Konsepsi Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

syiar, dan pembelaan Islam. Maka pemerintah daerah dengan masyarakat Aceh sudah sepatutnya mendukung dan menyelenggarakan pelaksanaan syari’at Islam yang kaffah sudah sepatutnya berbudaya dan berakhlak Islami dalam berbagai aspek kehidupan sewajarnya berpedoman keimanan dan amal shaleh yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan manusia insan dan Tuhannya. Sebagaimana Ali Hasyimi mengukapkan, kultur masyarakat Aceh merupakan jelmaan dari pancaran keimanan dan amal shaleh masyarakat. 51 Dalam hal ini pemerintah Aceh belum menerapkan syariat Islam dalam semua lini kehidupan sesuai dengan harapan Undang-undang dan harapan masyarakat. Dalam kenyataannya masyarakat Aceh masih cenderung bertanya dengan nada kurang puas dengan realita yang ada seolah-olah masyarakat mau katakan bahwa proses mensyari’atkan birokrasi di Aceh masih hanya sebatas wacana saja, walaupun membirokrasikan syari’at dianggap sudah sukses dengan bedirinya Dinas Syari’at Islam Provinsi dan sampai ke KabupatenKota. Berdasarkan teori yang dikemukakan tersebut diatas, maka analisa dan pembahasan terhadap permasalahan dalam tesis penulis. Diharapkan dapat terjawab dengan baik secara teoritis maupun secara praktis sebagaimana yang terjadi dalam penyelenggaraan Pelaksanaan Syari’at Islam tentang Khalwat di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam.

2. Konsepsi

Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh penulis, konsep dasar yang digunakan dalam tesis ini antara lain: 51 . Ali Hasyimi, “Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah”, Jakarta: Beuna. 1983, hlm. 36 Universitas Sumatera Utara a. Penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah Pemberian kesempatan yang lebih luas untuk melaksanaan syari’at Islam tentang Khalwat secara Kaffah, mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuk sumber-sumber ekonomi, mengali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuh kembangkan prakarsa, kreatifitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam memajukan penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan mengaplikasikan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana dimaksudkan dalam konsideran menimbang huruf a Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. b. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 52 c. Nanggroe Aceh Darussalam adalah kata “Nanggroe” berasal dari bahasa Aceh yang mengandung dua pengertian yaitu: pertama, “Nanggroe” mengandung makna sebuah perkampunganbanda yang ramai atau padat penduduknya, kedua, “Nanggroe” diartikan sebagai sebuah Negara yang berdaulat, namun pengertian “Nanggroe” dalam penulisan ini bukan sebagai sebuah Negara yang berdaulat, tetapi sebagai wilayah dari sebuah Negara kesatuan, karena sebelum kata “Nanggroe” di dahulukan dengan kata provinsi, sehingga 52 . Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Universitas Sumatera Utara pengertian “Nanggroe” diartikan sebuah wilayah yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukan Negara yang berdaulat. 53 d. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyenglenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan Kewenangannya masing-masing. 54 e. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan Undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. f. Khalwatmesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrimnya atau tanpa ikatan perkawinan.

G. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian