Konstruksi Hukum KewenanganKomisi Pemberantasan Korupsi Dalam

46 BAB IV ANALISIS KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Konstruksi Hukum KewenanganKomisi Pemberantasan Korupsi Dalam

Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Sebelum menguraikan tentang kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang, Terlebih dahulu penulis akan menguraikan yaitu, Pertama tentang subjek yang melakukan penuntutan yang di dalamnya juga akan membahas mengkaji tentang jaksa KPK dan jaksa pada Kejaksaan, Kedua, akan diuraikan tentang kewenangan, Ketiga, akan menguraikan sedikit tentang pencucian uang. Setelah itu Penulis akan mengkaitkan ketiga hal tersebut sebagaimana telah dirinci dalam penelitian ini yaitu kewenangan KPK jaksa KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian. Pertama, penulis akan menguraikan tentang subjek yang melakukan penuntutan atas suatu tindak pidana yang dalam hal ini disebut jaksa. Dalam hal ini ada istilah jaksa dan kejaksaan. Dapat dibedakan antara jaksa dengan kejaksaan yaitu, Jaksa adalah tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan utama sedangkan Kejaksaan adalah sebutan bagi institusi dalam sistem peradilan pidana yang memiliki fungsi menuntut dan membuat dokumen seperti surat 46 47 dakwaan dan surat tuntutan. 54 Menurut Pasal 1 angka 6 KUHAP, Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang melakukan penuntutan serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan Penuntut Umum sebagaimana dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP, adalah jaksa yang telah diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Kejaksaan sebagaimana dalam Pasal 2 ayat 3 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah satu dan tidak terpisahkan dalam melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana dan kewenangan lain. 55 Jadi dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa dimanapun jaksa berada, fungsi jaksa sebagai penuntut umum dalam melakukan penuntutan tindak pidana tetap melakat. Lalu kaitannya dengan KPK, Dalam hal ini KPK memiliki Jaksa penuntut umum yang berasal dari KPK yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 Undang-Undang N omor 30 tahun 2002 bahwa “Penuntut adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”. Dalam hal ini maka timbul suatu pemikiran tentang bagaimana kedudukan Jaksa KPK dengan Jaksa pada kejaksaan. 54 Suradji, Mudiyati, dan Sutriya Editor, Analisis dan Evaluasi Hukum Penunututan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008, h. 8. 55 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Cet. V, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, h. 66. 48 Dalam wawancara dengan Jaksa Penuntut Umum KPK yaitu Wawan Yunarwanto pada tanggal 10 maret 2015 yang menjelaskan kedudukan jaksa KPK dan jaksa pada kejaksaan agung bahwa: 56 “Dalam Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejakasaan Republik Indonesia bahwa jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan. Seluruh jaksa yang ada di KPK adalah berasal dari Kejaksaan Agung. Jadi dalam hal ini jaksa yang ada di KPK hanya diberhentikan sementara oleh kejaksaan agung dan kemudian diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan secara fungsi antara jaksa yang ada di KPK dengan jaksa yang ada di Kejaksaan Agung. Perihal pengangkatan dan pemberhentian, sebagaimana jaksa KPK diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sedangkan jaksa diangkat dan diberhentikan oleh jaksa agung itu hanya perbedaan dalam segi administratif.” Penyataan yang sama terkait kedudukan jaksa KPK dan jaksa pada kejaksaan agung juga diutarakan oleh Boby Mokosugianta selaku spesialis Kerjasama pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK yang menjelaskan bahwa: “Sebenarnya tidak ada perbedaan antara jaksa yang di KPK dengan jaksa yang di kejaksaan agung, karena jika dilihat dari sisi penegakan hukum sama saja karena fungsinya sama, lalu jika dilihat dari lembaga negaranya sama-sama lembaga Negara non kementerian. Perihal pengangkatan seperti halnya jaksa KPK diangkat oleh KPK dan jaksa di kejaksaan agung diangkat oleh jaksa agung itu perbedaan dalam hal kepegawaian bukan dalam hal kedudukan.” 57 Dari penyataan tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa tidak ada perbedaan dalam hal kedudukan antara jaksa KPK dengan jaksa dari kejaksaan 56 Wawan Yunarwanto, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Wawancara Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015. 57 Boby Mokosugianta, Spesialis Kerjasama Pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK, Wawancara Pribadi, Jakarta, 09 Maret 2015. 49 dalam hal fungsi melakukan penuntutan. Hanya saja berbeda dari segi pengangkatan dan pemberhentiannya. Kedua, penulis akan menguraikan tentang Kewenangan. Secara Hukum Administrasi Negara, Kewenangan adalah suatu hak yang dimiliki oleh suatu organ Negaralembaga Negara berupa wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan tertentu untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai organ Negaralembaga Negara. Adapun tujuan dari kewenangan yaitu memiliki legitimasi, sehingga munculnya kewenangan adalah untuk membatasi agar penyelenggara negara dalam melaksanakan pemerintahan dapat dibatasi kewenangannya agar tidak berlaku sewenang-wenang. Menurut teori kewenangan ada 3 cara dalam memperoleh kewenangan yaitu sebagai berikut: 1. Atribusi, yaitu pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. 58 Artinya kewenangan itu bersifat melekat terhadap organ pemerintahan tersebut yang dituju atas jabatan dan kewenangan yang diberikan kepada organ pemerintahan tersebut. 2. Delegasi adalah penyerahanpelimpahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. 59 Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya 58 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008, h. 104. 59 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, h. 105. 50 menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. 3. Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Pelimpahari itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan an pejabat Tata Usaha Negara yang memberi mandat. 60 Tanggungjawab tidak berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n atas nama. Dengan demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat. 61 Ketiga, penulis akan menguraikan tentang tindak pidana pencucian uang. pengertian dari Tindak pidana pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-asul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. 62 Pada awalnya objek pencucian uang yang paling utama dilakukan adalah hasil dari penjualan obat-obatan terlarangnarkotika dan penyelundupan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, dimana maraknya terjadi korupsi menjadi objek utama dalam tindak pidana asal predicate crime dalam tindak pidana pencucian 60 Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan Bestuurbevoegdheid”, Pro Justitia Tahun XVI, no.I Januari 1998, h. 90. 61 Philipus M. Hadjon, “Tentang Wewenang Pemerintahan Bestuurbevoegdheid”, h. 94. 62 Aziz syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Cet. IV, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, h. 19. 51 uang. Di dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang telah disebutkan beberapa tindak pidana asal predicate crime yaitu Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa salah satu tindak pidana asal predicate crime dari Tindak pidana pencucian uang adalah “korupsi”. Dalam penanganan tindak pidana korupsi adalah termasuk dari tugas dan kewenangan KPK. Setelah ketiga hal yang telah disebutkan diatas, dapat dikaitkan dengan penelitian ini yang akan mengkaji secara luas tentang Kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. Menurut teori kewenangan ada 3 cara dalam memperoleh kewenangan yaitu, Atribusi, Delegasi dan Mandat. 63 Kewenangan dengan cara Atribusi, Kewenangan secara Atribusi ini penulis hubungkan dengan kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang, dimana dalam Pasal 68 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjelaskan bahwa“Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang- undang ini”. Dari pasal tersebut ada kata-kata 63 Juniarso Ridwan dan Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Cet. IV, Bandung: Nuansa Cendikia, 2014, h. 138-139. 52 “dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” artinya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sifatnya tidak menutup dari undang- undang lain, dalam hal ini masih ada kemungkinan KPK menggunakan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang memberikan KPK kewenangan penuntutan. Lalu KPK dalam menjalankan kewenangannya bisa dengan cara Delegasi. Kewenangan secara Delegasi ini penulis hubungkan dengan kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang, dimana dalam hal penyidikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh penyidik KPK, apabila dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik KPK ada indikasi tindak pidana pencucian uang, maka berdasarkan pasal 75 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010, maka penyidik KPK dapat menggabungkan antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang. kemudian setelah penyidikan selesai, maka penyidik KPK melaporkan atau berkoordinasi dengan penuntut umum KPK untuk selanjutnya diteruskan ke tahap penuntutan oleh jaksa KPK. Kemudian KPK juga dalam menggunakan kewenangannya bisa dengan cara Mandat. Kewenangan secara Mandat ini penulis hubungkan dengan kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang, dimana Komisi Pemberantasan Korupsi memberi mandat kepada jaksa KPK untuk melakukan penuntutan atas perkara tindak pidana pencucian uang yang 53 tindak pidana asalnya adalah korupsi sebagai penuntut umum KPK dengan bertindak atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi. Di dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memang tidak secara eksplisit menjelaskan bahwa KPK berwenang dalam penututan tindak pidana pencucian, sehingga dalam beberapa perkara muncul dissenting opinion hakim tipikor yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang dalam menuntut tindak pidana pencucian uang karena menurut beberapa hakim tipikor yang dissenting opinion menggangap tidak ada satupun pasal yang menyatakan kewenangan KPK dapat menuntut tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut yang seringkali menjadi kendala KPK khususnya jaksa penuntut umum KPK dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang. Dalam wawancara dengan Jaksa Penuntut Umum KPK yaitu Wawan Yunarwanto yang mengemukakan Konstruksi hukumalasan yuridis sehingga KPK merasa berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang menjelasakan: 64 “Alasan yuridis sehingga KPK merasa berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang yaitu: Pada umumnya pemberantasan korupsi ada berbagai macam cara, secara universal bahwa salah satu cara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah melalui tindak pidana pencucian uang. Jadi bila KPK menemukan tindak pidana pencucian maka disitu juga KPK melakukan upaya untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. Pertama berdasarkan undang-undang yang terkait yaitu Undang- 64 Wawan Yunarwanto, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Wawancara Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015. 54 Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang- undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lalu berdasarkan Yurisprudensi dari perkara-perkara tindak pidana pencucian uang yang ditangani KPK. Kemudian yang terbaru adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77PUU-XII2014 tanggal 12 februari 2015 Dalam hal ini MK menolak seluruh permohonan Akil mochtar sehingga tidak ada satupun putusan MK yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang dalam penuntutan TPPU.” Hampir sama dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Boby Mokosugianta selaku speseialis Kerjasama pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK yang menjelaskan: “Konstruksi hukum sehingga KPK berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang yaitu, Pertama, Yurisprudensi bahwa ternyata selama ini pengadilan menerima, Jadi apabila penyidik KPK telah selesai melakukan penyidikan maka penyidik KPK melaporkan atau berkoordinasi dengan penuntut umum KPK. Jadi tidak dapat dipisahkan antara penyidikan di KPK dengan penuntutan di KPK karena secara struktural keduanya terikat dan secara sah undang-undang KPK mengatur hal tersebut. Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi yang setara dengan undang-undang. Namanya tetap putusan juga tetapi dapat merubah undang-undang, maka dengan adanya putusan Mahkamah Kontitusi dapat memperkuat kewenangan KPK dala m penuntutan TPPU”. 65 Dalam hal ini penulis sependapat dengan kedua narasumber tersebut bahwa KPK berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang. Pertama , secara filosofi pada umumnya pemberantasan korupsi ada berbagai macam cara, secara universal salah satu cara dalam pemberantasan tindak pidana 65 Boby Mokosugianta, Spesialis Kerjasama Pada Direktorat Kerjasama dan Humas PPATK, Wawancara Pribadi, Jakarta, 09 Maret 2015. 55 korupsi adalah melalui tindak pidana pencucian uang. Hal itulah yang harus menjadi dasar filosofi yang harus dipegang oleh KPK. Jadi bila KPK menemukan tindak pidana pencucian yang tindak pidana asalnya adalah korupsi, maka disitu juga KPK melakukan upaya untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK sebagai lembaga Independen Auxiliary State Organ merupakan Lembaga Negara yang dalam menjalankan kewenangannya bebas dari pengaruh dan intervensi pihak atau lembaga manapun baik dalam upaya pemberantasan korupsi maupun tindak pidana pencucian uang termasuk kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian, meskipun dalam banyak pihak memperdebatkan perihal kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang seperti halnya dissenting opinion hakim TIPIKOR dalam putusan pengadilan terkait tindak pidana pencucian uang. Kedua , menganilisis dari aturan Perundang-Undangan yang berlaku. Jika melihat Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian U ang yang menyebutkan “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang- undang ini”. Dari ketentuan tersebut ada kata-kata “dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ada ketentuan lain dalam undang- undang ini” artinya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sifatnya tidak 56 menutup dari undang-undang lain, dalam hal ini masih ada kemungkinan KPK menggunakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang memberikan KPK kewenangan penuntutan. KPK sebagaimana Pasal 6 huruf c dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi pemberantasan Tindak Pidana K orupsi, menyebutkan bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”. Mengacu pada dasar hukum tersebut maka dapat dipahami bahwa KPK memiliki kewewenang dalam hal penuntutan. Dalam hal melakukan penuntutan, KPK mempunyai jaksa sendiri yang berasal dari internal KPK sebagaimana dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terkait dengan kedudukan jaksa KPK dengan jaksa pada Kejaksaan sebagaimana Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan dalam menjalankan fungsi penuntutan terhadap tindak pidana. Pada kenyataannya seluruh jaksa di KPK adalah berasal dari Kejaksaan Agung dan KPK tidak merekrut penuntut umum yang berasal dari luar kejaksaan. Dengan demikian, penuntut umum di KPK dan penuntut umum di kejaksaan adalah satu kesatuan dan memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai penuntut umum. Pada Pasal 75 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, menyebutkan “dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak 57 pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberi tahukannya kepada PPATK”. Dari Pasal 75 tersebut maka KPK dapat menggabungkan antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Dalam hal ini apabila penyidik KPK dalam melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang kemudian memisahkan antara penyidikan tindak pidana pencucian uang penuntutan tindak pidana pencucian, dimana penyidikan tindak pidana korupsinya ditangani KPK sedangkan penuntutan tindak pidana pencucian uangnya ditangani Kejaksaan maka hal tersebut tidak akan efisien. Apabila tidak efisien maka akan bertentangan dengan Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 48 T ahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang penyebutkan “peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”. Dasar hukum tersebut telah dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung bahwa setiap peradilan itu harus mengacu pada asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Jadi pada intinya penuntutan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh penuntut umum KPK akan lebih baik dilakukan dibandingkan bila harus diserahkan penuntutan kepada penuntut umum kejaksaan karena prosesnya akan lebih sederhana, cepat dan biaya ringan serta prosesnya akan berjalan efisien dengan adanya koordinasi intern antara penyidik KPK dengan penuntut umum KPK dalam penanganan perkara tindak pidana pencucian uang, sehingga penunututan tindak pidana pencucian uang akan berjalan efesien. 58 Ketiga ,Yurisprudensi atau putusan-putusan hakim terdahulu. Jika melihat kasus-kasus yang ditangani oleh KPK terkait tindak pidana pencucian uang, ada beberapa perkara-perkara KPK yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yang tidak ada satupun amar dari tingkat Pengadilan NegeriTipikor, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang. Ada beberapa perkara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap diantaranya yaitu: Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Lutfi Hasan Ishaq, Ahmad Fathanah dan terakhir Akil Mochtar. 66 Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa selama ini pengadilan menerima penunutan tindak pidana pencucian uang yang ditangani KPK. Keempat , Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77PUU-XII2014 tanggal 12 februari 2015 yang menolak seluruh permohanan uji materi yang dimohonkan oleh Akil Mochtar yang salah satunya menguji tentang kewenangan KPK dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yaitu Pasal 76 ayat 1 yang menyebutkan “penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap”. Hal tersebut menurut pemohon yaitu Akil Mochtar hanya penuntut umum pada kejaksaan RI bukan penuntut umum dari KPK. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penuntut umum adalah satu kesatuan, baik yang bertugas di 66 Wawan Yunarwanto, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Wawancara Pribadi, Jakarta, 10 Maret 2015. 59 kejaksaan RI ataupun di KPK. Dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, tidak ada satupun putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.

B. Dissenting Opinion Para Hakim Tindak Pidana Korupsi TIPIKOR Dalam