Makna Adil dalam Poligami Perspektif Undang-Undang

76 yang kualitatif seperti cinta, kasih sayang, maka poligami itu sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin dilaksanakan.

C. Makna Adil dalam Poligami Perspektif Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Begitu pentingnya perkawinan, sehingga tidak mengherankan jika agama-agama, tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya. Di Indonesia masalah perkawinan telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian di atas dapat dimengerti bahwa pada prinsipnya suatu perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa 19 . Dua istilah model perkawinan yaitu monogami dan poligami, diakui dan dibolehkan oleh hukumperundang-undangan di Indonesia dan hukum Islam, Beranjak dari model perkawinan di atas maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19 Undang-Undang Pokok Perkawinan No 1 tahun 1974, Jakarta ; Sinar Grafika, 2000, h.3 77 1974 Tentang Perkawinan sebenarnya menganut asas monogami. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi : Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun ketentuan tentang adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari satu apabila disepakati oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama tentunya dengan ijin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama Pasal 51 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dan yang beragama selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk memutuskan. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu. Disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. 78 Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pengadilan agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam Pasal 4 ayat 2 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu: Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat melahirkan keturunan. Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan, suami harus pula memenuhi syarat- syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang alasan yang dapat dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan: 1 Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: adanya persetujuan dari istriistri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. 2 Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istriistri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. 20 20 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Jakarta: Bumi Aksara, 1999, h.83. 79 Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang pengadilan agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Persetujuan secara lisan ini nantinya istri akan dipanggil oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan. 21 Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri- istrinya dan anak-anak ada beberapa faktor yang menjadi barometer yaitu 1. Surat keterangan gaji suami yang ditandatangani bendahara tempat bekerja 2. Surat keterangan pajak penghasilan 3. Surat keterangan lain yang diterima oleh pengadilan. 22 Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam pemeriksaan pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. 21 A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama Jakarta, Pustaka Pelajar, 2003 h.34 22 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Jakarta: Prenada Media, 2006, h.127 80 Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari satu maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang.

D. Analisis Penulis