Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, menjadi rahmat kedamaian dan kebahagiaan bagi segenap alam. Seluruh ajarannya dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara kemaslahatan umat manusia. Sebagai agama terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, Islam tidak hanya memuat ajaran-ajaran yang menyangkut akidah keimanan atau akhlak semata, tetapi juga memberikan tuntunan dan pedoman yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia yang lazim disebut dengan hukum. Salah satu ajaran Islam yang mengatur tentang kehidupan adalah perkawinan. Salah satu perhatian Islam terhadap kehidupan rumah tangga adalah diciptakan aturan dan syariat yang luwes, adil, dan bijaksana. Kehidupan keluarga akan berjalan damai dan sentosa. Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sekitarnya. 1 Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama. Kehidupan manusia yang ingin hidup bersama, melakukan kontak dengan manusia lainnya tidak dapat dibatasi karena sudah menjadi kodratnya sebagai 1 Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami Dalam Islam VS Monogami Barat , Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993, h. 5. 1 makhluk sosial. Bertitik tolak dari berbagai keinginan untuk tetap selalu bersama, tidak jarang terjadi suatu ikatan lahir dan batin yang cukup kuat diantara manusia yaitu dengan cara suatu jalan pernikahan. Karena suatu pernikahan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan pasangan suami isteri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa. Perkawinan merupakan suatu solusi yang diberikan Allah SWT untuk menghindarkan manusia dari perbuatan zina yang secara jelas telah diharamkan-Nya. Kebutuhan biologis manusia yang disalurkan tanpa wadah perkawinan niscaya akan menimbulkan masalah dan kerusakan seperti garis keturunan yang tidak jelas, rusaknya moralitas umat manusia, timbulnya berbagai penyakit fisik maupun psikis dan banyak masalah lainnya yang pada akhirnya akan menghinakan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang. 2 Perkawinan merupakan suatu jalan yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan terbaik bagi manusia untuk menjalin kasih sayang antara seorang pria dengan seorang wanita, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya sebagai pasangan suami istri. Hukum Islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan kesejahteraan yang sejahtera, karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, sehingga 2 Musfir Aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi,Jakarta, Gema Insani Press, 1997, Cet. Ke-2, h. 15. kesejahteraan masyarakat akan tergantung kepada kesejahteraan keluarga. Demikian pula kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya. Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar, tetapi sampai terperinci. Yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan oleh Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan. Tujuan itu dinyatakan baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. 3 Dalam ajaran Islam poligami memang diperbolehkan berdasarkan al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3, tetapi dengan syarat harus bisa berlaku adil tanpa menyebutkan adanya izin dari istri, oleh karena hukum yang digunakan di Indonesia ini adalah Hukum Perdata Indonesia bukan Hukum Islam saja, maka jika seseorang hendak berpoligami selain harus bisa berlaku adil juga harus memiliki izin dari istri kemudian permohonan poligami itu diajukan ke Pengadilan Agama untuk kemudian apakah permohonan poligami itu disetujui atau ditolak. Menjadi hal yang “diakui” bersama bahwa rumah tangga yang ideal itu adalah cukup dengan seorang istri saja. Namun pada kenyataan yang terjadi, banyak suami yang merasa tidak cukup dengan hanya memilki satu istri, entah atas landasan untuk mengikuti hawa nafsunya atau dengan niat beribadah untuk menolong kaum wanita janda dari aib kesendirian. 4 Prinsip rumah tangga dengan hanya memiliki satu istri 3 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta : Prenada Media, 2003, h. 64. 4 Hartono, Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2007, Cet. Ke-1, h. 77. kemudian lebih dikenal dengan istilah monogami dan prinsip berumah tangga dengan memiliki lebih dari satu istri disebut dengan poligami. Dalam persfektif kemasyarakatan, prinsip poligami masih bersifat kontroversial walaupun dari segi legalitas masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Sesungguhnya telah mengetahui bahwa secara agama perkawinan poligami itu halal dan memiliki dalil yang kuat baik dari Al-Qur’an maupun Hadits. Perkawinan poligami dipandang sebagai “bahan pergunjingan dan hujatan”. Akibatnya banyak laki-laki yang melakukan poligami secara ‘sembunyi-sembunyi’ dalam arti tidak disebarluaskan, padahal perkawinan poligami adalah diperbolehkan, akan tetapi pelakunya dianggap seakan-akan seperti penjahat. Sebaliknya orang yang melakukan perzinahan dianggap melakukan hal yang wajar-wajar saja. 5 Jika berpedoman pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka suami yang akan melakukan perkawinannya yang kedua, wajib memiliki surat izin yang dikeluarkan oleh pengadilan agama. Adapun pihak pengadilan hanya akan mengeluarkan izin tersebut jika seluruh syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan telah terpenuhi. Termasuk diantaranya wajib mengantongi izin untuk menikah lagi dari istri tuanya, jika tidak, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Lebih lanjut Pengaturan poligami dapat ditentukan apabila telah memenuhi beberapa kriteria yag disyaratkan seperti tertuang dalam pasal 4 ayat 2 UU No. 1 5 Eni Setiati, Hitam Putih Poligami Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena , Jakarta, Cisera