Penampilan hibrida, pendugaan nilai heterosis dan daya gabung galur galur jagung (Zea mays L )

(1)

JAGUNG (

Zea mays

L.)

FAHMI WENDRA SETIOSTONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penampilan Hibrida, Pendugaan Nilai Heterosis dan Daya Gabung Galur-Galur Jagung (Zea mays L.) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Fahmi Wendra Setiostono NRP. A 151060211


(3)

FAHMI WENDRA SETIOSTONO. Hybrid Performance, Estimation of Heterosis and Combining Ability in Maize Lines. Supervised by SRIANI SUJIPRIHATI and FIRDAUS KASIM.

The research was conducted to select superior maize inbred lines and their hybrids based on combining ability and heterosis value. The F1’s of 8x8 diallel crosses, their reciprocals and parents were evaluated at two locations, in Bogor, West Java and Metro, Central Lampung from December 2007 – May 2008. The experimental design was randomized complete block design with three replications. Analysis of variance showed that genotypes, General Combining Ability (GCA) and Specific Combining Ability (SCA) were significantly different in ear length, number of kernel per ear and 1000 grain weight in both locations. Reciprocal effect gave significant difference for ear length and 1000 grain weight characters in Lampung, also for ear diameter, ear weight and yield in both locations. Inbreds 276-4, 425-3 and 969 had the highest GCA value for characters ear length, number of kernels per ear and 1000 grain weight observed in both locations. Inbred 605 had the highest GCA value for ear diameter character, for ear weight and yield character, inbred 969 had the highest GCA value in both locations. Meanwhile, the best SCA values in Bogor were from the crosses between 426/612 for ear length and numbers of kernel per ear characters, 261-2/425-3 for 1000 grain weight character. In Lampung, hybrids 261-2/425-3, 276-4/786 and 276-4/261-2 showed the best SCA value for ear length, numbers of kernel per ear and 1000 grain weight. Hybrid 786/969 had the highest SCA value for ear diameter character and hybrid 261-2/425-3 for ear weight and yield in both locations. Crosses between 261-2/425-3 in Bogor and 276-4/261-2 in Lampung had the best heterosis and heterobeltiosis for ear weight and yield characters. Key words : maize, general combining ability, specific combining ability, heterosis


(4)

Heterosis dan Daya Gabung Galur-Galur Jagung. Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI dan FIRDAUS KASIM.

Produksi jagung nasional yang terus meningkat tiap tahunnya belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga pemerintah masih terus mengimpor jagung dalam jumlah yang besar. Untuk memenuhi konsumsi jagung nasional, peningkatan produksi perlu terus dilakukan. Varietas jagung yang ditanam di Indonesia beragam, mulai dari varietas lokal, varietas bersari bebas sampai varietas hibrida.

Langkah pertama dalam program perakitan jagung hibrida adalah mengembangkan galur - galur murni yang akan digunakan sebagai tetua. Dalam tahap pembentukan galur, dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap karakter-karakter penting seperti hasil dan ketahanan terhadap hama penyakit. Selanjutnya, dari galur – galur yang terpilih dilakukan persilangan antar galur dengan metode dialel. Idealnya melalui evaluasi seluruh kombinasi persilangan yang mungkin (persilangan dialel), dimana nilai kontribusi dari tiap galur murni dapat ditentukan.

Analisis daya gabung penting dalam mengidentifikasi tetua terbaik atau kombinasi tetua dalam program pemuliaan. Daya gabung umum diasosiasikan pada efek gen aditif sementara daya gabung khusus diasosiasikan pada efek gen non aditif. Analisis daya gabung penting dalam mengidentifikasi tetua terbaik atau kombinasi tetua dalam program pemuliaan.

Penelitian dilakukan dalam dua rangkaian percobaan. Pertama adalah pembentukan benih hibrida F1 hasil persilangan dialel penuh dari delapan tetua yang dilaksanakan pada bulan Juli - Oktober 2007 di kebun percobaan Cikeumeuh, BB Biogen. Lokasi penelitian terletak pada ketinggian 250 m dpl, ordo tanah Inceptisols dan tanaman sebelumnya adalah jagung. Kedua adalah evaluasi tetua, F1 dan resiprokalnya yang dilaksanakan di dua lokasi, yaitu di kebun percobaan Cikeumeuh, BB Biogen dan di Metro, Lampung pada bulan Januari 2008.

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 galur murni sebagai tetua yang berasal dari 4 populasi yang dibentuk tahun 2000-2006, yaitu 276-4, 261-2, 425-3, 426, 605, 612, 786 dan 969, F1 hasil persilangan dialel penuh, resiprokalnya serta 2 varietas pembanding BISI 2 dan SHS 12. Bahan lain yang digunakan adalah pupuk urea, SP-36, KCl, pupuk kandang dan karbofuran 30%. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan tiga ulangan, luas plot 3.75 m2.

Karakter yang diamati adalah : Jumlah Tanaman (plant stand) umur satu minggu, Umur Berbunga (hari), Tinggi Tanaman (cm), Tinggi Tongkol (cm), Umur Panen (hari), Jumlah Tanaman Panen per Petak , Jumlah Tongkol Panen, Bobot Tongkol Kupasan (kg), Kadar Air Panen (%), Diameter Tongkol, Panjang Tongkol, Jumlah Baris Biji per Tongkol, Jumlah Biji per Tongkol, Bobot 1000 Biji dan Konversi Hasil (kg/ha).

Nilai duga daya gabung umum dan daya gabung khusus genotipe diperoleh dengan menggunakan metode I Grifing, yaitu berdasarkan persilangan full diallel


(5)

Genotipe 276-4, 425-3 dan 969 memiliki nilai daya gabung umum untuk karakter panjang tongkol dan jumlah biji per tongkol terbaik di lokasi Bogor dan Lampung. Sementara, untuk karakter bobot 1000 biji, genotipe 969 memiliki nilai DGU terbaik di Bogor, genotipe 969 dan 276-4 terbaik di lokasi Lampung. Pada karakter diameter tongkol, genotipe 605 memiliki nilai tertinggi di kedua lokasi, sedangkan untuk karakter bobot tongkol dan hasil, genotipe 969 memiliki nilai terbaik di kedua lokasi.

Efek resiprokal terjadi pada karakter panjang tongkol dan bobot 1000 biji di lokasi Lampung dan bobot 1000 biji di lokasi Bogor serta karakter diameter tongkol, bobot tongkol panen dan hasil di kedua lokasi. Persilangan 426/612 dan 261-2/425-3 memiliki nilai DGK tinggi dan positif untuk karakter panjang tongkol, bobot 1000 biji dan jumlah biji per tongkol di lokasi Bogor, sedangkan di lokasi Lampung persilangan 261-2/425-3, 276-4/786 dan 426/612 memiliki nilai tinggi dan positif untuk karakter panjang tongkol, jumlah biji per tongkol dan bobot 1000 biji. Sementara itu, untuk karakter diameter tongkol nilai tertinggi terdapat pada persilangan 786/969 di kedua lokasi dan untuk karakter bobot tongkol panen serta hasil, persilangan 261-2/425-3 memiliki nilai tertinggi di kedua lokasi.

Nilai heterosis tertinggi di lokasi Bogor terdapat pada persilangan 261-2/425-3 untuk karakter bobot 1000 biji, untuk lokasi Lampung, persilangan 276-4/261-2 tertinggi nilai heterosisnya.Untuk karakter bobot tongkol panen dan hasil, nilai heterosis tertinggi terdapat pada persilangan 261-2/425-3 di lokasi Bogor dan persilangan 276-4/261-2 di lokasi Lampung.

Nilai heterobeltiosis tertinggi di lokasi Bogor terdapat pada persilangan 261-2/425-3 untuk karakter bobot 1000 biji dan di lokasi Lampung nilai heterosis tertinggi pada persilangan 276-4/261-2. Sementara untuk karakter bobot tongkol dan hasil, nilai heterobeltiosis tertinggi terdapat pada persilangan 261-2/425-3 di lokasi Bogor dan 276-4/261-2 di lokasi Lampung.

Persilangan 276-4/261-2, 426/612 dan 261-2/425-3 merupakan calon hibrida unggul untuk tahap program pemuliaan selanjutnya.


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seijin IPB.


(7)

HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR – GALUR

JAGUNG (

Zea mays

L.)

FAHMI WENDRA SETIOSTONO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

(9)

Gabung Galur-Galur Jagung (Zea mays L.). Nama : Fahmi Wendra Setiostono

NRP : A151060211

Disetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. Dr. Ir. Firdaus Kasim, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui,

2. Ketua Program Studi Agronomi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

Alhamdulillaahi Robbil ‘aalamiin, ungkapan tanda syukur penulis kepada Allah SWT atas segala kemudahan dan curahan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Penampilan Hibrida, pendugaan Nilai Heterosis dan Daya gabung Galur-Galur Jagung (Zea mays L.).

Penulis sadar bahwa tanpa bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, tesis ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, M.S. sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Firdaus Kasim, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing atas pengarahan, bimbingan, dorongan motivasi, masukan, dan diskusi yang sangat berharga sejak penyusunan dan perencanaan penelitian hingga penyelesaian tulisan.

2. Dr. Muhamad Syukur, S.P. M.Si. yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing.

3. Rekan- rekan mahasiswa pascasarjana PS Agronomi angkatan 2006 yang telah berbagi ilmu dan bantuannya Ir. Andi Takdir , M.P., Ir. Zulhermana S, Yohanis Mustamu, S.P., Muzdalifah Isnaini S.P, M.Si, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

4. Ayahanda Ir. Rudi T Setiyono, Ibunda L. Andariyani atas bantuan, dukungan dan doanya.

5. Istri tercinta Ratih Gustiani atas doa, kasih sayang dan pengertiannya 6. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis

Akhirul kalam, penulis berharap tulisan ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang. Semoga rahmat-Nya selalu terlimpah kepada kita semua.

Bogor, Agustus 2008


(11)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Maret 1982 sebagai putra pertama dari pasangan Ir. Rudi T Setiyono dan L. Andariyani. Penulis menikah dengan Ratih Gustiani, S.Si pada tanggal 3 Februari 2008.

Pendidikan Sarjana ditempuh di Program studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, lulus pada tahun 2005. pada tahun 2006 penulis berkesempatan melanjutkan studi di Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar

Belakang

...

1

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

Kerangka Pemikiran dan Hipotesis ... 4

Ruang Lingkup Penelitian... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Botani

dan

Morfologi

...

7

Varietas Hibrida dan Pengembangan Galur Murni ... 8

Heterosis

...

9

Daya

gabung

...

11

Persilangan

Dialel

...

13

BAHAN DAN METODE ... 14

Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

Bahan

Penelitian

...

14

Metode

Penelitian

...

14

Pengamatan ... 18

Analisis Data ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN... 24

Penampilan Hibrida ... 27

Analisis Daya Dabung Umum ... 32

Analisis Daya Gabung Khusus ... 33

Heterosis

...

37

Heterobeltiosis ... 40

KESIMPULAN ... 42

SARAN ... 43


(13)

No.

Halaman

1.Kombinasi persilangan dialel penuh dengan delapan galur tetua, 2007. ... 16

2.Analisis varians perbedaan genotipe.. ... 21

3. Analisis varians Daya gabung Metode 1 Model 1 Grifing.. ... 22

4. Rekapitulasi kuadrat tengah genotipe, DGU, DGK dan Resiprokal hasil

persilangan dialel (8x8) di dua lokasi. ... 24

5. Rekapitulasi kuadrat tengah genotipe, DGU, DGK dan Resiprokal hasil

persilangan dialel (8x8) di dua lokasi...25

6. Rekapitulasi kuadrat tengah interaksi DGU, DGK dan

Resiprokal dengan Lingkungan...26

7. Rekapitulasi kuadrat tengah interaksi DGU, DGK dan

Resiprokal dengan Lingkungan...26

8. Nilai Tengah Karakter Panjang Tongkol, Jumlah Biji per Tongkol dan

Bobot 1000 Biji di Dua Lokasi.. ... 27

9. Nilai Tengah Diameter Tongkol, Berat Tongkol Panen dan Hasil di Dua

Lokasi ... 28

10. Rekapitulasi nilai DGU 8 genotipe galur tetua di dua lokasi.. ... 32

11. Rekapitulasi nilai DGU 8 genotipe galur tetua di dua lokasi.. ... 33

12.

Nilai DGK 14 kombinasi terbaik persilangan dialel (8x8) di lokasi Bogor... 34

13.

Nilai DGK 14 kombinasi terbaik persilangan dialel (8x8) di lokasi Bogor... 35

14. Nilai DGK 14 kombinasi terbaik persilangan dialel (8x8) di lokasi

Lampung.. ... 36

15

Nilai DGK 14 kombinasi terbaik persilangan dialel (8x8) di lokasi

Lampung. ... 37

16. Nilai heterosis 14 kombinasi terbaik hasil persilangan dialel (8x8)

di dua lokasi...38

17. Nilai heterosis 14 kombinasi terbaik hasil persilangan dialel (8x8)

di dua lokasi.. ... 39

18. Nilai heterobeltiosis 14 kombinasi terbaik hasil persilangan dialel (8x8)

di dua lokasi. ... 40

19. Nilai heterobeltiosis 14 kombinasi terbaik hasil persilangan dialel (8x8)

di dua lokasi.. ... 41


(14)

No.

Halaman

1. Bagan Alir Penelitian ... 6

2. Pembentukan benih F1 ...16

3. Evaluasi F1, F1R dan Tetua ...17

4. Tinggi Tanaman dan Tongkol 14 Kombinasi Persilangan Terbaik di

Lokasi Bogor ...29

5. Tinggi Tanaman dan Tongkol 14 Kombinasi Persilangan Terbaik di

Lokasi Lampung ...30

6. Umur Berbunga Betina dan Jantan 14 Kombinasi Persilangan

Terbaik di Lokasi Bogor ...31

7. Umur Berbunga Betina dan Jantan 14 Kombinasi Persilangan


(15)

No.

Halaman

1. Silsilah galur-galur yang digunakan... 47

2. Anova Gabungan Antar Lokasi Karakter Panjang Tongkol. ... 50

3. Anova Gabungan Antar Lokasi Karakter Diameter Tongkol.. ... 50

4. Anova Gabungan Antar Lokasi Karakter Jumlah Biji per Tongkol ... 50

5. Anova Gabungan Antar Lokasi Karakter Bobot 1000 Biji. ... 50

6. Anova Gabungan Antar Lokasi Karakter Berat Tongkol Panen.. ... 51

7. Anova Gabungan Antar Lokasi Karakter Hasil... 51

8. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter panjang

tongkol di lokasi Bogor. ... 51

9. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter diameter tongkol

di lokasi Bogor.. ... 51

10. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter jumlah biji per

tongkol di lokasi Bogor ... 52

11. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter bobot 1000 biji

di lokasi Bogor. ... 52

12. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter berat tongkol panen

di lokasi Bogor.. ... 52

13. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter hasil di lokasi Bogor ... 52

14. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter panjang tongkol

di lokasi Lampung. ... 53

15. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter jumlah biji per

tongkol di lokasi Lampung.. ... 53

16. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter berat tongkol

panen di lokasi Lampung ... 53

17. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter diameter tongkol

di lokasi Lampung. ... 54

18. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter bobot 1000 biji

di lokasi Lampung.. ... 54

19. Nilai varians genotipe dan daya gabung karakter hasil

di lokasi Lampung ... 54


(16)

21. Nilai Daya Gabung Khusus Karakter panjang Tongkol, Diameter

Tongkol, Jumlah Biji per Tongkol, Bobot 1000 Biji, Berat Tongkol

Panen dan Hasil di Lokasi Lampung.. ... 56

22. Nilai Resiprokal Karakter panjang Tongkol, Diameter Tongkol,

Jumlah Biji per Tongkol, Bobot 1000 Biji, Berat Tongkol Panen dan

Hasil di Lokasi Bogor ... 57

23. Nilai Resiprokal Karakter panjang Tongkol, Diameter Tongkol,

Jumlah Biji per Tongkol, Bobot 1000 Biji, Berat Tongkol Panen dan

Hasil di Lokasi Lampung. ... 58

24. Nilai Heterosis Panjang Tongkol, Jumlah Biji per Tongkol dan

Bobot 1000 Biji di Lokasi Bogor.. ... 59

25. Nilai Heterosis Karakter Diameter Tongkol, Berat Tongkol Panen dan

Hasil di Lokasi Bogor ... 61

26. Nilai Heterosis Panjang Tongkol, Jumlah Biji per Tongkol dan

Bobot 1000 Biji di Lokasi Lampung. ... 63

27. Nilai Heterosis Karakter Diameter Tongkol, Berat Tongkol Panen dan

Hasil di Lokasi Lampung.. ... 65

28. Nilai Heterobeltiosis Panjang Tongkol, Jumlah Biji per Tongkol dan

Bobot 1000 Biji di Lokasi Bogor ... 67

29. Nilai Heterobeltiosis Karakter Diameter Tongkol, Berat Tongkol Panen

dan Hasil di Lokasi Bogor. ... 69

30. Nilai Heterobeltiosis Panjang Tongkol, Jumlah Biji per Tongkol dan

Bobot 1000 Biji di Lokasi Lampung ... 71

31

Nilai Heterobeltiosis Karakter Diameter Tongkol, Berat Tongkol Panen

dan Hasil di Lokasi Lampung ... 73

32. Karakteristik galur murni yang digunakan. ... 75

33. Listing program SAS yang digunakan. ... 79

34. Penampilan hibrida untuk karakter diaeter tongkol, bobot tongkol


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung (Zea mays L.) berasal dari daerah di sekitar Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman yang penting di Indonesia. Jagung dapat digunakan sebagai bahan pangan, pakan dan sebagai bahan industri. Konsumsi jagung dan produksi jagung dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 2005 produksi jagung di Indonesia mencapai 11,6 juta ton dengan produktivitas rata - rata nasional 3,47 ton/ha dan luas areal pertanaman 3,45 juta ha (Departemen Pertanian 2006).

Dalam 5 tahun terakhir, produktivitas jagung meningkat dari 2,74 ton/ha (2000) menjadi 3,47 ton/ha pada tahun 2006 (Departemen Pertanian 2006). Peningkatan tersebut antara lain berkaitan dengan penggunaan benih jagung hibrida. Walaupun produktivitas rata-rata jagung nasional cukup tinggi, namun keadaan ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara - negara Asia lainnya seperti Cina yang mencapai 5.91 ton/ha, Korea Selatan sebesar 6.2 ton/ha (Park 2001). Produksi jagung nasional yang terus meningkat tiap tahunnya belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga pemerintah masih terus mengimpor jagung dalam jumlah yang besar. Pada tahun 2006 Indonesia mengimpor 1.6 juta ton dan sampai bulan Mei 2007 sedikitnya pemerintah sudah mengimpor 600.000 ton (Badan Pusat Statistik 2007). Namun, ketersediaan jagung di pasar dunia semakin menurun, disebabkan pengurangan volume ekspor dari negara-negara pengekspor jagung.

Untuk memenuhi konsumsi jagung nasional, peningkatan produksi perlu terus dilakukan. Salah satu cara intensifikasi pada budidaya tanaman jagung adalah dengan menggunakan varietas jagung hibrida unggul. dalam pertanaman. Pengembangan jagung hibrida selama ini banyak pada daerah yang subur dan optimal. Lahan menjadi faktor pembantas, walaupun begitu pengembangan jagung hibrida diarahkan dapat beradapatasi pada lahan yang marginal dan lahan bukaan baru.

Apabila telah terjadi surplus produksi jagung nasional, bukan tidak mungkin Indonesia dapat menjadi negara pengekspor jagung, mengingat kebutuhan jagung di pasar dunia semakin meningkat. Jagung menjadi salah satu komoditas yang strategis


(18)

untuk masa depan, terutama dalam pengembangannya sebagai bahan baku bioetanol. Kebutuhan pasar jagung dunia mencapai sekitar 80 juta ton/tahun (Kasryno 2002), dengan dicanangkannya swasembada jagung pada tahun 2007 diharapkan menjadi awal bangkitnya produksi jagung nasional menuju pasar dunia.

Varietas jagung yang ditanam di Indonesia beragam, mulai dari varietas lokal, varietas bersari bebas sampai varietas hibrida. Penggunaan benih varietas hibrida di Indonesia meningkat, tetapi tidak secara pesat dikarenakan masih banyak benih turunan (F2 atau F3) yang beredar di pasaran serta banyak hibrida yang sudah dirilis tetapi tidak tersedia di pasar. Penggunaan teknologi hibrida di Indonesia belum maksimal, hanya sekitar 35% saja dari seluruh areal pertanaman (Swastika et al.

2004). Varietas hibrida merupakan varietas yang sangat respon terhadap input produksi seperti pemupukan. Namun kemampuan petani yang rendah untuk membeli benih varietas hibrida dan input produksi seperti pupuk, membuat lambatnya perkembangan penggunaan varietas hibrida.

Kegiatan perakitan varietas melalui pemuliaan tanaman bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Perakitan varietas hibrida unggul dan berdaya hasil tinggi dapat dilakukan dengan cara persilangan. Persilangan dapat menambah variabilitas genetik dan memperoleh genotipe baru yang lebih unggul. Persilangan yang umum dilakukan untuk mengetahui potensi hasil suatu kombinasi hibrida adalah persilangan dialel. Karena persilangan dilakukan diantara semua pasang tetua, maka dapat diketahui potensi hasil kombinasi, nilai heterosis, nilai daya gabung dan nilai ragam genetik dari karakter atau sifat yang kita inginkan.

Langkah pertama dalam program perakitan jagung hibrida adalah mengembangkan galur - galur murni yang akan digunakan sebagai tetua. Dalam tahap pembentukan galur, dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap karakter-karakter penting seperti hasil dan ketahanan terhadap hama penyakit. Selanjutnya, dari galur – galur yang terpilih dilakukan persilangan antar galur dengan metode dialel. Evaluasi persilangan antar galur murni merupakan langkah penting dalam pengembangan varietas hibrida jagung (Hallauer 1990). Idealnya melalui evaluasi seluruh kombinasi persilangan yang mungkin (persilangan dialel), dimana nilai kontribusi dari tiap galur murni dapat ditentukan.


(19)

Heterosis atau Hybrid Vigor menurut Poehlman (1979) didefinisikan sebagai peningkatan dalam ukuran atau vigor dari suatu hibrida melebihi rata - rata kedua tetuanya. Pengaruh dari heterosis pada suatu tanaman dapat dilihat dalam berbagai bentuk, seperti tinggi tanaman, ukuran daun, ukuran sel, perkembangan akar, peningkatan hasil dan bentuk lainnya. Konsep heterosis merupakan dasar dalam pembentukan hibrida yang telah banyak dipelajari pada jagung.Hallauer dan Miranda (1988) dalam tulisannya berkaitan dengan heterosis pada jagung, menghasilkan mid-parent heterosis berkisar antara -3.6 - 72.0%, sementara better-mid-parent heterosis berkisar antara -9.9 - 43.0% pada karakter komponen hasil. Manifestasi heterosis dari varietas hibrida bergantung pada keragaman genetik kedua tetuanya (Hallauer dan Miranda 1988).Heterosis sangat penting pada pemuliaan jagung dan tergantung dari level dominansi serta perbedaan gen-gen yang terakumulasi. Heterosis pada jagung telah banyak dipelajari. Hallauer dan Miranda (1988) dalam tulisannya berkaitan dengan heterosis pada jagung, menghasilkan mid-parent heterosis berkisar antara -3.6 - 72.0% sementara high-parent heterosis berkisar antara -9.9 - 43.0%.

Galur yang akan dijadikan tetua dalam pembentukan hibrida jagung, terlebih dahulu diuji keunggulannya dengan metode seleksi tetua berdasarkan nilai daya gabung (combining ability). Daya gabung terbagi menjadi dua jenis, yaitu daya gabung umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (spesific combining ability). Daya gabung umum (DGU) adalah kemampuan individu tetua untuk menghasilkan keturunan yang unggul untuk suatu karakter tertentu yang disilangkan dengan sejumlah tetua lainnya atau rata-rata penampilan keturunan dari persilangan satu tetua dengan sejumlah tetua lainnya. Daya gabung khusus (DGK) adalah kemampuan individu tetua untuk menghasilkan keturunan yang unggul jika disilangkan dengan kombinasi yang spesifik dengan tetua lainnya atau penampilan keturunan dari persilangan satu tetua dengan tetua lainnya yang lebih baik dari daya gabung umum untuk tetua tersebut (Poehlman dan Sleeper 1990). Griffing (1956) melakukan analisis silang dialel untuk menduga nilai general dan specific combining abilities dari galur murni dan hibridanya. Menurut Setiyono dan Subandi (1996), hasil pipilan suatu hibrida F1 akan tinggi apabila kedua tetua komponen pembentuk hibrida tersebut memiliki efek DGU dan DGK tinggi. Untuk umur masak, efek DGU dan DGK yang negatif sangat bermanfaat untuk merakit varietas berumur genjah.


(20)

Penelitian yang dilakukan Iriany (2002) mengenai ketahanan jagung terhadap penyakit bulai melalui persilangan dialel mendapatkan kesimpulan apabila suatu galur yang memiliki daya gabung umum yang baik, maka galur tersebut memiliki karakter ketahanan terhadap penyakit bulai.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menduga nilai heterosis, daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) untuk karakter hasil dari beberapa genotipe galur jagung. Informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk mengidentifikasi kombinasi calon tetua persilangan yang memiliki efek heterosis yang baik dengan nilai DGU dan DGK yang tinggi untuk karakter hasil.

Kerangka Pemikiran dan Hipotesis

Jagung memiliki banyak potensi yang belum dimanfaatkan secara maksimal, areal pertanamannya pun masih terbuka luas. Jagung merupakan komoditas pertanian yang mulai kembali dilirik untuk diusahakan di Indonesia, nilainya pun semakin merangkak naik seiring dengan berkurangnya volume ekspor dari negara-negara produsen jagung. Untuk mendukung program swasembada jagung yang dicanangkan oleh pemerintah, maka dibutuhkan varietas-varietas yang adaptif pada bermacam-macam lingkungan dan berdaya hasil tinggi.

Varietas hibrida merupakan solusi untuk meningkatkan produksi jagung nasional, karena dilihat dari potensi produksi, varietas hibrida jauh lebih unggul dibandingkan varietas bersari bebas atau varietas komposit. Tantangan untuk mengembangkan varietas hibrida di Indonesia masih cukup besar, mengingat masih banyak petani yang masih menggunakan varietas-varietas lokal. Sementara itu juga varietas hibrida yang menguasai pasar masih didominasi oleh varietas yang berasal dari luar Indonesia serta banyaknya varietas hibrida yang dirilis tidak menjamin banyak pula tersedianya benih hibrida di pasar.

Perakitan varietas hibrida jagung yang berdaya hasil tinggi dengan program pemuliaan yang berkelanjutan diharapkan mampu untuk mengatasi permasalahan di atas. Salah satu modal utama dalam program pemuliaan adalah plasma nutfah. Salah satu upaya untuk menambah variabilitas genetik dari plasma nutfah yang sudah ada


(21)

dan untuk memperoleh genotipe baru yang lebih unggul adalah dengan melakukan persilangan.

Persilangan yang umum dilakukan pada jagung yang dapat memberikan informasi baik itu galur tetua maupun hibridanya adalah persilangan dialel. Dengan metode persilangan dialel dapat dilakukan pendugaan terhadap nilai daya gabung umum galur tetua, nilai daya gabung khusus kombinasi persilangan yang dihasilkan, nilai heterosis dan varian-varian genetik lainnya. Analisis daya gabung penting dalam mengidentifikasi tetua terbaik atau kombinasi tetua dalam program pemuliaan. Vasal

et al. (1992) dan Hede et al. (1999) melaporkan efek GCA yang positif untuk hasil pada beberapa galur murni jagung tropis. Betrán et al. (2003) mengevaluasi 17 galur murni jagung dengan persilangan diallel pada lingkungan bercekaman dan normal menghasilkan nilai GCA dan GCA x lingkungan yang signifikan untuk karakter hasil. Sujiprihati (1996), meneliti daya gabung dari hasil persilangan dialel pada jagung dari 12 galur tetua dan kombinasi persilangannya. Hasilnya menunjukkan bahwa daya gabung umum dan daya gabung khusus memberikan hasil yang nyata terhadap hasil biji jagung dan beberapa karakter hasil yang lain serta karakter-karakter tersebut dipengaruhi aksi gen aditif dan non aditif.

Berdasarkan tahapan penelitian yang dilakukan, hipotesis yang diajukan adalah :

1. Terdapat genotipe jagung hibrida hasil persilangan dialel penuh dengan nilai heterosis terbaik.

2. Terdapat satu atau beberapa galur yang mempunyai nilai duga daya gabung umum dan daya gabung khusus terbaik untuk karakter hasil, yang dievaluasi pada turunan pertama hasil persilangan dialel penuh..

3. Galur - galur dengan nilai duga DGU dan DGK yang baik untuk karakter hasil memiliki turunan yang berdaya hasil tinggi.


(22)

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua rangkaian kegiatan. Pertama adalah pembentukan benih hibrida F1 dari 8 galur tetua dengan metode persilangan dialel penuh. Kedua adalah evaluasi galur tetua, F1 dan F1 resiprokalnya yang dilakukan di dua lokasi.

Pada tahap pertama, dilakukan persilangan antar 8 galur tetua dengan seluruh kombinasi persilangan yang mungkin. Hasilnya diperoleh 64 genotipe yang terdiri dari 8 galur tetua 28 F1 dan 28 F1 resiprokal. Evaluasi dilakukan di dua lokasi yang merupakan sentra produksi jagung, dari evaluasi diharapkan dapat memperoleh informasi kombinasi persilangan yang memiliki daya hasil tinggi di salah satu atau kedua lokasi pengujian.

Persilangan Dialel Penuh

Benih Tetua, F1, F1R

Evaluasi untuk Menduga Nilai

Heterosis dan Daya Gabung

Hibrida Unggul

Stabil Antar Lokasi

Kegiatan 1

Kegiatan 2

Didapatkan galur-Galur dengan

Nilai Heterosis dan Daya Gabung

yang Baik

8 tetua galur elit


(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Morfologi

Jagung (Zea mays L.) termasuk ke dalam famili Graminae (Brucher 1989) dan merupakan tanaman menyerbuk silang. Genus Zea terdiri atas empat spesies, yaitu Zea mays, Zea mexicana, Zea perennis dan Zea diploperennis. Kerabat dekat genus Zea adalah genus Tripsacum (gamagrass) dan Euchlaena (teosinte). Tanaman jagung merupakan tanaman berumah satu, umumnya bunga jantan lebih cepat muncul daripada bunga betina. Bunga jantan (tassel) terletak di atas sedangkan bunga betina umumnya berada di tengah - tengah tinggi tanaman.

Sturtevant (1899) dalam Sujiprihati (1996) merupakan orang yang pertama kali mengklasifikasikan jagung ke dalam enam sub spesies menurut karakteristik endosperm, yaitu : (1) Zea mays indurata Sturt (flint maize), (2) Zea mays indentata

Sturt (dent maize), (3) Zea mays saccharata Sturt (sweet maize), (4) Zea mays averta

Sturt (pop corn), (5) Zea mays amylacea Sturt (fluory maize), (6) Zea mays tunicata

Sturt (pod maize). Dalam perkembangannya, Kuleshov pada tahun 1933 menambahkan Zea mays ceratina (waxy maize) dan Zea mays amylea saccharata

(starchy-sugary maize).

Tanaman jagung dapat beradaptasi pada berbagai macam iklim, mulai dari iklim tropis, subtropis dan temperate. Jenis varietasnya pun beragam, dari mulai varietas bersari bebas, komposit, sintetik sampai hibrida. Hibrida pada jagung dihasilkan dari persilangan antara galur - galur murni yang merupakan galur - galur hasil seleksi. Untuk menghasilkan hibrida yang unggul , diperlukan galur - galur murni elit yang memiliki karakter - karakter unggul di dalamnya. Oleh karena itu sangat penting untuk mengevaluasi galur - galur murni. Salah satu caranya ialah dengan menduga nilai heterosis dan nilai daya gabung, sehingga pemulia selanjutnya dapat melakukan program pemuliaan yang lebih terarah.


(24)

Pengembangan Galur Murni dan Varietas Hibrida

Istilah hibrida ditujukan tehadap suatu varietas yang ditanam untuk keperluan komersial yang berupa benih F1, yang dihasilkan melalui persilangan genotipe-genotipe terseleksi. Karakteristik umum varietas hibrida yang digunakan secara komersial penggunaannya hanya terbatas pada F1 nya saja. Perbanyakan hibrida F1 melalui persilangan acak akan menyebabkan penurunan hasil pada generasi-generasi selanjutnya. Informasi pola heterotik dan daya gabung diantara plasma nutfah jagung sangat penting dalam memaksimalkan pengembangan hibrida (Beck et al., 1990).

Menurut Singh (1987) program pemuliaan jagung hibrida pada dasarnya terdiri dari empat tahap, yaitu :

1. Pembentukan galur-galur murni yang stabil, vigor, serta berdaya hasil benih tinggi.

2. Pengujian daya gabung dan penampilan per se dari galur-galur murni tersebut. 3. Penggunaan galur-galur murni terpilih dalam pembentukan hibrida yang lebih

produktif.

4. Perbaikan daya hasil serta ketahanan terhadap hama dan penyakit.

Galur murni dihasilkan dari penyerbukan sendiri hingga diperoleh tanaman yang homozigot. Hal ini umumnya memerlukan waktu lima hingga tujuh generasi penyerbukan sendiri yang terkontrol. Galur murni dibentuk dari varietas bersari bebas (open pollinated variety) namun ada pula yang dibentuk dari banyak sumber yang lain seperti seperti varietas sintetik, varietas komposit, atau populasi generasi lanjut dari hibrida (Singh 1987). Dengan penyerbukan sendiri, terjadi segregasi dan penurunan vigor. Tambahan penurunan vigor akan terlihat pada tiap generasi penyerbukan sendiri hingga galur homozigot terbentuk. Selain mengalami penurunan vigor, individu tanaman yang diserbuk sendiri menampakkan berbagai kekurangan seperti: tanaman bertambah pendek, cenderung rebah, peka terhadap penyakit, dan bermacam-macam karakter lain yang tidak diinginkan. Munculnya fenomena-fenomena tersebut dikenal dengan istilah depresi tangkar dalam atau inbreeding depression (Poehlman 1983). Varietas jagung hibrida pada awalnya merupakan hasil penelitian inovatif dari George Harrison Shull, E.M. East D.F. Jones, H. K Hayes dan peneliti lain pada tahun 1908-1909 (Poehlman 1979).


(25)

Program pengembangan galur murni bertujuan untuk menghasilkan galur-galur yang mempunyai potensi tinggi. Karena galur-galur murni diharapkan memiliki potensi genetik untuk menghasilkan pasangan kombinasi hibrida yang berdaya hasil tinggi, maka galur murni tersebut harus memiliki gen-gen yang memiliki sifat-sifat unggul tersebut. Nilai sesungguhnya dari suatu galur murni adalah kemampuannya untuk memberikan daya gabung yang baik apabila dikombinasikan dengan galur-galur lain

Tiga tipe hibrida sudah digunakan secara komersial, yaitu hibrida silang tunggal (single cross hybrid), hibrida silang ganda (double cross hybrid), dan hibrida silang tiga (three-way cross hybrid) (Sprague dan Dudley 1988). Setiap tipe hibrida memiliki konstitusi genetik yang berbeda. Hibrida silang tunggal adalah hibrida dari persilangan antara dua galur murni yang tidak berhubungan satu sama lain. Galur-galur murni yang digunakan dalam silang tunggal diasumsikan telah homozigot. Hibrida silang tiga adalah hibrida dari persilangan antara silang tunggal dengan satu galur murni. Silang tiga berbeda dengan modifikasi silang tunggal, dimana ketiga galur murni tidak berhubungan sehingga lebih berbeda secara genetik dan penampilannya lebih beragam. Hibrida silang ganda adalah progeni hibrida dari persilangan antara dua silang tunggal. Silang ganda melibatkan empat galur murni yang tidak berhubungan satu sama lain. Pasangan galur murni disilangkan sehingga membentuk dua silang tunggal, kemudian disilangkan untuk menghasilkan silang ganda.

Heterosis

Pemuliaan tanaman menyerbuk silang seperti jagung didasari oleh adanya efek heterosis atau hibrid vigor (Mohr dan Schopfer 1995). Istilah heterosis merupakan asal kata dari stimulus of heterozygotis yang pertama kali digunakan oleh George Harrison Shull pada tahun 1914 (Jones 1952). Heterosis atau Hybrid Vigor

menurut Poehlman (1979) didefinisikan sebagai peningkatan dalam ukuran atau vigor dari suatu hibrida melebihi rata - rata kedua tetuanya. Pengaruh dari heterosis pada suatu tanaman dapat dilihat dalam berbagai bentuk, seperti tinggi tanaman, ukuran daun, ukuran sel, perkembangan akar, peningkatan hasil dan bentuk lainnya. Chaudhari (1971) mendefinisikan heterosis sebagai peningkatan vigor, pertumbuhan,


(26)

hasil atau fungsi dari suatu hibrida melebihi tetua, yang merupakan hasil persilangan secara genetik suatu individu yang berbeda. Hayes et. al (1955) menyatakan heterosis menunjukkan hasil stimulasi perkembangan, melalui mekanisme apapun, hasil penggabungan yang berbeda. Sedangkan hybrid vigor menunjukkan perwujudan dari efek heterosis.

Untuk mendapatkan hibrida dengan hasil yang tinggi, galur murni perlu dibentuk dari dua atau lebih populasi dasar yang berbeda secara genetik sehingga memberikan tingkat heterosis yang tinggi pada F1 hasil persilangan (Singh 1987). Keturunan hasil persilangan dua galur murni akan menampakkan peningkatan vigor melampaui galur-galur tetuanya. Namun, dari ribuan galur murni yang diuji hanya sedikit sekali yang menampakkan heterosis yang menguntungkan secara ekonomis (Allard 1960).

