Tradisi Awal Sufisme dan Perkembangannya

mereka menghayati tawhîd, sehingga mereka tidak menyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Mahaada. 14 Selanjutnya, di dalam al-Qur’an juga banyak ditegaskan tentang pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi, termasuk ketika al-Qur’an berbicara tentang hukum. Seorang Muslim harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin dalam susunan kitab-kitab fiqih yang selalu dimulai dengan bab pensucian thahârah lahir, sebagai awal pensucian batin. 15 Di sini Madjid ingin mengatakan bahwa tasawuf merupakan “faktor pengimbang” bagi fiqh yang banyak menekankan segi hukum yang lahiri, bagi kalam yang lebih berorientasi kepada pembahasan rasional-dialektis, dan bagi falsafah yang banyak mengandalkan kemampuan rasio atau akal lebih daripada kalam. 16

B. Tradisi Awal Sufisme dan Perkembangannya

Jika melacak tradisi awal sufisme, rasanya sulit untuk memastikan kapan tepatnya mucul tradisi sufisme ini. Terlebih jika kita mengartikan tasawuf sebagai “cara atau jalan – yang lebih mengarah kepada segi esoterik atau batini – bagaimana seseorang dapat berada sedekat mungkin dengan Allah al-Haqq”. 14 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 260. 15 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, 255. 16 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92. Sebab sejak manusia menyadari hubungannya dengan Yang Mahabenar al- Haqq, maka ia mencari kebenaran. 17 Sebagaimana telah disinggung di atas, di dalam Islam yang menjadi pokok pangkal agamanya adalah ajaran tawhîd atau pengesaan Tuhan, suatu monoteisme yang keras dan tidak mengenal kompromi. Dalam pada itu, sepanjang ajaran al- Qur’an, tawhîd adalah inti ajaran dan agama yang dianut para rasul dan nabi sepanjang zaman. Di kalangan bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad, agama Nabi Ibrâhîm 18 sudah dikenal, khususnya oleh penduduk kota Makkah suku Quraisy. Para pengamal agama itu disebut “orang-orang hanîf” atau “hunafâ”, yang berarti orang-orang yang memelihara dan memegang kebenaran. Sebelum ditutusnya Nabi Muhammad, para pendahulu kaum sufi disebut sebagai hunafâ. 19 Muhammad yang kelak menjadi nabi itu termasuk seorang hunafâ. 20 Jadi, menurut Nurcholish, kita bisa mengatakan bahwa sebelum Islam “tasawuf” tidak ada, namun banyak terdapat tokoh-tokoh yang dianggap penempuh jalan sufi yang biasa disebut para ahli zuhud zâhid atau ahli ibadah âbid. Kenyataannya, dalam tradisi tasawuf mengakui beberapa diantara sahabat- sahabat Nabi sebagai nenek moyang rohani tasawuf. Kita sering mendengar apa yang dikenal sebagai ahl as-suffah – salah-satu kata yang dirujuk sebagai asal 17 Syekh Khaled Bentounes, Tasawuf Jantung Islam: Nilai-nilai Universal dalam Tasawuf, terj. Andityas, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003, h. 24. 18 Ada petunjuk bahwa yang pertama mengememukakan ajara tawhîd itu dengan jelas dan sistematis adalah Nabi Ibrahim yang kelak mewariskan agama-agama menoteistis utama. Tiga di antaranya tetap hidup sampai sekarang, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Lihat, Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1996, h. 57-58. 19 Bentounes, Tasawuf Jantung Islam, h.25. 20 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 41. etimologi kata “sufi” 21 – yakni anggota masyarakat yang miskin dan saleh yang hidup di masjid Madinah. Sahabat-sahabat Nabi itu sering melontarkan ucapa- ucapan tentang kemiskinan, dan ia muncul sebagai prototipe fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apa pun tetapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati harta- Nya yang abadi. 22 Namun demikian, – menurut Nurcholish – pada masa Nabi Muhammad sendiri, dan selama satu abad sepeninggal beliau, dunia Islam belum mengenal adanya kaum sufi, kaum mutakallimîn atau ahli kalam, maupun ahli hukum fiqih. Tetapi dengan semakin meningkatnya kegiatan intelektual dan semakin dikenalnya cara-cara pembahasan filosofis telah melahirkan paling tidak dua hal penting. Pertama, sistem hukum yang terorganisikan, dan kedua teologi yang sistematis. Maka melalui suatu proses yang sejajar dan oleh sebab kewajaran serta keperluan adanya faktor pengimbang atas rasionalisasi lahiriah daripada agama itu, persepsi keagamaan yang intuitif menjadi semakin peka dan sadar-diri. Usaha- usaha dari kaum asketik dan zuhud yang telah ada sebelumnya untuk memperoleh kesempurnaan etis tidak ditinggalkan samasekali, bahkan berangsur-angsur dimurnikan dan ditransformasikan. Cita-cita etis yang dinyatakan melalui ajaran “takhallaqû bi akhlâq Allâh” berbudi-pekertilah kamu dengan budi-pekerti Tuhan tidak lagi terpuaskan dengan hanya melaksanakan aturan-aturan yang 21 Harun Nasution menyatakan terdapat lima teori yang dianggap sebagai asal etimologi kata “sufi”: ahl al-suffah, saff, sûfî, sophos, dan shûf. Lihat, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 43-44. 22 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, h. 27. dipaksakan dari luar, tetapi menuntut adanya keserasian dengan makna pengalaman ruhani yang mendalam dan nyata. 23 Dari sudut pandang lain, menurut Nurcholish, tasawuf juga nampak sebagai reaksi terhadap gejala kehidupan lahiriah atau material yang mewah dan menyimpang dari ukuran kewajaran. Ini dapat dilihat dengan cukup jelas dari latar belakang sosial-ekonomi dan politik serta budaya bagi lahirnya orientasi kesufian yang sangat kuat justru di zaman keemasan Islam pada masa kekhalifahan Hârûn al-Rasyîd 786 M.. Agaknya gejala ini juga dapat ditelusuri sejak masa Umayyah 705 M. di Damaskus, yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan oposisi suci pious opposition di kalangan tertentu, khususnya di Bashrah, Irak. Di zaman Hârûn al-Rasyîd kota Bashrah menjadi saingan kota Kufah dalam tradisi intelektual Islam. Jika Kufah banyak melahirkan ahli-ahli hukum al-fuqahâ yang terkenal, sementara Bashrah banyak menampilkan “orang-orang suci” al-nussâk –para ahli nusuk atau ibadah; atau al-zuhhâd -para ahli zuhud atau asketik. Dalam pada itu, Nurcholish menegaskan ada indikasi bahwa persaingan itu cukup tajam, dengan masing-masing pihak mengaku lebih benar atau malah paling benar daripada lainnya. 24 Nama yang melambangkan awal sikap pertapa dan anti-pemerintah ini adalah Hasan al-Basri 110 H.728 M.. Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezin Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dari Hasan. Begitu pula para ulama dengan orientasi Sunnî dan orang-orang Muslim dengan kecenderungan hudup zuhud asketik. Mereka yang 23 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 46. 24 Nurcholish, Islam Agama Peradaban, h. 92. tersebut terakhir inilah, sejak munculnya di Bashrah, yang disebut kaum sufi shûfî, konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol Arab: shûf yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari kata-kata shûf itu pula terbentuk kata-kata tashawwuf tasawuf, yaitu, kurang lebih, ajaran kaum sufi. 25 Dalam perkembangannya lebih lanjut, tasawuf tidak lagi bersifat tertutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan dalam masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali dari tingkah laku kaum sufi, tetapi itu terjadi pada dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi. 26 Karena apa yang diajarkan tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Allah dengan suatu kesadaran penuh bahwa kita berada di dekat-Nya sehingga kita “melihat”- Nya atau bahwa Dia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri di hadapan-Nya. Namun demikian, Nurcholish melanjutkan, sekalipun sufisme mendasarkan ajaran-ajarannya pada al-Qur’an dan al-Sunnah, khususnya dalam soal-soal doktrin, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya, esoterisme Islam ini menerima, atau barangkali lebih tepat memasukkan, unsur- unsur asing dari luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara kaum muslim dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syria dan Persia yang dalam beberapa hal, 25 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 250. 26 Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 251. khususnya di bidang filsafat, lebih dulu maju daripada kaum muslim sendiri. 27 Kenyataannya, memang keberadaan unsur-unsur asing yang timbul baik karena pengaruh langsung maupun tidak langsung, tidak seluruhnya dapat dicegah. Tekanan ajaran tasawuf pada aspek imanensi Tuhan telah memungkinkan terbukanya pintu bagi masuknya paham-paham panteisme. 28 Sebut saja, misalnya, paham seorang sufi dari Persia Abû Yazîd al-Bustâmî w. 874 M. tentang fanâ terleburnya diri pribadi dalam Tuhan dan baqâ mengekalnya diri pribadi dalam kesatuan dengan Tuhan berseru dengan kalimat subhânî Maha Suci Aku, atau paham hulûl pada al-Hallâj 858 M. yang termasyhur dengan ucapannya Anâ al- Haqq, yang dihukum mati di Bagdad pada tahun 922 M. 29 Namun menurut Nurcholish, tidak adil rasanya jika kita mengatakan bahwa tasawuf itu sesat. Karena jika kita menghukum unsur asing yang menyusup, maka yang kita sedang hukum bukanlah tasawuf Islam, tapi unsur asing tersebut. Tasawuf Islam ialah ruh yang terdapat dalam al-Qur’an dan al- Sunnah, hal ini merupakan pernyataan yang keluar dari para imam-imam sufi dan hal ini pula yang diakui oleh para ulama yang bersikap objektif ketika mereka berbicara masalah sufi. Mereka telah mencoba memberikan definisi tentang tasawuf dengan puluhan definisi sesuai dengan pemahaman mereka dan pengalaman spiritual mereka. 30 27 Hal inilah yang menyebabkan para orientalis dalam membahas tentang tasawuf sering mengesankan ketidak-aslian sufisme sebagai berasal dari Islam. Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 48. 28 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 50. 29 Lihat, misalnya, Julian Baldick, Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf, terj. Satrio Wahono, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002, h. 66-69. 30 Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi: Menyucikan Tasawuf dari Noda-noda, Jakarta: Hikmah, 2002, h. 84. Bentuk yang sangat populer dari pengaruh luar terhadap sufisme adalah praktek-praktek pemujaan kepada para wali. Praktek ini bersumber dari ajaran tentang adanya kemampuan para wali untuk memberi berkah kepada orang lain, baik semasa hidup maupun sesudah meninggal dunia. Ajaran ini mendorong tumbuhnya kebiasaan mengagungkan makam orang-orang suci yang kemudian dijadikan tempat perantara dalam berdo’a. Bahkan tidak jarang dijadikan tempat tumpuan harapan bagi orang-orang yang memiliki ambisi tertentu. 31 Hal inilah yang menjadi sasarang kritik para pemikir modern Islam nantinya. Tidak lama kemudian muncullah al-Qusyayrî dengan karyanya yang terkenal Risâlah, dan al-Ghazâlî w. 505 H.1111 M. dengan karyanya yang terkenal Ihyâ Ulûm al-Dîn yang merupakan seruan bagi dihidupkannya kembali tasawuf. Al-Ghazâlî berperan besar dalam memberikan penyelesaian pada sebagian besar pertikaian paham di kalangan kaum Muslimin mutakallimîn, fuqqahâ, dan sufi, sehingga ia memperoleh gelar Hujjah al-Islâm yang bisa diartikan “argumentasi Islam” atau “pembela Islam”. 32 Namun demikian, betapa pun besarnya jasa al-Ghazali, ia tidak luput dari kritikan-kritikan tokoh-tokoh Islam setelahnya. Kritikan paling keras adalah yang datang dari Ibnu Taymîyah, seorang ulama yang banyak mengilhami tokoh-tokoh pergerakan pembaruan dalam Islam. Kecamannya terutama ditujukan pada pandangan hidup al-Ghazâlî yang sangat mementingkan kehidupan asketik atau zuhud sehingga menjadikan seseorang mengasingkan diri dari kehidupan duniawi ’uzlah. 31 Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 51. 32 Lihat, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, h. 52. dan Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997, h. 86. Menurut Nurcholish, sekarang ini sikap dunia Islam terhadap tasawuf seolah-olah terbagi dua, ada yang lebih berorientasi kepada imam al-Ghazâlî dan mereka yang lebih merorientasi kepada Ibnu Taymîyah. Mungkin tidak bisa dibuat garis pemisah yang tegas antara keduanya, tetapi perbedaan tekanan orientasi itu sangat jelas terasa.

C. Tarekat dan Korelasinya dengan Sufisme