Tujuan Perkawinan TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN

Teranglah bahwa, kehidupan perkawinan tidak berhenti pada selesainya upacara akad nikah, namun arti perkawinan sesungguhnya ialah tetap terbinanya hubungan suami isteri pada kehidupan yang harmonis. Hal ini dapat terlaksana dengan baik apabila keduanya mau memahami posisinya dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Dalam hal ini Islam dan perundang-undangan telah mengatur dengan baik, dengan memberikan pedoman dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Sehingga hal-hal seperti ketidakharmonisan, perpecahan, dan sampai pemutusan perkawinan dapat dihindari.

D. Tujuan Perkawinan

Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Kenapa nikah harus dilakukan, karena nikah salah satu yang harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan. A. Basiq Djalil membagi tujuan perkawinan ke dalam tiga segi, pertama menurut al-Qur’an, kedua menurut hadis dan ketiga menurut akal. a. Menurut Al-Qur’an Menurut Al-Qur’an ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam surat al-A’araf : 189, menyatakan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang. 41 Dalam Firman Allah SWT dalam surat al-A’araf ayat 189 yang berbunyi: 41 A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, Jakarta: Qolbun Salim, 2007, Edisi Pertama, h. 86-87. ”Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan beberapa waktu. Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya suami isteri bermohon kepada Allah, Rabbnya seraya berkata: Sesungguhnya jika Engkau memberi anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur” . QS. Al-A’raf : 189 Ayat di atas menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk bersenang- senang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang lebih penting, karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani. Kedua, firman Allah SWT dalam surat al-Rum : 21 yang berbunyi: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri- isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” . QS. Al- Rum : 21 Dalam ayat tersebut terkandung tiga makna yang dituju oleh suatu perkawinan, yakni: 1 Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang. Maksudnya, sebuah perkawinan dapat menyebabkan ketenanan jiwa bagi pelakunya. 2 Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah waddah yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda dimana cintanya sangat tinggi,termuat kandungan cemburu, sedang rahmatsayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang memang terkadang sulit dikontrol. Karena intensitasnya tinggi sering dan sering meluap-luap. 42 3 Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedang yang tinggi pada mereka adalah rasa cintamawaddah. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedang mawaddahnya semakin turun. Itulah sebabnya kita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek kelihatan mesra berduaan, itu bukanlah bergejolak wujud cinta mawaddah dan ada pada mereka, tetapi rahmat sayang. Dimana rasa sayang tidak ada kandungan cemburunya, karenanya ia tidak bisa termakan gosip, sedang cinta mawaddah yang syarat dengan cemburu karenanya gampang termakan gosip. 43 b. Menurut Hadits Menurut hadits ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadis, 42 Basiq Djalil Op.Cit., hal. 87. 43 Ibid Pertama, untuk menundukkan pandangan dan menjaga farj kemaluan. Itulah makanya nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil belum memungkinkan. Oleh karena itu, Nabi menganjurkan bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materil belum memungkinkan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: ﻦﻤﺎ ﺸ ارﺸ ﻤﺎﻴ ﻦﻤﻮ جﺮ ﻦ ﺤأﻮﺮ ضﻏأ ﻪ ﺈ جﻮز ﻴ ةﺀ ﺎ ا ﻢآ ﻤ عﺎط ﺴا ﺀﺎﺠﻮ ط ﺴﻴ ﻪ ﻪ ﺈ ﻢﻮ ﺎ ﻪﻴ ﻢ “Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan dari perbuatan zina dan barang siapa yang tidak mampu maka hendaknya ia berpuasa karena puasa itu adalah penawar” .HR.Bukhari-Muslim. 44 Kedua, sebagai kebanggaan nabi dihari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual nabi menyatakan jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kualitas rendah tetap saja nabi mencelanya. Disitulah kandungan makna bahwa kualitas itu sangat diperlukan. 45 c. Menurut Akal Menurut akal sehat tujuan perkawinan ada tiga macam, yaitu: Pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 km, sedang garis tengahnya atau diameternya ada 25.500 km, wilayah yang demikian luas tentunya 44 Sahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, Jilid 6 h. 117, dan Sahih Muslim, Kitab al-Nikah hadis no. 1400, jilid 2 h.1019. 45 A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, h. 88-89. harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah SWT nyatakan dibuat untuk kita manusia. Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Oleh karena itu, untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan jalan perkawinan. 46 Kedua, bila manusia berjumlah banyak tentunya harus diwujudkan ketertibanketeraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anak siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi atau tertib, maka akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A anaknya siapa dan bapaknya siapa. 47 Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan tersebut. Oleh karena itu, untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yaitu dengan jalur perkawinan yang sah. 48 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mencantumkan tujuan dari sebuah perkawinan, yaitu untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk mencapai tujuan itu suami-isteri harus saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam membantu dan 46 A. Basiq Djalil, h. 89. 47 Ibid, h. 89. 48 Ibid, h. 90. mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 49 Hal senada juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 yang menyatakan, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Tujuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam ini merujuk kepada firman Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21. Menurut M. Mansur bin Mashadi yang menjadi tujuan dari sebuah perkawinan yaitu: perkawinan berguna untuk memelihara anak cucu keturunan sebab bila tidak ada tali perkawinan tentulah anak tidak tentu siapa yang akan mengurusnya dan siapa pula yang bertanggung jawab atasnya. Pernikahan juga dipandang sebagai kemaslahtan umum, karena apabila tidak dengan pernikahan, tentu manusia akan menentukan dengan menurutkan sifat kebinatangan untuk mencari kepuasan, ini akan menimbulkan perselisihan, bencana dan permusuhan antar sesamanya. 50 Demikan juga halnya yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 menyatakan bahwa tujuan dari pernikahan adalah menuju keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah . Hal ini dituliskan sebagai berikut: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah” . Tujuan lain dari perkawinan dalam Islam ialah untuk memenuhi tuntutan hajat 49 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Madav Maju, 1990, h. 11. 50 M. Mansur bin Mashadi, Tuntunan Perkawinan dan Keluarga Bahagia Dalam Islam, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1995, h. 36. tabiat kemanusiaan yaitu berhubungannya antara laki-laki dan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan- ketentuan syara’. 51 Perkawinan menurut Islam bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah tenteram, cinta, dan kasih sayang. 52 Banyak tujuan yang hendak dicapai pernikahan. Agama Islam telah mensyariatkan tentu didalamnya terdapat tujuan yang hendak dicapai melalui pernikahan tersebut. Diantara tujuan pernikahan tersebut adalah: 1. Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan menyambung cita- cita, ini dimaksudkan bila seseorang telah menikah, ia akan membentuk suatu keluarga.dalam rumah tangga itu akan dilahirkan keturunan untuk melanjutkan apa-apa yang telah dicita-citakan oleh kedua orang tuanya. Dari keluarga itulah akan terbentuk suatu umat, yaitu umat Nabi Muhammad, umat yang mengemban dan berpegang teguh pada ajaran Islam. 53 2. Untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat atau perbuatan dosa yang diharamkan oleh Allah SWT. 51 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI , Jakarta: Bumi Aksara, 1996, cet. ke-1, h. 27. 52 M. Idris Ramulyo, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: IND HLLCO, 1990, h. 47-48. 53 Kamal Muchtar, Azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, cet. ke-3, h. 23-25. 3. Untuk menimbulkan rasa cinta antar suami istri khususnya dan menimbulkan rasa kasih sayang untuk anggota keluarga pada umumnya. 4. Untuk menjalani dan menghormati sunnah Rasulullah. Beliau telah memerintahkan kepada umatnya untuk melakukan pernikahan sesuai dengan ajaran agama. 5. Untuk membersihkan keturunan. Di sini dimaksudkan adalah agar generasi umat ini ada yang mengurus dan ada juga yang bertanggung jawab, karena anak tersebut telah jelas siapa bapak dan ibunya. Apabila seorang anak lahir luar nikah jelas sulit bagi kita untuk mempertanggungjawabkan anak tersebut. Ayah tidak bertanggung jawab, dan ibunya pun tidak bertanggung jawab. 54 Begitulah tujuan perkawinan untuk memperjelas status anak sehingga jelas siapa yang berhak dan bertanggung jawab kepadanya. Menurut M. Yunus, yang menjadi tujuan dai sebuah perkawinan adalah menuruti perintah Allah untuk memperoleh ketentraman yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. 55 Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1, dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa, selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami istri perlu saling membantu 54 Aminullah. J, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Bandung: Pelajar Bandung, 1972, h. 22. 55 M. Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: CV. Alhidayah, 1964, h. 48. dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan material. 56 Hal senada juga terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 yang menyatakan, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Tujuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam ini merujuk kepada firman Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21. Menurut Imam Ghazali, seperti yang dikutip Abdurrahman Ghazaly, tujuan perkawinan ada lima macam yaitu: 57 1 Mendapatkan dan meneruskan keturunan yang sah. 2 Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayang 3 Memenuhi penggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan 4 Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungung jawab menerima hak serta kewajiban dan bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5 Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram 56 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Madav Maju, 1990, h. 11. 57 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003, h. 24. 42

BAB III DESKRPSI UMUM KANTOR URUSAN AGAMA