Publishing, 2007, Cet. Ke-1, h. 47. Tahun 1974 yaitu pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Persyaratan selanjutnya telah diatur dalam Pasal 5 ayat 1 yaitu untuk dapat mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi selanjutnya ialah sebagai berikut: a. Adanya persetujuan dari istriistri-istri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Idealnya, jika syarat-syarat di atas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun, dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan. Masalah poligami merupakan permasalahan yang sangat penting dalam sudut pandang agama maupun negara. Oleh karena itu meskipun masalah poligami telah diatur secara komprehensif dalam agama Islam, namun pada tataran pelaksanaan kehidupan bernegara perlu adanya Undang-Undang yang melindungi kebutuhan ini supaya tidak terjadi kesalahan mekanisme dalam pelaksanaan perkawinan poligami dan perangkat-perangkat lainnya. Seringkali dijumpai peristiwa perkawinan poligami yang tanpa dilandasi oleh payung hukum di dalamnya, sehingga dapat merugikan salah satu pihak. Seperti perkawinan yang dilatarbelakangi motif manipulasi mengenai status atau keadaan si pelamar. Keadaan ini sangat memprihatinkan mengingat pada umumnya korbannya adalah para wanita lemah dan lebih-lebih tidak mengetahui hukum apalagi perlindungan terhadap dirinya atas kasus yang menimpa dirinya. Dalam prakteknya permasalahan yang muncul di KUA adalah masalah mengenai ketidak akuratan data identitas calon pengantin. Dengan adanya manipulasi identitas akan menyebabkan timbulnya kerugian bagi masing-masing pihak baik dari pihak keluarga calon pengantin maupun bagi lembaga pemerintahan itu sendiri. Maka akan ada kesan dengan adanya pemalsuan data identitas ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu bisa terlaksana. Semestinya keaktifan PPN dan semua pegawai KUA harus senantiasa dilakukan dalam upaya penyelidikan kebenaran mengenai data-data calon mempelai dan wali baik mengenai kebenaran nama, usia, dan status sehingga apa yang nantinya dituliskan dalam sebuah Akta Nikah maupun berkas-berkas perkawinan adalah benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal di atas dimaksudkan agar dalam pelaksanaan administrasi pernikahan khususnya mengenai pencatatan harus dilaksanakan seteliti dan secermat mungkin, sehingga penyimpangan-penyimpangan dalam administrasi perkawinan seperti manipulasi data baik mengenai status maupun data diri dari mempelai tidak terjadi. Banyak pria beristri di Indonesia yang status perkawinannya dalam Kartu Tanda Penduduk KTP masih menyatakan dirinya sebagai “bujang”. Kartu Tanda Penduduk inilah yang menjadi senjata ampuh mereka untuk menikah lagi tanpa sepengetahuan isterinya. Perilaku mereka tersebut dapat dikatakan melanggar hukum. Hal itu bisa dilihat dari data Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan LBH APIK, berdasarkan laporan LBH APIK pada tahun 2003, modus pelaku poligami cukup beragam, namun hampir seluruhnya tidak mengindahkan peraturan perundangan yang ada. 6 Hal ini menandakan bahwa maraknya pemalsuan identitas di Indonesia ini dengan munculnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang berusaha untuk berpoligami tapi tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan bahkan berusaha melaksanakan perkawinan poligaminya walaupun tanpa izin dari Pengadilan Agama. Pada dasarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sangat tegas menyatakan bahwa bagi mereka yang ingin melangsungkan poligami memenuhi syarat-syarat untuk berpoligami sesuai aturan hukum yang berlaku, mereka tetap masih bisa melangsungkan perkawinan dengan syarat harus meminta izin dahulu ke Pengadilan Agama. Selain mengatur tentang syarat-syarat untuk berpoligami Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan juga mengatur tentang pencatatan perkawinan, yang mana pencatatan perkawinan bertujuan untuk 6 http:hukum online.comdetail.asp?id=15941cl fokus, diakses tanggal 10 April 2010. mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat dan melindungi martabat perkawinan, khususnya lagi bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Serta pencatatan tersebut bertujuan untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan dalam administrasi perkawinan, seperti manipulasi data baik mengenai status maupun data identitas diri calon mempelai. Penyimpangan tersebut dilakukan karena kekurangtahuan calon mempelai mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau mereka menginginkan jalan pintas, sehingga pria yang ingin melangsungkan perkawinan poligaminya, mereka bukan meminta izin ke Pengadilan Agama, tapi mereka melakukan manipulasi pemalsuan status mereka, baik yang dilakukan oleh mereka sendiri maupun oleh pihak-pihak yang terkait. Apabila kita lihat dari wacana di atas, penulis mempunyai hipotesa awal bahwasanya tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang memang belum diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur sanksi bagi Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat 1, 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah tersebut, sedangkan para pihak yang lain selain PPN tidak terdapat sanksi pidananya. Penulis menganggap bahwa permasalahan di atas cukup menarik untuk dikaji dan diteliti karena setelah melakukan studi review penulis berkeyakinan bahwa kasus yang akan diteliti oleh penulis sangatlah berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa permasalahan yang akan diteliti layak untuk dilakukan dan penulis bermaksud mengangkat permasalahan tersebut kedalam sebuah skripsi yang berjudul “Manipulasi Identitas Dalam Perkawinan” Studi Kasus Pada KUA Kecamatan Kadugede, Kuningan – Jawa Barat.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah