Tanaman Kayu Rakyat pada Skala Global

demikian, dukungan kebijakan atas hak-hak masyarakat tersebut baru diluncurkan pada tahun 1991 melalui program HPH Bina Desa, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK. Menhut No. 61Kpts-II1991. Program ini selanjutnya disempurnakan menjadi program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan PMDH pada tahun 1995 melalui penerbitan SK. Menhut No. 69Kpts-II1995. Program PMDH belum memberikan hak pengelolaan atas sumber daya hutan kepada masyarakat, melainkan hanya memberikan serangkaian kewajiban kepada para pemegang HPH untuk membantu masyarakat di pedesaan, khususnya yang tinggal di sekitar areal hutan yang mereka kelola, agar meningkat kesejahteraannya dan menjadi lebih mandiri dalam perekonomiannya. Di dalam konsepsinya, pelaksanaannya program PMDH harus diawali melalui studi diagnostik yang dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat desa hutan. Studi diagnostik tersebut harus dituangkan di dalam Rencana Karya Pengusahaan Hutan RKPH, Rencana Karya Lima tahun RKL dan Rencana Karya Tahunan RKT di dalam pengelolaan hutan. Aspek yang dilakukan di dalam program PMDH meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dalam hal usaha tani melalui program usaha tani menetap, peningkatan ekonomi, pengembangan sarana dan prasarana sarpras umum, pembangunan sosial budaya dan pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan. Namun pada prakteknya program PMDH lebih dipandang sebagai sekedar kewajiban oleh para pemegang HPH untuk memenuhi persyaratan perolehan pengesahan Rencana Karya Tahunan RKT. Program yang dikembangkan umumnya tidak sungguh-sungguh meningkatkan kemandirian masyarakat, bahkan sebaliknya mendidik masyarakat menjadi sangat tergantung kepada bantuan HPH dalam pembangunan infrastruktur desa. Para pemegang HPH lebih menggunakan prinsip “sinterklas” atau memberikan apa saja yang diminta oleh masyarakat setempat karena dikejar oleh batas waktu pelaporan pelaksanaan fisik yang wajib dibuat setiap bulan dan triwulan dari pelaksanaan kegiatan PMDHnya. Program umumnya dilaksanakan tanpa persiapan yang matang dan tidak melibatkan masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama, sehingga pelaksanaan kegiatannya banyak mengalami hambatan di lapangan Subarudi 2000. Hak pengelolaan atas sumber daya hutan kepada masyarakat baru diberikan melalui program Hutan Kemasyarakatan HKm yang diperkenalkan pemerintah pada tahun 1995, berdasarkan SK. Menhut No. 622Kpts-II1995. Di dalam program HKm, masyarakat dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pengelolaan hutan dan memperoleh hak pemanfaatan atas hasil hutan bukan kayu HHBK. Izin pengelolaan HKm ditetapkan berdasarkan kontrak perjanjian antara pemohon perorangan, kelompok atau koperasi dengan Dinas Kehutanan Provinsi setempat. Izin pengelolaan HKm oleh masyarakat diperluas melalui kebijakan Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan HPHKm yang ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Kehutanan dan Perkebunan Menhutbun No. 677Kpts-II1998. Dengan hak tersebut, masyarakat diberi kewenangan untuk memanfaatkan hasil hutan, tidak hanya HHBK, namun juga termasuk kayu Hindra 2005. Kebijakan tersebut telah diimplementasikan melalui pemberian izin pengusahaan HKm kepada sekitar 92,000 ha di wilayah Nusa Tenggara. Dengan diberlakukannya Undang-Undang UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ketentuan tentang HKm tersebut di atas menjadi tidak berlaku. Tahun 2001 kembali dikeluarkan kebijakan baru tentang HKm melalui SK. Menhut No. 31Kpts-II2001. Surat keputusan tersebut memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah Tingat II Bupati atau Walikota untuk memberikan izin hak pengusahaan HKm. Namun demikian ketentuan tersebut kembali menjadi tidak jelas dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah PP No. 34 Tahun 2002 tentang penataan dan perencanaan