model perjumpaan antara tradisi dan ajaran Islam dalam bentuk dalil-dalil yang sudah disepakati oleh para ulama, terutama kalangan Ahli sunnah wa al-Jamâ’ah,
sebagai mayoritas muslim di Indonesia dan dunia.
33
Dan akhirnya sampai sekarang pun hampir semua masyarakat kita masih tetap mengamalkan acara
talqîn tersebut.
C. Pendapat Ulama Tentang Talqîn
Ibn Taimiyyah berkata dalam bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ,
34
bahwa: “Pendapat para ulama tentang talqîn itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama
sunnah , kedua makruh, ketiga mubah boleh.
Kemudian Beliau menegaskan lagi dalam buku yang sama, bahwa diantara para Ulama yang berpendapat bahwa talqîn itu sunnah, diantara mereka adalah
Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syâfi’î, dan Imam Abû Hanîfah dan juga para sahabat-sahabat dan pengikut mereka, berdasarkan dalil dari hadis Nabi Saw.,
نﺎآ اذإ
غﺮ ﻣ
د ﻟا
و لﺎﻘ
اوﺮ ﺳا ﻜ ﺄﻟ
اﻮﻟﺄﺳاو ﻟ
ﻟا ﱠﺈ
ن ﻟا لﺄ
35
“Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti sebentar dan berkata kepada sahabat-sahabat beliau :”Mintakanlah
ampun saudaramu ini kepada Tuhan, dan mohonkanlah supaya ia tetap dan tabah, karena bahwasannya ia sekarang sedang ditanya”
33
Anisah Mahfudz “Perjumpaan Islam dan Tradisi Lokal Sebagai Media Dakwah” dalam Muhyiddin Abdussamad, Hujjah NU. Surabaya: Khista dan LTN NU Jawa Timur, 2008, h.viii
34
Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwa al- Kubrâ
, Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, 1987 Juz.3, h.25
35
Abî Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abû Dâwud, Beirut, Dar al- Fikr, 2003.M1424.H Juz.3, h.166.
. Dan yang menganggap bahwa talqîn itu makruh adalah pendapat Imam Malik,
36
sedangkan yang berpendapat bahwa talqîn itu mubah boleh adalah pendapat beliau Ibn Taimiyah sendiri, dengan alasan itulah pendapat yang paling
adil.
37
Imam al-Nawâwi berkomentar dalam bukunya al-Adzkar
38
, bahwa:
“Adapun membaca talqîn pada orang yang meninggal setelah penguburannya, maka dikatakan oleh pengikut Abû Hanîfah kebanyakan dari sahabat-sahabat
kami bahwasannya hal tersebut disunnahkan, diantara mereka yang bernas akan disunnahkannya hal tersebut adalah Al-Qâdli Husein dalam komentarnya,
kawannya Abû Sa’ad al-Mutawalli dalam kitabnya al-Tatimmah, Syaikh Imam al- Zahid Abû Fatah Nasr bin Ibrâhîm bin Nasr al-Maqdisi, dan Imam Abû Qâsim ar-
Rifa’î dan lain sebagainya. Al-Qâdi Husein menukil dari sahabat-sahabat, adapun lafadznya, Syaikh Nasr berkata, “Bila dia telah selesai memakamkan jenazah,
hendaklah ia berdiri disisi kepala mayat tersebut lantas berdoa, “Wahai fulan bin fulan, ingatlah yang perjanjian dengannya Engkau keluar dari dunia: Kesaksian
bahwasannya tiada Tuhan selain Allah, yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bahwasannya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bahwasannya waktu
kiamat akan datang, tidak ada keraguan didalamnya, bahwasannya Allah membangkitkan siapapun yang berada dalam kubur, katakanlah aku rela Allah
sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad Saw., sebagai Nabiku, Ka’bah sebagai kiblat, Al-Qur’an sebagai imam, Kaum Muslimin sebagai saudara,
36
Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.24
37
Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.25
38
Imam Nawâwi, Al-Adzkar, Pntrjmh Gafur Saub, Irfanuddin Rafiuddin Jakarta, Pustaka As-Sunnah, cet.1, 2007, h. 438
Tuhanku adalah Allah tiada Tuhan selain Dia, Ia adalah Tuhan pemilik Arasy yang agung, ini adalah lafadz Syaikh Al-Maqdisi dalam kitabnya al-Tahdzîb,
lafadz yang lain adalah seperti lafadz tersebut, sebagian daripada mereka memiliki lafadz yang lebih pendek, kemudai diantara mereka ada yang berkata, “Wahai
hamba Allah bin umat Allah, “diantara mereka ada yang berkata, “Wahai ‘Abdullâh anak Hawa, diantara mereka ada yang berkata, :Wahai fulan-dengan
menyebut namanya,-bin umat Allah, atau wahai fulan bin Hawa, semuanya memiliki makna yang sama.
Syeikh Abû ‘Umâr bin Saleh ditanya tentang talqîn ini
39
, ia berkata dalam fatwa-fatwanya, “Membaca talqîn adalah yang kami pilih dan kami amalkan,
disebutkan oleh sekelompok sahabat-sahabat kami yang berasal dari Khurasan, ia berkata: “Kami telah meriwayatkan didalamnya suatu hadis dari hadis Abû
Umâmah, isnad-nya tak dapat diluruskan, namun dapat ditolong dengan kesaksian-kesaksian lain, penduduk Syam mengamalkannya dimasa lalu, ia
berkata: “Adapun talqîn yang diucapkan oleh anak-anak yang masih dalam buaian tak dapat dijadikan pegangan, dan kami melihat hal itu perlu dilakukan.
Sebagian Ulama ahli hadis berpendapat, bahwa mengenai talqîn yang berbunyi “Laqqinû…..dst”, maka perkataan “mautakum” tersebut diartikan
dengan “orang yang sudah mati”, meskipun ada makna majazi dengan arti “orang yang hampir mati”. Mereka berpendapat pula bahwa hadis yang diriwayatkan
Muslim itu sebenarnya telah memperkuat isi hadis mengenai talqîn ini karena
39
Imam Nawâwi, Al-Adzkar, Pntrjmh Gafur Saub, Irfanuddin Rafiuddin, , h.438
perkataan seperti yang disebutkan dalam hadis Damrah, itu tidak ada jalan untuk diijtihadi
40
. Demikian pula halnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud,
telah pula memperkuat isi hadis mengenai talqîn tersebut. Meskipun dalam hadis ini dimaksudkan adalah “do’a” akan tetapi dengan isyaratnya menunjukan dan
menyuruh agar kita mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan bagi si mayit karena pada waktu itu kita benar-benar diperlukan.
Ibn Qayyim dalam bukunya RUH, berkata: “Bahwa hadis talqîn itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita
tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadikan manfaat bagi si mayit. Berkata pula Imam Nawâwi di dalam Syarh Muhadzdzâb
dan bagi hadis mengenai talqîn itu banyak hadis-hadis yang menguatkannya.
41
Ibn Syaibah berkata: “Ibu saya pernah berwasiat kepada saya saat dia mengadapi kematian agar saya berdiri disamping pemakamannya setelah selesai
ditanamkan dengan mengucapkan: “Hai Ibu, katakanlah olehmu Lâ Ilâha illallâh, setelah itu pulanglah engkau”. Pada waktu malam saya bermimpi berjumpa
beliau, dan ibu saya itu berkata kepada saya,: “Ya Syaibah, hampir saja saya celaka seandainya engkau tidak mengingatkan saya dengan kalimat Lâ Ilâha
illallâh ”
42
Talqîn itu pada hakikatnya bukanlah dimaksudkan memberi pelajaran pada
orang-orang yang sudah mati mayit, melainkan sekedar memberi ketenangan atau ketabahan didalam kubur, seperti tersebut dalam al-Qur’an:
40
M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah. h.86
41
M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah, h.86
42
Abd Wahab Asy-Sya’rany, Maut dan Dialog Suci, Jawa Timur, CV.Amin, h.124
⌧ ☺
“
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”
43
Q.S.Adz- Dzariyat: 55
Seorang ulama hadis kontemporer yang bernama Nasîruddîn al-Albânî berkata: “Sanad hadis ini lemah sekali, saya tidak mengenal mereka kecuali
‘Utbah bin Sakan, dia dikatakan oleh ad-Daruqutnî: Ditinggalkan hadisnya. Al- Haitsami mengatakan: Diriwayatkan al-Tabrânî dalam al-Kabîr, dalam sanadnya
ada beberapa rawi yang tidak saya kenal.”
Kemudian al-Albânî berkomentar lagi: “Hal ini jangan dibantah dengan pendapat yang populer bahwa hadis lemah bisa digunakan dalam fadâil a’mal,
karena hal tersebut merupakan kaidah dalam masalah-masalah yang disyariatkan al-Qur’an dan Sunnah al-Sihah. Adapun bila tidak demikian maka tidak boleh
diamalkan karena itu merupakan syariat dengan hadis lemah. Hendaknya hal ini diperhatikan oleh orang yang menginginkan keselamatan dalam agamanya karena
kebanyakan orang lalai.”
44
Beliau juga mengatakan: “Talqîn setelah mati, di samping bid’ah dan tidak ada hadisnya yang sahih, juga tidak ada faedahnya karena hal itu keluar dari
kampung taklîf beban kepada kampung pembalasan dan mayit tidak menerima peringatan karena peringatan itu bagi orang yang masih hidup.”
43
DEPAG. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.756
44
Nasîruddîn al-Albânî Silsilah Ahâdits ad-Da’ifah, Riyad, Dar al-Ma’arif, Juz. 2, 1992, h.65
Menurut hemat penulis pendapat Nasîruddîn al-Albânî tersebut diatas bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama hadis terdahulu, sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam an-Nawâwi dalam muqadimah salah satu bukunya Al- Arba’in al-Nawâwiyyah
45
bahwa para ulama sepakat mengenai diperbolehkannya mengamalkan hadis da’if dalam hal fadail a’mal
Oleh sebab itu, dari beberapa pendapat para ulama diatas tentang talqîn mayit setelah dikuburkan, para ulama berselisih pendapat menjadi tiga pendapat:
1. Sunnah. Berdasarkan hadis diatas dan amalan sebagian ulama. Ibn Salah rahimahullah berkata: “Adanya talqîn, itulah yang kami pilih dan kami
amalkan, kami meriwayatkan suatu hadis tentangnya dari Abû Umâmah, namun sanadnya tidak kuat, tetapi dikuatkan oleh beberapa penguat dan
diamalkan oleh penduduk Syam.” 2. Mubah boleh. Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Dalam hal ini ada tiga pendapat: Sunnah, Makruh dan Mubah, inilah pendapat yang paling adil.”
3. Haram. Hal itu karena hadisnya tidak sahih dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, maka mengamalkannya termasuk kebid’ahan dalam agama. As-
San’ani rahimahullah berkata: “Kesimpulan komentar para ulama ahli hadis bahwa hadis ini lemah dan mengamalkannya merupakan kebid’ahan,
maka janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang melakukannya.”
45
Yahyâ bin Syarifuddin al-Nawâwi, Al-Arba’in al-Nawâwiyyah, Jakarta, Al-‘Idrus,h.4
BAB III ANALISIS HADIS-HADIS TENTANG TALQÎN MAYIT SETELAH
PENGUBURAN
Dalam menganalisis suatu hadis diperlukan kegiatan men-takhrîj
46
. Ada empat
47
metode dalam melakukan kegiatan takhrîj, tetapi di sini penulis Hanya menggunakan tiga metode dari empat metode tersebut. Pertama, penulis
menggunakan metode yang terambil dari kata-kata atau lafaz fi’îl, kedua, menggunakan metode awal matan hadis, dan ketiga, melalui tema.
A. Hadis Pertama