2. Pola hidup yang Mempengaruhi Kesehatan

signifikan menyebabkan seseorang menjadi sakit atau terluka Ayers, Bruno dan Langford, 1999. Pola hidup merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Perilaku untuk meningkatkan kesehatan dapat dikontrol dan dipilih. Pilihan seseorang terhadap sehat tidaknya aktivitas yang dilakukan dipengaruhi oleh faktor sosiokultural karakteristik individu. Perilaku yang bersifat negatif terhadap kesehatan dikenal dengan faktor resiko Kozier, 2004.

3. 2. Pola hidup yang Mempengaruhi Kesehatan

Potter dan Perry 2005 mengemukakan bahwa ada kegiatan dan perilaku yang dapat memberikan efek terhadap kesehatan. Cara pelaksanaan kegiatan yang berpotensi memberikan efek negatif antara lain makan berlebihan atau nutrisi yang buruk, kurang tidur dan istirahat, dan kebersihan pribadi yang buruk. Kebiasaan lain yang beresiko menyebabkan seseorang menderita penyakit yaitu kebiasaan merokok atau minum-minuman beralkohol, penyalahgunaan obat, dan kegiatan berbahaya seperti skydiving serta mendaki gunung. Individu dengan kebiasaan yang dapat pula menimbulkan sakit yaitu kebiasaan berjemur di bawah matahari yang meningkatkan resiko kanker kulit, dan kelebihan berat badan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Lebih lanjut Potter dan Perry 2005 mengemukakan berbagai stres akibat krisis kehidupan dan perubahan gaya hidup. Stres emosional dapat menjadi faktor risiko bila bersifat berat, terjadi dalam waktu yang lama atau jika seseorang yang mengalaminya tidak mempunyai koping yang adekuat dapat meningkatkan peluang terjadinya sakit. Stres dapat terjadi karena peristiwa kehidupan seperti Universitas Sumatera Utara perceraian, kehamilan dan pertengkaran. Area kehidupan yang menyebabkan stres emosional jangka panjang menjadi faktor risiko seperti stres yang berhubungan dengan pekerjaan dapat berdampak pada kelemahan kemampuan kognitif serta kemampuan membuat keputusan yang menyebabkan kelebihan beban mental atau kematian. Ayers, Bruno dan Langford 1999 menyatakan bahwa pola hidup merupakan wilayah yang paling dapat dikontrol oleh seseorang dan memiliki beberapa aturan agar dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan. Perilaku yang termasuk dalam pola hidup sangat mungkin diubah. Faktor-faktor yang tergolong dalam wilayah gaya hidup diantaranya adalah :

3.1.1. Nutrisipola diet

Masukan nutrisi yang adekuat akan menyediakan tenaga untuk menggerakkan tubuh dan mempertahankan berat badan. Seseorang yang tidak memiliki komposisi nutrisi yang baik sehingga mengalami kelebihan berat badan beresiko terhadap penyakit seperti diabetes, gangguan kandung kemih, tekanan darah tinggi dan penyakit pembuluh darah koroner. Seseorang yang tidak memperhatikan komposisi nutrisi yang terkandung dalam makanan sehari-hari, akan lebih mudah terserang penyakit dibandingkan yang berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan. Intake makanan yang mengandung kadar karbohidrat tinggi namun minim serat seperti makanan cepat saji, mempercepat penimbunan lemak di dalam tubuh yang memicu obesitas. Individu yang mengalami obesitas rentan terhadap penyakit diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Penumpukan lemak di daerah perut merupakan Universitas Sumatera Utara salah satu faktor risiko yang memicu timbulnya diabetes mellitus. Peningkatan penderita diabetes akan meningkatkan jumlah penderita penyakit ginjal akibat komplikasi dari diabetes yaitu nefropati diabetes Francis, 2008. Hal yang senada dikemukakan oleh Iseki 2005 yang melakukan investigasi terhadap faktor-faktor yang mendukung terjadinya gagal ginjal terminal melalui pemeriksaan status ginjal renal outcome. Pemeriksaan tersebut menemukan bahwa nutrisi yang berlebihan menjadi salah satu faktor risiko yang mendukung timbulnya gagal ginjal kronik dan gagal ginjal terminal. Konsumsi diet yang berlebihan menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak terkontrol dimana merupakan faktor resiko timbulnya berbagai penyakit. Studi di Jepang menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang diukur dengan Body Mass Index BMI merupakan parameter yang signifikan berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik. Hal ini disebabkan setiap kenaikan dari BMI akan diikuti oleh kenaikan tekanan darah, lipid serum serta kadar glukosa darah. Setiap peningkatan BMI akan diikuti dengan peningkatan risiko mengalami gagal ginjal kronik. Walaupun mekanisme yang mendasari hubungan peningkatan BMI dengan gagal ginjal kronik tidak begitu dimengerti namun diestimasi bahwa kejadian tersebut ada kaitannya dengan aktivasi sistem renin angiotensin, peningkatan aktifitas nervus simpatis, terjadi resistensi insulin atau hiperinsulinemia dan dislipidemia. Kerusakan toleransi glukosa ini yang diduga berhubungan dengan kejadian gagal ginjal kronik Nomura dkk, 2009. Peningkatan berat badan atau obesitas khususnya obesitas abdominal dapat merupakan faktor resiko gagal ginjal kronik karena dapat memicu peningkatan Universitas Sumatera Utara tekanan darah. Selain itu penderita obesitas lebih resisten terhadap pengobatan untuk menurunkan tekanan darah. Peningkatan berat badan yang berlebihan telah mendukung peningkatan kadar leptin, volume ekspansi, sesak waktu tidur dan bila peningkatan tekanan darah tidak dikontrol akan mempercepat ginjal kehilangan fungsinya. Peningkatan risiko gagal ginjal kronik pada individu obesitas terjadi melalui beberapa mekanisme. Salah satu mekanisme yang berhubungan adalah peningkatan kadar leptin menyebabkan kerusakan dari sistem kardiovaskuler ginjal yang merupakan kontribusi signifikan dari patogenesis hipertensi dan diabetes karena obesitas Ronco dkk, 2008. Individu yang memiliki berat badan yang berlebihan atau overweight karena pola diet yang tidak tepat ditemukan lebih banyak yang menjalani terapi hemodialisa karena gagal ginjal terminal dibandingkan pasien yang memiliki berat badan normal atau kurang. Studi yang dilakukan terhadap 1010 pasien memperlihatkan, bila dilihat dari berat badan maka 47,9 pasien mempunyai kelebihan berat badan, 40,2 memiliki berat badan normal dan 11,9 memiliki berat badan di bawah standar untuk usia dan jenis kelaminnya Salahudeen dkk, 2004.

3.2.1. Aktifitas fisikolahraga

Manfaat yang dapat diperoleh dari aktifitas fisik yang dilakukan secara teratur telah banyak dilaporkan. Aktifitas fisik yang dilakukan secara teratur selama 30 menit setiap hari minimal 3 kali dalam seminggu akan membantu memperpanjang umur harapan hidup dan menurunkan angka kesakitan dan kematian karena penyakit Ramadhan, 2008. Universitas Sumatera Utara Olah raga yang teratur akan membantu menjaga tubuh tetap sehat dan bugar karena kalori terbakar setiap hari serta mengendurkan semua otot yang kaku. Olahraga dapat membantu meningkatkan kekuatan tulang, kekebalan tubuh, menguatkan paru-paru, menurunkan emosi negatif, mempercantik tubuh dan kulit, menambah tenaga, mengurangi dampak proses penuaan, serta membantu tidur nyenyak. Dampak olah raga tersebut akan dirasakan bila olah raga minimal aerobik dilakukan 3-5 kali seminggu selama 30 menit dengan pemanasan terlebih dahulu Ramadhan, 2008. Sesuai dengan pernyataan Ayers, Bruno dan Langford 1999 bahwa pola hidup yang cenderung meningkatkan resiko menderita penyakit dilihat dari aktifitas fisik adalah individu yang lebih banyak duduk, tidak berolah raga atau melakukan olah raga tidak teratur atau frekuensi latihan fisik tidak mencapai 30 menit dengan aktifitas minimal 3 kali dalam satu minggu. Individu yang memiliki aktifitas fisik rendah beresiko mengalami beragam penyakit seperti diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, dan obesitas yang merupakan faktor-faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal kronik dan gagal ginjal terminal. Hal ini diestimasi berdasarkan studi epidemiologi terhadap faktor risiko penyakit tidak menular dan serangkaian pemeriksaan kesehatan terhadap individu yang mengalami penyakit ginjal terkait dengan peningkatkan prevalensi penyakit gagal ginjal kronik di Jepang. Adanya hubungan antara gagal ginjal kronik dan gaya hidup yang berisiko akan membantu dalam meningkatkan upaya-upaya pencegahan penyakit gagal ginjal kronik dan gagal ginjal terminal Iseki, 2005. Universitas Sumatera Utara

3.3.1. Penggunaan zat

Penggunaan zat baik legal maupun ilegal, memiliki resiko serius terhadap kesehatan. Salah satu perilaku yang tergolong penggunaan zat adalah merokok. Beragam penyakit dapat menyerang perokok diantaranya yaitu gagal ginjal kronik. Gangguan ini pada perokok, berawal dari gangguan fungsi ginjal karena terjadinya nepfrosklerosis dan glomerulonefrritis yang disebabkan kandungan zat dalam rokok. Seorang perokok diperkirakan beresiko mengalami kejadian tersebut 1,2 kali lebih tinggi dari individu yang tidak merokok. Risiko ini lebih tinggi bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari 20 batang perhari. Individu yang merokok 20 batang rokok perhari diperkirakan 2,3 kali lebih mungkin mengalami gagal ginjal kronik dibandingkan yang merokok 1-20 batang sehari Bénédicte dkk, 2003. Pernyataan Ayers, Bruno dan Langford 1999 bahwa pola hidup yang tidak baik dilihat dari penggunaan zat adalah perilaku beresiko seperti merokok, menggunakan obat-obatan tidak sesuai dengan aturan yang telah diberikan, penggunaan zat kimia yang berbahaya bagi tubuh, dan sebagainya. Perilaku ini bila dilakukan oleh individu dalam jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan kerja ginjal yang berakhir dengan gagal ginjal kronik. Pendapat lain yang juga mengemukakan, individu yang merokok beresiko menderita gagal ginjal kronik 2,2 kali lebih tinggi dibandingkan individu yang tidak merokok. Risiko menderita gagal ginjal kronik ini tetap lebih tinggi pada perokok, meskipun kemudian memutuskan untuk berhenti merokok. Namun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan individu yang memutuskan untuk Universitas Sumatera Utara tetap merokok. Perokok yang telah berhenti berisiko 1,08 kali menderita gagal ginjal kronik sedangkan yang memilih untuk tetap merokok 2,4 kali lebih mungkin mengalami gagal ginjal kronik Shankar dkk, 2006. Mekanisme seseorang mengalami gagal ginjal kronik yang berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang diinduksi oleh rokok, terjadi melalui tiga cara. Mekanisme pertama yaitu melalui nonhemodinamik Nonhemodynamic mechanisms as potential mediators of smoking-induced renal damage. Secara sederhana dapat dideskripsikan bahwa zat-zat racun yang terkandung di dalam rokok telah mengakibatkan terjadinya disfungsi endotelial. Nikotin menyebabkan sel manusia mengalami proliferasi disamping meningkatkan fibronectin sampai 50. Hal ini menginduksi ginjal mengalami fibrosis yang pada akhirnya mengurangi kerja ginjal dalam mengeksresikan urin. Zat lain yang turut merusak ginjal yaitu cadmium Cd yang terkandung di dalam rokok dimana penumpukan zat ini di korteks ginjal mengakibatkan kerusakan jaringan karena toksisitas zat tersebut yang akan menimbulkan jaringan parut pada ginjal. Mekanisme selanjutnya yaitu terjadi secara hemodinamik Hemodynamic mechanisms as potential mediators of smoking-induced renal damage. Zat-zat berbahaya di dalam rokok selain memicu perubahan secara langsung pada organ ginjal, beresiko meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah merupakan faktor penting terhadap progresifitas penyakit gagal ginjal kronik. Mekanisme kerusakan ginjal terakhir dapat terlihat secara histopatologik Histopathologic features of smoking-induced renal damage. Gambaran histopalotogik yang ditemukan memperlihatkan progressi kerusakan glomerulus Universitas Sumatera Utara ginjal pada perokok yang berat, hiperplasia arteri intra renal, penebalan dinding arteri yang memicu nefrosklerosis dan kerusakan-kerusakan lainnya Orth dan Hallan, 2008. Selain rokok, menurut studi terhadap pasien yang menderita gagal ginjal kronik yang kemudian mengalami gagal ginjal terminal, ditemukan zat-zat lain yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan ginjal. Zat tersebut diantaranya yaitu obat anti nyeri. Observasi yang dilakukan selama 2 tahun memperlihatkan pasien yang telah mengkonsumsi obat anti nyeri secara tidak tepat lebih dari satu pil dalam seminggu sepanjang kurun waktu 2 tahun atau lebih untuk menghilangkan rasa sakit beresiko mengalami kerusakan ginjal. Lebih lanjut ditemukan, pasien yang bekerja dalam waktu lama pada sektor industri, lebih mungkin mengalami gagal ginjal dibandingkan sektor lain. Sektor industri yang paling tinggi frekuensi penderitanya yaitu automobil 51, diikuti pekerja konstruksi 17, pengecoran logam 9 dan pekerja rumah sakit 6 Steenland dkk, 2005. Universitas Sumatera Utara 26

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN

1. Kerangka Penelitian

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

2. Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimanakah pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari aktifitas fisik ?. b. Bagaimanakah pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari penggunaan zat ?. c. Bagaimanakah pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa ditinjau dari pola diet. Pola hidup penderita gagal ginjal kronik sebelum menjalani terapi hemodialisa yang meliputi - Aktifitas fisik - Penggunaan zat - Pola diet Baik Tidak baik Penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa Input Proses Output Universitas Sumatera Utara