bersifat
bottom up.
Inisiatif tersebut dapat berbentuk
hearing
dan diskusi dengan pihak eksekutif maupun legeslatif.
f. Masalah Relevansi Pendidikan
Permasalahan relevansi pendidikan dirasakan bangsa Indonesiaketika terjadi ketidakcocokan atau ketidaksesuaian antara isi pendidikan dengan realitas kebutuhan
masyarakat, terutama para pemakai
output
pendidikan rendahnya
rate of return
lulusan sekolah. Dengan kata lain, para lulusan sekolah masih memiliki tingkat yang sangat rendah dalam hal adaptasi dengan tuntutan dunia kerja. Akibatnya banyak
lulusan sekolah kita yang tidak dapat diserap oleh dunia kerja . Dalam upaya mengatasi permasalahan relevansi pendidikan, pada sekitar
tahun 1990-an ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dipegang oleh Wardiman Joyohadikusumo, pernah melakukan terobosan kebijakan yang dikenal dengan
program “link and match”. Namun karena program tersebut dilakukan lebih bersifat “
borrowing
” yakni meminjam atau mengadopsi secara instan program dari negara lain terutama Jerman untuk diterapkan di Indonesia, akibatnya kebijakan terobosan
tersebut lebih banyak kegagalannya daripada keberhasilannya. Sebenarnya masalah relevansi merupakan masalah krusial, karena disatu sisi
pendidikan di Indonesia ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, agar secara kualitas pada akhirnya dapat sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia,
namun disisi lain tuntutan dunia kerja yang menghajatkan bangsa tenaga yang siap pakai tidak dapat dikesampingkan. Bagi masyarakat yang cara berfikirnya pragmatis
tentu sangat membutuhkan lembaga pendidikan yang mencetak tenaga siap pakai tersebut.
Dalam persoalan lain kadang-kadang relevansi juga jadi masalah, terutama bila dikaitkan dengan kualitas. Persoalan relevansi akan terkesampingkan bila ada
faktor lain yang cukup dominan, misalnya ketidakseimbangan antara jumlah lulusan dengan kesempatan kerja yang tersedia, umpama perguruan tinggi A setiap
meluluskan 1000 orang pertahun. Tapi kesempatan kerja yang tersedia hanya 50 orang, berarti 950 orang tidak tertampung . pertanyaanya adalah apakah yang 950
orang tersebut tidak berkualitas? Dan itu akan diperparah lagi, apabila yang terserap 50 orang tersebut dilakukan dilakukan secara tidak benar, misalnepotisme, adanya
suap,
koncoisme,
dan lain-lain, akan semakin mengorbankan arti kualitas.
85
85
Hasbullah, Kebijakan Pendidikan Dalam Perspektif Teori, Aplikas, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia
Jakarta: Raja Wali Pers, 2015, hlm.14-26.
BAB IV ANALISIS EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM DAN BARAT SERTA
IMPLIKASINYA PADA MADRASAH DI INDONESIA A.
Analisis Epistemologi Pendidikan Islam dan Barat
Sebagaimana diuraikan pada Bab sebelumnya bahwa pendidikan Islam secara epistemologi menyatukan antara jasmani dan rohani sebagai sebuah proses
pembinaan dan bimbingan yang dijalankan berdasarkan al- Qur‟an dan al-Hadist
untuk mengembangkan potensi yang ada pada peserta didik menjadi manusia yang sempurna yaitu manusia yang dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Hal inilah yang di uraikan oleh para tokoh diantaranya: Ahmad D. Marimba menyatakan pendidikan Islam adalah adalah bimbingan
jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
86
Muhammad SA Ibrahim Bangladesh mengemukakan pengertian pendidikan Islam sebagai berikut.
“Islamic education in true sense of the term, is a system of education which
enables a man to lead his life according to the Islamic ideology, so that he may easily mould his life in accordance with tenetn of Islam. Arifin, 1991,
34” Pendidikan dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan
yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai
86
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam Bandung: Al- Ma‟arif , 1980,
hlm.23.