BAB IV HAMBATAN ATAU KENDALA PENYELENGGARAAN PELAKSANAAN
SYARI’AT ISLAM TENTANG
.
KHALWAT DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
A. Hambatan atau Kendala Penyelenggaraan Syari’at Islam Tentang Khalwat di
Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam
Hambatan atau kendala yang di hadapi dalam penyelenggaraan pelaksanaan Syari’at Islam tentang khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sangat tergantung pada
masyarakat Islam itu sendiri. Maksudnya pendidikan Islam belum berhasil ditanamkan dalam setiap jiwa umat Islam itu sendiri, akibat kurang memahami karakteristik Islam dan strategi
dalam menyiarkannya oleh para ulama dan umara. Perjuangan penyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam tentu harus melalui langkah-
langkah dan proses-proses yang prinsipnya harus dilakukan seperti Rasulullah Nabi Muhammad SAW merperjuangkan Agama Islam pada masa jahiliyah dan seperti juga pada
masa Sultan Iskandar Muda yang gagah berani memperjuangkan agama Allah dengan penegakan hukum Allah di bumi serambi Mekah sehingga mejadi perekat masarakat Aceh
yang menjadi besar dan disegani. Muslim Ibrahim menyebutkan, penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh
masih banyak menghadapi kendala-kendala sebagai berikut: 1.
Kendala cultural atau bisa sosiologi adanya umat Islam yang masih belum bisa menerima.
2. Kendala fikrah pemikiran adalah masih banyaknya pandangan negative terhadap hukum
pidana Islam dan kurang yakin dengan efektifitasnya.
3. Kendala filosofis berupa tuduhan bahwa hukum ini tidak adil kejam dan ketinggalan
zaman bahkan bertentangan dengan cita-cita hukum nasional.
4. Kendala yuridis yang tercermin dari belum adanya ketentuan hukum pidana yang
bersumber dari syari’at Islam.
Universitas Sumatera Utara
5. Kendala konsolidasi umat yang terwujud pada belum bisa bertemunya para pendukung
pemberlakuan syari’at Islam dari berbagai kalangan yang masih saling menonjolkan dalil argument serta metode penerapannya masing-masing.
6. Kendala akademis terlihat dari belum meluasnya pengajaran hukum pidana Islam ini di
sekolah atau perguruan tinggi. 7.
Kendala perumusan yang terlihat dari belum adanya upaya yang system matis untuk merumuskan hukum pidana yang sesuai syari’at Islam sebagai persiapan mengganti
hukum pidana barat.
8. Kendala structural yang terlihat dari belum adanya struktur hukum yang dapat mendukung
penerapan syari’at Islam. 9.
Kendala ilmiah tercermin dari kurang banyaknya literature ilmiah yang mengulas hukum pidana Islam dan.
10. Kendala politis terlihat dari masih kurang cukupnya kekuatan politik untuk menggolkan
penegakan syari’at Islam melalui proses-proses politik.
163
Salah satunya kendala tersebut yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan syari’at Islam tentang khalwat di Aceh adalah kurangnya dukungan secara politis dari parlemen
maupun dari masyarakat itu sendiri, sehingga syari’at Islam tidak berjalan dengan baik dan tidak dapat ditegakkan syari’at Islam dengan baik, ini dapat dilihat dan tercemin dalam
penyusunan Qanun sebagai payung hukum pelaksanaan syari’at Islam di bidang Khalwat di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 14 ayat 2 Qanun No. 14 Tahun 2003 tetang KhalwatMesum menyebutkan, dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan
pelaku Jarimah khalwatmesum dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkannya kepada penyidik.
Pasal ini memberikan celah dan kelonggaran terhadap pelaku untuk berbuat kedua kalinya, akibat kurang tegasnya peraturan yang di ciptakan oleh eksekutif dengan legislatif
memberikan kesempatan dan membuat ketidak takutan pelaku untuk mengulangi
163
. Muslim Ibrahim, ”Penerapan Syari’at Islam dan Penyelesaian Konflik di Aceh”, Makalah di sampaikan pada peringatan hari jadi IAIN Ar-Raniry ke-39 Tanggal, 12 Oktober 2002 hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
perbuatannya melakukan pelanggaran syari’at Islam, karena peraturan tersebut tidak membawa akibat langsung kepada pelaku pelanggaran hukum syari’at Islam di Provinsi Aceh.
Prilaku menyimpang tersebut terhadap pelaksanaan syari’at yang dilakukan oleh masyarakat Aceh, bukan karena ketidaktahuan akan hal tersebut, tetapi karenaan
pengabaian.
164
Dikarenakan tidak adanya sanksi hukum yang tegas terhadap pelaku pelanggaran syari’at Islam baik secara sanksi hukum cambuk maupun hukuman mental.
Sebagaimana dikatakan oleh Silverman dan Title dalam Hartono menyebutkan, banyak tindak penyimpangan dapat dicegah bilamana sanksi terhadap pelaku penyimpangan itu besar.
165
Tidak tegas sanksi hukuman yang diberikan pada pelaku pelanggaran syari’at Islam. Menurut Al Yasa’ Abubakar, disebabkan materi qanun kurang tegas mengatur sanksi terhadap
pelaku pelanggaran syari’at Islam ada beberapa alasan yaitu: 1. Untuk sebagian masyarakat menimbulkan persepsi yang salah tentang syari’at Islam, karena
boleh jadi sesuatu yang sebetulnya tidak Islami dan tidak ada kaitannya dengan Islam dikaitkan atau dilabelkan kepada Islam dengan alasan begitulah praktek masa lalu.
2. belum ada daerah atau masyarakat yang telah berhasil melaksanakan syari’at Islam yang dapat dijadikan model atau contoh dalam upaya pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.
3. pelaksanaan syari’at Islam di Aceh dibatasi harus dalam lingkup “sistem hukum nasional”
dan juga harus dalam sistem “peradilan nasional” . ketentuan pembatasan ini dari satu segi memberikan kemudahan tetapi dari segi lain memberikan kesulitan. Kemudahannya,
sudah ada pagar dan sampai batas tertentu “acuan” yang harus diikuti sehingga para perangcang dan pembuat keputusan tidak perlu lagi mencari-cari model atau sistematika.
Sebaliknya hal ini dapat menjadi penghambat, karena pelaksanaan tersebut menjadikan syari’at Islam harus “disesuaikan” tidak lagi bebas penuh.
4. kekeliruan pemahaman karena pengetahuan tentang syari’at Islam yang relative yang tidak memadai dikalangan pimpinan, baik yang formal maupun yang non formal, yang bergerak
dalam organisasi social kemasyarakatan dan juga dalam partai politik, termasuk para pimpinan dan pembuat keputusan dikalangan pemerintahan.
5. kekurangan atau sumber daya yang berkualitas, baik yang akan menjadi pemikir, ataupun
yang akan bertindak sebagai penggerak syari’at Islam.
164
. M. Jalil Yusuf, Petaka hati yang Tercabik, Jakarta: Yayasan Ulul Arham, 2001, hlm. 104
165
. Hartono, ed., Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1987, hlm. 204
Universitas Sumatera Utara
6. perbedaan pemahaman dikalangan sarjana dan ulama sendiri tentang makna dan cakupan syari’at Islam yang akan dijalankan, serta tanggungjawab pelaksanaannya.
166
Beberapa alasan tersebut menjadi kendala dalam penerapan sanksi hukuman yang tegas terhadap pelaku pelanggaran syari’at Islam, karena dalam penyusunan Qanun tidak boleh
bertentangan dengan hukum nasional dan di Aceh dibatasi harus dalam lingkup “sistem hukum nasional” dan juga harus dalam sistem peradilan nasional. ketentuan pembatasan ini
dari satu segi memberikan kemudahan tetapi dari segi lain memberikan kesulitan. Kemudahannya, sudah ada pagar dan sampai batas tertentu “acuan” yang harus diikuti
sehingga para perangcang dan pembuat keputusan tidak perlu lagi mencari-cari model atau sistematika.
Sebaliknya hal ini dapat menjadi penghambat, karena pelaksanaan tersebut menjadikan syari’at Islam harus “disesuaikan”dengan hukum nasional, tidak lagi bebas penuh untuk
penyusunan Qanun yang sesuai dengan syari’at Islam. Maka berlaku asas Lex Superior Derogaat Lege inferior, hukum yang lebih tinggi menyampingkan hukum yang lebih rendah
yang dapat menyampingkan UU Khusus. Berlakunya asas hukum tersebut mengakibatkan penegakan hukum syari’at Islam
terhadap pelakunya, tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna, bilamana pelaku pelanggaran syari’at Islam yang sudah pindah keluar Aceh tidak dapat lagi dihukum karena tidak adanya
suatu Qanun yang mengatur tentang hal tersebut sehingga tidak dapat memaksa pelaku yang sudah keluar dari daerah Aceh untuk dapat dipaksa pulang kembali ke Aceh supaya dapat di
hukum dengan hukuman syari’at Islam yang berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
166
. Al Yasa’ Abubakar, ”Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan”, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provisi NAD, 2008, hlm. 115-122
Universitas Sumatera Utara
Namun demikian sebenarnya kendala-kendala tersebut diatas sebenarya tidak perlu menjadi suatu hambatan dalam pelaksanaan syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, karena masyarakat Aceh sudah tidak asing lagi dengan syari’at Islam mengingat kehidupan rakyat Aceh yang riligius dan menjujung tinggi ajaran Islam yang merupakan
modal dalam meningkatkan peran serta masyarakat untuk mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan serta memantapkan kemampuan daerah dalam menghadapi tantang era
globalisasi. Penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam sebagai perwujudan keistimewaan yang
diberikan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan kehidupan beragama yang Islami, penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam tentang Khalwat yang Islami harus didukung
oleh pemerintah daerah untuk terlaksananya dengan baik dan sesuai dengan harapan yang telah diberikan oleh undang-undang Negara. Sebagaimana Hamdan Zoelva menyebutkan,
syari’at Islam sebagai sebuah sistim hukum dan kemasyarakatan hanya dapat ditegakkan dengan utuh apabila memenuhi tiga hal pokok sebagai berikut:
1. Substansi aturan hukum dan tingkah laku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
harus sesuai dengan ketentuan Syari’ah. 2.
Harus ada institusi yang sesuai dengan ketentuan Syari’ah, yang berwenang menetapkan serta mengundangkan aturan hukum kedalam ketentuan hukum positif legislative,
memutuskan segala masalah dan sengketa yang timbul berdasarkan ketentuan Syari’ah itu yudikatif, serta yang membuat kebijakan public untuk melaksanakan dan menegakkan
ketentuan syari’ah itu agar terlaksana dengan efektif eksekutif.
3. Harus didukung oleh budaya masyarakat yang memahami dan menyadari arti pentingnya
penghormatan atas aturan syari’ah itu.
167
Menurut Husni, staf Bidang Bina Hukum Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, mengatakan penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam tentang khalwat di
167
. Hamdan Zoelva, “Syari’at Islam Kemungkinan Penerapannya di Indonesia”, Media Dakwah, Juli 2002, hlm. 47
Universitas Sumatera Utara
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam sistem hukum ketatanegaraan Republik Indonesia menghadapi beberapa kendala sebagai berikut: Pertama, Instansi terkait dalam hal ini Dinas
Syari’at Islam berusaha semaksimal mungkin untuk membina aparatur pemerintah yang berada dibawah Dinas Syari’at Islam melaksanakan pengawasan terhadap pelaku pelanggaran
terhadap Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Dalam melaksanakan tugas, Dinas Syari’at Islam mempunyai kendala terhadap keterbatasan tersedia dana untuk operasional
dilapangan. Kedua, kurang tersedianya perlengkapan operasional untuk melakukan pengawasan
dilapangan untuk mencegah tejadinya pelanggaran terhadap khalwat yang kebayakan dilakukan oleh para remaja, pelajar dan mahasiswa, sebenarnya alat transportasi sepeda motor
maupun mobil sangat dibutuhkan untuk mendukung terlaksannya syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 2 Qanun No. 14 Tahun
2003 tentang Khalwat Mesum menyebutkan, untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap terlaksanaan Qanun ini, Gubernur, BupatiWalikota membentuk Wilayatul Hisbah.
Karena itu Gubernur, BupatiWalikota sangat bertanggungjawab terlaksananya syari’at Islam di Aceh, maka sudah sepatutnya pemerintah daerah mendukung sepenuhnya
memberikan dana yang cukup untuk operasional pengawasan terhadap pelanggaran Khalwat di Aceh.
168
Selanjutnya mantan Kepala Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Al Yasa’ Abubakar menyatakan, hukum islam yang sedang diterapkan di Aceh ternyata
hingga hari ini masih banyak terdapat kelemahan dan kendala yang harus disempurnakan lagi,
168
. Wawancara dengan Husni, staf Bidang Bina Hukum Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada Tanggal 4 Mei 2009.
Universitas Sumatera Utara
karena pemberlakuan Syari’at Islam saat ini dianggap belum mampu menggiring para pelaku pelanggaran syari’at Islam ke pengadilan apalagi pelakunya sudah berada di luar Aceh,
contohya salah satu kasus yang menunjukkan kelemahan dan kendala yang di hadapi dalam pemberlakukan Syari’at Islam di Aceh belum ada Qanun yang tegas mengatur bagaimana cara
memaksa pelaku yang sudah berada di luar Aceh untuk dapat kembali Aceh agar dapat mempertanggung jawabkan terhadap pelanggaran Khalwat yang telah dilakukannya.
Seperti kasus Khalwat yang dilakukan oleh mantan Ketua Pengadilan Sabang, yang hingga kini kasusnya belum tuntas, karena yang bersangkutan sudah pindah tugas ke Provinsi
lain.
169
Maka sudah sepatutnya pemerintah daerah untuk membuat qanun atau peraturan baru yang lebih tegas dan jelas mengatur hukuman terhadap pelaku yang melarikan diri keluar
daerah, karena Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah meberikan hak otonom kepada daerah untuk mengatur Rumah Tangga sendiri dalam sistem Hukum Tata
Negara Republik Indonesia. B. Hambatan atau Kendala Pendidikan dalam Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at
Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam
Penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh sudah memasuki usia 9 Tahun, sudah tentu dalam perjalanan penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam banyak menemukan
hambatan atau kendala, ada yang pro dan ada yang kontra terhadap keberhasilan yang telah dicapai sehingga tentu menjadi pusat perhatian dan bahan diskusi tersendiri baik di kalangan
perguruan tinggi ataupun para praktisi serta masyarakat pada umumnya. Diskusi yang
169
. Wawancara dengan Al Yasa’ Abubakar mantan Kepala Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada Tanggal 5 Mei 2009.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan para akademisi maupun masyarakat khususnya tidak jarang juga menghasilakan kritikan terhadap penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam maupun support dan dukungan
terhadap keberhasilan yang telah dicapai untuk dapat meningkatkan kembali pengawasan terhadap penglanggaran syari’at Islam.
Tgk. Jalil mengatakan, Namun semua itu harus di sadari adanya pro dan kontra terhadap penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islan di Aceh terkadang akibat ketidak ketahuan dan
ketidak pahaman mengenai penting dilaksanakan syari’at Islam di Aceh dan terhadap pelaksanaan syari’at Islam itu sendiri. Akibat tidak adanya sosialisasi atau pengenalan yang
baik kepada masyarakat serta kurang memberikan kesempatan dan ruang gerak untuk ikut partisipasi masyarakat yang maksimal dalam penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam itu
sendiri masyarakat tahu adanya pemberlakuan syari’at Islam di Aceh, tetapi belum mengetahui dengan baik substansi dari penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam itu sendiri.
170
Senada juga dengan Husni, staf Bidang Bina Hukum Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan, Pertimbangan penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam di
Aceh tersebut dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam adalah bahwa kehidupan rakyat Aceh yang religius dan
menjujung tinggi ajaran Islam merupakan modal masyarakat Aceh dalam perjuangan mempertahankan daerah Aceh khususnya dari jajahan Belnda.
Dalam rangka pelaksanaan syari’at islam di Aceh harus didukung adanya lembaga pendidikan agar penerapan dan pemahaman pendidikan dapat diterima dengan baik. Karena
syari’at Islam itu sendiri baru dapat dipahami melalui pendidikan, dengan ada pendidikan
170
. Wawancara dengan Tgk. Jalil. Salah seorang tokoh masyarakat Kabupaten Aceh Utara, Tanggal 7 Mei 2009.
Universitas Sumatera Utara
dapat ditransper ilmu transfer of knowledge yang bermaksud menjadi manusia sebagai sosok manusia yang pontensial secara intelektual sehingga dapat di bentuk sebagai manusia yang
berwatak dan beretika.
171
Apabila memahami syari’at islam itu sendiri sebagaiman anjuran Allah dalam Alqur’an Surat Al-Alaq ayat 1-5. yang artinya:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha pemurah.
Yang mengajarkan manusia dengan perantara kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Ayat ini merupakan ayat pertama yang di wahyukan Allah, yang berarti sejak Islam diproklamirkan oleh Nabi Muhammad SAW. Islam sangat memperjuangkan dan memajukan
pendidikan dengan perintah membaca demi mengenal Allah sebagai Tuhan manusia. Dalam Alqur’an surat At-Taubah ayat 122 Allah juga menjelaskan pendidikan sangat penting bagi
manusia dimana dalam keadaan berperang umat Islam tidak boleh keluar semuannya untuk berperang tetapi hendaknya memperdalam pengetahuan agama untuk memberikan peringatan
atau pelajaran kepada saudaranya apabila mereka kembali dari peperangan supaya mereka dapat menjaga dirinya.
Menurut Quraish Shihab mengatakan Surat Al- Alaq menyebutkan, pertama, ayat 1 iqra’ merupakan tuntutan membaca atau belajar, karena ia sebagai pilar utama ilmu
pengetahuan, oleh karenanya menjadi sebutan bagi manusia sebagai makhluk membaca. Kedua ayat 1 Rabb, mengatasnamakan Allah dalam proses pembacaannya, dari pilar ini
manusia kemudian menjadi makhluk bertuhan. Ketiga ayat 2 al-Insan, manusia, pendidik
171
. Wawancara dengan Husni, staf Bidang Bina Hukum Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada Tanggal 4 Mei 2009.
Universitas Sumatera Utara
dan peserta didik, sebagai factor aktif dalam pendidikan. keempat, ayat 3, akram, mengapai kemulian baik di dunia maupun di akhirat. Kelima, ayat 4, Qalam, pena merupakan
representasi pentingnya sarana prasarana. Dan yang terkhir Keenam ayat 5, ‘Allama, merupakan tuntutan mengajar sebagai proses transfer of values dari pendidik ke peserta
didik.
172
Berhasil tidaknya pendidikan seorang anak sangat tergantung pada keluarga dalam memberikan pendidikan secara dini pada anaknya, setelah itu baru sekolah dan masyarakat.
Keluarga merupakan elemen terkecil dari sebuah masyarakat yang menjadi unit pendidikan terkecil, namun keluarga salah unit pendidikan yang sangat efektif dalam proses pendidikan
secara dini pada anak, karena keluarga sangat menetukan dalam keberhasilan pembentukan kepribadian dan karakter anak.
Nilai yang di tanam oleh keluarga sangat berperan dalam membentuk mindset dan cara pandang anak dalam melihat sesuatu. Azyumardi Azra menyebutkan, bahwa keluarga adalah
madrasah mawaddah wa rahmah, yang dianalogikan dari konsep bahwa keluarga adalah school of love sekolah kasih saying. Karena dalam konsep madrasah mawaddah wa rahmah
banyak value nilai yang ditransfer oleh orang tua pada anak.
173
Sekolah salah satu unit pendidikan terpenting dalam pendidikan anak. Sangat berbeda dengan pendidikan keluarga, sedangkan pendidikan sekolah adalah pendidikan formal dalam
sebuah institusi resmi yang diatur dengan sistem yang baku, dan juga tidak boleh dikesampingkan pendidikan informal yang berada di luar pendidikan sekolah, yang tidak kalah
172
. M. Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”. Bandug: Mizan, 1992, hlm. 167
173
. Azyumardi Azra, “Paradigma Baru Pendidikan Nasional” Jakarta: Kompas, 2002, hlm. 15
Universitas Sumatera Utara
juga berpengaruh dan penting dibandingkan dengan pendidikan formal lewat jalur sekolah yang waktu belajar sangat singkat. Pemerintah daerah berkewajiban menyesuaikan kurikulum
pendidikan berlandaskan syari’at Islam mulai tingkat Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No. 44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh menyebutkan, Daerah mengembangkan dan mengatur berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan serta
menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam.
174
Kesimpulannya, pemerintahan daerah belum siap menyelenggarakan syari’at Islam tentang khalwat di Aceh sebagaimana diharapkan oleh Undang-Undang No. 44 Tahun 1999
tentang Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang diatur dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Akibat Kurang
dukungan politik dari parlemen dalam menyusun Qanun, sehingga materi Qanun tidak dapat bertindak tegas terhadap pelaku pelanggar syari’at Islam. Dan anggaran yang sanagat terbatas
disediakan Pemerintahan Aceh untuk mendukung penegakan syari’at Islam di Aceh, sehingga membuat kurang sarana dan prasarana, serta ketidaksiapan pemerintah daerah dapat menjadi
hambatan dan kendala melakukan pengawasan dan penyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam khususnya tentang khawat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Semua permasalahan itu harus segera diselesaikan agar penyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat berjalan dengan
baik antara lain, Pertama, dapat tersedianya anggaran yang cukup untuk memenuhi sarana dan
174
. Lihat juga Pasal 215 ayat 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan, Pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan satu kesatuan dengan system pendidikan
nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat.
Universitas Sumatera Utara
prasarana penyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam. Kedua, penegakan hukum yang adil dan tidak memebdakan status sosial, sehingga terciptanya ketenangan dan keadilan dalam
masyarakat, sehingga terselenggarakan pelaksanaan syari’at Islam tentang Khawal di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam. Ketiga, segera merevisikan Qanun Pidana Jinayah khususnya
Qanun No. 14 tentang Khalwat Mesum, supaya dapat lebih efektif dilakukan penegakan hukum, agar tidak ada celah untuk lolos pelaku khalwat dari hukuman.
Keempat, penting dimasukan Materi muatan lokal yang sesuai dengan syari’at Islam kedalam kurikulum pendidikan dari Sekolah Dasar SD sampai Sekolah Menengah Atas
SMA yang sesuai standar pendidikan nasional, sehingga memberikan dampak positif bagi remaja, pelajar dan para mahasiswa dalam memahami penting diberlakukan penyelenggaraan
pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Materi muatan lokal merupakan subjek pendidikan keimanan dan akhlak, budi pekerti yang mendukung terselenggaranya syari’at Islam, karena
keimanan adalah dasar dari pemahaman Islam yang menjadi Iman yang kuat dan benar dalam memahami akan mengantarkan individu pada pemahaman dari nilai-nilai ajaran agama dan
kepercayaan seseorang kepada Tuhan yang baik. Pebenahan terhadap keimanan adalah suatu hal yang sangat penting dilakukan untuk
mengahsilkan pemahaman dan pemaknaan ajaran Islam yang benar oleh setiap individu- individu yang Islami sehingga penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam tetang Khalwat di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat berjalan secara sempurna kaffah..
Universitas Sumatera Utara
C. Upaya Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Nanngroe Aceh Darussalam
Peneyelenggaraan Penegakan syari’at Islam dilakukan dengan azas personalitas keislaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan,
kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh. Dalam bab III Pasal 4 UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh menyebutkan, untuk tercapainya tujuan penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam, Pemerintah Daerah mempunyai tugas dan berkewajiban untuk
mengembangkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh dengan baik dan benar sesuai dengan tuntutan peraturan perundang-undangan dan
sesuai Qanun yang berlaku dan serta bagi pemeluk agama Islam berkewajiban untuk melaksanakan dan menghormati penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.