Lawan dari efek heterosis adalah efek penangkaran dalam (inbreeding depression) atau hilangnya vigor tanaman setelah perkawinan antar individu yang berkerabat dekat (Welsh 1981). Crowder (1986) menambahkan bahwa homosigositas yang dihasilkan oleh penangkaran dalam pada tanaman menyerbuk silang atau hewan hasil persilangan sering mengakibatkan menurunnya ketegaran atau vigor menjadi lemah, mulai dari ukuran, produksi tepung sari, tinggi tanaman yang disebabkan munculnya gen - gen resesif yang tidak menguntungkan.

Batasan dari heterosis dapat berbeda - beda tergantung dari pembanding yang digunakan (Welsh 1981). Heterosis dapat berarti perbaikan karakter F1 dibandingkan dengan karakter induk terbaiknya. Batasan lainnya adalah membandingkan F1 dengan rata - rata karakter induknya.

Crowder (1986) menyatakan dua teori yang menjadi dasar genetis heterosis yaitu teori dominansi (dominant) dan teori lewat dominansi (over dominant). Pada teori dominansi diduga adanya peran dari faktor - faktor dominan dari banyak gen yang menimbulkan efek heterosis, sedangkan pada teori lewat dominansi, heterosis terjadi karena adanya tanggapan dan interaksi dari keadan heterozigot.

Informasi mengenai pengaruh heterosis dalam persilangan galur inbrida menentukan dalam pemilihan galur sebagai tetua yang potensial untuk memperoleh hibrida berdaya hasil tinggi. Salah satu acuan dalam menentukan matrik persilangan galur inbrida adalah asal-usul tetuanya (Moentono 1987). Heterosis yang tinggi


(27)

diduga diperoleh dari tetua hibrida yang berbeda secara genetik dan mempunyai potensi hasil tinggi (Virmani et. al. 1981).

Konsep heterosis merupakan dasar dalam pembentukan hibrida unggul. Galur yang akan dijadikan tetua dalam pembentukan hibrida jagung, terlebih dahulu diuji keunggulannya dengan metode seleksi tetua berdasarkan nilai daya gabung (combining ability).

Daya Gabung

Faktor utama yang menentukan keunggulan hibrida adalah daya gabung galur murni. Pada awalnya, daya gabung merupakan konsep umum untuk mengklasifikasikan galur murni secara relatif menurut penampilan hibridanya (Hallauer dan Miranda 1988). Melalui persilangan buatan di antara semua pasangan tetuanya, dapat diketahui potensi hasil suatu kombinasi hibrida, besarnya nilai heterosis, daya gabung, dan dugaan besarnya ragam genetik suatu karakter. Hasil tinggi dapat diperoleh apabila kombinasi antar galur memiliki nilai heterosis dan daya gabung khusus yang besar. Daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan nilai daya gabung khusus yang tinggi (Silitonga et. al. 1993)

Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur atau tetua, yang bila disilangkan dengan galur lain akan menghasilkan hibrida dengan penampilan superior. Konsep daya gabung sangat penting dalam pemuliaan, berkaitan dengan prosedur pengujian galur-galur berdasarkan penampilan kombinasi keturunannya. Nilai masing-masing galur terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan keturunan unggul bila dikombinasikan dengan galur - galur lain (Allard 1960).

Poespodarsono (1988) mengartikan daya gabung sebagai kemampuan genotipe untuk memindahkan sifat yang diinginkan kepada keturunannya. Daya gabung terbagi menjadi dua jenis, yaitu daya gabung umum (general combining abilty) dan daya gabung khusus (spesific combining ability). Daya gabung umum (DGU) adalah kemampuan individu tetua untuk menghasilkan keturunan yang unggul untuk suatu karakter tertentu yang disilangkan dengan sejumlah tetua lainnya atau rata - rata penampilan keturunan dari persilangan satu tetua dengan sejumleh tetua lainnya. Daya gabung umum yang baik adalah nilai rata – rata kombinasi mendekati nilai rata – rata keseluruhan persilangan. Daya gabung khusus (DGK) adalah


(28)

kemampuan individu tetua untuk menghasilkan keturunan yang unggul jika disilangkan dengan kombinasi yang spesifik dengan tetua lainnya atau penampilan keturunan dari persilangan satu tetua dengan tetua lainnya yang lebih baik dari daya gabung umum untuk tetua tersebut (Poehlman dan Sleeper 1990). Daya gabung umum relatif lebih penting dari daya gabung khusus untuk galur-galur murni yang belum diseleksi. Sebaliknya, daya gabung khusus lebih penting dari daya gabung umum untuk galur-galur murni yang telah diseleksi sebelumnya terhadap peningkatan hasil (Sprague dan Tatum 1942). Pengujian daya gabung dapat dilakukan dengan metode diallel cross, yakni evaluasi terhadap seluruh kombinasi hibrida silang tunggal dari sejumlah galur murni (Stoskopf et al., 1993).

Henderson (1952) menyatakan bahwa daya gabung umum tidak memiliki arti, kecuali bila nilainya dibandingkan pada lebih dari satu individu dan populasi penguji serta lingkungan yang ditentukan. Chaudhari (1971) menyatakan daya gabung khusus digunakan untuk menduga suatu persilangan dengan beberapa kombinasi yang ada relatif lebih baik atau lebih buruk dari yang diharapkan dengan dasar rata - rata penampilan dari galur yang dilibatkan. Secara umum, menurut Henderson (1952) daya gabung khusus merupakan konsekuensi dari interaksi gen intra alel (dominan) dan interaksi gen inter alel (epistasis).

Daya gabung umum (DGU) yang tinggi menunjukkan bahwa tetua tersebut memiliki daya gabung yang baik. Sedangkan nilai DGU yang rendah, berarti tetua yang bersangkutan mempunyai daya gabung rata-rata yang lebih rendah dibandingkan dengan tetua - tetua yang lain. Nilai positif atau negatif dari DGU tergantung pada karakter yang diamati dan bagaimana cara menilainya. Daya gabung khusus (DGK) yang tinggi menunjukkan bahwa tetua tersebut memiliki kombinasi persilangan yang tinggi dengan salah satu dari tetua - tetua yang digunakan (Sutjahjo 1987).

Informasi yang diperoleh dari pendugaan nilai DGU dan DGK sangat penting dalam suatu program pemuliaan. Sesuai dengan pendapat dari Soewarso (1982) bahwa informasi genetik yang diperoleh dari pengujian DGU dan DGK dan resiprokalnya akan berguna untuk menentukan tetua dan metode pemuliaan yang sesuai dalam rangka perbaikan sifat - sifat tanaman.


(29)

Daya gabung yang didapat dari persilangan antar seluruh tetua dapat memberikan informasi tentang kombinasi - kombinasi yang dapat memberikan turunan yang berpotensi hasil tinggi. Hasil yang tinggi dapat diperoleh pada kombinasi yang memiliki efek heterosis dan daya gabung khusus yang besar. Galur yang memiliki nilai daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan nilai daya gabung khusus yang tinggi pula (Silitonga et. al. 1993). Menurut Setiyono dan Subandi (1996), hasil pipilan suatu hibrida F1 akan tinggi apabila kedua tetua komponen pembentuk hibrida tersebut memiliki efek DGU dan DGK tinggi. Untuk umur masak, efek DGU dan DGK yang negatif sangat bermanfaat untuk merakit varietas berumur genjah.

Persilangan Dialel

Persilangan dialel adalah sebuah set persilangan yang dilakukan melibatkan sejumlah ”n” galur dalam seluruh kombinasi persilangan yang mungkin (Singh dan Chaudhary, 1979). Analisis persilangannya disebut analisis dialel yang menyediakan informasi tentang parameter genetik, DGU dan DGK tetua dan turunannya.

Salah satu metode yang umum digunakan untuk analisis dialel adalah dengan pendekatan Metode Griffing. Menurut Griffing (1956), terdapat empat macam metode yang bisa digunakan untuk analisis dialel, yaitu :

1. Metode I : kombinasi lengkap p2, terdiri dari tetua, F1 dan persilangan resiprokalnya.

2. Metode II : ½ p (p + 1) kombinasi terdiri dari tetua dan F1. 3. Metode III : p (p – 1) kombinasi terdiri dari F1 dan resiprokalnya. 4. Metode IV : ½ p (p – 1) kombinasi terdiri dari F1 saja.

Pemilihan metode yang akan digunakan tergantung dari tujuan analisisnya. Dalam penentuan tetua - tetua yang akan dipakai dalam persilangan, interpretasi hasil analisis dialel dibagi ke dalam dua kelompok model (Griffing, 1956), yaitu :

1. Model tetap (fixed model), dengan menggunakan tetua - tetua tertentu yang merupakan genotipe yang dimaksud. Estimasi yang diperoleh hanya berlaku untuk genotipe yang dimasukkan ke dalam pengujian, tidak berlaku untuk populasi lain.


(30)

2. Model acak (random model), dengan menggunakan tetua - tetua yang merupakan contoh acak dari populasi tetua yang dimaksud. Estimasi yang diperoleh diinterpretasikan berkaitan dengan populasi tetua, darimana genotipe diambil secara acak.

Dalam analisis dialel, dapat diperoleh berbagai informasi yang berguna bagi pemulia untuk menentukan bahan dan metode untuk program pemuliaannya.


(31)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua rangkaian kegiatan percobaan. Pertama adalah pembentukan benih hibrida F1 hasil persilangan dialel penuh dari delapan tetua yang dilaksanakan pada bulan Juli - Oktober 2007 di kebun percobaan Cikeumeuh, BB Biogen, Bogor. Lokasi penelitian terletak pada ketinggian 250 m dpl, ordo tanah Inceptisols dan tanaman sebelumnya adalah jagung. Kegiatan kedua adalah evaluasi tetua, F1 dan resiprokalnya yang dilaksanakan di dua lokasi yaitu di kebun percobaan Cikeumeuh, BB Biogen dan Kota Metro, Lampung pada bulan Januari - Mei 2008.

Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah 8 galur murni sebagai tetua yang berasal dari 4 populasi (Lampiran 1) yang dibentuk tahun 2000-2006, yaitu 276-4, 261-2, 425-3, 426, 605, 612, 786 dan 969, F1 hasil persilangan dialel penuh, resiprokalnya serta 2 varietas pembanding BISI 2 dan SHS 12. Tetua yang digunakan antara lain berasal dari populasi lokal Smatera Utara, lokal Lampung, Pioneer 8, Bisi 10, Bisma, Lamuru dan Tarutung. Bahan lain yang digunakan adalah pupuk urea, SP-36, KCl, pupuk kandang, karbofuran 30%.

Alat yang digunakan antara lain saprotan, alat ukur seperti penggaris, meteran dan jangka sorong, alat pelabelan, kantong polen, buku lapangan dan timbangan.

Metode Penelitian

Percobaan dilakukan dalam dua rangkaian kegiatan. Pertama berupa pembentukan benih F1 dengan persilangan dialel penuh. Kegiatan kedua, yaitu evaluasi tetua, F1 dan F1 resiprokalnya.

Kegiatan 1 :

Kegiatan ini merupakan persilangan dialel penuh antara delapan galur yang digunakan sebagai tetua. Kombinasi persilangannya dapat dilihat pada Tabel 1.


(32)

Tabel 1. Kombinasi persilangan dialel penuh dengan delapan galur tetua.

♂ P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8

P1 P1/P1 P1/P2 P1/P3 P1/P4 P1/P5 P1/P6 P1/P7 P1/P8 P2 P2/P1 P2/P2 P2/P3 P2/P4 P2/P5 P2/P6 P2/P7 P2/P8 P3 P3/P1 P3/P2 P3/P3 P3/P4 P3/P5 P3/P6 P3/P7 P3/P8 P4 P4/P1 P4/P2 P4/P3 P4/P4 P4/P5 P4/P6 P4/P7 P4/P8 P5 P5/P1 P5/P2 P5/P3 P5/P4 P5/P5 P5/P6 P5/P7 P5/P8 P6 P6/P1 P6/P2 P6/P3 P6/P4 P6/P5 P6/P6 P6/P7 P6/P8 P7 P7/P1 P7/P2 P7/P3 P7/P4 P7/P5 P7/P6 P7/P7 P7/P8 P8 P8/P1 P8/P2 P8/P3 P8/P4 P8/P5 P8/P6 P8/P7 P8/P8

Keterangan : P1 : Galur 276-4 P2 : Galur 261-2 P3 : Galur 425-3 P4 : Galur 426

P5 : Galur 605 P6 : Galur 612 P7 : Galur 786 P8 : Galur 969

Galur-galur tersebut merupakan galur-galur yang memiliki umur yang genjah, potensi hasil yang baik dan tahan penyakit. Selain itu pemilihan galur yang digunakan berdasarkan umur berbunga yang hampir bersamaan (Lampiran 32).

Setiap galur ditanam sebanyak 5 baris dengan panjang plot 5 m. Persilangan dilakukan antara tanaman dari masing - masing kombinasi. Jumlah tongkol F1 yang dihasilkan sebanyak 4 - 6 tongkol tiap kombinasi persilangan (Gambar 1).


(33)

Kegiatan 2 :

Kegiatan kedua merupakan evaluasi tanaman tetua, F1 dan F1 resiprokalnya menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan tiga ulangan. Pengacakan dilakukan dengan α-Lattice Design 6 x 11 x 3 ulangan (Gambar 2).

Masing - masing kombinasi persilangan diambil dari 4 tongkol secara acak dari enam tongkol yang dipanen dari percobaan tahap 1. Biji diambil dari tiap tongkol secara acak kemudian ditanam dalam tiga ulangan.

Gambar 3. Evaluasi F1, F1R dan Tetua

Pelaksanaan Percobaan 1. Pengolahan tanah

Dilakukan dengan traktor, sisa - sisa tanaman sebelumnya dibersihkan, kemudian tanah diratakan dan dibuat plot - plot.

2. Penanaman

Kebutuhan benih disesuaikan dengan ukuran petakan, sebelum tanam, benih diberi perlakuan dengan fungisida. Panjang petakan adalah 5 meter. Lebar petak 1,5 m sehingga bila jarak antar baris 75 cm terdapat 2 baris per petak. Jarak tanaman dalam barisan 20 cm., 1 tanaman per rumpun (ditanam 2 biji/lubang, lalu dijarangkan menjadi 1 tanaman per lubang) sehingga terdapat 50 tanaman/plot.


(34)

3. Pemupukan

Pupuk yang diberikan adalah pupuk urea - SP 36 - KCl dengan dosis 100-200-100 kg/ha saat tanam. Lubang tanam kemudian ditutup dengan pupuk kandang., pupuk susulan urea sebanyak 200 kg/ha pada umur 30 hst.

4. Pemeliharaan

Untuk mencegah serangan lalat bibit pada waktu tanam, tiap lubang diberi karbofuran 30% dengan dosis 8-16 kg/ha atau sekitar 4 butir/ lubang. Bila ada tanda-tanda serangan hama mada masa pertumbuhan, karbofuran 30% dapat diberikan lagi melalui pucuk daun.

Kegiatan penyiangan, pembumbunan, dan pengaturan tata air, sesuai dengan anjuran budidaya setempat. Biasanya penyiangan I dilakukan umur 2-3 minggu; penyiangan II umur 4 minggu yang diikuti dengan pembumbunan.

Pengairan yang cukup diperlukan bila tidak ada hujan. Sebaliknya pada musim hujan diperlukan pengaturan drainase supaya tanaman tidak tergenang air. Oleh karena itu diperlukan saluran irigasi.

Pengamatan

Karakter yang diamati pada penelitian ini yang dilakukan pada 10 tanaman contoh adalah :

1. Jumlah Tanaman (plant stand) umur satu minggu.

Setiap petakan dihitung jumlah tanaman yang tumbuh. Ini dilakukan sebelum penjarangan/penyisipan. Angka ini perlu untuk mengetahui persentase tumbuh yaitu dengan membagi jumlah tanaman tumbuh dengan jumlah biji yang ditanam setiap petak.

2. Umur berbunga (hari)

Jagung mulai berbunga sekitar umur 50 hari. Pada varietas umur genjah ada yang mulai berbunga umur 42 hari. Sepanjang stadia pembungaan, petakan diamati setiap hari.

• Pencatatan berbunga betina (silking) dicatat bila rambut telah keluar panjang >2 cm dan sudah 50% dari populasi dalam petak berbunga

• Pencatatan berbunga jantan setelah tassel sudah keluar dan mulai pecah. Biasanya dilakukan setelah 50% dari seluruh populasi petakan berbunga.


(35)

3. Tinggi Tanaman (cm)

Tanaman jagung tidak akan bertambah tinggi setelah stadia pembungaan. Untuk memudahkan umumnya dilakukan menjelang panen. Ukur jarak dari dasar tanaman di permukaan tanah sampai pangkal terakhir bunga jantan.

4. Tinggi Tongkol (cm)

Dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman. Pengukuran dilakukan dari permukaan tanah sampai dasar kedudukan tongkol. Bila tanaman mempunyai dua tongkol, maka diambil tongkol yang teratas/tongkol yang lebih normal perkembangannya.

5. Umur panen (hari)

Ditandai dengan tongkol yang sudah masak fisiologis, biasanya ditandai dengan mengeringnya daun.

6. Jumlah Tanaman Panen per Petak

Petakan terdiri atas 2 baris, yang dipanen untuk pengambilan data adalah seluruh tanaman pada baris tersebut.

7. Jumlah Tongkol Panen

Seluruh tongkol yang dipanen dicatat jumlahnya, kecuali tongkol-tongkol yang sangat kecil dan hanya mempunyai beberapa biji.

8. Bobot Tongkol Kupasan (kg)

Tongkol-tongkol yang dipanen, setelah dikupas ditimbang Bobotnya per petak..

9. Kadar Air Panen (%)

Sepuluh tongkol sampel per petak sebagai sampel, lalu setiap tongkol dipipil bijinya 2 baris. Biji yang telah dipipil kemudian diukur kadar airnya Angka kadar air panen digunakan untuk menghitung hasil pipilan kering pada kadar air standar (15%). Pengukuran data kadar air biji waktu panen harus dilakukan pada hari yang sama dengan pengukuran Bobot Tongkol Kupasan.

10.Diameter Tongkol (cm)

Diukur dengan menggunakan jangka sorong pada tongkol yang dijadikan sampel.


(36)

11.Panjang Tongkol (cm)

Diukur dengan menggunakan penggaris, dari ujung sampai pangkal tongkol yang sudah dikupas kelobotnya.

12.Jumlah Baris Biji per Tongkol

Dihitung jumlah baris biji tiap tongkol yang dijadikan sampel. 13.Jumlah Biji per Tongkol

Dihitung jumlah biji tiap tongkol sampel. 14.Bobot 1000 Biji (g)

Ditimbang 100 biji dari tiap petakan. 15. Konversi Hasil (kg/ha).

10000 100-KA

Hasil (kg/ha) = --- x --- x B x 0,80 L.P 100-15

K.A =Kadar Air biji waktu panen L.P = Luas Panen (m2).

B = Bobot Tongkol Kupasan (kg)

0,80 = Rata-rata shelling percentage/rendemen

Dihitung dengan membagi bobot pipilan dengan bobot tongkol .

Analisis Data 1. Nilai Daya Gabung

a. Analisis perbedaan genotipe

Model statistik yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yijk = m+ Tij + bk + (bT)ijk + eijk

Dimana :

Yijk = nilai pengamatan dari genotipe I x j dalam ulangan ke k

m = rata – rata umum Tij = efek genotipe I x j

bk = efek ulangan ke k

(bT)ijk = efek interaksi ulangan dengan perlakuan


(37)

Tabel 2. Analisis varians perbedaan genotipe Sumber

Variasi

Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah

F-hit

Ulangan (b) b – 1

bT xij T

j

x

. 2( )2

1 − b JKU KTG KTU Perlakuan

(T) T – 1 bT

xij b

j

x

. 2( )2

1 − T JKP KTG KTP

Galat (r-1) (t-1)

JK Total – JK Perlakuan – JK

Ulangan (b−1)(T−1)

JKG

Total r.t –1

bT xij ij

x2 ( )2

Keterangan : b = jumlah ulangan T = jumlah perlakuan

b. Analisis Daya Gabung

Nilai duga daya gabung umum dan daya gabung khusus genotipe diperoleh dengan menggunakan metode I Grifing (Singh dan Chaudhary, 1979) yaitu berdasarkan persilangan full diallel (8 tetua, 28 F1 dan 28 F1 resiprokalnya ).

Model statistika untuk analisis daya gabung menurut Griffing (1956) adalah : Yij = m + gi + gj + sij + rij +

∑∑

eijk

b

1

Dimana :

Yij = rata – rata genotipe i x j

m = rata-rata umum

gi = efek daya gabung umum tetua ke i

gj = efek daya gabung umum tetua ke j

sij = efek DGK untuk persilangan tetua ke i dan tetua ke j, sedemikian

sehingga sij = sji

rij = pengaruh resiprokal untuk persilangan tetua ke i dan tetua ke j,

sedemikian sehingga rij = - rji

∑∑

eijk

b

1

= efek galat percobaan pada pengamatan ke ijk i = j= 1,2,3,...n (galur)


(38)

Tabel 3. Analisis varians daya gabung Metode I Model 1 dari Griffing Sumber Derajat Bebas Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung DGU p-1 Sg

1 − p Sg KTG KTDGU

DGK p(p-1)/2 Ss

2 / ) 1 (pp

Ss

KTG KTDGK

Resiprokal p(p-1)/2 Sr

2 / ) 1 (pp

Sr

KTG sip KTRe

Galat (t-1)(r-1) Se r Se

Dimana : p = jumlah tetua t = jumlah perlakuan r = jumlah ulangan

Sg = 2

2

2 2 ..

) ( 2 1 Y p Yj Yi p i − +

Ss = 2

2

2 1 ..

) ( 2 1 ) ( 2 1 Y p Yj Yi p Yji Yij Yij i i j + + − +

∑∑

Sr =

∑∑

<

i j

Yji Yij )2 (

2 1

Apabila nilai ketiga kuadrat tengah berbeda nyata terhadap galat, maka pengaruh sumber variasi tersebut dapat dihitung menggunakan rumus berdasarkan Singh dan Chaudhary (1979) ;

1. Efek DGU=

(

)

⎥⎦

⎢⎣

+

+

.

.

1

..

2

1

Y

nxn

i

Y

Yi

n

2. Efek DGK =

(

)

(

)

..

1

.

.

.

.

2

1

2

1

Y

nxn

j

Y

Yj

i

Y

Yi

n

Yji

Yij

+

+

+

+

+

3. Efek resiprokal = ( ) 2

1

Yji Yij


(39)

Uji beda antara GCA genotipe tetua dan antara SCA genotipe hasil persilangan dilakukan dengan menggunakan uji beda kritis (critical difference) dengan rumus dari Singh dan Chaudhary (1979) :

CD = SE x t5%

Keterangan :

CD = critical difference

SE = Standard Error = a (α adalah varians beda efek DGU/DGK)

2. Analisis Nilai Heterosis

Pendugaan nilai heterosis hibrida dianalisis berdasarkan nilai tengah kedua tetua (mid parent heterosis) atau heterosis dan nilai tengah tetua terbaik (best parents) atau heterobeltiosis.

Heterosis = 1 x100%

MP MP F

μ μ

μ −

Heterobeltiosis = 1 x100%

BP BP F

μ μ μ −

Keterangan :

μF1 = nilai tengah progeni

μMP = nilai tengah kedua tetua ⎟

⎠ ⎞ ⎜

⎛ +

2 2 1 P P

μBP = nilai tengah tetua terbaik

Untuk mengetahui adanya beda nyata nilai heterosis yang diperoleh diantara genotipe hibrida hasil persilangan yang diuji, maka data yang diperoleh diuji dengan menggunakan uji F.


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil rekapitulasi analisis varians (Tabel 4) menunjukkan ketiga karakter, yaitu panjang tongkol, jumlah biji per tongkol dan bobot 1000 biji berbeda nyata antar genotipe pada taraf 1% di kedua lokasi. Selanjutnya dapat dilakukan pendugaan nilai daya gabung untuk karakter-karakter tersebut. Sementara itu interaksi antara genotipe dan lingkungan menunjukkan nilai yang berbeda nyata pada karakter panjang tongkol dan bobot 1000 biji.

Tabel 4. Rekapitulasi kuadrat tengah genotipe, DGU, DGK dan Resiprokal hasil persilangan dialel (8x8) di dua lokasi.

Sumber

Variasi db

Panjang Tongkol Jumlah Biji per Tongkol Bobot 1000 Biji Bogor Lampung Bogor Lampung Bogor Lampung Genotipe 63 11.88 ** 9.53** 10,847.33 ** 19,659.44 ** 1,857.94 ** 3030.39 ** DGU 7 3.52 ** 7.76** 3,875.06 ** 4711.91 ** 497.62 ** 659.47** DGK 27 7.78 ** 4.61 ** 6,527.77** 12,951.86 ** 1,102.28 ** 1,938.28 ** Resiprokal 27 0.25 tn 0.60 ** 638.96 tn 614.75tn 166.77 ** 169.64 ** Galat 126 0.24 0.09 440.38 486.59 75.03 96.27 CV 4.87% 3.15% 8.47% 8.24% 6.24% 7.07%

Ketiga karakter memiliki kuadrat tengah nilai daya gabung umum dan nilai daya gabung khusus yang berbeda nyata pada taraf 1% di kedua lokasi. Berdasarkan nilai kuadrat tengah yang sangat nyata untuk nilai DGU, berarti terdapat satu atau lebih galur yang merupakan penggabung yang baik untuk karakter komponen hasil ini. Nilai yang berbeda nyata untuk DGU dan DGK pada karakter di atas mengindikasikan bahwa gen aditif dan non aditif berperan dalam mengontrol karakter tersebut (Baker 1978).

Kuadrat tengah efek resiprokal, karakter panjang tongkol di lokasi Lampung dan bobot 1000 biji di kedua lokasi memberikan nilai yang berbeda nyata pada taraf 1%. Pengaruh resiprokal yang berbeda sangat nyata untuk karakter bobot 1000 biji di kedua lokasi mengindikasikan adanya pengaruh tetua betina.

Keterangan : ** Berbeda nyata pada taraf 1%, * Berbeda nyata pada taraf 5% tn Tidak berbeda nyata


(41)

Ketiga karakter yang lain, yaitu diameter tongkol, Bobot tongkol panen dan hasil menunjukkan beda nyata antar genotipe pada taraf 1% (Tabel 5). Demikian pula dengan kuadrat tengah DGU dan DGK untuk karakter diameter tongkol, Bobot tongkol panen dan hasil di kedua lokasi berbeda nyata pada taraf 1%, hal ini menunjukkan bahwa terdapat satu atau lebih genotipe yang merupakan penggabung yang baik dan terdapat satu atau lebih kombinasi persilangan terbaik. Bari et. al.

(1974) menyatakan bahwa ragam DGU disusun oleh ragam genetik aditif sehingga apabila nilai DGU menunjukkan hasil yang nyata dapat diasumsikan pengaruh ragam genetik aditif besar. Galur yang memiliki ragam aditif besar sebaiknya tidak diarahkan dalam pembentukan hibrida. Efek gen non aditif untuk karakter hasil pipilan kering pada jagung memiliki nilai yang signifikan (Dehghanpour et al., 1996; San-Vicente et al., 1998; Kalla et al., 2001). Sementara itu, interaksi genotipe dengan lingkungan menunjukkan nilai yang berbeda nyata untuk karakter Bobot tongkol panen dan hasil

Efek resiprokal untuk seluruh karakter juga berbeda nyata pada taraf 1%, hanya untuk karakter diameter tongkol di lokasi bogor yang berbeda yanta pada taraf 5%. Keadaan ini menunjukkan bahwa untuk karakter diameter tongkol, Bobot tongkol dan hasil dipengaruhi oleh efek tetua betina.

Tabel 5. Rekapitulasi kuadrat tengah genotipe, DGU, DGK dan Resiprokal hasil persilangan dialel (8x8) di dua lokasi

Sumber Variasi db

Diameter Tongkol

Bobot Tongkol

Panen Hasil

Bogor Lampung Bogor Lampung Bogor Lampung Genotipe 63 0.53 ** 0.60 ** 2.15 ** 1.34 ** 5,733,892.34 ** 3,593,874.08 **

DGU 7 0.09 ** 0.05 ** 1.07 ** 1.22 ** 2,848,699.10 ** 3,403,087.92 ** DGK 27 0.36 ** 0.42 ** 1.18 ** 0.59 ** 3,132,436.43 ** 1,559,156.79 ** Resiprokal 27 0.01 * 0.01 ** 0.17 ** 0.11 ** 455,808.05 ** 285,476.79 **

Galat 126 0.008 0.003 0.025 0.026 66,409.944 80,838.700 CV 3.39% 1.91% 12.20% 15.30% 12.20% 15.30% Keterangan : ** Berbeda nyata pada taraf 1%, * Berbeda nyata pada taraf 5%


(42)

Tabel 6. Rekapitulasi kuadrat tengah interaksi DGU, DGK dan Resiprokal dengan Lingkungan.

Sumber Variasi db

Panjang Tongkol

Jumlah Biji per Tongkol

Bobot 1000 Biji

DGU X LINGK 7 1.34 tn 1836.59 tn 243.67 tn

DGK X LINGK 27 8.74 ** 9687.72 ** 2895.97 ** RECIP X LINGK 27 0.45 ** 574.67 tn 175.89 **

Tabel 7. Rekapitulasi kuadrat tengah interaksi DGU, DGK dan Resiprokal dengan Lingkungan.

Sumber Variasi db

Diameter Tongkol

Berat Tongkol

Panen Hasil

DGU X LINGK 7 0.02 tn 0.15 tn 923567.35 tn

DGK X LINGK 27 0.49 ** 2.17 ** 3458476.47 **

RECIP X LINGK 27 0.03 * 0.14 ** 536198.84 **

Nilai kuadrat tengah interaksi DGU dengan lingkungan untuk seluruh karakter, yaitu panjang tongkol, jumlah biji per tongkol, bobot 1000 biji, diameter tongkol, berat tongkol panen dan hasil menunjukkan tidak berbeda nyata. Dengan kata lain bahwa kondisi lingkungan tidak berpengaruh pada nilai DGU galur-galur jagung yang diuji.

Sementara untuk kuadrat tengah interaksi DGK dengan lingkungan menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata pada seluruh karakter yang diamati, hal ini menandakan bahwa nilai DGK kombinasi persilangan di lokasi Bogor berbeda dengan nilai DGK kombinasi persilangan di lokasi Lampung. Demikian pula dengan nilai kuadrat tengah interaksi resiprokal dengan lingkungan yang berbeda nyata, kecuali pada karakter jumlah biji per tongkol.

Keterangan : ** Berbeda nyata pada taraf 1%, * Berbeda nyata pada taraf 5% tn Tidak berbeda nyata

Keterangan : ** Berbeda nyata pada taraf 1%, * Berbeda nyata pada taraf 5% tn Tidak berbeda nyata


(43)

Penampilan Hibrida

Nilai tengah karakter panjang tongkol, jumlah biji per tongkol dan bobot 1000 biji di dua lokasi (Tabel 6) menunjukkan hasil yang lebih baik dari varietas pembandingnya, yaitu BISI 2 dan SHS 12. Di lokasi Bogor, persilangan P4/P6 memberikan nilai tengah panjang tongkol tertinggi, yaitu 20.30 cm, jumlah biji per tongkol 429.09 dan bobot 1000 biji 250 g pada kadar air 10%. Di lokasi Lampung, persilangan P8/P3 menunjukkan nilai tengah panjang tongkol 19.00 cm, jumlah biji per tongkol 536.13 dan bobot 1000 biji 261.2 g.

Tabel 8. Nilai Tengah Karakter Panjang Tongkol, Jumlah Biji per Tongkol dan Bobot 1000 Biji 14 Kombinasi Persilangan Terbaik di Dua Lokasi.

Bogor ; Lampung :

Persilangan Panjang Tongkol (cm)

Jumlah Biji per Tongkol

Bobot1000 Biji

(g)

Persilangan Panjang Tongkol (cm)

Jumlah Biji per Tongkol

Bobot 1000 Biji

(g) P4/P6 20.30 429.09 250.00 P8/P3 19.00 536.13 261.67 P8/P5 20.00 457.17 238.33 P3/P6 18.90 555.12 228.33 P3/P1 19.43 396.05 258.33 P2/P5 18.83 466.83 258.33

P6/P4 19.37 459.17 275.00 P1/P3 18.67 527.36 258.33 P2/P1 19.20 481.17 258.33 P2/P3 18.58 480.59 281.67

P4/P3 19.17 478.08 261.67 P6/P1 18.58 503.01 245.00 P1/P6 19.00 470.24 271.67 P4/P1 18.55 497.07 226.67 P1/P5 19.00 435.36 245.00 P3/P1 18.32 553.17 248.33 P5/P2 18.77 445.60 231.67 P1/P4 18.30 520.27 278.33 P2/P8 18.77 416.91 240.00 P5/P1 18.15 510.11 256.67 P1/P8 18.77 413.76 245.00 P4/P3 18.06 520.51 250.00 P6/P1 18.73 457.17 246.67 P4/P5 17.94 502.64 258.33 P1/P4 18.70 433.92 251.67 P5/P4 17.94 526.77 250.00 P5/P8 18.67 467.89 251.67 P3/P8 17.91 506.11 258.33

Kontrol : Kontrol :

BISI 2 18.27 471.12 228.33 BISI 2 17.8 438.4 233.3 SHS 12 17.13 367.84 216.67 SHS 12 16.7 372.7 203.3 LSD .05 1.35 58.17 24.01 LSD .05 0.83 61.14 27.20 LSD .01 1.61 69.03 28.49 LSD .01 0.99 72.56 32.27


(44)

Pada karakter diameter tongkol di lokasi Bogor persilangan P5/P6 memiliki nilai terbesar yaitu 4.95 cm, sedangkan untuk karakter bobot tongkol panen dan hasil di lokasi Bogor, persilangan P2/P3 memiliki nilai tertinggi, yaitu 5.69 dan 9289.49 kg (Tabel 7). Di lokasi Lampung untuk karakter diameter tongkol, persilangan P1/P2 memiliki nilai terbaik sebesar 5.00 cm. Persilangan P2/P3 di lokasi Lampung memiliki nilai terbaik untuk karakter Bobot tongkol panen dan hasil, yaitu sebesar 5.12 dan 8345.22 kg

Tabel 9. Nilai Tengah Diameter Tongkol, Bobot Tongkol Panen dan Hasil 14 Kombinasi Persilangan Terbaik di Dua Lokasi.

Bogor ; Lampung :

Persilangan Diameter Tongkol

(cm)

Bobot Tongkol

(kg/pot)

Hasil (kg/Ha)

Persilangan Diameter Tongkol

(cm)

Bobot Tongkol (kg/plot)

Hasil (kg/Ha)

P2/P3 4.86 5.69 9289.49 P2/P3 4.96 5.12 8345.22 P7/P8 4.59 5.67 9246.01 P1/P2 5.00 4.93 8038.22 P4/P6 4.64 5.55 9046.01 P7/P8 4.98 4.92 8032.16 P2/P4 4.83 5.44 8880.72 P4/P6 4.82 4.90 7988.88 P5/P6 4.95 5.40 8814.29 P1/P6 4.56 4.89 7984.71 P3/P8 4.72 5.39 8794.79 P4/P8 4.82 4.71 7682.22 P2/P8 4.94 5.39 8794.45 P5/P6 4.94 4.57 7447.36 P1/P2 4.67 5.39 8793.96 P1/P7 4.80 4.52 7371.03 P3/P5 4.65 5.31 8665.27 P3/P8 4.79 4.51 7350.18 P2/P6 4.47 5.27 8599.71 P2/P6 4.73 4.46 7273.01 P1/P7 4.60 5.22 8517.07 P1/P5 4.65 4.44 7245.20 P5/P7 4.75 5.21 8497.60 P6/P7 4.85 4.44 7240.61 P3/P7 4.61 5.20 8477.06 P2/P4 4.88 4.44 7237.66 P2/P7 4.57 5.16 8414.38 P1/P8 4.76 4.41 7190.79

Kontrol : Kontrol :

BISI 2 4.23 4.85 7621.45 BISI 2 4.25 4.79 7485.46 SHS 12 4.12 4.25 6812.21 SHS 12 4.08 3.92 6487.52 LSD .05 0.24 0.43 714.31 LSD .05 0.13 0.45 788.09 LSD .01 0.28 0.51 847.69 LSD .01 0.17 0.63 935.26


(45)

Menurut Sujiprihati (2001), hibrida superior cenderung dihasilkan dari persilangan galur murni yang juga superior dan berasal dari sumber populasi yang beragam. Penampilan hibrida yang menunjukkan hasil terbaik berasal dari persilangan tetua yang memiliki nilai DGU sedang dengan rendah atau tinggi dengan rendah.

Penampilan tinggi tanaman dan tinggi tongkol kombinasi persilangan terbaik di lokasi Bogor dan Lampung dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5. Secara umum, tinggi tanaman dan tinggi tongkol 14 kombinasi persilangan terbaik di lokasi Bogor memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan varietas pembanding. Menurut Troyer dan Larkins (1985), biasanya tanaman jagung yang pendek memiliki umur berbunga yang lebih genjah karena bunga tumbuh pada saat ruas batang berhenti tumbuh, tetapi pada hasil yang diperoleh di lokasi Bogor dapat dilihat kombinasi persilangan yang memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan varietas pembanding, memiliki umur berbunga yang lebih genjah dibandingkan varietas pembanding.

Budiman dan Sujiprihati (2000) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa jagung hibrida H-10, H-4, dan H-1 dengan tinggi tanaman berturut-turut 155,03 cm, 185,2 cm, 192,45 cm menghasilkan biji jagung yang lebih banyak dari Arjuna dengan tinggi 174,62 cm, namun lebih rendah dari BISI-2 dengan tinggi 184,18 cm.

3X 8 1X 4 1X 2 8X 2 4X 5 2X 8 7X 2 6X 3 3X 4 1X 8 5X 2 4X 8 2X 1 2X 7 BI SI 2 SH S 1 2 TT K L TTA N 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00 180.00 200.00 T ing gi ( c m ) Genotipe

Gambar 4. Tinggi Tanaman dan Tongkol 14 Kombinasi Persilangan Terbaik di Lokasi Bogor


(46)

1X 2 2X 4 8X 2 2X 8 4X 1 1X 6 2X 1 2X 6 8X 7 8X 1 8X 7 3X 8 4X 8 5X 3 BI S I2 SHS 1 2 TTK L TTA N 0.0 50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 300.0 Tinggi (cm) Genotipe

Gambar 5. Tinggi Tanaman dan Tongkol 14 Kombinasi Persilangan Terbaik di Lokasi Lampung

Tinggi tanaman di lokasi Bogor berkisar antara 155.20 – 199.33 cm, sedangkan tinggi tongkol berkisar antara 65.93 – 96.16 cm. Sementara di lokasi Lampung tinggi tanaman berkisar antara 240.7 – 252.3 cm dan tinggi tongkol berkisar antara 128.67 – 145.2 cm. Obilana dan Hallauer (1979) menyatakan bahwa adanya korelasi positif antara tinggi tanaman dan tinggi tongkol pada galur – galur jagung yang diseleksi.

Karakter tinggi tanaman dan tongkol menentukan kriteria seleksi tanaman yang akan dipilih. Biasanya pemulia jagung memilih tanaman yang tidak terlalu tinggi dan tinggi tongkol berada di tengah-tengah tinggi tanaman. Biasanya tanaman yang terlalu tinggi dengan letak tongkol yang tinggi pula akan lebih rentan pada rebah akar dan rebah batang.

Umur berbunga jantan di lokasi Bogor berkisar antara 55.33-63.67 hari, sedangkan umur berbunga betina antara 60-67 hari. Sementara di lokasi Lampung, umur berbunga jantan berkisar antara 46-50 hari dan umur berbunga betina antara 48-54 hari. Adanya perbedaan umur berbunga, dimana pada lokasi lampung lebih genjah dari lokasi Bogor disebabkan adanya pengaruh lingkungan.


(47)

3X2 4X3 5X2 7X2 5X1 7X3 1X2 2X3 4X5 4X7 2X5 2X7 4X2 5X7 BISI2 SHS 12 BBET BJAN 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 Um u r B e rb un ga ( h ar i) Genotipe

Gambar 6. Umur Berbunga Betina dan Jantan 14 Kombinasi Persilangan Terbaik di Lokasi Bogor 5X1 5X2 5X3 7X3 1X2 1X3 1X4 1X5 1X6 1X7 1X8 2X1 2X4 2X3 BISI2 SHS 12 BBET BJA 42.0 44.0 46.0 48.0 50.0 52.0 54.0 U m ur B e rb unga ( h a ri ) Genotipe

Gambar 7. Umur Berbunga Betina dan Jantan 14 Kombinasi Persilangan Terbaik di Lokasi Lampung


(48)

Daya Gabung Umum

Nilai DGU tertinggi dan positif untuk karakter panjang tongkol dimiliki oleh genotipe 276-4 sebesar 0.39 di lokasi Bogor dan sebesar 0.66 di lokasi Lampung (Tabel 8). Pada karakter jumlah biji per tongkol, baik di lokasi Bogor maupun Lampung, Genotipe 425-3 memberikan nilai DGU tertinggi dan positif, yaitu masing-masing sebesar 14.34 dan 22.19. Sementara itu, untuk karakter bobot 1000 biji, genotipe 969 memiliki nilai tertinggi dan positif di kedua lokasi, yaitu sebesar 8.85 dan 9.48. Ini menunjukkan bahwa genotipe 276-4, 425-3 dan 969 memiliki kemampuan bergabung yang baik dengan genotipe yang lain. Persilangan dengan performa yang baik setidaknya memiliki satu tetua dengan nilai DGU yang tinggi (Chaudhary et al., 2000).

Tabel 10. Rekapitulasi nilai DGU 8 genotipe galur tetua di dua lokasi Genotipe

Panjang Tongkol

Jumlah Biji per

Tongkol Bobot 1000 Biji

Bogor Lampung Bogor Lampung Bogor Lampung P1 (276-4) 0.39 0.66 12.49 -3.63 -3.65 6.04

P2 (261-2) -0.23 -0.50 -27.98 -35.38 1.15 1.04 P3 (425-3) 0.07 0.06 14.34 22.19 -4.79 -5.21 P4 (426) 0.32 0.30 11.22 1.95 4.69 3.54 P5 (605) 0.08 0.08 6.64 7.41 4.58 -1.04 P6 (612) 0.19 -0.03 -19.05 0.52 -5.62 -3.44 P7 (786) -1.06 -1.45 -1.62 -7.03 -5.21 -10.42 P8 (969) 0.25 0.30 3.96 13.98 8.85 9.48

SE (gi-gj) 0.17 0.11 7.42 7.79 3.06 3.46 BK 0.33 0.21 14.54 15.26 5.99 6.78 Genotipe Diameter Tongkol Bobot Tongkol Panen Hasil


(49)

Tabel 11. Rekapitulasi nilai DGU 8 genotipe galur tetua di dua lokasi

Nilai DGU tetinggi dan positif untuk karakter diameter tongkol terdapat pada genotipe 605, yaitu sebesar 0.07 dan 0.08 pada masing-masing lokasi (Tabel 9). Pada karakter bobot tongkol panen dan hasil, baik di lokasi Bogor maupun Lampung, genotipe 969 memberikan nilai tertinggi dan positif.

Panjang tongkol, jumlah biji per tongkol , bobot 1000 biji, diameter tongkol dan Bobot tongkol panen merupakan karakter yang mewakili komponen hasil, sehingga nilai DGU yang tinggi dan positif yang diharapkan. Tetua dengan nilai DGU yang tinggi diharapkan dapat menjadi galur murni superior untuk program perakitan varietas bersari bebas. Menurut Sujiprihati (2001), galur murni dengan nilai DGU komponen hasil yang tinggi belum tentu memiliki nilai DGU tinggi pula untuk karakter hasil pipilan kering.

Daya Gabung Khusus

Di lokasi Bogor, persilangan P4/P6 memiliki nilai DGK tertinggi untuk karakter panjang tongkol dan jumlah biji per tongkol. Untuk karakter bobot 1000 biji persilangan P2/P3 memiliki nilai DGK tertinggi dan positif (Tabel 10). Dapat dilihat bahwa masing-masing pasangan galur merupakan persilangan antara galur yang memiliki DGU yang sedang dengan DGU yang rendah, menghasilkan Nilai DGK yang cukup tinggi, menunjukkan bahwa pada karakter-karakter tersebut terdapat interaksi antara gen aditif dan dominan (Pradhan et al. 2005).Tetua – tetua dengan

P1 (276-4)

-0.07 -0.04 0.13 0.15 206.67 249.75 P2 (261-2)

-0.08 -0.08 -0.33 -0.20 -545.85 -307.00 P3 (425-3)

-0.07 -0.02 0.21 0.20 339.66 291.53 P4 (426)

0.05 0.03 0.12 0.18 187.87 308.46 P5 (605)

0.07 0.08 0.14 -0.04 229.30 -49.18 P6 (612)

-0.10 0.01 -0.17 0.02 -282.79 46.65 P7 (786)

0.05 -0.04 -0.38 -0.58 -621.21 -977.77 P8 (969)

0.02 0.07 0.30 0.26 486.34 437.57

SE (gi-gj) 0.03 0.02 0.06 0.06 91.11 100.52 BK 0.05 0.03 0.11 0.11 178.57 197.01


(50)

nilai DGK komponen hasil yang tinggi diarahkan dalam pembentukan varietas hibrida.

Tabel 12. Nilai DGK 14 kombinasi terbaik persilangan dialel (8x8) di lokasi Bogor. Persilangan Panjang Tongkol Jumlah Biji per Tongkol Bobot 1000 Biji

P2/P3 0.23 14.20 21.56

P7/P8 1.23 8.80 20.10

P4/P6 1.94 38.31 19.69

P2/P4 0.98 0.15 19.58

P5/P6 0.18 -16.20 17.29 P3/P8 0.80 25.47 17.19

P2/P8 0.97 1.55 17.08

P1/P2 1.21 34.26 14.58 P3/P5 0.65 33.91 13.96 P2/P6 0.17 20.46 10.73 P1/P7 0.77 21.97 10.10

P5/P7 -0.09 0.49 9.38

P3/P7 0.58 35.69 8.75

P2/P7 0.62 23.47 8.65

SE(sij-skl) 0.42 18.17 7.50

BK 0.82 35.67 14.7

Niai DGK tertinggi dan positif untuk karakter diameter tongkol di lokasi Bogor terdapat pada persilangan P7/P8 dengan nilai 0.30 (Tabel 11). Pada karakter Bobot tongkol panen dan hasil, persilangan P2/P3 memberikan nilai tertinggi dan positif, masing-masing sebesar 0.72 dan 1170.55. Daya gabung khusus (DGK) menunjukkan kemampuan bergabung antara kedua tetua yang memberikan penampilan terbaik. Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik dari nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, maka dikatakan DGKnya baik (Phoelman dan Sleeper 1990).


(1)

Lampiran 33. Listing Program SAS yang Digunakan TITLE ‘METHOD 1’;

DATA METHOD1;

INPUT I J REP HYBRID YIELD ENV; DROP N NI NJ P;

P=8;

ARRAY GCA(N) G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8; DO N=1 TO (P-1);

GCA=((I=N)-(I=P))+((J=N)-(J=P)); END;

ARRAY SCA(N) S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18 S22 S23 S24 S25 S26 S27 S28 S33 S34 S35 S36 S37 S38 S44 S45 S46 S47 S48 S55 S56 S57 S58 S66 S67 S68 S77 S78 S88;

N=0;

DO NI=1 TO (P-1); DO NJ=NI TO (P-1); N+1;

IF NI=NJ THEN DO;

SCA=(I=NI)*((J=NJ)-(J=P))+(I=P)*((J=P)-(J=NI)); END;

ELSE DO;

SCA=(I=NI)*(I=NJ)-(J=P)*((I=NI)+(I=NJ)-(I=P)*2)+(I=NJ)*(J=NI)-(I=P)*((J=NI)+(J=NJ)); END;END;END;

ARRAY REC(N) R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R23 R24 R25 R26 R27 R28 R34 R35 R36 R37 R38 R45 R46 R47 R48 R56 R57 R58 R67 R68 R78;

N=0;

DO NI=1 TO (P-1); DO NJ=(NI+1) TO P; N+1;

REC=(I=NI)*(J=NJ)-(J=NI)*(I=NJ); END;END;

ARRAY MAT(N) M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8; DO N=1 TO (P-1);

MAT=(I=N)+(J=P)-(J=N)-(I=P); END;

ARRAY NONM(N) N12 N13 N14 N15 N16 N17 N18 N23 N24 N25 N26 N27 N28 N34 N35 N36 N37 N38 N45 N46 N47 N48 N56 N57 N58 N67 N68 N78;

N=0;

DO NI=1 TO (P-2); DO NJ=(NI+1) TO (P-1); N+1;

NONM=((I=NI)*(J=NJ)-(I=NJ)*(J=NI)-((I=NI)*(J=P))+(I=NJ)*(J=P)+((I=P)*((J=NI)-(J=NJ)));

END;END; CARDS;

[Data panjang tongkol, jumlah biji per tongkol, bobot 1000 biji,diameter tongkol, berat tongkol panen, hasil]

;

PROC SORT; BY REP ENV I J; PROC GLM;


(2)

MODEL YIELD=ENV REP(ENV) HYBRID HYBRID*ENV; TEST H=HYBRID E=HYBRID*ENV;

LSMEANS HYBRID; RUN;

TITLE ’DIALLEL SAS 1’; PROC GLM;

CLASS REP ENV HYBRID;

MODEL YIELD=ENV REP(ENV) G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 S11 S12 S13 S14 S15 S16 S17 S18 S22 S23 S24 S25 S26 S27 S28 S33 S34 S35 S36 S37 S38 S44 S45 S46 S47 S48 S55 S56 S57 S58 S66 S67 S68 S77 S78 S88 R12 R13 R14 R15 R16 R17 R18 R23 R24 R25 R26 R27 R28 R34 R35 R36 R37 R38 R45 R46 R47 R48 R56 R57 R58 R67 R68 R78 G1*ENV G2*ENV G3*ENV G4*ENV G5*ENV G6*ENV G7*ENV G8*ENV S11*ENV S12*ENV S13*ENV S14*ENV S15*ENV S16*ENV S17*ENV S18*ENV S22*ENV S23*ENV S24*ENV S25*ENV S26*ENV S27*ENV S28*ENV S33*ENV S34*ENV S35*ENV S36*ENV S37*ENV S38*ENV S44*ENV S45*ENV S46*ENV S47*ENV S48*ENV S55*ENV S56*ENV S57*ENV S58*ENV S66*ENV S67*ENV S68*ENV S77*ENV S78*ENV S88*ENV R12*ENV R13*ENV R14*ENV R15*ENV R16*ENV R17*ENV R18*ENV R23*ENV R24*ENV R25*ENV R26*ENV R27*ENV R28*ENV R34*ENV R35*ENV R36*ENV R37*ENV R38*ENV R45*ENV R46*ENV R47*ENV R48*ENV R56*ENV R57*ENV R58*ENV R67*ENV R68*ENV R78*ENV;

%MACRO GCASCA;

CONTRAST ‘GCA’ G1 1,G2 1,G3 1,G4 1,G5 1,G6 1,G7 1,G8 1;

CONTRAST ‘SCA’ S11 1,S12 1,S13 1,S14 1,S15 1,S16 1,S17 1,S18 1,S22 1,S23 1,S24 1,S25 1,S26 1,S27 1,S28 1,S33 1,S34 1,S35 1,S36 1,S37 1,S38 1,S44 1,S45 1,S46 1,S47 1,S48 1,S55 1,S56 1,S57 1,S58 1,S66 1,S67 1,S68 1,S77 1,S78 1,S88 1;

ESTIMATE ‘G1’ G1 1; ESTIMATE ‘G2’ G2 1; ESTIMATE ‘G3’ G3 1; ESTIMATE ‘G4’ G4 1; ESTIMATE ‘G5’ G5 1; ESTIMATE ‘G6’ G6 1; ESTIMATE ‘G7’ G7 1;

ESTIMATE ‘G8’ G1 -1 G2 -1 G3 -1 G4 -1 G5 -1 G6 -1 G7 -1; ESTIMATE ‘S11’ S11 1;

ESTIMATE ‘S12’ S12 1; ESTIMATE ‘S13’ S13 1; ESTIMATE ‘S14’ S14 1; ESTIMATE ‘S15’ S15 1; ESTIMATE ‘S16’ S16 1; ESTIMATE ‘S17’ S17 1; ESTIMATE ‘S22’ S22 1; ESTIMATE ‘S23’ S23 1; ESTIMATE ‘S24’ S24 1; ESTIMATE ‘S25’ S25 1; ESTIMATE ‘S26’ S26 1; ESTIMATE ‘S27’ S27 1; ESTIMATE ‘S33’ S33 1; ESTIMATE ‘S34’ S34 1; ESTIMATE ‘S35’ S35 1; ESTIMATE ‘S36’ S36 1; ESTIMATE ‘S37’ S37 1; ESTIMATE ‘S44’ S44 1;


(3)

ESTIMATE ‘S45’ S45 1; ESTIMATE ‘S46’ S46 1; ESTIMATE ‘S47’ S47 1; ESTIMATE ‘S55’ S55 1; ESTIMATE ‘S56’ S56 1; ESTIMATE ‘S57’ S57 1; ESTIMATE ‘S66’ S66 1; ESTIMATE ‘S67’ S67 1; ESTIMATE ‘S77’ S77 1;

ESTIMATE ‘S18’ S11 -1 S12 -1 S13 -1 S14 -1 S15 -1 S16 -1 S17 -1; ESTIMATE ‘S28’ S12 -1 S22 -1 S23 -1 S24 -1 S25 -1 S26 -1 S27 -1; ESTIMATE ‘S38’ S13 -1 S23 -1 S33 -1 S34 -1 S35 -1 S36 -1 S37 -1; ESTIMATE ‘S48’ S14 -1 S24 -1 S34 -1 S44 -1 S45 -1 S46 -1 S47 -1; ESTIMATE ‘S58’ S15 -1 S25 -1 S35 -1 S45 -1 S55 -1 S56 -1 S57 -1; ESTIMATE ‘S68’ S16 -1 S26 -1 S36 -1 S46 -1 S56 -1 S66 -1 S67 -1; ESTIMATE ‘S78’ S17 -1 S27 -1 S37 -1 S47 -1 S57 -1 S67 -1 S77 -1;

ESTIMATE ‘S88’ S11 1 S12 2 S13 2 S14 2 S15 2 S16 2 S17 2 S18 2 S22 1 S23 2 S24 2 S25 2 S26 2 S27 2 S28 2 S33 1 S34 2 S35 2 S36 2 S37 2 S38 2 S44 1 S45 2 S46 2 S47 2 S48 2 S55 1 S56 2 S57 2 S58 2 S66 1 S67 2 S68 2 S77 1;

%MENDGCASCA; %GCASCA;

%MACRO INTERACT;

CONTRAST ‘GCA*ENV’ G1*ENV 1 1,G2*ENV 1 1,G3*ENV 1 1,G4*ENV 1 -1,G5*ENV 1 -1,G6*ENV 1 -1,G7*ENV 1 -1,G8*ENV 1 -1;

CONTRAST ‘SCA*ENV’ S11*ENV 1 1,S12*ENV 11,S13*ENV 1 1,S14*ENV 1 1,S15*ENV 1 1,S16*ENV 1 1,S17*ENV 1 1,S18*ENV 1 1,S22*ENV 1 1,S23*ENV 1 1,S24*ENV 1 1,S25*ENV 1 1,S26*ENV 1 1,S27*ENV 1 1,S28*ENV 1 1,S33*ENV 1 1,S34*ENV 1 1,S35*ENV 1 1,S36*ENV 1 1,S37*ENV 1 1,S38*ENV 1 1,S44*ENV 1 1,S45*ENV 1 1,S46*ENV 1 1,S47*ENV 1 1,S48*ENV 1 1,S55*ENV 1 1,S56*ENV 1 1,S57*ENV 1 1,S58*ENV 1 1,S66*ENV 1 1,S67*ENV 1 1,S68*ENV 1 1,S77*ENV 1 -1,S78*ENV 1 -1,S88*ENV 1 -1;

%MEND INTERACT; %INTERACT;

CONTRAST ‘REC’ R12 1,R13 1,R14 1,R15 1,R16 1,R17 1,R18 1,R23 1,R24 1,R25 1,R26 1,R27 1,R28 1,R34 1,R35 1,R36 1,R37 1,R38 1,R45 1,R46 1,R47 1,R48 1,R56 1,R57 1,R58 1,R67 1,R68 1,R77 1,R78 1;

ESTIMATE ‘R12’ R12 1; ESTIMATE ‘R13’ R13 1; ESTIMATE ‘R14’ R14 1; ESTIMATE ‘R15’ R15 1; ESTIMATE ‘R16’ R16 1; ESTIMATE ‘R17’ R17 1; ESTIMATE ‘R18’ R18 1; ESTIMATE ‘R23’ R23 1; ESTIMATE ‘R24’ R24 1; ESTIMATE ‘R25’ R25 1; ESTIMATE ‘R26’ R26 1; ESTIMATE ‘R27’ R27 1; ESTIMATE ‘R28’ R28 1; ESTIMATE ‘R34’ R34 1; ESTIMATE ‘R35’ R35 1; ESTIMATE ‘R36’ R36 1; ESTIMATE ‘R37’ R37 1;


(4)

ESTIMATE ‘R38’ R38 1; ESTIMATE ‘R45’ R45 1; ESTIMATE ‘R46’ R46 1; ESTIMATE ‘R47’ R47 1; ESTIMATE ‘R48’ R48 1; ESTIMATE ‘R56’ R56 1; ESTIMATE ‘R57’ R57 1; ESTIMATE ‘R58’ R58 1; ESTIMATE ‘R67’ R67 1; ESTIMATE ‘R68’ R68 1; ESTIMATE ‘R78’ R78 1;

CONTRAST ‘REC*ENV’ R12*ENV 11,R13*ENV 1 1,R14*ENV 1 1,R15*ENV 1 1,R16*ENV 1 1,R17*ENV 1 1,R18*ENV 1 1,R23*ENV 1 1,R24*ENV 1 1,R25*ENV 1 1,R26*ENV 1 1,R27*ENV 1 1,R28*ENV 1 1,R34*ENV 1 1,R35*ENV 1 1,R36*ENV 1 1,R37*ENV 1 1,R38*ENV 1 1,R45*ENV 1 1,R46*ENV 1 1,R47*ENV 1 1,R48*ENV 1 1,R56*ENV 1 1,R57*ENV 1 1,R58*ENV 1 1,R67*ENV 1 1,R68*ENV 1 1,R78*ENV 1 -1;


(5)

Lampiran 34. Data Agronomis

Lampung Bogor Pers

Tetua

diameter tongkol

berat

tongkol hasil Pers Tetua

diameter tongkol

berat

tongkol hasil 4//6 4.96 5.12 8345.22 8//3 4.86 5.69 9289.49 8//5 5.00 4.93 8038.22 3//6 4.59 5.67 9246.01 3//1 4.98 4.92 8032.16 2//5 4.64 5.55 9046.01

6//4 4.82 4.90 7988.88 1//3 4.83 5.44 8880.72 2//1 4.56 4.89 7984.71 2//3 4.95 5.40 8814.29

4//3 4.82 4.71 7682.22 6//1 4.72 5.39 8794.79 1//6 4.94 4.57 7447.36 4//1 4.94 5.39 8794.45 1//5 4.80 4.52 7371.03 3//1 4.67 5.39 8793.96 5//2 4.79 4.51 7350.18 1//4 4.65 5.31 8665.27 2//8 4.73 4.46 7273.01 5//1 4.47 5.27 8599.71 1//8 4.65 4.44 7245.20 4//3 4.60 5.22 8517.07 6//1 4.85 4.44 7240.61 4//5 4.75 5.21 8497.60 1//4 4.88 4.44 7237.66 5//4 4.61 5.20 8477.06 5//8 4.76 4.41 7190.79 3//8 4.57 5.16 8414.38 8//6 4.68 4.39 7155.94 6//4 4.59 4.96 8088.49

8//3 4.72 4.35 7093.68 8//1 4.83 4.87 7949.27 6//3 4.80 4.33 7068.59 1//2 4.83 4.85 7918.94

3//4 4.67 4.31 7036.02 4//8 4.71 4.80 7837.84 2//4 4.60 4.26 6947.89 8//4 4.73 4.79 7820.39

8//1 4.85 4.25 6932.42 3//4 4.74 4.78 7796.10 3//8 4.67 4.22 6879.71 3//2 4.59 4.77 7786.85

4//1 4.70 4.20 6852.27 1//6 4.65 4.77 7774.30 3//6 4.64 4.20 6845.15 6//3 4.76 4.73 7718.81 6//8 4.68 4.17 6806.61 5//8 4.67 4.71 7689.44 5//4 4.66 4.17 6800.61 1//8 4.54 4.70 7667.87 1//2 4.63 4.12 6713.79 3//5 4.86 4.69 7651.84 4//2 4.75 4.11 6704.50 1//7 4.55 4.68 7642.04 3//5 4.64 4.11 6703.42 2//4 4.76 4.63 7550.50 5//1 4.79 4.03 6571.19 5//6 4.83 4.62 7538.93

2//3 4.74 4.03 6570.81 7//1 4.69 4.61 7524.33 5//3 4.66 4.02 6562.71 5//3 4.81 4.61 7513.88

5//6 4.81 4.01 6547.56 2//1 4.65 4.58 7464.10 8//2 4.85 4.01 6539.16 8//6 4.74 4.55 7414.87 7//8 4.71 4.00 6524.91 6//2 4.55 4.53 7393.66 4//8 5.06 4.00 6524.33 8//2 4.60 4.50 7339.67 1//3 4.82 3.99 6512.19 6//8 4.66 4.50 7338.43 8//7 4.80 3.99 6502.04 2//8 4.51 4.49 7331.27 2//5 4.89 3.96 6453.32 6//5 4.45 4.47 7297.81 6//5 4.69 3.94 6425.85 1//5 4.74 4.41 7200.67 6//2 4.61 3.92 6390.94 4//6 4.49 4.40 7185.35 1//7 4.77 3.91 6372.71 8//5 4.39 4.36 7114.50 2//6 4.81 3.87 6314.10 8//7 4.75 4.34 7072.10 7//1 4.52 3.85 6272.82 7//8 4.78 4.25 6929.07

4//5 4.75 3.82 6230.94 7//6 4.55 4.23 6898.32 7//4 4.85 3.71 6046.44 4//7 4.60 4.21 6874.60

8//4 4.76 3.58 5841.96 5//2 4.49 4.21 6868.01 3//7 4.68 3.56 5800.44 5//7 4.65 4.21 6863.55


(6)

Lanjutan

Lampung Bogor Pers

Tetua

diameter tongkol

Pers Tetua

diameter tongkol

Pers Tetua

diameter tongkol

Pers Tetua

diameter tongkol 7//3 4.89 4.03 5754.04 7//4 4.91 4.17 6798.95 2//7 4.80 3.42 5574.85 4//2 4.51 4.17 6795.50 4//7 4.82 3.40 5547.45 7//3 4.55 4.12 6715.73 3//2 4.55 3.33 5429.42 3//7 4.44 4.05 6613.79 7//2 4.67 3.31 5404.52 7//2 4.47 3.90 6366.58 7//5 4.69 3.24 5279.25 6//7 4.37 3.73 6092.05 7//6 4.63 3.22 5257.23 2//6 4.57 3.69 6017.06 5//7 4.60 3.08 5030.96 7//5 4.58 3.69 6012.33 6//7 4.47 2.80 4575.07 2//7 4.41 3.52 5737.68