Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kedudukan Provinsi Aceh dalam Pemerintahan Daerah telah diatur dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara. Dan kemudian dipertegaskan kembali dengan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan diperkuat kembali dengan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang telah diganti dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kewenangan Pemerintah Aceh tentang pelaksanaan Undang- Undang ini diatur lebih lanjut dengan Qanun Aceh. Oleh karenanya Kedudukan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem Pemerintahan Daerah mempunyai nilai lebih plus dengan daerah lain di Indonesia, karena Qanun sebagai pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan, dan Qanun sebagai peraturan daerah pelaksanaan syari’at Islam yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 2. Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan keistimewaan bagi Aceh yang telah diatur dalam Qanun No. 14 tentang Khalwat. Keistimewaan ini merupakan bagian dari pengakuan bangsa Indonesia yang diberikan kepada daerah Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat Aceh yang tetap dipelihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Pasal 16 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2006 Universitas Sumatera Utara tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan, penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh. dalam Pasal 1 ayat 16 Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat menyebutkan, khalwatmesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrimnya atau tanpa ikatan perkawinan. Mahkamah Syar’iyah berwenang memutuskan perkara pelanggar Jinayah bagi orang beragama Islam yang tinggal di Aceh, dan tidak berwenang memutuskan perkara jinayah terhadap penduduk Aceh beragama yang bukan Agama Islam dan juga terhadap penduduk pendatang di Aceh yang beragama bukan Agama Islam, kecuali penduduk beragama bukan Islam menyerahkan diri untuk diproseskan secara hukum yang berlaku di Aceh yang berdasarkan Syari’at Islam. 3. Hambatan dan kendala yang terjadi dalam pelaksanaan Syariat Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintahan Aceh tidak dapat melaksanakan Syari’at Islam dengan penuh leluasa dan bebas. Karena wewenang Qanun Khalwat dibatasi oleh hukum Nasional dan Qanun tidak dapat diterapkan yang sesuai dengan hukum Syari’at Islam secara sempurna terhadap pelanggar khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. dan kurang dukungan dari pemerintahan daerah Aceh, membuat kurangnya sarana dan prasarana, serta ketidaksiapan pemerintah Aceh untuk melakukan pengawasan dan penyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam khususnya tentang khawat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Universitas Sumatera Utara

B. Saran