Kewenangan Makamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

C. Kewenangan Makamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 1 dan 2 menyebutkan Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, dan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua lingkungan peradilan tersebut berlaku sebagai pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat kedua sebagai tempat dilakukannya peradilan bandimg. Mahkamah Agung merupakan pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan yang mempunyai kewenangan untuk mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Makamah Agung. 149 Sebutan untuk tingkat pertama dilingkungan Peradilan Agama disebut Pengadilan Agama, dan untuk tingkat banding disebut Pengadilan Tinggi Agama. Khusus untuk Provinsi Aceh Mahkamah Syar’iyah tidak asing lagi karena sebelumnya sudah dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan AgamaMahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh yang kemudian diubah dengan Peraturan 149 . Pasal 11 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Universitas Sumatera Utara Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan AgamaMahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura, dan untuk nama Pengadilan Agama adalah Mahkamah Syar’iyahPengadilan Agama, sedangkan nama untuk Pengadilan Tinggi Agama adalah Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Pada Tahun 1980 sebutan nama untuk pengadilan agama diseragamkan seluruh Indonesia berdasarkan di keluarkan Keputusan Menteri Agama No. 6 Tahun 1980 tentang Pengadilan Agama sebelumnya nama sebutan yang beragam seperti, Makamah Syar’iyah dan Makamah Syar’iyah Provinsi dan nama lain seperti kerapatan Qadhi dan Kerapatan Qadhi Besar di Kalimantan Selatan, semua nama tsebutan tersebut disatukan sebutanya, untuk tingkat pertama disebutkan Pengadilan Agama dan untuk tingkat banding disebut Pengadilan Agama Tinggi. Dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama tersebut Keistimewaan Aceh sudah tidak ada lagi karena dengan disamakan sebutan nama Mahkamah Syar’iyah yang dibanggakan masyarakat Aceh sudah hilang dan menjadi Pengadilan Agama yang tidak ada perbedaan dengan daerah lain di Indonesia dan diperkuat kembali dengan di keluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena undang-undang tersebut dan peraturan pelaksananya menyeragamkan sebutan untuk pengadilan di lingkungan Peradilan Agama, yang menggunakan dengan sebutan istilah Pengadilan Agama dan Pengadilan Agama Tinggi. Undang-Udang No. 7 Tahun 1989 mengatur Kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul antara sesama umat Islam antara lain: sengketa dibidang hukum keluarga, yaitu seperti perkawinan, perceraian, harta bersama hasil perkawinan, hak pengasuhan anak, kewarisan, serta sengketa Universitas Sumatera Utara di bidang wakaf, serta peraturan lainnya seperti Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang meliputi hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan. Bila terjadi sengketa yang timbul dibidang tersebut harus diselesaikan melalui pengadilan agama bukan melalui Makamah Syar’iyah. Kewenangan Mahkamah Syar’iah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur dalam Pasal 25 dan 26 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan: 1. Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Makamah Syar’iah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. 2. kewenangan makamah syar’iah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Pasal 26 menyebutkan: 1. Makamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 1 terdiri atas Makamah Syar’iyah KabupatenSagoe dan KotaBanda atau nama lain sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Makamah Syar’iyah Provinsi sebagai pengadilan tinggkat banding di Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Makamah Syar’iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Makamah Agung Republik Indonesia. 3. Hakim Makamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 25 dan 26 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus ditetapkan bahwa Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Maka Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengeluarkan Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Universitas Sumatera Utara Peradilan Syari’at Islam, dikeluarkannya Qanun tersebut untuk mengatur kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksudkan Pasal 25 Undang-undang Otonomi Khusus Aceh. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam Pasal 1 ayat 2 dan 3 Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam menyebutkan, Peradilan Syari’at Islam adalah bagian dari sistem peradilan nasional yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. Makamah Syar’iyah di KabupatenKota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dan selanjutnya kedudukan Mahkamah Syar’iyah diatur dalam Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam disebutkan sebagai berikut: Pasal 2 menyatakan : 1. Mahkamah Syar’iyah adalah Lembaga Peradilan yang dibentuk dengan Qanun ini serta melaksanakan Syari’at Islam dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Dalam melaksanakan kewenangannya Mahkamah Syar’iyah bebas dari pengaruh dari pihak manapun. 3. Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada. Dalam hal Pengembangan Pengadilan Agama dan Pengadilan AgamaTinggi yang telah ada diatur dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, yang juga berwenang mengadili perkara-perkara tertentu sesuai dengan hukum syari’at Islam, harus dikembangkan, diselaraskan dan disesuaikan dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2001, agar tidak terjadi dualisme dalam pelaksanaan syari’at Islam yang dapat menimbulkan kerawanan sosial dan ketidakpastian hukum, maka lembaga Peradilan Agama beserta perangkatnya sarana dan Universitas Sumatera Utara Prasarananya yang telah ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dialihkan menjadi lembaga Peradilan Syari’at Islam. 150 Berdiri lembaga Peradilan Syari’at Islam, Mahkamah Syar’iyah telah diberikan kekuasaan penuh untuk mengadili dan memeriksa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam, menyatakan, bahwa Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara- perkara pada tingkat pertama, dalam bidang, ahwa al-syakhshiyah, mu’amalah dan jinayah. 151 Mahkamah Syar’iyah dalam melaksanakan tugas memeriksa dan memutuskan terhadap perkara-perkara yang diajukan oleh jaksa, akan memproses sesuai wewenang yang ada dan berpedoman pada hukum materiil yang akan digunakan dalam menyelesaikan perkara sebagaimana tersebut pada Pasal 49 adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syari’at Islam yang akan diatur dengan Qanun. Dan hukum formil yang akan digunakan Makamah adalah yang bersumber dari atau sesuai dengan Syari’at Islam yang akan diatur dengan Qanun. 152 150 Pasal 3 ayat 3 Penjelsan Umum Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. 151 . Ibid. Pasal 49. lihat juga penjelasannya. A, yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang al- ahwal al-syakhshiyah meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentag Peradilan Agama berserta penjelasan dari Pasal tersebut, kecuali waqaf, hibah, dan sadaqah.. yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang mu’amalah meliputi hukum kebendaan dan perikatan B, seperti: jual beli, hutang piutang, qiradh permodalan, musaqah, muzara’ah, mukhabarah bagi hasil pertanian, wakilan kuasa, syirkah perkongsian, ariyah pinjam meminjam, hajru penyitaan harta, syuf’ah hak langgeh, rahnu gadai, Ihya’u al-mawat pembukaan tanah, ma’adin tambang, luqathah barang temuan, perbankan, ijarah sewa menyewa, takaful, perburuhan, harta rampasan, waqaf, hibah, sadaqah, dan hadiah. C, yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang jinayat adalah sebagai berikut: 1. Hudut yang meliputi: zina, menuduh berzina qadhaf, mencuri, merampok, minuman keras dan napza, murtad, dan pemberontakan bughat. 2. Qishashdiat yang meliputi: pembunuhan, penganiayaan, dan Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran Syari’at selaid hudud dan qishashdiat seperti: judi, khalwat, dan meninggalkan shalat fardhu dan puasa Ramadhan. 152 . Pasal 53 dan 54 Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam. Universitas Sumatera Utara Kewenangan Mahkamah Syar’iyah Aceh dipertegaska n kembali dalam Pasal 3 ayat 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, menyebutkan, kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain berkaitan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Pasal 128 ayat 3 Undag-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan, Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah hukum keluarga, mu’amalah hukum perdata, dan jinayah hukum pidana yang didasarkan atas syari’at Islam. Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyakut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum. 153 Oleh karenanya Mahkamah Syar’iyah mempunyai kekuasaan yang sangat kuat untuk menegakan syari’at Islam yang khusus diberlakukan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk mendukung terselenggaranya pelaksanaan syari’at Islam yang telah diatur dengan Qanun, salah satunya Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat Mesum. 153 . Lihat penjelasannya isebutkan, Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tediri atas Mahkamah Syar’iyah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi untuk tingkat banding adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor. 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 4134. Lihat juga Pasal 130 Undang-Undang N0. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Universitas Sumatera Utara Sebagaimana Mahadi menyebutkan, penegakan hukum law inforcement adalah hal menegakkan dan mempertahankan hukum oleh aparat penegak hukum jika terjadi pelanggaran hukum atau diduga hukum akan atau mungkin dilanggar. 154 Hukum perlu ditegakkan dan dipertahankan, karena hukum sebagai pedoman perilaku yang disepakati bersama. Salah satu fungsi hukum adalah sarana untuk mengendalikan masyarakat dengan tujuan pengendalian untuk menciptakan ketertiban dan ketenangan, yang maksudnya untuk menjaga kepentingan umum, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama. 155 Penegakan hukum adalah sebuah proses, maksudnya penegakan hukum dilaksanakan melalui tahapan-tahapan yang sistematis sejak dari berjaga-jaga, mengintip, menangkap, membuat berita acara, menyita barang, menyidik, dan sebagainya sampai kepada menjatuhkan dan melaksanakan keputusan. 156 Tahapan proses penegakan hukum terhadap pelaku khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum, dimulai dari Wilayatul Hisbah, kepolisian, kejaksaan dan Mahkamah Syar’iyah. 157 Mahkamah Syar’iyah diberikan wewenang 154 . Mahadi, “Peranan Penegakan Hukum dalam Proses Penegakan Hukum , makalah dalam Simposium Masalah Penegakan Hukum, BPHN, Bali, Cet. I. Bandung: Binacipta, 1982, hlm. 90 155 . Soejono Dirdjosisworo, “Penegakan Hukum dalam Sistem Pertahanan Sipil”, Bandung: Karya Nusantara, 1978, hlm. 18. 156 . Mahadi, Op. cit. “Peranan Penegakan Hukum………….”, . hlm. 97 157 . Lihat Pasal 21 ayat 4 UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, menyebutkan, tugas Fungsional kepolisian di bidang ketertiban dan kententraman masyarakat diatur dengan Qanun. Maka hubungan antara kepolisisan dengan Makamah Syar’iyah diatur dengan Qanun No. 11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Pasal. 5 menyebutkan, Fungsi kepolisisan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di bidang keamanan, ketertiban, dan ketentraman masyarakat, perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat dan penegakan hukum syari’at Islam.. dan selanjutnya dalam Pasal 6 ayat 1 dan 2, menyebutkan, pengemban Fungsi Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang dibantu oleh Wilayatul Hisbah yang dapat berfungsi sebgai Polisi Khusus PPNS. Dan Pengembangan Fungsi Kepolisisan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 melaksanakan Fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Qanun-qanun terkait dan Qanun Hukum Acara. Karena itu Qanun No. 14Tahun 2003 tentang Khalwat Mesum, mengatur ketentuan pidana khusus dalam bab tersendiri tentang penyedikan yang semuannya diserahkan kepada kepolisian danatau PPNS sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 tentang Pengawasan dan Pembinaan terhadap pelaku jariah Universitas Sumatera Utara untuk memeriksa dan memutuskan perkara Jinayah terhadap pelaku Khalwat berdasarkan Hukum Materiil yang diatur dalam Qanun Khalwat tersebut, sedangkan Hukum Formil yang digunakan Mahkamah Syar’iyah dalam memproses perkara tersebut selama belum ada hukum Hukum Formil yang diatur oleh Qanun maka dalam menyelesaikan perkara untuk sementara tetap berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mahkamah Syar’iyah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan Qanun yang berlaku dapat bertindak tegas terhadap pelaku Khawal, sebagaimana diatur Qanun No. 14 Tahun 2004 tentang KhawatMesum. Dengan tujuan dilakukan penegakan hukum sebagaimana di ungkapkan oleh Talcott Parsons, seorang ahli sosiologi Amerika dalam Marah Halim, mengemukakan dalam teori sibernetis-nya, menyebutkan pentingnya dilakukan penegakan hukum karena tiga faktor utama yaitu sebagai berikut: 1. Adanya nilai-nilai yang dipertahankan masyarakat. 2. Adanya struktur atau sistem kelembagaan dalam masyarakat yang di ciptakan untuk mengontrol nilai-nilai itu, 3. Adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mempertahankan eksistensi individu atau masyarakat yang bersifat social, ekonomi, politik dan sebagainya. 158 Dengan demikian Penegakan hukum syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darusslam baru dapat terlaksana dengan baik apabila ada dukungan dari segenap perangkat pemerintah daerah, baik secara materil maupun secara formil. Sebagaimana Soejono Dirdjosisworo menyebutkan, penegakan hukum baru dapat dilaksanakan dengan suatu khalwatmesum dilakukan oleh Wilayatul Hisbah, Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan pelaku jarimah Khalwatmesum dapat memberikan peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkannya kepada penyidik dan menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan kepada pelaku jarimahmesum. 158 . Satjipto Rahardjo,”Keadaan dan Permasalahan dalam Penegakan Hukum Dewasa Ini”, Bandung: Binacipta, 1982, hlm. 25 Universitas Sumatera Utara mekanisme yang sistematis dengan didukung oleh tiga faktor yang mempengaruhi efisiensi dan efektifitas penegakan hukum sebagai berikut: 1. Pembinaan aparatur penegak hukum polisi, jaksa dan hakim dalam proses peradilan. 2. Pembangunan dan pembinaan hukum yang beriwibawa dalam arti produk hukum yang selaras dengan aspirasi masyarakat yang sedang berubah dan berkembang. 3. Pembinaan dan pendidikan masyarakat. 159 Penyelenggaraan pelaksanaan Syari’at Islam tentang khawat di Provinsi Nanggroae Aceh Darussalam di laksanakan tetap dalam sistem hukum nasional yang menganut sistem trias politika, dalam penegakan hukum negara membagi tiga lembaga yaitu lembaga yudikatif adalah lembaga yang paling berperan dalam penegakan hukum, namun dalam pelaksanaannya harus melakukan koordinasi dengan lembaga eksekutif melalui kepolisian dan kejaksaan. Tugas hakim adalah memutuskan suatu perkara sesuai dengan tuntutan rumusan hukum, supaya perkara tersebut sampai kepada hakim, maka terlebih dahulu harus ditempuh dua proses yang dilakukan oleh eksekutif yaitu melakukan penyidikan dan penuntutan mewakili Negara, dimana undang-undang telah menetapkan bahwa tugas polisi adalah sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum di pengadilan dan hakim memeriksa perkara dan mengambil keputusan. 