Pemerintah daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berkewajiban mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama dalam mengupanyakan dan membuat
kebijakan daerah untuk mengatur kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Pemerintah Daerah harus berupaya semaksimal mungkin melakukan pengawasan dan penertiban terhadap para pelajar, mahasiswa dan masyarakat yang melakukan pelanggaran-
pelanggaran terhadap Qanun yang mengatur tentang khalwat, karena setiap pemeluk agama Islam wajib mengamalkan syari’at Islam secara kaffah di dalam kehidupan sehari-hari dengan
tertib dan sempurna. Pengamalan agama Islam dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari melalui diri
seseorang pribadi, keluarga, masyarakat dan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Universitas Sumatera Utara
Bagi setiap warga Negara Republik Indonesia maupun warga Negara Asing yang berada dan bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berkewajiban untuk menghormati
dan mendukung penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam dengan mematuhi segala peraturan Qanun yang berlaku di Aceh dan menjauhi segala larangannya. Salah satu cara
yang paling efektif untuk terlaksananya penyelenggaran syari’at Islam adalah dengan melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap orang-orang yang melakukan pelanggaran
khalwat dengan tanpa melihat status sosialnya. Menurut Koesnadi Hardjasoemantri, penegakan hukum adalah kewajiban dari seluruh
masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat aktif
berperan dalam penegakan hukum.
175
Penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam harus dilaksanakan bersama-sama dengan masyarakat. Apabila tidak ada dukungan dari masyarakat
penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam tidak akan berhasil, akan tetapi pemerintah daerah harus berupaya semaksimal mungkin untuk melakukan terobosan-terobosan yang
efektif agar mendapat dukungan masyarakat, hukum bisa tegak bila masyarakat dan pemerintah mempunyai tujuan yang sama untuk menyelamatkan kemaslahatan masyarakat di
dunia dan akhirat. Tujuan larangan melakukan khalwat adalah menegakkan Syari’at Islam dan adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan danatau perbuatan yang merusak kehormatan,
mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah
175
. Koesnadi Hardjasoemantri, “Hukum Tata Lingkungan”, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1999. Hlm. 375
Universitas Sumatera Utara
kepada zina, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan meberantas terjadinya perbuatan khalwatmesum, serta menutup peluang terjadinya kerusakan moral.
Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat mesum telah mengatur larangan dan pencegahan terhadap perbuatan melakukan khalwatMesum disebutkan hukumnya haram dan
setiap orang dilarang melakukan melakukan khalwatmesum, apabila setiap orang yang melanggar terhadap khalwat diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa cambuk paling tinggi 9
sembilan kali, paling rendah 3 tiga kali danatau denda paling banyak Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah, paling sedikit Rp. 2.500.000,- dua juta lima ratus ribu rupiah
176
‘Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap jarimah, karena jarimah merupakan perbuatan terlarang yang diancam dengan qishash-diat, hudut, dan takzir. Dalam hukum
pidana Indonesia, jarimah disebut dengan perbuatan pidana, atau beberapa istilah lain seperti peristiwa pidana, tindak pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum,
dan perbuatan yang dapat dihukum. Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana jika terpenuhi unsur-unsur yang membentuk perbuatan itu.
Unsur-unsur mana dibagi menjadi dua yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah semua unsur yang berkenaan dengan batin atau melekat pada kejadian batin
orangnya. Sedangkan unsure objektif adalah semua unsure yang berada di luar keadaan batin orangnya yaitu semua unsur yang berkenaan dengan perbuatannya, akibat perbuatan, serta
keadaan-keadaan tertentu yang melekat pada perbuatan dan objek tindak pidana. .
177
176
. Pasal 22 ayat 1 Qanun No. 14 Tahun 2003
177
. Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana,” Ed. I, Cet. Ke. 2 Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2005, hlm. 67. Lihat juga Alvi Syahrin, “ Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan
Permukiman Berkelanjutan”, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003, hlm. 235. menyebutkan, Hukum pidana dalam arti objektif mengatur tentang larangan, keharusan yang atas pelanggaran terhadapnya diancam dengan
pidana sanksi oleh undang-undang. Hukum Pidana dalam arti objektif ini juga mengatur tentang syarat-syarat
Universitas Sumatera Utara
Menurut Husni, staf Bidang Bina Hukum Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pedoman pelaksaan syari’at Islam sesuai dengan Visi dan Misinya penerapan
syari’at Islam adalah bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang beradab dan bermartabat dalam nuansa Islami.
Untuk tercapainya sasaran yang diharapkan itu maka di dalam penerapannya perlu diprogramkan secara realistis dan terukur. Pertimbangan rialistis didasarkan pada kenyataan
bahwa kehidupan umat beragama di Nanggroe Aceh Darussalam berada dalam bingkai Negara Republik Indonesia yang sangat pluralistik dalam beragama. Sementara pertimbangan terukur
lebih dibebankan pada nilai-nilai saling menghormati yang secara relativitas masing-masing agama memelihara kerukunan hidup umat beragama. Untuk menselaraskan tatanan hidup
beragama dalam hal ini Dinas Syari’at Islam sebagai lembaga tehnis diberi wewenang untuk menciptakan tercapainya kerukunan hidup umat beragama, maka Dinas Syari’at Islam telah
berupaya melakukan berbagai pendekatan yang komprenhensif di dalam menangani persoalan dalam penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam di Nangroe Aceh Darussalam yaitu:
Pertama, Pemerintahan Daerah dalam hal ini Dinas syari’at Islam sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dan Qanun. telah melakukan
pengawasan dan penertiban kepada para pelaku pelanggaran terhadap khalwat. Kedua, Dinas
kapan sanksi tersebut dapat dijatuhkan. Hukum pidana dalam arti objektif ini dapat dibedakan dalam Hukum Pidana Materiil yang terdiri dari : rumusan-rumusan yang mengenai tindakanperbuatan yang diancam dengan
pidana, siapa saja yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatantindakan pidana tersebut serta mengatur tentang sanksiakibat hukum yang berupa macam-macam pidana yang dapat dijatuhkan bila terjadi pelanggaran
dan Hukum Pidana Formil yang merupakan bagian dari keseluruhan peraturan hukum yang berlaku disuatu Negara yang mengadakan dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan untuk menentukandengan cara bagaimana pidana
dapat dilaksanakan artiya mengatur tentang tatacara bagaimana Hukum Pidana Materiildapat dilaksanakan dengan kata lain Hukum Acara Pidana. Hukum Pidana dalam arti subyektif merupakan hakkewenangan Negara
untuk menghukum apabila larangan dan keharusan menurut Hukum Pidana Obyektif itu dilanggar atau disebut Ius Poenandi.
Universitas Sumatera Utara
syari’at Islam telah melakukan sosialisasi secara terus menrus baik melalui media massa dan media elektronik dan meberikan pemahaman terhadap pentingnya penyelenggaraan
pelaksanaan syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ketiga, Dinas syari’at Islam berupaya meningkatkan anggaran untuk mendukung biaya
oprasional di lapangan dan menyediakan fasilitas sarana dan prasarana yang lengkap suapaya dapat terlaksananya Penyelenggaraan syari’at Islam Nangroe Aceh Darussalam. Keempat,
Dinas Syari’at Islam menindak tegas siapa saja yang melakukan pelanggaran terhadap Qanun khalwat di Aceh tanpa membedakan status sosial dan, Kelima, Pemerintah Daerah dan DPRA
berusaha secepatnya melakukan revisi dan penyempurnaan terhadap tiga Qanun Pidana Jinayah yang sudah ada, dan Khususnya terhadap Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang
Khalwat mesum baik pada bidang materiil maupun dibidang formilnya yang dianggap masih sangat tidak lengkap, sehingga menjadi Qanun yang lebih sempurna dan menjadi lebih kukuh
terhadap kekuatan pemaksaaan dan hukuman pada pelaku pelanggaran khalwat di Aceh.
178
Berbagai upaya dan pembenahan dilakukan oleh penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam yaitu Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang beserta dengan DPRA
untuk meningkatkan terhadap penyelenggaraan Syari’at Islam di Aceh dan menjadikan syari’at Islam sebagai hukum positih di Aceh dengan melakukan penyempurnaan khususnya
terhadap Qanun khawal dalam waktu secepatnya, sebagaimana sejak Tahun 2008 telah dilakukan upaya revisi dan diharapkan Pada Tahun 2009 sudah dapat disahkan dan menjadi
Qanun yang dapat berlaku sebagai hukum positif yang kuat untuk mendukung terselenggarakan syari’at Islam di Aceh, dan sebagai salah satu program yang diutamakan
178
. Wawancara dengan Husni, staf Bidang Bina Hukum Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada Tanggal 4 Mei 2009.
Universitas Sumatera Utara
sebagai bukti keseriusan, kesungguhan Pemerintah Aceh dan DPRA untuk menyempurnakan tiga Qanun pidana Jinayah dan yang khususnya Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat
Mesum.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN