6. Kebaruan Manfaat Hasil Penelitian

Tabel 1 lanjutan No. Negara Wilayah Terminologi tanaman kayu rakyat Kepemilikan Ukuran unit pengelolaan Tujuan pengelolaan 4 Austral- asia  Farm Forestry;  Agroforestry.  Perorangan  Kemitraan antara rumah tangga dan perusahaan. Sampai ratusan hektar  Menjadi sumber pendapatan rumah tangga  Jasa lingkungan seperti untuk penghalang angin windbreaks, naungan shelterbelts dan sekat terasslope breaks Herbohn 2001 5 India Hobley 1996  Social Forestry  Farm Forestry  Community Forestry  Joint Forest Management  Rural Development Forestry  Perorangan  Komunal kelompok masyarakat  Negara Pada umumnya kurang dari 1 ha.  Produksi kayu  Rehabilitasi hutan  Pemenuhan kebutuhan subsisten masyarakat seperti pakan ternak dan kayu bakar. 6 Filipina  Community Based Forest Management CBFM;  Community Based Resource Management CBRM  Perorangan  Komunal kelompok masyarakat. Pada umumnya pada luasan yang relatif kecil.  Produksi kayu  Rehabilitasi hutan  Pemenuhan kebutuhan subsisten masyarakat seperti pakan ternak dan kayu bakar. Di negara-negara berkembang seperti di negara-negara Asia, nampaknya dukungan pemerintah masih sangat kental di dalam pengembangan tanaman kayu rakyat. Dukungan pemerintah tersebut meliputi hampir keseluruhan aspek pengelolaan di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Produk hutan tanaman rakyat tidak harus difokuskan kepada kayu karena nilai ekonomisnya mungkin tidak akan optimal. Diversifikasi produk nampaknya lebih cocok untuk pengembangan tanaman kayu rakyat di negara-negara berkembang, sehingga produk hutan menjadi lebih beragam dengan berbagai produk pertanian lainnya, baik yang bersifat komersial atau untuk pemenuhan kebutuhan subsisten masayarakat. Diversifikasi produk dalam bentuk jasa lingkungan nampaknya juga menjadi kecenderungan dewasa ini di dalam pengelolaan tanaman kayu rakyat di negara- negara maju. Pelajaran lain yang sangat penting dari paparan di atas adalah bahwa tanaman kayu rakyat memiliki kontribusi yang tidak dapat dianggap kecil dalam hal penyediaan bahan baku kayu. Disamping itu usaha tanaman kayu rakyat dapat dikaitkan dengan program rehabilitasi hutan yang saat ini banyak dilakukan di negara-negara berkembang. Dukungan yang bersifat komprehensif serta disesuaikan dengan kondisi lokal nampaknya perlu dilakukan untuk pengembangan tanaman kayu rakyat.

2.2. Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat di Indonesia

Perkembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks pembangunan kehutanan secara umum. Berdasarkan catatan sejarah, kebijakan dalam penataan sumber daya hutan di Indonesia mulai dilakukan dengan diberlakukannya Undang Undang No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan- ketentuan pokok kehutanan Basic Forestry Law. Berdasarkan undang-undang ini status kepemilikan hutan telah dikelompokkan menjadi hutan negara dan hutan milik. Hutan negara terdiri dari kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan milik ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik yang belakangan juga dikenal dengan istilah hutan rakyat. Pada awal masa pemerintahan Orde Baru, pengelolaan hutan di Indonesia lebih banyak dipusatkan kepada eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan para pemegang Hak Pengusahaan Hutan HPH. Pada masa ini sumber daya hutan dipandang sebagai sumber penghasil devisa negara dan dijadikan sebagai salah satu motor penggerak bagi pembangunan ekonomi nasional. Masyarakat tidak banyak dilibatkan di dalam pengelolaan hutan dengan anggapan bahwa manfaat sumber daya hutan bagi kesejahteraan masyarakat akan terpenuhi dengan sendirinya apabila pembangunan ekonomi di sektor kehutanan meningkat. Konsep trickle down effect menjadi paradigma dalam pembangunan di sektor kehutanan pada masa itu. Pada tahun 1978, Jakarta menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres Kehutanan Sedunia The World Forestry Congress yang ke VIII dengan thema ”forest for people”. Di dalam kongres tersebut perhatian dunia internasional terhadap hak-hak masyarakat atas sumber daya hutan banyak dibicarakan. Namun demikian, dukungan kebijakan atas hak-hak masyarakat tersebut baru diluncurkan pada tahun 1991 melalui program HPH Bina Desa, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK. Menhut No. 61Kpts-II1991. Program ini selanjutnya disempurnakan menjadi program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan PMDH pada tahun 1995 melalui penerbitan SK. Menhut No. 69Kpts-II1995. Program PMDH belum memberikan hak pengelolaan atas sumber daya hutan kepada masyarakat, melainkan hanya memberikan serangkaian kewajiban kepada para pemegang HPH untuk membantu masyarakat di pedesaan, khususnya yang tinggal di sekitar areal hutan yang mereka kelola, agar meningkat kesejahteraannya dan menjadi lebih mandiri dalam perekonomiannya. Di dalam konsepsinya, pelaksanaannya program PMDH harus diawali melalui studi diagnostik yang dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat desa hutan. Studi diagnostik tersebut harus dituangkan di dalam Rencana Karya Pengusahaan Hutan RKPH, Rencana Karya Lima tahun RKL dan Rencana Karya Tahunan RKT di dalam pengelolaan hutan. Aspek yang dilakukan di dalam program PMDH meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dalam hal usaha tani melalui program usaha tani menetap, peningkatan ekonomi, pengembangan sarana dan prasarana sarpras umum, pembangunan sosial budaya dan pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan. Namun pada prakteknya program PMDH lebih dipandang sebagai sekedar kewajiban oleh para pemegang HPH untuk memenuhi persyaratan perolehan pengesahan Rencana Karya Tahunan RKT. Program yang dikembangkan umumnya tidak sungguh-sungguh meningkatkan kemandirian masyarakat, bahkan sebaliknya mendidik masyarakat menjadi sangat tergantung kepada bantuan HPH dalam pembangunan infrastruktur desa. Para pemegang HPH lebih menggunakan prinsip “sinterklas” atau memberikan apa saja yang diminta oleh masyarakat setempat karena dikejar oleh batas waktu pelaporan pelaksanaan fisik yang wajib dibuat setiap bulan dan triwulan dari pelaksanaan kegiatan PMDHnya. Program umumnya dilaksanakan tanpa persiapan yang matang dan tidak melibatkan masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama, sehingga pelaksanaan kegiatannya banyak mengalami hambatan di lapangan Subarudi 2000.