160 Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang maupun Qanun wajib bertidak tegas dalam menegakkan hukum khususnya hukum jinayah pidana yang tetap berpedoman pada hukum materiil yang berlaku dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang KhalwatMesum, sedangkan hukum formil hukum 159 . Soejono Dirdjosisworo, Op. cit. hlm. 36 160 . M. Yahya Harahap, “Pembahasan Permaslahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntututan’, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 91 Universitas Sumatera Utara Acara yang digunakan sebelum diatur dalam Qanun, maka yang digunakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. Hakim Mahkamah Syar’iyah dalam mengadili perkara sesuai dengan kompetensi relatif dan kompetensi absolut. kompetensi relatif Mahkamah Syar’iyah adalah kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau daerah hukum eks Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang bersangkutan. 161 Sedangkan Kompetensi Absolut Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang ditetapkan dalam Qanun. 162 Kompetensi relatif Peradilan Agama juga berlaku di Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh yang berujuk Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 yaitu Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum. Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perakara yang diatur dalam Pasal 49 Qanun No. 10 Tahun 2002, beserta penjelasannya, dan Pasal 50 UU No. 3 Tahun 2006 menyebutkan, pengadilan Agama berwenang untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Hal ini juga berlaku bagi Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh dalam menyelesaikan perkara-perkara tersebut, Kecuali wakaf, hibah dan shadaqah. 161 . Pasal 2 Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 162 . Mardani, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah”, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 59 Universitas Sumatera Utara Sesuai kompetensi Mahkamah Syar’iyah, berwenang memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan perkara khususnya perkara jinayah yang telah diatur dalam Qanun berlaku bagi penduduk Aceh yang beragama Islam dan bagi penduduk pendatang yang beragama Islam sebagai pendatang di Aceh. Sebagaimana diatur dalam Pasal 129 UU Pemerintahan Aceh menyebutkan, dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya beragama bukan agama Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah. Mahkamah Syar’iyah tidak berwenang memutuskan perkara jinayah terhadap penduduk Aceh beragama yang bukan Agama Islam dan juga terhadap penduduk pendatang di Aceh yang beragama bukan Agama Islam, kecuali penduduk beragama bukan Islam menyerahkan diri untuk diproseskan secara hukum yang berlaku di Aceh yang berdasarkan Syari’at Islam. Ketidak kepastian dasar hukum acara yang digunakan oleh penegak hukum, membawa konsekuensi tidak berjalannya hukum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan baik, ini dapat dilihat dari banyak kasus yang terjadi namun tidak dapat diselesaikan sampai tuntas apabila pelaku khalwat sudah keluar dari daerah Aceh tidak dapat dipanggil paksa untuk menjalankan persidangan di pengadilan Mahkamah Syar’iyah, itu semua tidak dapat dilaksanakan akibat belum adanya Qanun formil mengaturnya. Hukum formil berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini digunakan secara tidak konsisten mengakibatkan tidak dapat dilaksanakan persidangan di Mahkamah Syar’iyah dengan lancar. Sebenarnya apabila Hukum formil berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku Universitas Sumatera Utara selama ini digunakan dengan konsisten, semua pelaku khalwat yang sudah keluar Aceh dapat dipanggil paksa dan dapat menjalankan hukuman. Mahkamah Syar’iyah diperuntukannya khusus berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka seharusnya Pengadilan Mahkamah Syar’iyah tunduk dalam Pengadilan Agama yang sudah ada kepastian penggunaan hukum formil, bukan sebaliknya Pengadilan Agama yang tunduk dalam Pengadilan Mahkamah Syar’iyah. Dapat kita lihat seperti berlakunya Pengadilan Hubungan Industrian adalah pengadilan khusus yang dibentuk dilingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrian, begitu juga dengan Pengadilan Niaga adalah Pengadilan Niaga yang dibentuk dalam Lingkungan peradilan umum. Tidak jauh berbeda dengan Pengadilan Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang sebenarnya juga harus dalam Lingkungan pengadilan Agama. Karena Peradilan Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum. Menunjukan Pengadilan Mahkamah Syar’iyah harus berada dalam lingkungan pengadilan Agama. Namun Provinsi Aceh sebagai daerah yang diberikan otonomi khusus daerah istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka diberlakukan peraturan perundang-undangan khusus yang dapat menyampingkan peraturan perundang- undangan yang berlaku umum dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lege genealis. Universitas Sumatera Utara

BAB IV HAMBATAN ATAU KENDALA PENYELENGGARAAN PELAKSANAAN