Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat di Indonesia

masyarakat secara swadaya 61.7 dan program pemerintah pusat melalui GERHAN 26.1. Dalam jumlah yang relatif lebih kecil, hutan rakyat tersebut dibangun melalui berbagai dukungan pemerintah seperti bantuan subsidi, Kredit Usaha Hutan Rakyat KUHR dan Dana Alokasi Khusus-Dana Reboissai atau DAK-DR. Data terkini melaporkan bahwa luas total hutan rakyat secara nasional telah mencapai sekitar 3.5 juta ha Pusat Humas Kemenhut 2011 Berdasarkan kronologis singkat tersebut, nampak bahwa di Indonesia pun tanaman kayu rakyat memiliki berbagai tipe dengan karakteristik dan tujuan pengelolaan yang berbeda-beda. Campur tangan pemerintah juga cukup intensif, baik dalam konteks kebijakan, aturan maupun program pembangunan. Namun demikian data statistik menunjukkan bahwa luasan tanaman kayu rakyat yang sebagian besar dalam bentuk hutan rakyat masih relatif rendah, dibandingkan dengan potensi lahan yang tersedia. Disamping itu, sebagian besar pembangunan tanaman kayu tersebut adalah karena upaya swadaya masyarakat. Intervensi pemerintah yang lebih baik sangat diperlukan dalam rangka percepatan pembangunan tanaman kayu rakyat di masa depan. 2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat Upaya pemahaman terhadap faktor-faktor kunci yang menjadi pendorong perkembangan tanaman kayu rakyat telah menjadi perhatian banyak pihak. Rudel 2009 menganalisa perkembangan hutan tanaman secara global berdasarkan data Food and Agricultural Organization FAO. Rudel 2009 menegaskan bahwa data empiris memperkuat anggapan terhadap tiga faktor kunci yang menjadi pendorong bagi perkembangan hutan tanaman di dunia, yaitu urbanisasi, intensitas kebijakan pemerintah dan faktor-faktor ekologi manusia. Urbanisasi meningkatkan tingkat konsumsi atas hasil hutan, termasuk kayu, dan meningkatkan permintaan terhadap bahan baku kayu. Pada saat yang bersamaan, urbanisasi mengurangi ketersediaan tenaga kerja di pedesaan. Tanaman kayu dianggap menjadi pilihan yang tepat pada situasi keterbatasan tenaga kerja tersebut dibandingkan dengan pilihan usaha tanaman lainnya, karena relatif tidak terlalu menuntut curahan tenaga kerja yang tingi. Fenomena ini terjadi pada sebagian besar wilayah di daratan Eropa. Data FAO juga memperlihatkan keeratan hubungan yang kuat antara intensitas kebijakan pemerintah, khususnya antara kebijakan yang berkaitan dengan upaya-upaya rehabilitasi hutan dengan perkembangan luasan hutan tanaman. Fenomena ini banyak terjadi di berbagai negara di Asia. Di Afrika dan sebagian negara-negara Asia dan Eropa, perluasan hutan tanaman lebih disebabkan sebagai respon terhadap kelangkaan kayu dan peningkatan permintaan terhadap bahan baku kayu. Penyebab terakhir tersebut lebih berkaitan dengan faktor-faktor ekologi manusia. Zhang dan Owiredu 2007 melaporkan beberapa bukti empiris bahwa pasar harga kayu hasil hutan tanaman merupakan salah satu faktor penting yang menjadi faktor pendorong perkembangan tanaman kayu rakyat di Ghana. Mereka juga menyatakan bahwa jaminan yang kuat terhadap hak-hak atas lahan merupakan faktor kunci lainnya yang dapat mendorong aktivitas dan investasi petani terhadap pembangunan tanaman kayu. Penelitian mereka menunjukkan bahwa para petani yang memegang hak milik penuh atas lahan lebih tertarik menanam kayu dibandingkan dengan mereka yang memiliki lahan sewaan atau dengan kontrak tertentu. Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa para petani penanam kayu cenderung telah berumur berusia lebih tua, mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta memiliki akses terhadap pelayanan bantuan teknis seperti penyuluhan. Berbagai pengalaman di negara Laos juga menunjukkan bahwa permintaan yang tinggi atas kayu serta keterbatasan pasokan kayu dari areal hutan alam telah mendorong perkembangan hutan tanaman, termasuk tanaman kayu jati rakyat Midgley et al. 2007. Para petani kayu memberikan respon positif terhadap pasar, namun investasi mereka juga tergantung kepada kemampuannya dalam mengatasi berbagai hambatan. Berbagai hambatan yang dihadapi oleh para petani kayu jati di negara Laos bagian utara antara lain adalah masa tunggu yang lama sedikitnya 15 tahun untuk memanen kayu, keengganan para petani untuk melakukan penjarangan tegakan dan keterbatasan akses mereka terhadap bibit tanaman yang berkualitas. Nair 2007 menegaskan pentingnya akses pasar di dalam pengembangan tanaman kayu rakyat. Para petani kayu mempunyai pilihan untuk memasarkan produk kayu mereka, yaitu pasar domestik lokal, pasar khusus niche market dan rantai pasar internasional. Pasar lokal dapat ditempuh dengan cara-cara yang lebih informal dan tidak perlu mengikuti aturan-aturan yang kaku. Pasar lokal lebih fleksibel dan cocok untuk para petani kayu, namun juga mempunyai berbagai kelemahan, seperti skalanya yang terbatas, jenuh dengan para pelaku pasar pesaing, keuntungananya relatif lebih kecil dan cenderung beroperasi secara tidak lestari. Pasar global lebih memberikan peluang pasar, namun para petani kayu harus berhadapan dengan ketentuan-ketentuan yang lebih baku dalam hal kualitas dan jadwal pengiriman, sehingga kurang fleksibel. Para petani kayu perlu mengetahui keseluruhan mata rantai dalam perdagangan internasional apabila ingin memperoleh manfaat keuntungan dari pasar global tersebut. Beberapa segmen pasar khusus dapat memberikan peluang yang lebih baik bagi para petani kayu, namun juga umumnya rentan terhadap persaingan, khususnya apabila jenis produk yang dihasilkan mudah ditiru. Lebih lanjut Nair 2007 menyarankan agar para petani kayu mempunyai kapasitas untuk berhubungan dengan pasar global, yang dalam banyak kasus kapasitas terebut tidak dimiliki. Kelangsungan usaha kecil para petani tergantung kepada kemampuannya untuk mengikuti dinamika pasar. Hal ini berarti para petani perlu memiliki akses yang baik terhadap informasi pasar dan teknologi. Istilah “usaha kecil” tidak ada kaitannya dengan baik dan buruk dan selayaknya para petani atau pengusaha kecil tidak terperangkap oleh pandangan-pandangan yang nisbi. Usaha petani harus dilakukan secara rasional, yang berarti petani memahami kapasitasnya apakah mereka mampu atau tidak untuk bergabung dengan pasar global. Intervensi untuk mengembangkan usaha kecil para petani harus membangun sikap kewirausahaannya di dalam pasar. Di negara Filipina, perkembangan tanaman kayu rakyat dipicu oleh permintaan atas kayu yang meningkat serta harga kayu yang menguntungkan. Sekalipun harga kayu kemudian menurun karena pasar kelebihan pasokan, minat masyarakat untuk menanam kayu tetap tinggi. Usaha tanaman kayu tetap menjadi pilihan yang menarik bagi petani yang memiliki keterbatasan modal dan tenaga kerja. Usaha tanaman kayu lebih sedikit memerlukan modal dan memberikan hasil yang lebih tinggi terhadap curahan tenaga kerja. Kombinasi tanaman kayu dengan tanaman pertanian di dalam sistem agroforestry mampu menyediakan manfaat ekonomi yang baik bagi petani dan mengurangi modal dan curahan tenaga kerja Bertomeu 2006. Pertimbangan ekonomis merupakan salah satu faktor penting yang mendorong para petani untuk melakukan usaha penanaman kayu. Namun demikian, hasil-hasil penelitian pada aspek finansial ini pada beberapa kasus bersifat kontradiktif. Di Costa Rica, Kishor dan Constantino 1993 melaporkan bahwa usaha tanaman kayu lebih menguntungkan daripada usaha tanaman pertanian pada tingkat suku bunga yang rendah. Hasil penelitian pada tanaman rakyat sengon Paraserianthes falcataria di Kediri, Jawa Timur Siregar et al. 2007 memperlihatkan bahwa tanaman campuran sengon dengan berbagai pilihan tanaman pertanian