Ungkapan Sufistik Rabiah Al-Adawiyah Serta Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam

(1)

TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh: AHSAN NAULI NIM: 109011000123

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

iii

Ahsan Nauli (NIM: 109011000123). Sufi Rabiah al-Adawiyah Expression and Its Impication Of Islamic Education

This study aims to determine the Influence phrase or poem is spoken by Rabbinic on the level of education, especially Islam.

In this research there are two variables studied were Influence of Sufi expression Rabiah as the independent variable (X) and the Implications of Poetry towards Islamic education. as the dependent variable (Y). This is a qualitative research. Engineering data was collected through literature review.

The results of this study indicate that in the process of education, poetry has a profound influence on the formation of moral, ethical. Through poetry, guided the students in order to have a gentle nature, respect for others, and to understand the minds of those in previous days.

Thus the results of this study concluded that there are positive influence between the expression of Sufi Rabiah al-Adawiyah against Islamic education Keywords: Rabiah al-Sufi expression Adawiyah and Islamic Education.


(6)

iv

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW tercinta beserta keluarga dan sahabatnya.

Skripsi yang berjudul ‖ Ungkapan Sufistik Rabiah al-Adawiyah Serta Implikasinya Terhadap Pendidikan Agama Islam‖ ini merupakan salah satu syarat mencapai gelar sarjana pada jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun berkat kerja keras, doa dan kesungguhan hati serta dukungan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. DR. Ahmad Thib Raya, MA Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua jurusan Pendidikan Agama Islam, Marhamah Saleh Lc. Ma. Sekretaris jurusan Pendidikan Agama Islam, beserta segenap dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah beliau berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

3. DR. Sururin. M.Ag, Pembimbing skripsi yang penuh keikhlasan dalam membagi waktu, tenaga dan pikiran beliau dalam upaya memberikan bimbingan, petunjuk, serta mengarahkan penulis dalam proses mengerjakan skrpsi ini dengan sebaik-baiknya.

4. K.H. Abdul Madjied Ma’ruf, yang tidak pernah bosan mendidik dan membimbing penulis


(7)

v penulis agar cepat menyelesaikan studi.

7. Orang tua, yang selalu penulis banggakan Bapak Muhammad Ali. B.A dan Ibu Sumiyati yang telah memberikan dukungan secara moril dan materil. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan cinta yang mereka berikan kepada penulis.

8. Gawang Kristiana, sahabat yang rela meminjamkan dan mengirimkan buku dari Solo untuk dijadikan referensi dalam penulisan skripsi ini. Semoga amal baiknya mendapat balasan yang lebih baik lagi.

9. Keluarga Besar KMM RIAK, khususnya Sa’du Fristyan, S.Kom.I yang sering menyuntikan dana untuk kelancaran penulisan skripsi ini.

10.Sahabat-sahabat seperjuangan jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2009, kelas C.

11.Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan serta perhatian yang luar biasa.

Tiada daya dan kekuatan melainkan milik Allah semata, segala kekurangan dan kesalahan yang telah penulis buat dalam penyelesaian skripsi ini, mohon di maafkan. Semoga ini semua dapat bermanfaat hingga kedepannya.

Jakarta, 5 Maret 2015

Penulis AHSAN NAULI


(8)

vi

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 12

C. Pembatasan Masalah ... 13

D. Perumusan Masalah ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Manfaat Penelitian ... 14

BAB II KAJIAN TEORI ... 15

A. Kebudayaan ... 15

B. Kesenian ... 18

C.Sastra Keagamaan (Ungkapan Sufistik)... 23

D.Pendidikan Islam... 28

E. Dasar-dasar Pendidikan Islam ... 31

1. Al-quran ... 31

2. Hadits ... 32

3. Sikap dan Perbuatan Para Sahabat ... 33

4. Ijtihad... 32

F. Unsur-unsur Pendidikan... 33

1. Pendidik... 33


(9)

vii

1. Biografi dan Pemikiran Rabiah al-Adawiyah... 45

2. Rabiah: Pergulatan Spiritual Perempuan... 46

3. Kitab Rabiah Adawiyah: ImamahAsyiqin wa al-Mahzunin... 46

BAB III BIOGRAFI ... 47

A. Biografi Rabiah al-Adawiyah ... 47

1. Latar Belakang Keluarga... 47

2. Kelahiran dan Masa Kanak-kanak... 47

3. Masa Remaja Hingga Dewasa... 50

4. Menjadi Budak... 53

5. Pilihan Untuk Tidak Menikah... 56

6. Detik-detik Menjelang Wafat... 59

B. Mahabbah Rabiah al-Adawiyah ... 61

BAB IV IMPLIKASI ... 66

A. Hakikat Cinta ... 66

B. Doktrin Mahabbah (Memahami ungkapan/syair Rabiah dan pengaruh cinta terhadap Pendidikan Islam... 68

1. Memahami Ungkapan/syair Rabiah ... 72

2. Pengaruh Sastra Cinta Terhadap Pendidikan Islam... 75

C. Cinta Palsu; Mewaspadai Bisikan Hawa Nafsu... 78

1. Cinta Palsu ... 78

2. Mewaspadai Bisikan Nafsu ….... ... … 79

D. Cinta Yang Menginspirasi; Membangun Cinta Sejati... 81

1. Cinta Yang Menginspirasi ... 81

2. Membangun Cinta Sejati ... 82


(10)

viii DAFTAR PUSTAKA


(11)

ix

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Uji Referensi


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Cinta, sebagaimana telah diketahui, merupakan bagian penting dalam perasaan manusia. yaitu muamalah hati yang dirasakan oleh seseorang karena cendrung dan tertarik kepada yang dicintainya itu. Adalah cinta, anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Cinta dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan seseorang baik itu bersifat positif ataupun negatif. Cinta pada sesuatu menjadikan seseorang selalu mengikuti dan ingat padanya, hatinya menjadi tak terpisahkan dan selalu bergantung mengingatnya. Ia senantiasa selalu menyebut apa yang dicintainya, seperti contoh, apabila seseorang mencintai, pasti seseorang itu akan selalu menyebut nama yang dicintainya, terlebih lagi apabila cinta terhadap Tuhan, pasti seseorang akan selalu menyebut namanya dan ingin sekali bertemu dengannya.

Kata cinta, selain mengandung unsur perasaan aktif, juga menyatakan tindakan yang aktif. Pengertiannya sama dengan kasih sayang, sehingga kalau seseorang mencintai orang lain, artinya orang tersebut berperasaan suka terhadap orang lain tersebut. Cinta memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab cinta merupakan landasan dalam kehidupan perkawinan, pembentukan keluarga, pemeliharaan anak, hubungan dalam masyarakat, dan hubungan manusiawi yang akrab. Demikian pula cinta adalah pengikat yang kokoh antara manusia dengan Tuhannya sehingga manusia menyembah Tuhan dengan ikhlas, mengikuti perintah-Nya, dan berpegang teguh pada syariatnya.1

Dalam bahasa Indonesia kata cinta dapat berarti; suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, atau susah (khawatir). Sedangkan secara psikologis, cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila muncul dalam pikiran dan dapat

1


(13)

membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi dimana objek itu terletak atau berada.2

Adalah cinta, keindahan yang tercipta dengan segala sesuatu yang membuat hati bergelora, senang, bahagia, serta di penuhi dengan kenikmatan yang tiada tara. Cinta adalah kata yang paling abstrak karna ia tidak terlihat secara kasat mata, juga tidak hadir dalam kata-kata, melainkan akan muncul dari sumbernya yang jernih dalam jiwa dan menjelma menjadi cahaya.

Dalam kehidupan manusia, cinta menampakan diri dalam berbagai bentuk, mulai dari seseorang yang mencintai dirinya, istrinya, anaknya, hartanya, sahabatnya, serta Tuhannya. Bentuk-bentuk cinta ini melekat pada diri manusia dan frekuensi serta potensinya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang mempengaruhinya. Apabila cinta telah tumbuh dalam diri seseorang, berarti orang itu mengandung hikmat yang menuntun dirinya kepada kebenaran, kebajikan dan pengorbanan.3

Cinta sebagai satu-satunya dasar hidup manusia sejak lama dan berabad-abad telah menjadi fokus perhatian manusia. dalam berbagai aspek kehidupan seperti nyanyian dan seterusnya, cinta selalu dijadikan segala-galanya, meskipun dalam praktek sering kali perbuatannya jauh dan bertolak belakang dengan simbol-simbol cinta itu sendiri.

Setiap agama pasti memberikan ajaran cinta kepada manusia atau umatnya. Sebagai contoh, seorang Nabi yang bernama Ibrahim suatu ketika mendapat kritik cinta dari Tuhannya; pada saat itu Ibrahim mendambakan seorang anak dan ketika ia telah meperoleh seorang anak ia sangat mencintai anaknya (Ismail) tersebut, sehingga sedikit demi sedikit menggeser cintanya kepada Tuhan. Lalu ibrahim pun diuji oleh Tuhan, yang pada akhirnya itu ia diperintahkan untuk mengorbankan atau menyembelih anaknya. Dalam keadaan yang seperti itu, ibrahim mengalami gejolak yang sangat berat, dia harus memilih antara mengikuti perintah Tuhan atau melanggarnya demi seorang anak yang ia cintai.

Dari peristiwa di atas dapat diambil pelajaran bahwa cinta itu harus proporsional dan adil, jangan sampai cinta membuat lupa diri sehingga melupakan kewajiban yang harusnya dijalankan akan tetapi malah diabaikan.

Dalam al-Quran, cinta dibagi menjadi berbagai bentuk, diantaranya:

2

James Drever, Kamus Psikologi, terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psyhology,

(Jakarta: Bina Aksara, 1988), hal. 263 3


(14)

bermanfaat dan berguna bagi dirinya sendiri dan menghindari dari segala sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri.

                   

―Manusia tidak jemu-jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa

malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapannya‖ (Q : 41 : 49). Manusia

mencintai dirinya agar terus-menerus dikaruniai kebaikan, tetapi apabila ditimpa bencana maka ia menjadi putus harapan.

2. Cinta kepada sesama manusia, Allah memerintahkan kepada manusia untuk saling mencintai diantara sesamanya.

                 

―Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara

kedua saudaramu dan kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat‖ (Q :49 : 10).

Selanjutnya di dalam al-Quran juga terdapat pujian bagi kaum Anshar karena cintanya kepada kaum Muhajirin.

                                                      

―Orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedaatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); mereka mengutamakan orang muhajirin atas diri mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang yang beruntung (Q


(15)

: 59 : 9). Ciri-ciri cinta diantara sesama manusia menurut Islam adalah mereka yang mencinta lebih mencintai (mengutamakan) orang lain dibanding dengan dirinya sendiri.

3. Cinta seksual, cinta erat kaitannya dengan seksual. Hal ini dilukiskan dalam al-Quran sebagai berikut:

                                   

―Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi yang berfikir‖ (Q : 30 : 21).

Dan didalam ayat lain Allah menjelaskan;

          

―Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang

diinginkan, berupa wanita-wanita‖ (Q : 3 : 14). Cinta seksual merupakan bagian dari kebutuhan manusia yang dapat melestarikan kasih sayang , keserasian,, dan kerja sama antara suami dan istri.

4. Cinta kepada Allah, ini merupakan puncak cinta yang paling tinggi, dan didambakan oleh setiap manusia dalam kehidupannya. Cinta ini suci, tanpa ada embel-embelnya, tulus dari dasar hati yang paling dalam. Cinta yang ikhlas seorang manusia kepada Allah akan menjadikannya tunduk, patuh, rihda atas setiap kehendak-Nya. Melalui cinta kepada Allah akan membuat seorang manusia tenang, sabar, dan menjadikan semua yang ada di alam ini sebagai menifestasi Allah sehingga membuat ia semakin mencinta karna tak ada sesuatu di dunia ini selain Allah. Allah berfirman;

                        


(16)

31).

5. Cinta kepada Rasul, merupakan tingkatan cinta yang kedua setelah cinta kepada Allah. Hal ini disebabkan karena Rasul (Muhammad) merupakan suri tauladan yang sangat ideal bagi umat manusia semua, baik dalam tingkah laku, tutur kata, moral, perbuatan dan lain-lainnya.

6. Cinta kepada kedua orang tua, merupakan suatu kewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap manusia, orang tua merupakan pembuka jalan bagi anak, ia mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seorang anak kedepannya. Orang tua juga merupakkan sebuah kunci bagi seorang anak untuk mendapatkan ridha dari Allah, karena ridha Allah tergantung kepada ridha kedua orang tua. Mengenai cinta kepada kedua orang tua telah difirmankan oleh Allah yang berbunyi;

                                                          

―Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapak dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan „ah’, dan jangan pula kamu membentak mereka, dan ucapkanlah perkataan yang mulia. Rendahkanlah dirimu dihadapan mereka berdua dengan penuh kesayangan, dan ucapkanlah: wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil. (Q : 17 : 23-24).4

4


(17)

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa cinta dalam pandangan Islam itu bersifat dinamis, aktif, yang berakar dalam kesanggupan untuk memberikan cinta dan menghendaki perkembangan dan kebahagiaan. Selain itu konsep cinta dalam islam bersifat menyeluruh dan eksistensial.

Dalam pembahasan tasawuf, cinta itu disebut sebagai mahabbah. Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu,, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, atau cinta yang mendalam.5

Al Mahabbah dapat pula berarti kecendrungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cinta seorang yang kasmaran pada sesuatu yang sedang dicintainya, cinta seorang tua kepada anaknya, cinta sahabat kepada sahabatnya, cinta suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjanya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha yang sungguh-sungguh dari seorang untuk mencintai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak. Yaitu cinta kepada Tuhan.6

Selain itu Mahabbah dapat pula berarti kecendrungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh sesuatu kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya orang yang kasmaran terhadap sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya.

Konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam al-Quran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta.

Menurut Harun Nasution, mahabbah adalah cinta, dan yang dimaksud cinta disini adalah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai berikut :

1. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap kepada-Nya. 2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihinya.

5

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Hindakarya, 1990, hal 95 6


(18)

sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, mahabbah itu ada tiga macam tingkatan, yaitu: 1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Allah dengan berzikir, suka menyebut nama Allah

dan memperoleh kesenangan dengan berdialog dengan Allah, senantia memuji-Nya. 2. Cinta orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya,

kekuasaan-Nya, dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog tersebut. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dari sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.

3. Cinta orang yang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu atau mengenali betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang dicintai. 8

Berbeda dengan Harun Nasution, Alfarabi membagi cinta itu kedalam tiga tingkatan, yaitu;

1. Cinta Alami, yaitu cintanya orang-orang awam. Tujuannya adalah penyatuan didalam ruh jasmani. Ia berakhir didalam tindakan penyatuan fisik, dimana hasrat cinta menyebar melalui seluruh tubuh. Ia mencintai sesuatu karena sifat khsusnya, yakni ingin bersama, ingin berdekatan, ingin ini, ingin itu. Karakteristik cinta alamiah adalah bahwa pecinta hanya mencintai yang dicintainya demi kesenangan dan mencari kebahagiaan [dalam diri kekasih]. Jadi pecinta mencintai hanya demi dirinya sendiri, bukan untuk sang kekasih.

2. Cinta Spiritual, adalah cinta yang menyatukan untuk para pencinta, karena dia mencintai kekasih demi sang kekasih itu sendiri. Cinta spiritual adalah ketika sang pecinta dikarakteristikan dengan akal dan pengetahuan. Melalui akal ini dia menjadi

7

Harun Nasution, Falsafat Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), cet. I, hal 70. 8


(19)

bijaksana dan melalui kebijaksanaanya dia menjadi seorang yang alim. Ketika dia mencintai, dia tahu apa itu cinta, dia juga tahu apa itu makan dari pecinta dan realitas dari yang dicintainya; dia mengetahui apa yang diinginkannya dari sang kekasih dan apa yang diinginkan kekasihnya. Cinta ini bertujuan untuk menjadi seperti Kekasih. Memenuhi perintah Kekasih, dan mengetahui keputusan-Nya. Ini mengimplikasikan sebuah pengetahuan tentang Kekasih, apa sifat-sifat-Nya yang tepat atau tidak layak, dan tentang apa yang diinginkan dan apa yang tidak diinginkan oleh Sang Kekasih. 3. Cinta Ilahi, terkandung didalam Diri-Nya yang mencintai kita demi diri kita dan demi

Diri-Nya sendiri. Dia menciptakan kita hanya untuk Diri-Nya sendiri, agar kita mengenalnya. Sedangkan cinta-Nya kepada kita demi diri kita, yakni karena kita bisa mengenal-Nya dari amal yang membawa kita kepada kebahagiaan sejati kita dan menjauhkan kita dari segala hal yang tidak konsisten dengan tujuan kita atau tidak selaras disposisi alamiah kita. Dia menciptakan mahluk agar ia dapat mengagungkan-Nya.9

Sufi yang termasyhur dalam mahabbah adalah Rabiah al-Adawiyah (713-801) dari Basrah, Irak. Menurut riwayatnya ia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadah, bertobat, dan menjauhi kehidupan duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat Tuhan.

Pada akhirnya Tuhan baginya merupakan zat yang dicintai dan meluaplah dari hatinya rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Salah satu ungkapan atau syair yang ia lantunkan kepada Tuhan adalah sebagai berikut :―Aku mengabdi kepada Tuhan bukan kerena takut kepada neraka, bukan pula karena ingin masuk surga. Tetapi aku mengabdi karena cintaku

pada-Nya.‖10

Melalui ungkapan atau syair semacam itu, bagi seorang pendidik seharusnya dapat menggunakan suatu metode yang memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang

9

Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman Ke Kesatuan Wujud: Ajaran dan Kehidupan Syaikh Al-Akbar Ibn Arabi, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), hal. 255-262

10


(20)

yang sejati itu harus ditanamkan dalam jiwa-jiwa peserta didik agar mereka tidak salah dalam memahami cinta.

Salah satu asas metode pendidikan Islam adalah asas keteladanan, yaitu memberikan contoh terbaik untuk ditiru dan diteladani.11 Agama Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan baik kehidupan yang sifatnya duniawi maupun yang sifatnya ukhrawi. Salah satu ajaran Islam adalah mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan pendidikan, karena dengan pendidikan manusia dapat memperoleh bekal kehidupan yang baik dan terarah.

Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik kepada peserta didik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si peserta didik menuju kepribadian yang lebih baik, yang pada hakikatnya mengarah pada pembentukan manusia yang ideal. Manusia ideal adalah manusia yang sempurna akhlaqnya. Yang nampak dan sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad saw, yaitu menyempurnakan akhlaq yang mulia.

Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar.12

Sebagai aktifitas yang continue dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas yang dijadikan landasan kerja. Dalam konteks ini, asas yang menjadi acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan. Oleh sebab itu, asas yang terpenting dalam proses pendidikan Islam adalah mengacu pada

al-Qur’an dan Hadits.

Menetapkan al-Qur’an dan hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan pada keimanan semata. Namun justru karena

11

Al-Rasyidin, Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, Tanggerang : Ciputat Press, 2005, hal 70 12


(21)

kebenaran yang terdapat dalam kedua dasar tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam sejarah atau pengalaman kemanusiaan.13

Dalam pendidikan Islam, sunnah rasul mempunyai dua fungsi, yaitu : (1) menjelaskan system pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Quran dan menjelaskan hal-hal yang terdapat di dalamnya, (2) menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan rasul bersama sahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukannya.14

Secara praktis, Muhammad Athiyah al-Abrasyi menyimpulkann bahwa tujuan Pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu: (1) Membentuk akhlak yang mulia (2) Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat (3) Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya (4) Menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan peserta didik (5) Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.15

Selanjutnya, dalam pelaksanaan pendidikan Islam membutuhkan metode yang tepat untuk menghantarkan kegiatan pendidikan menuju arah tujuan yang di cita-citakan. Tak dapat dipungkiri, bagaimanapun baik dan sempurnanya kurikulum yang buat, ia tidak akan berarti apa-apa manakala ia tidak mempunyai metode atau cara yang tepat dalam mentrasformasikannya kepada peserta didik.

Metode merupakan suatu prosedur yang dipergunakan pendidik dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan untuk mencapai suatu tujuan yang telah di tetapkan. Selain itu metode juga dapat berarti teknik atau cara yang di pergunakan pendidik dalam merumuskan suatu aturan-aturan tertentu dalam sebuah prosedur.16

Salah satu metode yang dapat dipergunakan oleh seorang pendidik dalam mentransformasikan ilmu kepada peserta didik adalah dengan cara menginternalisasikan sebuah syair atau sastra. Bahasa yang indah (syair) bisa membuat peserta didik lebih mengapresiasi dan tertarik akan suatu pelajaran, terlebih lagi pelajaran agama islam yang notabennya mengajarkan akan kehalusan dan kelembutan tutur bahasa serta prilaku manusia terhadap tuhan, alam, sesama manusia, dan binatang sekalipun.

13

Al-Rasyidin, Rizal, op. cit,. hal 34 14

Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung : CV.Diponogoro, 1992, hal 47

15

Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1984. Hal 1-4

16


(22)

itu kata-kata sangat mempengaruhi prilaku dan tindakan seseorang dalam kehidupannya. Jika seorang anak didik dibiasakan dengan kata-kata yang lembut, halus, dan sopan, otomatis mereka menjadi anak yang baik dalam kehidupannya baik dalam tingkatan keluarga, teman, maupun masyarakat.

Melalui sastra, seorang pendidik bisa mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika. Selain itu juga dapat mengembangkan kecakapan hidup, belajar sepanjang hayat, serta pendidikan keseluruhan dan kemitraan.17 Melanie Budianta dalam bukunya yang berjudul Membaca Sastra mengemukakan istilah dulce et utile, yaitu.sastra mempunyai fungsi ganda, pertama, yakni menghibur dengan cara keindahan, memberi makna tentang kehidupan, kematian, kesengsaraan, serta kegembiraan. Kedua, sastra mempunyai fungsi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, serta tentang apa yang baik dan buruk.18

Syair atau sastra juga dapat memperhalus jiwa dan memberikan motivasi kepada peserta didik untuk berpikir dan berbuat demi pengembangan dirinya serta mendorong munculnya kepedulian, keterbukaan, dan partisipasi terhadap sekitarnya. Syair juga mendorong orang untuk menerapkan moral yang baik dan luhur dalam kehidupan dan menyadarkan manusia akan tugas dan kewajibannya sebagai makhluk Tuhan, makhluk sosial dan memiliki kepribadian yang luhur. Selain melestarikan nilai-nilai peradaban bangsa juga mendorong penciptaan masyarakat modern yang beradab (masyarakat madani) dan memanusiakan manusia dan dapat memperkenalkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, melatih kecerdasan emosional, dan mempertajam penalaran seseorang. Syair tidak hanya melembutkan hati tapi juga menumbuhkan rasa cinta kasih kita kepada sesama dan kepada sang pencipta. Dengan syair manusia dapat mengungkapkan perasaan terhadap sesuatu jauh lebih indah dan mempesona. Seperti ungkapan perasaan cinta Rabiah al Adawiyah, Maulana Jalaluddin Rumi, dll.

Sebuah perasaan dilukiskan kedalam syair (sastra), menjadi jauh beretika dan berestetika dalam menyampaikan sesuatu hal kepada orang lain. Perlu diketahui bahwa

17

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo, 2008. hal. 170 18


(23)

syair dalam dunia pendidikan mempunyai pengaruh yang besar bagi siswa, syair dapat meningkatkan kepekaan siswa terhadap fakta yang ada di dalam masyarakat, menghaluskan

perasaan siswa dan membentuk kepribadian serta budi pekerti luhur. ―Siapa yang belajar

sastra (syair), maka akan halus hatinya (pekertinya)‖.

Selain itu, syair bisa dijadikan pijakan untuk mengkaji kehidupan, Di dalamnya termuat nilai-nilai akhlak, moral, filsafat, budaya, politik, sosial dan pendidikan. ―sastra (syair) juga berguna dalam meningkatkan kepekaan rasa dan memberikan hiburan. Bukan hanya bagi dunia pendidikan namun masyarakat secara umum keberadaan sastra tidak kalah pentingnya. Dalam dunia pendidikan, sastra atau syair mempunyai manfaat yang mencakup 4 hal, yaitu :

1. Membantu keterampilan berbahasa, (menyimak, wicara, membaca, dan menulis). Mengikutsertakan sastra atau syair dalam proses pendidikan berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit keterampilan menyimak, wicara, dan menulis yang masing-masing erat hubungannya.

2. Menigkatkan pengetahuan budaya, setiap system pendidikan seharusnya menanamkan wawasan tentang pemahaman budaya bagi setiap pserta didik karna pemahaman budaya dapat menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri dan rasa memiliki. Melalui pemahaman budaya para siswa dapat berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir-pemikir besar di dunia serta pemikir-pemikiran-pemikir-pemikiran utama dari zaman ke zaman.

3. Mengembangkan cipta dan rasa, melalui sastra peserta didik dapat mengembangkan kecakapan yang bersifat indra, penalaran, social dan religious.

4. Menunjang pembentukan watak, dalam proses pendidikan yang mengikutsertakan sastra dapat membuat persaan lebih tajam. Sastra dapat mengantarkan seseorang mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti kebahagiaan, kesedihan, kebencian, kematian dll. Seseorang yang biasa mendalami karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tidak bernilai.19

19


(24)

tujuan yang ingin dicapai dalam proses pendidikan atau belajar mengajar bisa tercapai.

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan yang telah penulis sebutkan pada bagian pertama, maka penulis

1. Memberikan informasi bagaimana pemikiran Rabiah al Adawiyah tentang cinta.yang diungkapkan melalui syairnya.

2. Pemahaman peserta didik tentang Mahabbah (cinta). 3. Implikasi ungkapan Rabiah terhadap Pendidikan Islam.

4. Masih jarang penggunaan sastra dalam proses Pendidikan Islam.

5. Masih jarang penggunaan cinta (kasih sayang) sebagai dasar untuk berkomunikasi dan bersosialisasi.

C. Pembatasan Masalah

Dari sekian masalah yang penulis kemukakan dalam identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalah skripsi yang berjudul Ungkapan Sufistik Rabiah al-Adawiyah Serta Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam pada :

1. Manfaat penggunaan sastra dalam Pendidikan Islam.

2. Hubungan antara kebudayaan, kesenian (syair) dalam kehidupan Islam, serta 3. Implikasi ungkapan Rabiah terhadap Pendidikan Islam

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah yang menjadi pokok pembahasan ini yaitu:

1. Bagaimana pengaruh sastra terhadap Pendidikan Islam?

2. Bagaimana implikasi syair Rabiah terhadap Pendidikan Islam?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk memberikan gambaran kepada para pendidik tentang pengaruh atau manfaat sastra dalam proses pendidikan Islam.


