Q.S. al-Jinn: 16 Perkataan tharîqah dalam firman tersebut menunjuk pada agama secara keseluruhan, bukan hanya suatu wujud atau institusi keagamaan seperti yang kita 33 Sudirman Tebba, Orientasi Sufistik Cak Nur: Komitmen Moral Seorang Guru Bangsa, Jakarta: Paramadina, 2004, h. 177. 34 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92. lihat sekarang sebagai “tarekat”. 35 Agama memang selalu digambarkan sebagai jalan. Sama dengan Marga atau Darma dalam bahasa Sansekerta, atau Tao dalam bahasa Cina. 36 Jadi dengan menempuh jalan yang benar secara mantap dan konsisten, manusia dijanjikan Tuhan akan memperoleh karunia hidup bahagia yang tiada terkira. Hidup bahagia itu ialah hidup sejati, yang dalam ayat suci tersebut diumpamakan dengan air yang melimpah ruah. Dalam literatur kesufian, air karunia Ilahi itu disebut “air kehidupan” mâ’u al-hayâti. Inilah yang secara simbolik dicari oleh para pengamal tarekat, yang wujud sebenarnya tidak lain ialah “pertemuan” dengan Tuhan dengan ridla-Nya. Harapan kepada ridla Allah itu juga dicerminkan dalam sebuah wirid tarekat yang berbunyi “Ilahî Anta maqshûdî a ridlâ-Ka mathlûbî” 37 Tarekat juga bisa didefiniskan sebagai sebuah persaudaraan kaum sufi yang memiliki silsilah guru spiritual yang sama, tempat bagi para syekh atau mursyid untuk mewisuda murid-muridnya dan memberikan mereka ijin resmi untuk melanjutkan mazhab pemikiran dan amalan yang umum. Terekat ini ada yang memiliki – ada yang tidak – organisasi. Namun, pada tingkat lokal terdapat kegiatan yang terorganisir. 38 Salah satu aspek penting dari suatu tarekat adala silsilah, yakni mata-rantai para guru sufi yang berpangkal pada Nabi Muhammad. Ciri ini begitu penting, 35 Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, et.all. e.d, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Bandung: Mizan, 2006, h. 3297. 36 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h.3300. 37 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92. 38 Baldick, Islam Mistik, h. 103. sehingga pada tingkatan yang lebih luas, tarekat adalah sisilah itu sendiri: suatu ekspresi hidup dari kesinambungan dari generasi ke generasi. 39 Namun, menurut Nurcholish, penggunaan istilah “tharîqah” dalam arti persaudaan kesufian shûfî brotherhood adalah hasil perkembangan makna semantik perkataan itu, sama dengan yang terjadi pada perkataan “syarî’ah” untuk ilmu hukum Islam juga dapat disebut “fiqh” dalam pengertian yang sedikit lebih sempit – sementara makna “fiqh” itu menurut asalnya ialah pemahaman agama secara keseluruhan, tidak terbatas hanya kepada bidang hukum dan peribadatan semata. 40 Selanjunya, Nurcholish menegaskan, setiap ajaran esoterik atau batini tentu memiliki segi-segi ekslusif. Jadi tidak dapat dibuat untuk orang umum. Segi- segi eksklusif itu menyangkut hal-hal yang “rahasia”, yang bobot keruhaniannya yang berat membuatnya sukar dimengerti oleh kaum awam orang umum, atau mudah menimbulkan salah paham pada mereka. Kerena itu segi-segi eksklusif tersebut seyogyanya tidak dipahamai seseorang melalui kegiatan pribadinya semata, melainkan dipahamai melalui tarekat dari seorang guru pembimbing mursyid yang sudah diakui kewenangannya. 41 Namun, segi-segi ekslusif seperti ini menimbulkan masalah “keabsahan” tarekat – dalam pengertian – sebagai ikatan persaudaraan kaum sufi. Pengalaman dalam sejarah agama-agama, termasuk Islam sendiri, menunjukkan bahwa 39 Semenjak abad ke-10, daftar guru sufi hanya merujuk sampai para tabiin, generasi Islam yang hidup pada masa sesudah sahabat Nabi dan diangap memiliki otoritas kolektif. Baru setelah masa tabiin inilah mulai muncul penyebutan nama individu. Tapi, dalam sumber-sumber abad ke-12 dan terkemudian, kita menemukan bahwa daftar itu sengaja dibuat hingga sampai kepada Muhammad, yaitu melalui para penerus pertamanya. Baldick, Islam Mistik, h. 104. 40 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 93. 41 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 94. esoterisme yang tak terkendali dapat menjadi sumber kesesatan umum yang mengacaukan masyarakat. Kenyataanya, saat ini – setidaknya – terdapat dua Negara yang secara resmi melarang amalan tarekat yakni Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Turki. 42 Tidak dapat disangkal bahwa keanggotaan dalam suatu tarekat dapat memeberikan ketenteraman batin yang luar biasa. Secara doktrin, dzikir atau ingat kepada Allah itulah yang memberikan ketenteraman. Tetapi kenyataan sosialnya, “attachment” kepada organisasi tarekat yang dipimpin kiai itulah yang lebih berfungsi. Karena itu, sering terjadi sseseorang yang telah luas pengatahuan agamanya, yang secara teoretis telah memahami sendiri bagaimana menjalankan zikir dan ibadah, masih merasa perlu mengikatkan diri kepada seorang kiai tarekat dan ahli wirid yang sebenarnya pengetahuannya lebih rendah. 43 Menurut Nurcholish, tradisi seperti ini mungkin saja ada manfaatnya. Misalnya bagi orang-orang yang mental kagamaannya masih kekanak-kanakan, dalam arti masih memerlukan bimbingan langsung tokoh yang disegani layakna anak memerlukan bimbingan orang tua. Namun sifatnya yang hierarkis itu, tak pelak lagi, sangatlah membahayakan bagi perkembangan kedewasaan keagamaan kaum muslim pada umumnya. Sebab, dengan menempatkan seorang tokoh sebagai “model” bagi segala macam tindakan, maka kesalahan atau kekhilafan sekecil apa pun yang dilakukan tokoh tersebut akan berdampak besar bagi para 42 Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Turki melarang kegiatan tarekat dengan alasan yang berlainan. Saudi Arabia melarang tasawuf karena dinilai bertentangan dengan jaran-ajaran Islam murni puritanisme ortodoks, sedangkan Turki melarangnya karena bertentangan dengan paham hidup modern sekularisme. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 54. 43 Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 3298. pengikutnaya. 44 Hal ini dikarenakan bahwa seorang guru tarekat seringkali dipadang memiliki kualitas-kualitas kewalian, pada gilirannnya menimbulkan tradisi pengkultusan kepada sorang guru bahkan setelah guru atau syaikh itu meninggal. 45 Adanya unsur negatif seperti itu telah mengundang adanya generalasi terhadap tarekat atau gerakan kesufian sebagai negatif. Namun demikian, menurut Nurcholish, sikap negatif secara pukul rata jelas tidak dibenarkan, sebagaimana sikap positif secara pukul rata tanpa penilaian kritis atas kasus-kasus spesifknya juga tidak dapat dibenarkan. Kita harus secara kritis dan adil melihat perkaranya masalah-demi-masalah, dan hendaknya tidak melakukan penilaian bedasarkan generalisasi yang tidak ditopang oleh fakta. Karena itu organisasi-organsasi Islam – khususnya di Indonesia – semisal NU Nahdlatul Ulama menetapkan kriteria tertentu untuk dapat disahkannya suatu tarekat. Tarekat yang absah dan yang secara syariat dapat dipertanggungjawabkan itu biasa disebut “tharîah mu’tabarah”. Pada pokoknya suatu tarekat absah jika ia tidak menyimpang dari syari’ah. Ini tentu saja merupakakan kelanjutan dari pemikiran al-Ghazâlî dan juga al-Qusyairî sebelumnya, 46 yang tercatat dalam sejarah Islam telah mencoba “mendamaikan” antara orientasi lahiri disiplin syarî’ah dan orientasi batini disiplin tasawuf. 44 Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf Tanpa Tarekat: Aura Tasawuf Positif, Jakarta: Hikmah, 2002, h. 24. 45 Setelah seorang guru tarekat meninggal, biasanya akan secara langsung dianggap wali yang keramat sehingga makamnya banyak dikunjungi atau diziarahi orang-rang yang hendak meminta berkah. Lama-kelamaan seroang wali, apalagi makamnya, menajadi semacam mysterium tremendum et fascimosum yang memiliki daya tarik begitu kuat bagi kaum Muslim awam. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 62. 46 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 96. Dari pemaparan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa tarekat bisa dipahami dalam dua pengertian: pertama, tarekat dalam pengertian jalan spiritual menuju Tuhan, dan ini meliputi metode sufistik dalam mendekatkan diri kepada Tuhan; dan kedua dalam pengertian persaudaraan suci di mana berkumpul sejumlah sufi murid dan seorang guru, yang dibantu oleh mursyid-mursyid lainnya. Tarekat tidak membicarakan segi filsafat dari tasawuf, tetapi membicarakan segi amalan atau prakteknya.

D. Sufisme Baru