Sistematika Penulisan Pengertian Perkawinan

14 kesimpulan akhir.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, dimana tiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Sistematika merupakan uraian ringkas secara global terkait hal-hal pokok yang dibahas, guna mempermudah dalam memahami dan melihat hubungan suatu bab dengan yang lainnya. Adapun uraian pada setiap bab adalah sebagai berikut : Bab Pertama berisikan pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar belakang masalah kajian skripsi ini, perumusan masalah dan pembatasan masalah, kerangka pemikiran, metodologi penelitian dan terakhir sistematika penulisan. Bab Dua berisikan perkawinan poligami dalam perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan uraian mengungkapkan Pengertian Perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan, Pengertian poligami, Syarat-syarat poligami, hak istri yang dipoligami. Bab Tiga berisikan pro dan kontra praktik perkawinan poligami dengan uraian kondisi obyektif, praktik poligami versus ketidakadilan gender, Jumlah maksimal istri yang boleh dipoligami. Bab Empat berisikan analisis keadilan dalam perkawinan poligami perspektif hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan uraian analisis sosiologis yuridis poligami dalam hukum Islam, makna adila dalam poligami perspektif hukum Islam, makna adil dalam poligami perspektif Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan analisis penulis. Bab Lima berisikan Penutup dengan uraian kesimpulan, kritik dan saran. 15 BAB II PERKAWINAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan

Istilah Perkawinan dalam Al-Qur’an biasa menggunakan istilah ”nikah” yang berarti ”berhimpun” dan ”zawwaja-tazwij” yang berarti ”berpasangan”. Dua istilah ini menyiratkan makna kesetaraan secara ekstensial bagi laki-laki dan perempuan, meskipun pada kenyataannya secara biologis mereka berbeda. Para ulama Fiqh tidak membedakan arti zawaaj dan nikah, walaupun keduanya secara etimologis memiliki perbedaan, menurut para ulama fiqh zawaaj dan nikah memiliki arti yang sama yaitu akad perkawinan 1 . Pernikahan secara terminologis didefinisikan sebagai akad yang membolehkan kedua mempelai untuk mendapatkan kesenangan dari masing- masing pasangan, sesuai dengan tuntutan syari’at. 2 Persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang banyak seginya, mencakup seluruh segi kehidupan manusia, mudah menimbulkan emosi dan perselisihan. Karena itu adanya kepastian hukum bahwa telah terjadi suatu perkawinan sangat diperlukan. Dalam hal ini telah terjadinya suatu aqad 1 Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad berpoligami, Jakarta : PT. Buku Kita, 2007, h.89 2 Arij Binti Abdul Rahman, Poligami, Jakarta : Darus Sunnah, 2006, h.30 15 16 perjanjian pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya, sedang telah terjadinya suatu persetubuhan sulit mengetahuinya dan sukar membuktikannya. Pemakaian kata “nikah” yang diartikan dengan “perjanjian perikatan” dapat dilihat dalam surat Al-Nur ayat 32, surat Al-Baqarah ayat 221, surat Al-Nisa ayat 21. Perkawinan yang disyari’atkan oleh hukum Islam mempunyai beberapa segi di antaranya: Pertama, segi ibadah ; perkawinan mempunyai unsur ibadah. Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadah dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agama. Rasullah SAW mencela dengan keras para sahabat yang ingin menandingi ibadatnya dengan cara; berpuasa setiap hari, bangun setiap malam untuk beribadat, hidup menyendiri dan tidak akan kawin, karena perbuatan yang demikian menyalahi sunnahnya, sebagaimana dalam sabdanya : .... جﱠوﺰ أو ا ءﺎ ﻦ ﻓ ﺐﻏر ﻋ ﻦ ﻰ ﱠ ﻴ ﻓ ﻰ اور و ﺔﻋ ﺎ ﺠ ا “............ dan aku mengawini wanita. Maka barang siapa yang membenci sunnahku bukanlah ia termasuk umat ku”. HR. Jama’ah dan Muslim. 3 Kedua , segi hukum; perkawinan merupakan suatu perjanjian yang kuat QS.Al-Nisa’; 21, dalam arti perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan dan akibat perkawinan, masing- masing pihak terikat oleh hak dan kewajiban, bagi suami yang hendak berpoligami ditentukan syarat-syaratnya, termasuk jika terjadi pemutusan hubungan perkawinan harus melalui prosedur dan alasan-alasan kuat. 3 Mustofa M. Imaroh, Jawahirul Bukhari, Beirut Libanon : Darul Ihya, 1940, h.285-286 17 Ketiga , segi sosial; perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Karena itu Rasulullah Saw melarang kerahiban, hidup menyendiri dengan tidak kawin yang menyebabkan tidak mendapatkan keturunan, keluarga dan melenyapkan umat. Berdasarkan penjelasan makna nikah dari berbagai segi sebagaimana yang dikemukakan di atas, dapatlah dirumuskan bahwa perkawinan adalah perjanjian perikatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk melaksanakan kehidupan suami istri, hidup berumah tangga, melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum agama. Dalam Bab 1 pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 4 Definisi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam sebagaimana tercantum di atas, tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Pertalian seorang laki-laki dan perempuan yang dikukuhkan dalam sebuah akad menjadi ciri pokok dalam perkawinan. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat dikatakan sah apabila sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, dimana agama dan kepercayaannya tersebut juga tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. 4 UNDANG-UNDANG Pokok Perkawinan No 1 tahun 1974, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, h.3 18 Dengan demikian, tentu konsep perkawinan dalam Islam tidak akan berbeda dengan yang tertera dalam undang-undang, yang membedakan hanya dalam detail syarat atau rukunnya saja. Hal ini dimungkinkan karena Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tidak hanya diberlakukan bagi mereka yang beragama Islam tetapi juga bagi penganut agama lain. Undang- undang mensyaratkan adanya pencatatan melalui petugas dari Kantor Urusan Agama, sedangkan Islam tidak mensyaratkan itu.

B. Tujuan dan Hikmah Perkawinan