(25)

2. Untuk mengetahui nilai-nilai spiritual yang terdapat dalam syair-syair Rabiah al-Adawiyah.

3. Untuk mengetahui pengaruh ungkapan sufistik Rabiah al-Adawiyah dalam Pendidikan Islam.

F. Kegunaan Penelitian. a. Praktis

1. Bagi peserta didik adalah menambah kecintaan terhadap Tuhan, manusia, hewan, dan alam.

2. Bagi peserta didik adalah menambah wawasan tentang cinta yang sejatinya

3. Bagi peserta didik adalah dapat menjadikan Rabiah sebagai salah satu tauladan yang patut untuk diikuti dalam memahami hakikat cinta.

4. Bagi pendidik adalah menambah kreatifitas dalam menyampaikan suatu materi dengan menggunakan syair.

5. Bagi pendidik adalah dengan menjadikan cinta sebagai dasar dalam berkomunikasi dengan peserta didik.

b. Teoritis

1. Sebagai contoh model Pendidikan Islam yang menginternalisasikan syair dalam proses pendidikan.


(26)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kebudayaan

Kebudayaan, merupakan sepatah kata yang memiliki arti sangat luas. Ia meliputi ilmu pengetahuan, filsafat, kesenian, adat istiadat, agama dan sebagainya. Akan tetapi ada yang mengatakan bahwa Agama tidak termasuk dalam kebudayaan. Agama adalah ciptaan Tuhan sedangkan kebudayaan adalah ciptaan manusia.1

Kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan-perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyusun pencapaiaannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk didalamnya perwujudan benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi, cita-cita, paham, dan terutama keterikatan pada nilai-nilai. Atau secara umum dapat diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan baik.2

Dalam kajian antropologi, kebudayaan mempunyai arti sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.3 Hal tersebut

berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah ―kebudayaan‖ karena

hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tak perlu dibiasakannya dengan belajar, yaitu hanya naluri beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila ia sedang membabi buta. Bahkan tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluriahnya bisa menjadi tindakan kebudayaan.

1

Ali, Audah, Dari Khazanah Dunia Islam ,(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999), hal. 34 2

Bakker, Filsafat Kebudayaan: Sebuah pengantar, (Jakarta—Yogyakarta : Kansius dan BPK Gunung Mulia, 1984), hal. 15

3

Koentajaningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1990), cet 8, hal.


(27)

Menurut Koentajaningrat (1980), kata ―kebudayaan‖ berasal dari kata Sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Sedangkan kata budaya merupakan perkembangan majemuk dari

―budi dan daya‖ yang berarti ―daya dari budi‖ yang berupa cipta, karsa dan rasa.4 Menurut dimensi wujudnya, kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu: 1. Kompleks gagasan, konsep, dan pikiran manusia: wujud ini disebut

sistem budaya, sifatnya abstrak, tidak dapat dilihat, dan berpusat pada kepala-kepala manusia yang menganutnya.

2. Kompleks aktivitas, berupa aktifitas manusia yang saling berinteraksi, bersifat kongkrit, dapat diamati dan diobservasi. Wujud ini sering disebut sistem sosial. Sistem ini tidak dapat melepaskan diri dari sistem budaya. Apapun bentuknya, pola-pola aktifitas tersebut ditentukan oleh gagasan, pikiran dan konsep-konsep baru serta tidak mustahil dapat diterima dan mendapat tempat dalam sistem budaya dari manusia yang berinteraksi tersebut.

3. Wujud sebagai benda, aktifitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Aktifitas itu menghasilakan suatu benda untuk keperluan hidup manusia. Hasil dari cipta karya tersebut masuk kedalam kebudyaan yang bersifat fisik,, mulai dari benda yang diam sampai yang bergerak.5

Selanjutnya ada yang mengartikan kebudayaan sebagai cara berfikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial masyarakat dalam suatu ruang dan waktu. Kebudayaan terbagi menjadi 7 bagian yaitu : (1) sosial atau pergaulan manusia, (2) ekonomi, hubungan manusia dengan materi, (3) politik, hubungan manusia dengan kekuasaan untuk mengatur sosial dan ekonomi, (4) pengetahuan, hubungan manusia dengan kebenaran dan hubungan manuisa dengan teknik

4

Koentajaningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Aksara Baru, 1980), hal. 193 5

M. Munandar, Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar, (Bandung : Pt Eresco, 1993), hal. 13


(28)

bekerja, (5) seni, hubungan manusia dengan bentuk-bentuk kesenangan, (6) filsafat, hubungan manusia dengan hakikat kebenaran dan nilai, (7) agama, hubungan manusia dengan yang kudus atau bersifat ghaib.6

Dalam Islam, kebudayaan diartikan sebagai cara berfikir dan merasa takwa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial.7

Takwa adalah sikap hidup atau pandangan yang dibentuk oleh akidah, ibadat dan ajaran Quran dan Hadits. Jadi sikap itu dibentuk oleh agama. Intisari taqwa adalah menjaga hubungan dengan Allah. Ibadat adalah melakukan hubungan dengan Dia. Apabila ibadah itu dijalankan dengan ihsan maka tumbuhlah keikhlasan dalam ibadat. Niat ibadah meningkat, jikalau mula-mula beribadah hanya untuk mendapat pahala atau masuk surga, maka sekarang semata-mata karena Allah. Ikhlas dalam beribadah itulah yang membentuk takwa, tiap laku dan perbuatan dikerjakan kerena menaati Allah, menjalankan dan menjauhkan larangannya dalam kehidupan, maka terjagalah hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan taqwa yang dituntut oleh Tuhan dari hambanya bukanlah untuk kepentingan Tuhan sendiri. Apakah manusia itu takwa atau tidak, yang akan rugi adalah hambanya. Tanpa mengerjakan suruhan Tuhan tidak akan terwujud salam dalam kehidupan. Dengan demikian takwa itu adalah kerena Allah, tapi bukan untuk-Nya, melainkan untuk hambanya sendiri. Nilai itulah yang terkandung oleh tiap laku perbuatan yang dikerjakan dengan takwa.

Cara berfikir dan cara merasa takwa membentuk konsep dan melahirkan tindakan yang takluk kepada suruhan dan larangan Tuhan, sehingga kehidupan dunia yang dijalankan menempuh jalan syariat.

Tiap perbuatan dan tindakan yang dilakukan berpangkal dari fikiran dan perasaan. Pemikiran memutuskan suatu perkara, perasaan menimbulkan kemauan untuk melaksanakan putusan tersebut. Pemikiran dan perasaan dalam kebudayaan Islam tidak diasaskan pada pengetahuan khalifah yang nisbi, akan tetapi pada

6

Gazalba. Sidi, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,1978), hal. 166-167 7

Gazalba, sidi, Islam dan Kesenian: Relevansi Islam dengan Seni-Budaya Karya Manusia,


(29)

pengetahuan Rabb yang mutlak. Pengetahuan Rabb itu dihimpun dalam kitab al-Quran dan dilanjutkan kepada Hadits. Takwa adalah menjaga hubungan dengan Tuhan. Supaya hubungan itu terjaga maka Khalilfah dalam berfikir haruslah menaati Rabb-nya dan dalam beramal haruslah mengikuti Rasulullah. Jadi cara berfikir yang membentuk kebudayaan Islam itu merujuk secara langsung kepada al-Quran dan Hadis. Dalam Islam cara berfikir ini biasa disebut dengan istilah Ijtihad.

Kebudayaan Islam menurut Ismail Raji al-Faruqi dalam kenyataannya

adalah ―budaya qurani‖; karena baik definisi, struktur, tujuan, maupun metode untuk mencapai tujuan tersebut secara keseluruhan diambilkan dari rangkaiaan wahyu yang telah diturunkan Tuhan kepada Nabi Muhammad. Dari al-Quran, orang Islam tidak hanya mengambil pengetahuan mengenai realitas ultima. Secara mendasar, prinsip-prinsip yang diambilkan dari al-Quran juga mencangkup tentang alam, manusia dan mahluk hidup lainnya, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, kesenian, dan yang berkaitan tentang proses kehidupan itu sendiri. Melalui al-Quran prinsip-prinsip dasar sudah disediakan bagi pembentukan sebuah kebudayaan yang lengkap. Tanpa al-Quran, kebudayaan Islam tidak akan pernah muncul; tidak ada negara, filsafat, hukum, masyarakat, kesenian, bahkan agama.8

B. Seni (Kesenian)

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam kebudayaan itu mencakup akan hal yang berhubungan dengan seni yang merupakan hubungan manusia dengan bentuk-bentuk kesenangan.

Kebudayaan adalah ciptaan manusia, maka seni adalah karya manusia pula. Lain hal jika seni dianggap atau diartikan sebagai penciptaan bentuk-bentuk yang menyenangkan, tak diragukan lagi, adalah keindahan dan kesempurnaan alam itu merupakan karya agung dari Yang Maha Seniman. Seniman manusia berusaha menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan, belum tentu usahanya akan berhasil, atau hasilnya akan diakui oleh orang lain. Tetapi Yang Maha Seniman

8

Ismail Raji Al-Faruqi, Seni Tauhid, Terj. dari Cultural Atlas of Islam oleh Hartono Hadikusumo, (Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), cet 1, hal.1-2


(30)

bukan berusaha, tapi dengan kejayaan yang pasti menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan.

Dan tidak ada manusia yang mengingkari keindahan dan kesempurnaan karya agung itu. Dan puncak karya Maha Seniman itu disebut oleh bahasa sansekerta sebagai surga, yang mengandung bentuk-bentuk keindahan, kesenangan, dan kesempurnaan yang agung yang belum pernah dipandang oleh seniman manusia dan belum pernah didengar oleh telinganya. Betapalah bentuk-bentuk yang menyengankan yang pernah diciptakan oleh seniman manusia tak akan pernah sebanding dengan surga. Kalau karya seniman manusia itu ibarat setitik embun, maka karya seniman Yang Maha Agung itu adalah samudra lepas yang tak bertepi.

Diantara masalah yang paling rumit dalam kehidupan Islami adalah yang berkaitan dengan hiburan dan seni. Karena kebanyakan manusia sudah terjebak pada kelalaian dan melampaui batas dalam berseni.

Islam menghendaki supaya ber-seni itu diniatkan karena Allah: karena Allah itu indah dan Dia menyukai keindahan. Dia adalah seniman yang mencipta karya seni, manusia Islam membawakan karya seni atau menikmatinya. Maka seni itu adalah karena Allah, tapi untuk manusia. selain itu Islam juga menghendaki supaya ber-seni itu dijalankan dengan akhlak islam, yang didalamnya terdapat baik dan buruk. Karya seni Islam dikendaki mengandung nilai baik, atau setengah baik, paling tidak netral; tidak dikehendaki nilai setengah buruk dan dilarang kandungan buruk, makruh apalagi sampai haram. Karya seni Islam mestilah bebas dari nilai yang tidak baik, sekalipun yang mencipta seni tiu beragama Islam akan tetapi apabila ia mencipta karya seni yang didalamnya terkandung unsur-unur yang tidak baik atau haram maka ia keluar dari kategori seni Islam. Tuhan menurunkan Islam adalah untuk kebaikan, bukan untuk kerusakan, maka karya seni yang diciptakan atau dibawakan atas nama Islam haruslah untuk kebaikan.

Kesenian dalam Islam mempunyai peran yang penting; pertama, sebagai warisan yang ditinggalkan dari masa lampau, dan kemampuannya untuk tetap mengembangkan diri di saat ini, seperti contoh proyek untuk memberikan kesaksian kebesaran dan kemegahan peradaban yang telah dibangun di kalangan


(31)

masyarakat muslim. Kedua, seni merupakan wahana sangat penting dalam pengembangan cara-cara masyarakat muslim menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya, seperti contoh seni tari yang digunakan para pengikut tarekat mavleviye di turki sebagai lambang kedambaan akan pendekatan total kepada Allah. Selanjutnya contoh lain dari penggunaan seni sebagai wahana peribadatan dalam Islam adalah seni membaca al-Quran yang begitu luas tersebar diseluruh dunia.9

Rasa seni adalah salah satu unsur rasa rohaniah. Rasa rohaniah itu terdiri atas enam unsur, yaitu: Rasa Agama, rasa estetika, rasa etika, rasa intelek, rasa sosial, dan rasa diri sendiri.10 Karena tiap manusia memiliki roh, maka ia memiliki pula rasa rohaniah. Rasa inilah yang menggerakan manusia mencipta kebudayaan. Hal ini tersimpul dalam definisi kebudayaan yang tertulis diatas; kebudayaan adalah cara merasa... dan seterusnya. Yang dimaksud dengan cara merasa adalah cara merasa ruhaniah, rasa ini juga dapat diterjemahkan dengan naluri, yakni kemauan yang tak sadar dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Naluri ini menggerakan budi (rasio) berfikir. Jalinan perasaan naluri yang dipancarkan hati dan fikiran yang dituturkan oleh budi membentuk kemauan, dan kemauan itu adalah awal laku perbuatan.

Kecendrungan manusia terhadap seni adalah tabiat asli manusia. Kesenian masuk kedalam manusia,oleh karena itu ia tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Seni dilahirkan oleh agama, dan etika tidak lain adalah merumuskan ajaran agama tentang baik dan buruk. Seni bukanlah hanya ekspresi emosi yang dalam, di dalamnya terdapat unsur sosial.

Dalam sejarah perkembangan kesenian semenjak zaman pra-sejarah sampai pada waktu yang akhir ini , maka kepercayaan atau „Agama‖ senantiasa merupakan sumber inspirasi yang sangat besar bagi seniman. Agama adalah pembangkit daya cipta yang luar biasa untuk mewujudkan segala sesuatu yang bernilai seni. Kesenian dari zaman pra-sejarah atau kesenian dari manusia yang

9

Ibid, hal. 160 10


(32)

bersifat primitif seperti seni tari, seni suara, dan seni rupa tidak terlepas dari unsur-unsur kepercayaan yang dianut oleh mereka.11

Pada dasarnya semua manusia adalah seniman, seperti pula manusia adalah mahluk sosial, politik, ekonomi, agamawan. Kesenian merupakan fitrah manusia. Berkesenian adalah proses mencipta, mencipta adalah mengadakan sesuatu yang tadinya belum ada. Bentuk itu bermacam-macam, bergantung kepada bahan-bahan yang digunakan untuk mengadakan bentuk. Ada bahan-bahan kata-kata, bunyi atau suara, irama, nada, gaya, gerak, garis-warna-bayang, ada bahan yang berupa, ada pula bahan yang hanya dinikmati oleh telinga, lidah, atau hidung.12

Dalam pengertian umum tiap manusia adalah seniman, akan tetapi dalam pengertian khusus penamaan seniman tidak diperuntukan kepada tiap orang, melainkan kepada orang-orang tertentu. Yang menghasilkan karya-karya yang dapat memberikan kesenangan, estetika kepada masyarakat dan tidak terbatas pada kesenangan pribadi si pencipta itu sendiri.

Seniman dalam pengertian umum masyarakat adalah orang yang amat peka rasa seninya, sehingga mudah tergetar, mengerakannya untuk mencipta karya, yang dimungkinkan oleh keahlian dan keterampilannya, memberikan bentuk kepada penghayatannya, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat.

Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari nilai-nilai keagamaan, betapapun kenyataan ini tidak diakui oleh sebagian kalangan. Masalah-masalah pribadi tentang pengaturan hubungan dengan sesama manusia, masalah penyesuaiaan antara cita dan kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan, serta hubungan manusia dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Kesemuanya itu menghasilkan dimensi keagamaan dalam kehidupan manusia, dimensi-dimensi keagamaan itu ditampakan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekspresi keharuan yang dirasakan manusia, yang pada umumnya berbentuk kegiatan-kegiatan seni dan sastra.13

11

C Israr, Sejarah Kesenian Islam, jilid 2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet 2, hal 216 12

Gazalba, Sidi. Pandangan Islam tentang Kesenian, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), cet 1,

hal. 25 13

Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Depok: Desantara,


(33)

Dari pengertian diatas sudah tampak betapa saratnya kaitan antara kegiatan kesenian, baik yang bersifat penciptaan maupun pegelaran, dengan kehidupan beragama. Cakupan kaitan itu tidak hanya terbatas pengaruhnya pada wilayah kehidupan yang tersentuh oleh keharuan belaka, melainkan jangkauannya menerobos hingga ke wilayah-wilayah kerohanian lain, seperti wilayah harapan dan impian, ketakutan dan keputusasaan, keyakinan dan keberanian, pelestarian ajaran, dan seterusnya.

Dalam sebuah kesenian (membuat karya), ungkapan yang keluar dari proses perenungan, pemikiran, refleksi dan pemahaman yang dalam akan sebuah masalah yang terjadi, serta rekonstruksi dari proyeksi kehidupan dari masa yang lampau hingga ke masa yang akan datang, baik itu yang bersifat tentang ketuhanan, sosial, dll dari mulut pencipta (seniman) dapat berarti sebagai sebuah sastra atau syair, yang umumnya diketahui bahwa syair merupakan sebuah sastra atau proses berkesenian (mencipta) yang tumbuh dalam sebuah kebudayaan.

Kesenian bukanlah benda mati, tetapi ia sesuatu yang hidup dan senafas dengan mekarnya rasa indah yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke masa. Oleh sebab ia sesuatu yang hidup, tumbuh, berkembang, dan hanya dapat dinilai dengan ukuran rasa, maka amat sukarlah untuk memberikan definisi terhadap seni, karna manusia memiliki tingkatan rasa yang berbeda dalam menafsirkan sebuah seni. Meskipun demikian, manusia tetap berusaha mencoba membendung berbagai aliran rasa tersebut, mengumpulkannya dalam batas kemungkinan yang dapat diterima sehingga lahirlah beberapa teori definisi

tentang seni. Diantaranya ada yang berkata bahwa: ―Seni itu meliputi seluruh yang dapat menimbulkan getaran kalbu rasa keindahan. Seni diciptakan untuk melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan manusia‖.14

Dalam arti yang lebih luas seni dapat diartikan sebagai sesuatu yang diciptakan oleh manusia yang mengandung unsur keindahan. Seni terbagi menjadi 3 yaitu : (1) seni yang dapat dinikmati oleh media pendengaran, contohnya adalah musik, sastra, syair, puisi. (2) seni yang dapat dinikmati oleh pengelihatan,

2001), hal. 143 14


(34)

contohnya lukisan, poster, patung. (3) seni yang dapat dinikmati melalui pengelihatan dan pendengaran, contohnya drama, film.

C. Sastra Keagamaan (Ungkapan Sufistik), Kriteria dan Pendekatan Dalam pembahasan kali ini penulis memfokuskan ke dalam seni sastra, yang didalamnya mencakup syair, puisi, ungkapan, dan tulisan. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif dan merupakan sebuah karya seni., dan sangat terkait erat dalam kehidupan manusia. Ia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan budaya dan peradaban karya cipta manusia itu sendiri. Sastra seperti pisau tajam, bahkan jauh lebih tajam, yang mampu merobek-robek dada dan menembus ulu hati, bahkan jiwa dan pemikiran. Pisau tajam ini juga mampu menjadi alat paling efektif untuk membuat ukiran patung karya kehidupan yang paling indah. Sastra juga bisa lebih halus daripada sutra yang paling halus hingga mampu menelusup ke dalam relung jiwa hingga tunduk dan pasrah pada kekuatannya.15

Sastra dan manusia serta kehidupannya adalah sebuah persoalan yang penting dan menarik untuk dibahas secara komprehensif. Sastra berisi manusia dan kehidupannya. Manusia dan kehidupannya mempunyai hubungan yang rapat dengan kehidupan sastra. Manusia menghidupi sastra dan kehidupan sastra adalah kehidupan manusia.

Kekuatan sastra yang dahsyat mampu mengubah moralitas dan karakter manusia ke dalam persepsi kehidupan yang berbeda. Sejarah menuliskan bagaiman sosok seorang Umar bin Khotob yang punya kepribadian keras akhirnya luluh dalam basuhan sejuknya kekuatan sastra ayat-ayat Al-Qur’an. Goresan luka dari tajamnya pedang takkan bisa membuatnya menangis. Hantaman pukulan dan tendangan dari algojo terkuat dan terkejam sekalipun takkan sanggup menggoyahkan ketegarannya. Ancaman pembunuhan dan kematian tidak sedikit pun membuatnya merinding ketakutan.

Sungguh sangat beralasan jika negara-negara maju sudah menjadikan sastra sebagai alat untuk membendung moralitas anak-anak muda. Para pendidik di

15


(35)

negara-negara maju sudah menyadari bahwa sastra punya kekuatan besar yang sanggup merasuk ke hati pelajar, sehingga moralitas mereka juga bisa tertata.

Dalam sejarah Agama, mengajarkan bahwa semua wahyu pastilah bersifat kontekstual dan terkait dengan bahasa dimana wahyu itu di turunkan. Kalau tidak demikian maka pesan-pesan kenabian tidak akan dapat diterima oleh para pendengarnya, dan kehendak Tuhan menjadi tidak mungkin diikuti. Menjelang kenabian Muhammad, orang-orang Mekkah dan bangsa Arab pada umumnya tidak memiliki apa pun yang bisa dipakai sebagai pewahyuan kecuali bahasa arab mereka, serta kesastraan tingakat tinggi yang telah mereka kembangkan.16

Al-Quran merupakan Mukjizat estetik atau sastrawi. Diterima oleh kaum muslimin sebagai bukti bahwa al-Qur’an merupakan firman Ilahi. Supaya bisa diterima dan dihargai sebagai wahyu dari langit, maka al-Qur’an diturunkan kepada bangsa yang sudah sangat tinggi tingkat kesastraannya sehingga dapat disadari dan dirasakan bahwa al-Qur’an bukanlah buatan manusia.17

Selanjutnya, penulis ingin mengkerucutkan sastra yang akan dibahas adalah yang berkaitan dengan sastra sufi (tasawuf). berbicara tentang sastra tasawuf berarti seseorang harus berbicara tentang sejarah lama, sekalipun pada abad ini banyak juga yang mesti mendapat perhatian. Puisi-puisi dan syair keagamaan serta pendidikan dalam arti tasawuf banyak lahir pada abad ke 10-13, meskipun sebelum itu memang sudah ada.

Syair –sastra dan kesenian secara umum— mempunyai tujuan dan corak, tidak bebas begitu saja. Syair ada yang jauh dari hikmah, akan tetapi ada juga yang sebaliknya. Al-Quran mencela para penyair yang berdusta dan para penipu yang memanipulasi seseuatu, mereka membohongi prilaku dan perkataan mereka sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam surat Asy-Syu’araa ayat 224-227;

16

Ismail, Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, (Yogyakarta : Bentang Budaya, 1999), hal. 33 17


(36)

                                                            

―Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwa mereka mengambara di taip-tiap lembah. Dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan. Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal soleh dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan setelah menderita kezaliman dan orang-orang yang zalim

akan tahu ketempat mana mereka akan kembali.‖

Adapun gubahan syair tidak dilarang untuk mengembangkannya serta menukil dari selain kita sesuai dengan yang kita inginkan. Yang terpenting adalah tujuannya, subtansinya, dan fungsinya.

Mengutip pengantar Prof. Dr. Azyumardi Azra dalam buku sastra dan agama, ia mengungkapkan bahwa dalam konteks sastra sufi, tak jarang kalangan sastrawan sufi yang tidak sekedar berimajinasi, malah mungkin bersifat spekulatif terhadap Tuhan, tetapi juga mengeluarkan ungkapan-ungkapan tentang kedekatan dan bahkan penyatuan dengan Tuhan. Ungkapan-ungkapan sufistik tentang penyatuan Tuhan dengan manusia dalam nomenklatur Sufisme disebut dengan

Syatahat.18

Pengertian bahasa, syair, puisi tasawuf juga kadang mempunyai arti sendiri pula. Kata-kata cinta, anggur (minuman keras), kekasih, piala, mabuk adalah kata-kata simbolik yang banyak dijumpai dalam puisi atau syair-syair kaum sufi, yang sebenarnya mempunyai arti yang lain sama sekali. Umumnya dalam arti hubungan insan dengan Tuhannya. Dari sini pula dikenal kata al-Hubbul Ilahi, the

God-intovicated love atau mencintai Tuhan.19

18

Saridjo,Marwan, Sastra dan Agama : Tinjauan Kesustraan Indonesia Modern, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara dan Penamadani , 2006), Hal, xx

19


(37)

Dalam dunia tasawuf sastra sufi memang mempunyai tempat tersendiri. Penyair-penyair sufi berbicara tentang mikrokosmos dan makrokosmos sering tidak dimengerti atau sering menimbulkan salah pengertian. Akan tetapi pikiran-pikiran (penyair) juga bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Dari masalah -masalah berat yang bersifat teologis filosofis seperti soal tauhid, takdir, wahyu, kenabian, alam semesta, sampai pada masalah social, etika, tingkah laku, terjalin dalam bentuk cerita, anekdot dengan melibatkan para malaikat, nabi, raja, sampai pada manusia dan bintang.20

Dalam menafsirkan nilai-nilai dan pesan-pesan yang terdapat dalam karya sastra keagamaan atau ungkapan sufistik, penulis mengikuti pendekatan yang umumnya dipakai oleh pemawas sastra di lingkungan akademik, yaitu pendekatan instristik dan pendekatan ekstrintik yang seimbang.

Yang dimaksud dengan pendekatan instrintik disini adalah pendekatan yang berusaha memahami dan menemukan unsur-unsur dalam (intern) yang erat hubungannya dengan karya sastra itu sendiri seperti tema, amanat/intuisi, ide.

Selanjutnya yang dimaksud dengan pendekatan ekstrinstik disini adalah menjelajahi faktor sastrawan sebagai pencipta karya sastra yang meliputi: (a). Keriwayatan/biografi, pembicaraan tentang hidup pengarang; (b). Kejiwaan/psikologi, pembicaraan tentang perkembangan jiwa pengarang; (c). Kefalsafahan/filosofis, pembicaraan tentang ide pandangan hidup pengarang; (d). Kemasyarakatan/sosiologi, pembicaraan tentang beberapa segi kehidupan masyarakat tempat lahirnya tokoh karya sastra itu; (e). Kesejarahan/pengamatan historis, pembicaraan tentang pertalian dan perbandingan tentang masa sebelumnya.

Dengan tetap berpegangan pada prinsip pendekataan diatas masih ada satu sikap khas telaahan ini: dalam melakukan analisa dan tafsiran atas karya yang

ditelaah, karangan ini lebih banyak merupakan ―pertimbangan filsafat‖ dan ―pertimbangan moral‖ dari tema-tema seorang penulis dalam hubungannya dengan manusia dan Tuhan. Analisa dan tafsiran yang bertolak dari sikap/pendirian ini, terutama untuk mendorong pembaca kearah melihat tema inti

20


(38)

sebuah karya sastra dengan lebih dalam supaya dapat menikmati dengan lebih dalam pula.

D. Pendidikan Islam

Istilah pendidikan berasal dari kata ―didik‖ dengan memberinya awalan ―pe‖ dan akhiran ―kan‖, yang mengandung arti ―perbuatan, hal, cara‖.21

Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu ―paedagogie‖, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan

kedalam bahasa Inggris dengan ―education‖ yang berarti pengembangan atau

bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan ―tarbiyah‖ yang berarti pendidikan.22

Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan secara sengaja terhadap anak didik. Selain itu pendidikan juga berarti sebagai usaha yang dilakukakn oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwasanya pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.

Pendidikan merupakan ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri seseorang. Pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mencapai atau mendekatkan diri kepada Tuhan, dan melalui pendidikan seseorang akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dalam islam ada dua istilah yang dipakai untuk pendidikan, yaitu tarbiyah dan ta’dib. Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok. Menurut Naquib al-Atas Tarbiyah secara semantik tidak khusus ditunjukan untuk manusia, tetapi dapat dipakai kepada mahluk lain. Selain itu tarbiyah berkonotasi material; ia mengandung arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan,

21

Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976),

hal. 250 22


(39)

memelihara, membuat, menjadikan bertambah pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil yang sudah matang dan menjinakan. 23 Adapun Ta’dib mengacu pada pengertian („ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Dari pengertian tersebut ta’dib merupakan istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukan pendidikan dalam Islam.

Pendidikan Islam secara fungsional merupakan upaya manusia muslim merekayasa pembentukan al-Insan al-Kamil melalui penciptaan situasi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam posisi yang demikian, Pendidikan Islam adalah model rekayasa individual dan social yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan bentuk masyarakat ideal ke masa depan.24

Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara continue dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang perlu diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kendungan sampai akhir hayat.25

Dalam konteks budaya, pendidikan Islam mempunyai tugas sebagai alat transmisi unsur-unsur pokok budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga identitas umat tetap terpelihara dan terjamin dalam tantangan zaman. Adapun sebagai interaksi antara potensi dan budaya, tugas pendidikan Islam adalah sebagai proses transaksi (memberi, dan mengadopsi) antara manusia dan lingkungannya. Dengan proses ini manusia akan dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengubah atau memperbaiki kodisi-kondisi kemanusiaan dan lingkungannya.26

23

Shed Muhammad Al-Naquib, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj, Haidar Bagir, (Bandung : Mizan, 1984), hal. 66

24

Al-Rasyidin, Rizal, op. cit., hal. 56 25

Ibid., h. 32 26

Hasan Langgalung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad Ke-21, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988), hal .57


(40)

Untuk menjamin terlaksananya tugas pendidikan Islam secara baik, hendaknya terlebih dahulu dipersiapkan situasi kondisi yang bernuansa elastis, dinamis, dan kondusif sehingga tujuan yang ingin dicapai berhasil.

Selanjutnya, tujuan pendidikan Islam diantaranya adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.27 Sementara tujuan akhir pendidikan Islam yang akan dicapai adalah mengembangkan fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk pribadi yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan fungsinya sebagai khalifah.28

Menurut Khaldun, pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis dan empiris. Melalui pendekatan ini, dapat memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu : (1) pengembangan kemahiran dalam bidang tertentu. Diperlukan pendidikan secara sistematis dan mendalam agar tujuan ini bisa tercapai, (2) penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman, dalam hal ini pendidik hendaknya ditujukan untuk memperoleh keterampilan yang tinggi pada profesi tertentu, (3) pembinaan pemikiran yang baik, hendaknya pendidikan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerja sama social dalam kehidupannya guna mewujudkan kesejahteraan hidup dunia dan akhirat.29

Menurut al-Ghazali, tujuan pendidikan Islam dibagi menjadi tiga bagian yaitu : (1) tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah, (2) tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan Akhlaq al-Karimah, (3) tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan

27

Omar Muhammad al-Thoumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, hal 410 28

Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Anlisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), hal. 67

29

Mohamad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), hal. 190


(41)

akhirat.30 Dengan ketiga tujuan ini diharapkan pendidikan yang di programkan akan mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah.

E. Dasar-dasar Pendidikan Islam

Pendidikan dalam konteks Islam mempunyai berbagai landasan (dasar-dasar) diantaranya;

1. Al-Quran

Merupakan suatu dasar landasan bagi setiap umat islam, didalamnya terdapat berbagai petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal. Kedudukan al-Quran sebagai dasar pendidikan dapat dipahami dari ayat al-Quran itu sendiri, yang terdapat dalam surah An-Nahl ayat 64:

                       

Artinya: Dan kami tidak menurunkan Kitab (al-Quran): ini kepadamu (Muhammad), melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman.

Selanjutnya, al-Quran juga menjelaskan tentang pendidikan dalam surah Shaad ayat 29:

              

Artinya: Kitab (al-Quran) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.

Dari ayat-ayat tersebut sudah sangat jelas bahwa al-Quran merupakan rujukan pertama bagi proses pendidikan maupun pengajaran bagi umat

30

Zaenuddin, Seluk Beluk Pendidikan al-Ghazali, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), hal. 42-6


(42)

manusia khususnya umat muslim. Semua pengetahuan yang terdahulu dan yang akan datang sudah dituliskan dalam al-Quran, tinggal bagaimana seseorang mengkaji kembali ayat-ayat yang sudah dituliskan dan mengaplikasikannya kedalam kehidupan.

2. Sunnah (hadits)

Dasar pendidikan yang selanjutnya adalah sunnah Rasullullah, yang didalamnya terdapat kehidupan sehari-hari Rasul, baik yang bersifat muamalah, dan syariah. Dari kehidupan Rasulalloh dapat diambil hikmah, pelajaran dan suri tauladan yang baik untuk di ikuti. Sebagaimana Firman Allah dalam surah Al-Ahzab ayat 21:

                         

Artinya: sungguh, telah ada pada diri Rosululloh itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.

Nabi mengajarkan dan memperaktekan sikap dan amal baik kepada istri dan para sahabatnya dan seterusnya mereka mempraktekan pula seperti yang diperaktekan Nabi dan mengajarkan pula kepada orang lain. Perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi inilah yang disebut Sunnah (Hadits).

3. Sikap dan perbuatan para Sahabat

Pada masa Khulafa al-Rasyidin sumber pendidikan dalam Islam sudah mengalami perkembangan. Melalui sikap dan sifat-sifat para sahabat dalam kehidupan sehari-hari menjadi dasar pedoman pendidikan saat itu, disamping al-Quran dan hadits. Sifat dan sikap baik selalu ditanamkan dalam setiap laku kehidupan.


(43)

Setelah jatuhnya pemerintahan Ali bin Abi Thalib, puncak kekuasaan Islam diteruskan oleh dinasti Umayah yang dipimpin oleh Muawwiyah bin Abu Sufyan. Pada masa ini Islam telah meluas sampai ke Afrika Utara, bahkan sampai ke Spanyol. Perluasaan ini pun diikuti oleh para ulama dan guru-guru. Maka terjadilah pula perluasaan pusat-pusat pendidikan yang tersebar dikota-kota besar.

Dengan berdirinya pusat-pusat pendidikan, berarti telah terjadi perkembangan baru dalam masalah pendidikan; sebagai interaksi nilai-nilai budaya daerah yang ditaklukkan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini menimbulkan permasalahan-permasalahan yang kadang tidak terdapat dalam al-Quran dan hadits sehingga membutuhkan cara untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Dari permasalahan seperti inilah muncul gagasan yang dimunculkan para ulama (Ijtihad).

Para Fuqaha mengartikan Ijtihad sebagai daya berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syariat Islam, dalam hal-hal yang belum jelas atau ditegaskan hukumnya dalam al-Quran dan hadits dengan syarat-syarat tertentu, seperti; ijma, qiyas, istishan dan lain-lain.

F. Unsur-unsur Pendidikan

Dalam proses pendidikan terdapat dua unsur yang sangat penting bagi tercapainya sebuah tujuan pendidikan, yaitu;

1. Pendidik

Salah satu unsur penting yang tidak boleh dilupakan dalam proses pendidikan adalah seorang pendidik. Dipundaknya terletak tanggung jawab yang amat besar dalam upaya menghantarkan peserta didik kearah tujuan yang ingin dicapai. Secara umum pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Secara khusus, pendidik dalam perspektif Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.31

31

Hasan Langgulung, Azas-azas Pendidikan Islam. (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992), hal. 304


(44)

Pendidik dapat juga diartikan sebagai seorang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan Khaliqnya. Berkenaan dengan konsep ini, an-Nahlawi menyimpulkan bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, tugas utama yang perlu dilakukan pendidik adalah Tazkiyat an-Nafs, yaitu mengembangkan, membersihkan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkannya dari kejahatan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrah-Nya.32

Selanjutnya, an-Nahlawi membagi karakteristik pendidik muslim kepada beberapa bentuk, yaitu :

a. Mempunyai watak dan sifat ke-Tuhan-an yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya.

b. Bersifat ikhlas, melaksanakan tugasnya semata-mata karena mencari rhido Tuhan dan menegakan kebenaran.

c. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik.

d. Jujur dalam menyampaikan segala pengetahuannya.

e. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut.

f. Mampu menggunakan metode secara bervariasi sesuai dengan keadaan atau perkembangan zaman.

g. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak. h. Mengetahui psikis peserta didik.

i. Tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa, keyakinan, atau pola pikir peserta didik.

j. Berlaku adil terhadap semua peserta didik.33

Dalam pendidikan Islam seorang pendidik tidak hanya menyiapkan seorang peserta didik memainkan peranannya sebagai individu dan anggota masyarakat

32

An-Nahlawi, op. cit., h. 239. 33


(45)

saja, tetapi juga membina sikapnya terhadap agama, tekun beribadat, mematuhi peraturan agama, serta menghayati dan mengamalkan nilai luhur agama dalam kehidupan sehari-hari. Dan agar fungsi-fungsi tersebut dapat terlaksana dengan baik maka seorang pendidik harus mempunyai kriteria sebagai berikut:

1. Beriman.

Seorang pendidik Islam harus seseorang yang beriman, yaitu meyakini akan keesaan Allah. Iman kepada Allah merupakan asas setiap aqidah. Dan dengan bagaimana Allah SWT selanjutnya akan diikuti pula dengan keimanan kepada yang lainnya.

Keyakinan terhadap keesaan Allahseperti diatas disebut juga ―tauhid‖.

Kalimat tauhid dalam Islam adalah kalimat: ―la ilaha illa Allah‖ yang berarti: Tidak ada Tuhan melainkan Allah.

Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga Islam dikenal sebagai agama Tauhid. Yaitu agama yang mengesakan Allah.

Menurut Al-Faruqi ―iman‖ atau ―tauhid‖ inti dan esensi dari ajaran Islam, merupakan pandangan umum dari realitas kebenaran dan waktu, sejarah dan nasib manusia sebagai pandangan umum ia tegakkan atas dasar prinsip ―idealitionality‖, teologi, kapasity of man, melleability of nature dan

responsibility and judment, dan sebagai falsafah dan pandangan hidup

memiliki implikasi dalam segala aspek kehidupan dan pemikiran manusia, seperti dalam sejarah, pengetahuan, filsafat, etika, sosial, ummah, keluarga, ekonomi, ketertiban dunia dan estetika.34

Oleh karena itu iman atau tuhid bukan saja merupakan kepercayaan yang bersifat pribadi akan tetapi mempunyai eksistensi terhadap seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu seorang pendidik aIslam harus mempunyai keimanan yang benar. Iman yang benar harus memiliki tiga syarat, yaitu:

a. Pengakuan dengan hati.

b. Pengucapan dengan lidah, dan

34

Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid its Implication for Thought and life, (Brentwood AS: The International Institute or Islamic Thought, 1982), hal.10


(46)

c. Pengamalan dengan anggota badan. 2. Bertakwa.

Syarat yang terpenting yang harus pula dimiliki oleh pendidik Islam

adalah ―taqwa‖. Yang berarti menjaga diri agar selalu mengerjakan perintah

Allah dan meninggalkan larangan-Nya, serta merasa takut kepada-Nya baik secara senmbunyi maupun terang-terangan. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan dan menganjurkan untuk bertaqwa, seperti dalam Firman Allah SWT:























 

Artinya: ―Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.‖ (Q.S. 3:102).

3. Ikhlas.

Pendidik yang ikhlas hendaklah berniat semata-mata karena Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan atau hukuman yang dilakukannya. Ikhlas bukan berarti ia tidak boleh menerima imbalan jasa, akan tetapi jangan terniat dalam hati bahwa pekerjaan mendidik yang dilakukannya karena mengharapkan mateeri, akan tetapi semata-mata sebagai pengabdian kepada Allah SWT. Karena ia menerima gajji, itu karena rezeki dari Allah SWT yang tentu harus pula diterimanya, dan kalau tidak ada gaji ia akan tetap melaksanakan tugas.

Ikhlas dalam perkaataan dan perbuatan adalah sebagian dari asa iman dan keharusan Islam. Allah tidak akan menerima perbuatan tanpa dikerjakan secara ikhlas. Perintah untuk ikhlas tercantum dalam Al-Qur’an dengan tegas:


(47)

                           

Artinya: ―Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.‖ (Q.S. 98:5).

4. Berakhlak.

Seorang pedidik haruslah mempunyai akhlak yang baik. Seorang yang berakhlak adalah seorang yang mengisi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela. Seorang yang berakhlak mulia menurut Rajhmat Djantika ditandai dengan:

a. Melaksanakan kewajiban-kewajibannya,

b.Memberikan hak yang harus diberikan kepada yang berhak,

c. Melakukan kewajiban terhadap dirinya, Tuhannya, sesama manusia, makhluk lain, terhadap alam dan lingkungan, dan terhadap segala yang ada secara harmonis,

d.Menempati martabat mulia dalam pandangan umum.

Karena pentingnya akhlak dalam kehidupan manusia, maka tugas kerasulan Nabi Muhammad keseluruhannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Seperti sabda Rasulullah SAW: ―Sesungguhnya saya ini diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia‖. (H.R. Ahmad Ibn Hanbal).

5. Berkepribadian yang Integral (Terpadu).

Menurut Zakiah Dradjat, kepribadian yang terpadu dapat menghadapi segala persoalan ;dengan wajar dan sehat, karena segala unsur dalam pribadinya bekerja seimbang dan serasi. Pikirannya mampu bekerja dengan


(48)

tenang, setiap masalah dapat dipahaminya dengan objektif, sebagaimana adanya. Maka sebagai guru ia dapat memahami kelakuan anak didik sesauai dengan perkembangan jiwa yang sedang dilaluinya. Peernyataan anak didik dapat dipahami secara objektif, artinya tidak ada ikatan dengan prasangka atau emosi yang tidak menyenangkan.35

Sebagai manusia biasa tentu saja pribadi guru tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan seprti; kesulitan ekonomi, kesulitan dalam rumah tangga, kesulitan dalam pergaulan ditengah-tengah masarakat, kesulitan dalam meningkatkan karir dan sebagainya.

6. Cakap.

Menurut Burlian Somad, untuk dapat menjadi pendidik yang memiliki kecakapan, maka harus:

a. Menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan bagi pembuatan standar kualitas minimal (tasmin),

b. Menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan bagi pembuatan unit-unit bahan pembentukan kualitas minimal itu (ubak);

c. Menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan bagi pembentukan dan pengembangan tasmin pada diri anak didik dengan memperggunakan ubak itu,

d. Menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan pembuatan standar pengukur kualitas diri anak didik (stapek)

e. Menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan bagi pelaksanaan pengukuran tasmin dengan mempergunakan stapek itu,

f. Menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan bagi melaksanakan management pendidikan yang dapat membawa kemajuan,

g. Terlatih dan terbiasa mengerjakan/mempraktekan yang tersebut dari poin 1 s/d poin 6 itu tadi.36

35

Zakiah Darajat, Keperibadian Guru, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), hal. 15 36

Burlian Somad, Beberapa Persoalaan dalam Pendidikan Islam, (Bandung : PT Al-Maarif, 1981), cet, ke-1, hal. 107


(49)

7. Bertanggung jawab.

Islam menempatkan manusia di dunia ini dalam kedudukan istimewa yaitu sebagai khalifah Allah di atas bumi ini.

Firman Allah SWT

                                                   

Artinya: ―Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. 2:30).

Sebagai khalifah ia harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya kepada Allah SWT. Setiap pribadi harus menyadari bahwa kelak segala amal dan perbuatannya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat; maka didalam hidupnya ia harus berusaha agar apa yang dilakukannya di atas dunia ini hanya semata-mata karena Allah dan menurut keridhaan Allah, sehingga semua amal dan perbuatannya bernilai ibadat.

Al-Ghazali berkata; mahluk yang paling mulia di muka bumi ini adalah manusia. sedangkan yang paling mulia dalam penampilannya adalah kalbunya. Guru selalu menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu, serta menuntunnya untuk dekat kepada Allah, oleh karena itu mengajarkan ilmu bukan hanya sekedar beribadah kepada Allah semata,


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)