nenas, pepaya, jagung dan cabai memberikan keuntungan pada tingkat suku bunga 17.53. Pada kasus lainnya, usaha tanaman kayu hanya memberikan keuntungan finansial yang marjinal Race et al. 2009; van Bodegom et al. 2008 atau bukan menjadi sumber pendapatan petani yang utama Darusman dan Hardjanto 2006. Lebih lanjut, Hardjanto 2003 menyatakan bahwa usaha tanaman kayu secara finansial kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan jenis usaha tani lainnya. Nampaknya, terdapat situasi-situasi tertentu dimana usaha tanaman kayu lebih atau kurang menguntungkan daripada usaha tani lainnya van Bodegom et al. 2008; Chomitz 2007. Di negara-negara maju, pengembangan tanaman kayu rakyat menghadapi berbagai tantangan dan peluang yang berbeda. Di Kanada, sebagian besar areal hutan dari luas total 418 juta ha adalah milik publik dan dikelola oleh pemerintahan provinsi dan federal. Hanya 6 dari luas total areal hutan yang dimiliki oleh masyarakat atau perusahaan. Terlepas dari kontribusi ekonominya yang cukup besar dari sekitar 425,000 pemilik tanaman kayu rakyat di Kanada, para pemilik hutan harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dan menghadapi berbagai kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada perusahaan-perusahaan tersebut Mitchell-Banks 2001. Di negara-negara Eropa, pada awalnya areal hutan dikelola terutama sebagai pemasok bahan baku kayu. Dewasa ini, sekalipun tujuan tersebut masih tetap dipelihara, areal hutan lebih banyak dikelola untuk berbagai manfaat lingkungan Hyttinen 2001. Di Jepang, seperti telah dijelaskan sebelumnya, persaingan dengan harga kayu impor yang relatif murah menyebabkan usaha tanaman kayu rakyat perlu disubsidi pemerintah Ota 2001. Sementara itu di Australia, usaha tanaman kayu rakyat termasuk ke dalam konsep yang relatif baru bagi masyarakat. Keterbatasan budaya masyarakat dalam konteks ini budaya mencakup pengetahuan, keyakinan, pengalaman dan keterampilan masyarakat dalam usaha tanaman kayu untuk menanam kayu dalam bentuk hutan rakyat merupakan faktor penghambat utama perkembangan tanaman kayu rakyat di Australia. Berdasarkan hasil survey kepada rumah tangga petani, beberapa faktor penghambat yang diungkapkan petani terutama adalah perizinan pemanenan hasil, akses pasar, rotasi tebang yang panjang, merasa cocok dengan pola penggunaan lahan saat ini serta anggapan bahwa usaha tanaman kayu bukan merupakan usaha yang cocok untuk diterapkan di areal lahan produktif Herbohn 2001. Pada awal tahun 2000 mulai terlihat perkembangan yang cukup tinggi dalam tanaman kayu rakyat di Australia. Diperkirakan bahwa dengan perkembangan pasar kayu yang baik serta berbagai hambatan yang akan dapat diatasi, investasi masyarakat di dalam usaha tanaman kayu ke depan akan semakin berkembang Herbohn dan Harrison 2004. Faktor kunci lainnya yang menghambat perkembangan tanaman kayu rakyat di Australia adalah dominasi pemerintah dalam pengelolaan hutan. Dengan alasan untuk meningkatkan manfaat sosial dari areal hutan sebagai pemasok bahan baku kayu, pemerintah Australia sering menetapkan pajak eksploitasi kayu yang terlalu rendah sehingga harga kayu bulat terdistorsi dan kurang kompetitif bagi usaha tanaman kayu rakyat secara komersial Herbohn 2001. Di Indonesia, aturan tataniaga kayu rakyat yang berupa kewajiban bagi para pedagang kayu untuk melengkapi dokumen Surat Keterangan Asal Usul Kayu SKAU sering menyebabkan biaya transaksi tinggi Rohadi et al. 2011; Rifa’i 2011. Biaya transaksi tersebut menjadi beban biaya pemasaran kayu yang kemudian ditransfer menjadi harga beli kayu yang lebih rendah di tingkat petani kayu. Aturan tersebut bersifat disinsentif dan dapat menjadi demotivator terhadap upaya pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia

2.4. Kerangka Analisa Kelembagaan dalam Konteks Persepsi dan Strategi

Petani dalam Pengusahaan Tanaman Kayu Rakyat Istilah “kelembagaan” atau “institution” dapat diartikan dari berbagai sudut pandang. Ostrom 2006 mengartikan kelembagaan sebagai sebuah konsep yang dipahami bersama oleh manusia di dalam berbagai situasi yang terjadi secara berulang yang dikendalikan oleh aturan-aturan rules, norma-norma norms dan strategi-strategi strategies. Yang dimaksud dengan aturan dalam hal ini adalah seperangkat pengertian yang dipahami secara bersama tentang apa yang harus, tidak boleh atau boleh dilakukan oleh seseorang atau kelompok dimana aturan tersebut dianggap dapat ditegakkan dan dipantau pelaksanaannya oleh agen atau organisasi tertentu. Agen atau organisasi tersebut juga memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada setiap pelanggar aturan tersebut. Norma diartikan sebagai aturan-aturan dimana penegakannya dilakukan oleh masing- masing individu atau kelompok secara internal dan eksternal melalui paksaan atau stimulusinsentif tertentu. Strategi diartikan sebagai rencana-rencana yang teratur yang diciptakan oleh individu di dalam struktur insentif berdasarkan aturan, norma dan perilaku yang diharapkan dari pihak atau individu lain di dalam situasi tertentu yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Ostrom 2006 mengajukan kerangka untuk analisa kelembagaan seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Berdasarkan kerangka analisa tersebut, kinerja suatu sistem outcomes akan ditentukan oleh pola interaksi di antara para aktor yang bekerja di dalam sistem tersebut. Pola interaksi menjelaskan bagaimana perilaku yang terbentuk di antara para aktor di dalam sistem tersebut. Oakerson 1992 membagi dua tipe pola interaksi tersebut, yaitu yang bersifat kooperatif dan non-kooperatif. Interaksi yang bersifat kooperatif di antara para aktor akan menghasilkan kinerja yang baik di dalam sistem tersebut, dan sebaliknya. Strategi kooperatif yang dipilih oleh para aktor tergantung kepada empat hal pokok, yaitu ketersediaan informasi, perilaku timbal balik dari aktor yang terlibat reciprocity, efektifitas pemantauan atas perilaku yang terjadi dan efektifitas penegakan atas aturan-aturan yang telah disepakati. Kelemahan atas empat hal tersebut akan memicu perilaku non-kooperatif yang pada umumnya berujung kepada penurunan kinerja di dalam sistem. Gambar 3 Kerangka analisa kelembagaan Ostrom, 2006. Pola interaksi di antara para aktor tersebut di atas merupakan hasil dari interaksi variabel-variable yang terdapat di dalam suatu unit konsepsi yang bersifat kompleks yang oleh Ostrom 2006 disebut sebagai arena aksi atau action arena. Terdapat dua set variabel di dalam arena aksi, yaitu situasi aksi action situations dan pelaku atau aktor actors. Lebih lanjut Ostrom 2006 menjelaskan situasi aksi berdasarkan tujuh variabel yang bersifat umum, yaitu: a. Pihak-pihak yang terlibat atau participants, yaitu pihak-pihak yang terlibat serta jumlahnya yang terkait atau berpartisipasi di dalam sistem tersebut misalnya siapa saja serta berapa banyak jumlah pihak yang memanfaatkan suatu sumber daya tertentu. b. Posisi atau peran-peran yang tersedia bagi para pihak tersebut, sebagai contoh apakah sebagai anggota atau ketua? c. Tindakan-tindakan atau aksi-aksi yang diperbolehkan, misalnya teknologi pemanenan kayu seperti apa yang diizinkan? Apakah ada pembatasan tertentu dalam sistem pemanfaatan suatu sumber daya? d. Potensi dampak yang dihasilkan, yaitu luas wilayah dampak yang mungkin dipengaruhi oleh para pihak yang terlibat dengan masing-masing peran di atas. e. Tingkat pengendalian atas berbagai pilihan yang tersedia, misalnya apakah pihak pengguna atas suatu sumber daya tertentu dapat melakukan tindakan- tindakan seperti dijelaskan di atas berdasarkan inisiatif sendiri atas harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pihak tertentu? f. Informasi yang tersedia, yaitu informasi yang diketahui oleh pihak pengguna tentang kondisi sumber daya yang mereka manfaatkan, informasi tentang biaya dan manfaat yang ditanggung oleh pihak pengguna lain di dalam sistem pemanfaatan sumber daya yang sama, serta informasi tentang potensi dampak kolektif dari tindakan para pihak terhadap kondisi sumber daya. g. Perhitungan-perhitungan biaya dan manfaat serta dampak yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan dari para pihak. Aktor dalam kerangka analisa di atas dapat dipandang sebagai individu atau kelompok individu. Beberapa asumsi perlu digunakan terhadap perilaku aktor di dalam proses analisa tersebut. Asumsi-asumsi tersebut adalah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut oleh para aktor; sumber daya, informasi dan keyakinan yang dimiliki para aktor; kemampuan para aktor dalam memanfaatkan informasi; serta mekanisme-mekanisme internal yang digunakan para aktor di dalam proses pengambilan suatu keputusan. Secara umum dapat diasumsikan bahwa pilihan strategi yang akan dilakukan oleh aktor akan tergantung kepada bagaimana persepsi dan pertimbangan aktor tersebut terhadap biaya, manfaat dan hasil akhir yang akan diperoleh di dalam sistem atau situasi tertentu. Beberapa asumsi yang bisa digunakan untuk menduga perilaku aktor di dalam kerangka analisa di atas menurut Ostrom 2006 antara lain adalah: a. Anggapan bahwa pada dasarnya setiap individu adalah makhluk homo economicus, dalam artian bahwa setiap individu memiliki informasi yang lengkap serta tujuan atau keinginan yang jelas dan bahwa mereka akan memaksimumkan keuntungan dalam setiap situasi yang dihadapi. b. Anggapan bahwa para aktor merupakan fallable learners, dalam artian bahwa mereka bisa saja, dan bahkan sering terjadi, memilih strategi atau keputusan yang salah karena keterbatasan informasi atau keterbatan kemampuan mereka dalam mengolah informasi. Namun demikian mereka akan belajar dari kegagalan-kegagalan tersebut karena insentif yang disediakan oleh sistem kelembagaan. c. Anggapan bahwa para aktor akan mengembangkan perilaku reciprocity, dalam artian perilaku individu juga akan tergantung kepada bagaimana sikap dan tindakan aktor lain terhadap dirinya, seperti yang dijelaskan di dalam konsep menurut Oakerson 1992. d. Anggapan bahwa para aktor akan bersikap oportunistik opportunism assumption, dalam artian bahwa apabila memungkinkan, individu cenderung akan mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri, walaupun hal tersebut membawa akibat merugikan pihak lain. Sikap tersebut bisa terjadi secara kebetulan atau tidak direncanakan maupun direncanakan dengan segala strategi dan perhitungannya. Pada Gambar 3 terlihat bahwa arena aksi dipengahui oleh tiga set variabel, yaitu aturan-aturan yang digunakan rules in use, atribut-atribut kemasyarakatan attributes of community dan kondisi fisik physicalmaterial conditions dari sistem yang sedang dihadapi. Pengertian atas aturan menurut Ostrom 2006 telah dijelaskan di atas. Lebih lanjut disebutkan bahwa aturan-aturan tersebut diciptakan untuk mencapai keteraturan dan kepastian atau konsistensi di dalam interaksi manusia melalui pembentukan kelompok posisi yang diperlukan, diizinkan atau dilarang untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu di dalam arena aksi tersebut. Di dalam analisa kebijakan, pemahaman terhadap aturan- aturan yang digunakan oleh suatu individu atau kelompok di dalam arena aksi adalah sangat penting. Aturan-aturan tersebut bisa tertulis atau tidak tertulis, namun sepanjang aturan tersebut digunakan sebagai bahan referensi atas keputusan yang diambil oleh aktor, maka aturan tersebut dianggap sebagai aturan yang berlaku rule in use. Ostrom 2006 menggolongkan aturan-aturan tersebut ke dalam tujuh kelompok, yaitu: a. Aturan yang mengatur aktor untuk masuk ke atau keluar dari suatu sistem entry and exit rules. Aturan-aturan ini akan mempengaruhi jumlah pelakuparticipants, karakteristik dan sumber daya pelaku dan persyaratan- persyaratan yang harus dipenuhi bagi pelaku untuk memasuki atau keluar dari sistem tersebut, b. Aturan yang menciptakan posisi-posisi tertentu di dalam sistem position rules dimana posisi-posisi tersebut telah memiliki serangkaian kewenangan dan peran yang diatur dalam aturan kewenangan authority rules, c. Aturan yang mengatur ruang lingkup dampak scope rules yang membatasi dampak dari suatu tindakan atau sebaliknya membatasi tindakan-tindakan atas dampak tertentu, d. Aturan yang mengatur otoritas atau pilihan authority or choice rules yang menentukan bentuk dari hierarki keputusan. Aturan otoritas juga memberikan penugasan atas apa-apa yang harus, boleh atau tidak boleh dilakukan oleh pelaku dengan peran-peran tertentu, e. Aturan agregasi aggregation rules, yaitu aturan yang mempengaruhi tingkat pengendalian terhadap tindakan-tindakan pelaku, f. Aturan informasi information rules yang mempengaruhi tingkat akses pelaku terhadap informasi, g. Aturan ganjaran atau hukuman payoff rules, yaitu aturan yang mempengaruhi tingkat manfaat yang akan diterima atau biaya yang harus dikeluarkan oleh para pelaku atas tindakan atau dampak yang dihasilkan. Aturan ini akan menciptakan insentif atau kebalikannya atas suatu tindakan tertentu. Ostrom 2006 juga menambahkan bahwa perangkat aturan-aturan tersebut bersifat konfiguratif dan tidak bersifat additif, dalam artian pengaruh yang disebabkan oleh perubahan dalam salah satu aturan akan tergantung kepada aturan-aturan lainnya. Selain dipengaruhi oleh perangkat-perangkat aturan yang berlaku, arena aksi dipengaruhi oleh atribut-atribut yang berkaitan dengan kondisi fisik dari sistem yang sedang dianalisa. Beberapa variabel yang penting untuk dipertimbangkan antara lain adalah tingkat excludability dan substractability. Variabel excludability atau tingkat kekhususan suatu sistem atau sumber daya menjelaskan seberapa jauh tingkat kesulitan dalam pengendalian atas sumber daya tersebut agar pemanfaatannya hanya dapat dilakukan oleh pihak-pihak tertentu saja. Sumber daya yang mempunyai tingkat exclusiveness nya rendah, dalam artian pemanfaatan sumber daya tersebut sulit dibatasi hanya untuk kalangan tertentu saja, dapat digolongkan sebagai jenis sumber daya milik publik public goods. Sumber daya yang dapat dimiliki oleh individu dan pemanfaatannya dapat dikontrol secara penuh oleh pemilik atau barang milik pribadi private goods merupakan kebalikan dari barang publik. Di antara kedua kelompok tersebut terdapat jenis sumber daya yang pemanfaatannya dapat dikontrol dalam tingkatan tertentu oleh kelompok individu. Jenis sumber daya tersebut tergolong kepada common pool resources, atau barang milik komunal. Variabel substractability atau tingkat pengurangan menjelaskan sejauh mana pemanfaatan suatu sumber daya oleh pihak tertentu akan mengurangi tingkat pemanfaatan oleh pihak lainnya. Oakerson 1992 memberikan istilah jointness atau tingkat keterikatan atas variabel ini. Beberapa sumber daya alam memiliki tingkat pengurangan yang tinggi seperti halnya sumber daya hutan, sehingga penataan kelembagaan akan menentukan tingkat kelestarian sumber daya tersebut. Atribut lain yang mempengaruhi struktur arena aksi adalah atribut-atribut kemasyarakatan attributes of community. Atribut-atribut ini antara lain meliputi norma atau perilaku yang diterima secara umum oleh suatu kelompok masyarakat, tingkat saling pengertian di antara anggota masyarakat, tingkat kesamaan pandangan atau tujuan dalam kehidupan bermasyarakat dan distribusi sumber daya di antara masyarakat yang terlibat di dalam arena aksi tersebut. Istilah budaya sering digunakan untuk mewakili kumpulan variabel tersebut Ostrom, 2006. Dalam konteks common pool resources, Oakerson 1992 menggunakan atribut decision making arrangements penataan dalam pengambilan keputusan yang menggabungkan atribut aturan dan kemasyarakatan menurut versi Ostrom. Di dalam atribut tersebut Oakerson 1992 menggolongkannya kepada tiga variabel, yaitu aturan-aturan operasional operational rules yang mengatur tatacara penggunaan atau pemanfaatan atas sumberdaya oleh kelompok atau organisasi, proses penentuan keputusan bersama condition of collective choices yang berlaku di dalam kelompok serta aturan-aturan eksternal external arrangements atau aturan-aturan dari luar kelompok yang turut menentukan bagaimana suatu sumberdaya dimanfaatkan atau dikelola oleh kelompok tersebut. Kerangka analisa kelembagaan menurut konsep Ostrom tersebut di atas telah banyak diaplikasikan di dalam berbagai bidang kajian Polski dan Ostrom 1999. Namun demikian aplikasinya dalam konteks analisa persepsi dan keputusan petani masih relatif terbatas. Clement dan Amezaga 2008 menggunakan kerangka analisa kelembagaan untuk mengetahui efektifitas kebijakan pemerintah dalam program rehabilitasi hutan terhadap dinamika penggunaan lahan oleh petani di Vietnam. Kerangka analisa kelembagaan digunakan dengan menggabungkan perspektif sejarah dan persepsi petani dalam pengelolaan lahan dan hutan. Mereka menemukan bahwa kebijakan pemerintah turut campur dan mempengaruhi faktor-faktor lokal dan menciptakan pola pengambilan keputusan dan tindakan petani yang bersifat kompleks. Berdasarkan analisa tersebut, aktivitas rehabilitasi lahan yang terjadi dan dilakukan oleh masyarakat ternyata bukan disebabkan oleh respon petani terhadap insentif yang disediakan oleh pemerintah melalui kebijakan yang diterapkan, namun lebih karena akibat yang tidak terduga dan gangguan terhadap sistem kelembagaan lokal dengan adanya penerapan kebijakan pemerintah tersebut. Temuan tersebut mengingatkan pemerintah untuk tidak mudah teperdaya oleh anggapan dan keyakinan yang keliru di dalam menerapkan kebijakan karena akan menimbulkan konflik pada realitas kehidupan masyarakat. Temuan ini menegaskan perlunya kajian pada tingkat lokal dan mempertimbangkan kelembagaan lokal dalam merumuskan kebijakan tentang sistem penggunaan lahan yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat. Persepsi sangat menentukan cara pengambilan keputusan, seperti dikemukakan oleh Armstrong di dalam Clement 2007. Persepsi petani terhadap usaha tani, termasuk usaha tanaman kayu, akan menentukan bagaimana strategi petani di dalam menjalankan usaha tani mereka. Dalam konteks strategi tersebut, ada dua konsep penting tentang petani yang mendasari cara pandang para analis di dalam memahami perilaku petani, yaitu cara pandang sosok petani sebagai peasant dan petani sebagai farmer Abar 2002. Selanjutnya Abar 2002 menerangkan bahwa dalam konteks petani sebagai peasant, petani merupakan sosok yang hidup secara subsisten di dalam melakukan kegiatan usaha taninya, yaitu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Apabila petani memperoleh surplus dari aktivitas usaha taninya, petani tersebut akan tetap menyimpan surplus tersebut untuk jaminan keamanan dalam mempertahankan hidupnya. Sebagai peasant petani menerapkan dua strategi dalam usaha taninya, yaitu memperbesar produksi dan mengurangi konsumsi membatasi konsumsi pada bahan-bahan kebutuhan pokok saja, namun tetap mengalokasikan pengeluaran untuk mempertahankan hubungan sosial tradisionalnya. Cara pandang petani sebagai peasant dikemukakan oleh pakar sosiolog Eric R Wolf dan James C. Scott. Geertz di dalam Abar 2002 menyatakan sosok petani sebagai peasant menjadi ciri budaya petani Jawa dan menyebut konsep ekonomi petani tersebut sebagai konsep ekonomi moral. Sebaliknya cara pandang petani sebagai farmer, memahami petani sebagai sosok yang akan melaksanakan kegiatan usaha taninya dalam rangka kegiatan bisnis untuk mencari keuntungan. Konsep ini cenderung menggunakan pendekatan pilihan rasional rational choice sehingga menganut konsep ekonomi rasional yang dikonstruksi oleh pakar sosiolog Samuel Popkin. Belcher dan Kusters 2004 mengemukakan tiga model strategi petani di dalam menjalankan kegiatan usaha taninya berdasarkan kontribusi hasil usaha tani tersebut terhadap pendapatan total keluarga dan pendapatan tunai cash income keluarga. Ketiga model strategi tersebut dikembangkan dari studi yang komprehensif yang membandingkan berbagai kasus pengusahaan hasil hutan bukan kayu yang dilakukan oleh petani di berbagai negara. Ketiga strategi tersebut adalah coping strategy, diversified strategy dan specialized strategy. Coping strategy didefinisikan sebagai strategi petani dimana kontribusi usaha taninya terhadap pendapatan total keluarga relatif kecil kurang dari separuh pendapatan total keluarga dalam pola usaha yang bersifat subsisten. Diversified strategy didefinisikan sebagai strategi petani dimana kontribusi usaha taninya terhadap pendapatan total keluarga relatif kecil kurang dari 50, namun memberikan kontribusi yang cukup nyata terhadap pendapatan tunai keluarga. Specialized strategy didefinisikan sebagai strategi petani dimana kontribusi usaha tani sudah melebihi 50 dari pendapatan tunai keluarga petani. Ketiga model strategi tersebut juga dapat dijadikan bahan acuan di dalam memahami strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat.

III. METODOLOGI PENELITIAN

3. 1. Pendekatan dan Kerangka Analisa Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kerangka analisa kelembagaan yang diusulkan oleh Ostrom 2006, seperti telah disajikan pada Gambar 3. Arena aksi action arena di dalam kerangka analisa ini adalah tanaman kayu rakyat dan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani sebagai aktor utama di dalam kegiatan usaha tersebut. Persepsi petani di dalam arena aksi difahami melalui pengumpulan pendapat petani tentang manfaat usaha tanaman kayu bagi kehidupan mereka. Persepsi petani juga difahami dari cara mereka dalam mengalokasikan sumber daya yang dimiliki di dalam konteks usaha tanaman kayu rakyat, serta respon mereka atas informasi yang mereka ketahui yang berkaitan dengan usaha tanaman kayu mereka. Proses pengambilan keputusan oleh petani di dalam arena aksi melahirkan strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat. Strategi tersebut terbentuk sebagai hasil interaksi antara persepsi petani terhadap usaha tanaman kayu rakyat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat tersebut, yang di dalam kerangka analisa disebut sebagai situasi aksi action situation. Situasi aksi tersebut mencakup posisi, peran dan tindakan petani dan para aktor lain misalnya pedagang, perangkat desa, aparat pemerintah yang terlibat di dalam sistem usaha tanaman kayu rakyat tersebut. Situasi aksi juga mencakup berbagai konsekwensi yang dihadapi petani dan aktor lainnya sebagai akibat dari tindakan yang dilakukannya, serta informasi yang tersedia bagi para aktor yang terlibat. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi arena aksi di dalam kerangka analisa tersebut mencakup kondisi fisik physicalmaterial conditions dari usaha tanaman kayu rakyat, atribut-atribut masyarakat community attributes serta aturan main yang berlaku rule in use. Kondisi fisik mencakup berbagai karakteristik wilayah serta karakteristik alami dari tanaman kayu yang diusahakan petani. Atribut masyarakat berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat yang mempengaruhi persepsi dan perilaku petani dan aktor lainnya di dalam sistem usaha tanaman kayu rakyat. Aturan main mencakup ketentuan-