pengelolan hutan, yang mengembalikan kewenangan perizinan kepada Menteri Kehutanan Colchester 2002. Setelah era reformasi, kondisi sumber daya hutan di Indonesia telah mengalami kerusakan yang cukup parah dengan laju kerusakan hutan yang tinggi sehingga mencapai besaran 1.9 juta ha per tahun FAO 2007. Perhatian pemerintah mulai terpusat kepada upaya-upaya rehabilitasi hutan. Pada tahun 2003 pemerintah memperkenalkan kebijakan perhutanan sosial Social Forestry yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, khususnya yang tinggal di areal sekitar hutan, di dalam pengelolaan sumber daya hutan. Di dalam pidato resminya pada saat penyelenggaraan The International Conference on Livelihoods, Forest and Biodivesity di Bonn pada tahun 2003, perwakilan resmi Indonesia Wardoyo 2003 menyatakan bahwa perhutanan sosial merupakan suatu pendekatan yang menyeluruh yang meliputi ideologi, strategi dan implementasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya hutan. Kebijakan tersebut memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan sekaligus melestarikan hutan. Azas penyelenggaraan social forestry meliputi: pemberdayaan masyarakat, pemberian hak pengelolaan areal hutan tertentu kepada masyarakat, tujuan pengelolaan hutan yang disesuaikan dengan fungsi hutan, pembagian tanggung jawab yang jelas cost sharing antara masyarakat dengan pemerintah dan pelaksanaan kegiatannya menggunakan pendekatan pembangunan Daerah Aliran Sungai DAS Pasaribu 2003. Untuk memperkuat kebijakan tersebut, pada tahun 2004 Departemen Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut No 1Menhut-II2004 tentang pemberdayaan masyarakat di dalam program social forestry Hindra 2005. Permasalahan kerusakan hutan dan lingkungan yang semakin serius telah mendorong pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan aksi massal dalam rehabilitasi hutan. Aksi tersebut dituangkan dalam bentuk program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan GNRHL dan kemudian menjadi GERHAN sejak tahun 2003. Program GERHAN didasari oleh Surat Keputusan Bersama SKB Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Menko KESRA, Menko Perekonomian dan Menko Politik dan Keamanan POLKAM No. 09KEPMENKO KESRAIII2003; KEP.16M.EKON032003; KEP.08MENKO POLKAMIII 2003. Surat Keputusan Bersama tersebut membetuk Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan pada tingkat nasional. Kegiatan GERHAN mempunyai target untuk merehabilitasi areal hutan seluas 3 juta ha sampai tahun 2009, yang dipusatkan di areal DAS yang tergolong kritis. Program GERHAN dilaksanakan dengan memadukan program-program pemerintah serta dengan melibatkan masyarakat secara intensif Fathoni 2003. Terlepas dari tingkat keberhasilannya yang kontroversial, program GERHAN telah melakukan penanaman hutan secara masif, termasuk pada areal-areal hutan milik atau hutan rakyat. Perkembangan terkini dalam upaya pelibatan masyarakat di dalam rehabilitasi hutan adalah dengan peluncuran program Hutan Tanaman Rakyat HTR sejak tahun 2006. Program ini juga dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan pro poor, menciptakan lapangan kerja baru pro job dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pro growth Emila dan Suwito 2007. Program HTR mempunyai target yang cukup ambisius, yaitu terbangunnya hutan tanaman yang dikelola masyarakat seluas 5.4 juta ha pada tahun 2016. Hutan tanaman tersebut akan dibangun di kawasan hutan produksi yang sudah tidak produktif dengan pemberian hak kelola atas kawasan hutan kepada individu masyarakat atau kelompok melalui koperasi selama 60 tahun dengan kemungkinan perpanjangan izin selama 35 tahun. Setiap pemegang izin HTR berpeluang untuk mengelola kawasan hutan produksi seluas 15 ha untuk usaha tanaman kayu dengan pilihan jenis-jenis kayu yang telah ditentukan. Pemerintah juga menyediakan dukungan finansial untuk usaha tanaman kayu tersebut dengan memberikan kredit berbunga ringan yang akan disalurkan oleh sebuah Badan Layanan Umum BLU Departemen Kehutanan Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman 2008. Berbagai produk kebijakan telah diterbitkan untuk mendukung program HTR tersebut, diantaranya adalah:  Permenhut No. P. 23Menhut-II2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman,  Permenhut No. P. 41Menhut-II2007 tentang Perubahan Permenhut No. 9Menhut-II2009 tentang Rencana Kerja, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman,  Permenhut No. P. 5Menhut-II2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 23Menhut-II2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman,  Permenhut No. P. 9Menhut-II2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat,  Permenhut No. P. 62Menhut-II2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.  Permenhut No. P. 69Menhut-II2008 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan,  Permenhut No. P. 14Menhut-II2009 tentang Perubahan Permenhut No. P. 62Menhut-II2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat,  Permenhut No. P. 64Menhut-II2009 tentang Standard Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat, Sementara itu kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan hutan rakyat hutan milik relatif tidak banyak. Pada awal tahun 1980an, pemerintah telah mulai menggalakkan kegiatan reboisasi hutan dan penghijauan lahan dengan tanaman kayu melalui Instruksi Presiden INPRES No. 6 Tahun 1982. Setelah Departemen Kehutanan berdiri tahun 1983, kegiatan reboisasi dan penghijauan tersebut dilaksanakan melalui Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah PKT di seluruh Indonesia. Di antara jenis kayu yang banyak digunakan adalah jenis sengon Paraserianthes falcataria sehingga program penghijauan tersebut sering juga disebut dengan istilah ”Sengonisasi”. Kebijakan lain yang berkaitan dengan pembangunan hutan rakyat adalah ketentuan tentang pedoman pemanfatan hutan rakyat melalui Permenhut No. P 26Menhut-II2005 dan tata tertib perdagangan kayu yang dihasilkan dari areal hutan rakyat yang diatur dengan dokumen Surat Keterangan Asal Usul Kayu SKAU, melalui Permenhut No. P. 51Menhut- II2006. Data terkini mengenai potensi hutan rakyat belum terdokumentasi dengan baik dan masih memerlukan verifikasi. Data Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2008 Departemen Kehutanan 2009 memperkirakan luas total areal hutan rakyat di Indonesia saat ini mencapai sekitar 1.8 juta ha lihat Gambar 1. Sebagian besar areal hutan rakyat tersebut ditanam atas usaha swadaya masyarakat dan menyusul kemudian tanaman hutan rakyat yang dibangun melalui program GERHAN. Mengenai produksi kayu dari areal hutan rakyat, data yang cukup akurat tersedia berdasarkan hasil sensus pada tahun 2003. Berdasarkan hasil sensus tersebut tercatat bahwa potensi produksi kayu yang berasal dari areal hutan rakyat di Indonesia Jawa dan luar Jawa adalah sekitar 68.5 juta pohon atau setara dengan 14 juta 3 m 3 , sementara jumlah cadangan tegakan mencapai lebih dari 226 juta pohon atau setara dengan 45 juta m 3 Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004. Angka-angka tersebut hanya memperhitungkan tujuh jenis tanaman hutan rakyat yang paling dominan ditanam oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, yaitu untuk jenis-jenis akasia Acacia mangium, jati Tectona grandis, mahoni Swietenia macrophylla, pinus Pinus merkusii, sengon Paraserianthes falcataria, sonokeling Dalbergia latifolia dan sungkai Peronema canescens. Tabel 2 menyajikan ringkasan dari hasil sensus produksi kayu hutan rakyat yang telah dilakukan pada tahun 2003. Gambar 1 Kegiatan penanaman hutan rakyat di Indonesia. Berdasarkan data tersebut maka potensi hutan rakyat sebagai pemasok bahan baku kayu sebenarnya sangat besar. Apabila dibandingkan dengan data produksi kayu bulat nasional Departemen Kehutanan 2009, seperti terlihat pada Gambar 2, maka pada tahun 2004 potensi produksi kayu tanaman rakyat telah menempati urutan pertama. Informasi-informasi tersebut di atas memberikan beberapa bukti bahwa hutan rakyat memiliki peran yang sangat besar di dalam pemenuhan pasokan bahan baku kayu. 3 Dengan asumsi bahwa 1 m 3 setara dengan 5 pohon yang siap tebang. Tabel 2 Cadangan tegakan dan potensi produksi tujuh jenis kayu hutan rakyat di Indonesia berdasarkan hasil sensus pada tahun 2003 Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004 No. Jenis kayu Cadangan tegakan Jumlah pohon Potensi produksi Jumlah pohon Nama lokal Nama ilmiah Jawa Luar Jawa Jawa Luar Jawa 1 Akasia Acacia spp 22,611,068 9,409,011 7,730,365 4,339,330 2 Jati Tectona grandis 50,119,621 29,592,858 11,506,947 6,939,077 3 Mahoni Swietenia macrophylla 39,990,730 5,268,811 8,323,125 1,174,067 4 Pinus Pinus merkusii 3,521,107 2,302,757 1,369,783 1,345,793 5 Sengon Paraserianthes falcataria 50,075,525 9,758,776 19,579,689 5,033,539 6 Sonokeling Dalbergia latifolia 2,008,272 344,379 604,525 138,018 7 Sungkai Peronema canescens 108,550 902,223 63,088 318,192 Total 168,434,873 57,578,815 49,177,522 19,288,016 Catatan: Data sensus tidak termasuk provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Gambar 2 Produksi kayu bulat Indonesia. Data tahun 2006 melaporkan bahwa luas areal hutan rakyat di Indonesia mencapai sekitar 1.5 juta ha, dimana sekitar setengah dari jumlah tersebut tersebar di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di beberapa wilayah seperti Sumatra 14, Sulawesi 13, Bali, Nusa Tenggara Barat NTB dan Nusa Tenggara Timur NTT 12, dan sejumlah kecil di wilayah-wilayah Kalimantan, Maluku dan Papua Hindra 2006. Sebagian besar areal hutan rakyat tersebut dibangun oleh masyarakat secara swadaya 61.7 dan program pemerintah pusat melalui GERHAN 26.1. Dalam jumlah yang relatif lebih kecil, hutan rakyat tersebut dibangun melalui berbagai dukungan pemerintah seperti bantuan subsidi, Kredit Usaha Hutan Rakyat KUHR dan Dana Alokasi Khusus-Dana Reboissai atau DAK-DR. Data terkini melaporkan bahwa luas total hutan rakyat secara nasional telah mencapai sekitar 3.5 juta ha Pusat Humas Kemenhut 2011 Berdasarkan kronologis singkat tersebut, nampak bahwa di Indonesia pun tanaman kayu rakyat memiliki berbagai tipe dengan karakteristik dan tujuan pengelolaan yang berbeda-beda. Campur tangan pemerintah juga cukup intensif, baik dalam konteks kebijakan, aturan maupun program pembangunan. Namun demikian data statistik menunjukkan bahwa luasan tanaman kayu rakyat yang sebagian besar dalam bentuk hutan rakyat masih relatif rendah, dibandingkan dengan potensi lahan yang tersedia. Disamping itu, sebagian besar pembangunan tanaman kayu tersebut adalah karena upaya swadaya masyarakat. Intervensi pemerintah yang lebih baik sangat diperlukan dalam rangka percepatan pembangunan tanaman kayu rakyat di masa depan. 2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat Upaya pemahaman terhadap faktor-faktor kunci yang menjadi pendorong perkembangan tanaman kayu rakyat telah menjadi perhatian banyak pihak. Rudel 2009 menganalisa perkembangan hutan tanaman secara global berdasarkan data Food and Agricultural Organization FAO. Rudel 2009 menegaskan bahwa data empiris memperkuat anggapan terhadap tiga faktor kunci yang menjadi pendorong bagi perkembangan hutan tanaman di dunia, yaitu urbanisasi, intensitas kebijakan pemerintah dan faktor-faktor ekologi manusia. Urbanisasi meningkatkan tingkat konsumsi atas hasil hutan, termasuk kayu, dan meningkatkan permintaan terhadap bahan baku kayu. Pada saat yang bersamaan, urbanisasi mengurangi ketersediaan tenaga kerja di pedesaan. Tanaman kayu dianggap menjadi pilihan yang tepat pada situasi keterbatasan tenaga kerja tersebut dibandingkan dengan pilihan usaha tanaman lainnya, karena relatif tidak terlalu menuntut curahan tenaga kerja yang tingi. Fenomena ini terjadi pada sebagian besar wilayah di daratan Eropa.