Tanaman jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul

akan uang tunai, atau apabila petani masih mempunyai aset keluarga lainnya yang dapat diuangkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seperti dari penjualan hasil palawija atau hewan ternak. Tabel 9 Analisa finansial usaha tani rakyat berbasis tanaman jati No Komponen biaya Tipe penggunaan lahan Jumlah responden Nilai rataan Galat contoh 1 Pendapatan Rp per KK Kitren 1 29 2,827,976 704,386 Tegalan 2 27 3,751,204 785,370 Taraf nyata 0.067 2 Biaya input Rp per KK Kitren 29 530,720 113,089 Tegalan 29 1,938,056 243,799 Taraf nyata 0.007 3 Margin Rp per KK Kitren 29 2,297,256 670,834 Tegalan 27 1,698,369 663,655 Taraf nyata 0.062 4 Pendapatan per ha Rp Kitren 29 19,516,099 12,119,384 Tegalan 27 13,542,895 2,681,746 Taraf nyata 0.007 5 Biaya input per ha Rp Kitren 29 1,859,916 354,710 Tegalan 29 10,015,327 2,054,893 Taraf nyata 0.001 6 Margin per ha Rp Kitren 29 17,656,184 11,935,474 Tegalan 27 3,639,578 2,415,694 Taraf nyata 0.007 Keterangan: 1 Analisa biaya kitren didasarkan atas nilai rataan usaha kitren tahun 2003 sd 2007 2 Analisa biaya tegalan didasarkan atas nilai rataan usaha tegalan tahun 2007 3 = berbeda sangat nyata berdasarkan uji statistik t-student Tabel 10 Komponen biaya input dan pendapatan usaha tani kitren dan tegalan Komponen biaya input Kitren Tegalan Komponen pendapatan Kitren Tegalan Curahan tenaga kerja 58.1 61.6 Kayu jati 30.7 3.1 Bahan 22.7 31.1 Tanaman hutan non jati 17.6 1.4 Peralatan 12.8 2.5 Kayu bakar 33.5 3.6 Lain-lain 6.4 4.8 Hijauan Makanan Ternak HMT 13.5 6.5 Tanaman pangan 4.7 85.4 Total 100 100 Total 100 100 Survey pasar yang dilakukan Kurniawan et al. 2008 melaporkan bahwa 80 petani memanen kayu jati mereka karena desakan kebutuhan akan uang tunai. Alasan kebutuhan tersebut pada umumnya antara lain adalah untuk perayaan lebaran akhir bulan Ramadhan, untuk menyekolahkan anak ke tempat yang baru, perayaan keluarga dan untuk menanggulangi masa gagal panen tanaman pangan. Petani mulai menjual jati saat umur pohon mencapai 10 tahun. Hanya sedikit 14 petani yang menjual kayu jati setelah tanaman mencapai masak tebang optimal, yaitu di atas umur 30 tahun. Sebagian besar petani menjual kayu jati mereka dalam bentuk tegakan kepada para pedagang pengumpul atau pengepul kayu di desa. Para pengepul pada umumnya adalah para petani juga yang tingkat ekonominya relatif sudah lebih maju. Jumlah pengepul di tingkat desa adalah antara 2- 5 orang Kurniawan et al. 2008. Transaksi jual beli kayu biasanya dilakukan langsung di lahan tempat pohon yang akan ditebang. Pengepul menaksir harga kayu dengan mengukur lilit batang pada posisi tertinggi yang dapat dicapai saat berdiri. Pada umumnya para petani lebih bersifat sebagai penerima harga price takers di dalam proses transaksi tersebut. 5.1.3. Analisa Kelembagaan: Persepsi dan Strategi Petani Dalam Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat Polski dan Ostrom 1999 mengemukakan bahwa inti dari analisa kelembagaan menjelaskan hubungan sebab akibat di dalam konsepsi arena aksi. Analisa tersebut mempunyai tiga tujuan utama, yaitu untuk mengidentifikasi faktor-faktor eksternal pada aspek-aspek kondisi fisik atau materi dari obyek yang diteliti, atribut-atribut masyarakat dan aturan main yang berlaku yang mempengaruhi perilaku individu atau kelompok di dalam arena aksi, mengidentifikasi dan mengevaluasi pola-pola interaksi yang logis yang berkaitan dengan perilaku aktor di dalam arena aksi dan mengevaluasi luaran atau kinerja dari proses interaksi tersebut. Terdapat dua unsur arena aksi yang saling berinteraksi, yaitu situasi aksi dan karakteristik dari aktor-aktor yang terlibat di dalam proses interaksi tersebut. Di dalam kerangka analisa ini, petani kayu jati rakyat merupakan figur sentral yang ingin dianalisa, khususnya untuk memahami pola-pola pengambilan keputusan yang mereka lakukan di dalam menjalankan usaha tanaman kayu jati rakyat tersebut. Petani memiliki cara pandang tersendiri terhadap usaha tanaman kayu yang mereka lakukan. Petani melakukan tindakan atau keputusan di dalam menjalankan usaha tanaman kayu mereka karena didorong oleh cara pandang tersebut dan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti sumber daya yang mereka kuasai serta situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Fakta kelembagaan pertama yang dapat dipahami dari fakta-fakta alamiah Searle dalam Clement 2007 didalam usaha tanaman jati rakyat adalah bahwa tanaman jati sudah menjadi bagian yang penting di dalam sistem usaha tani masyarakat desa di Kabupaten Gunungkidul. Hal tersebut jelas terlihat dari hasil pengamatan lapangan serta hasil inventarisasi lahan petani yang telah dilakukan. Tanaman jati mudah dijumpai pada berbagai tipe penggunaan lahan yang ada, seperti pekarangan, tegalan atau kitren dalam sistem tumpang sari atau yang juga dikenal dengan sistem agroforestry. Secara fisik, tanaman jati memang cocok dengan kondisi wilayah di Kabupaten Gunungkidul. Wilayah tersebut memiliki curah hujan yang cukup, musim kemarau yang cukup nyata setiap tahun dan memiliki jenis tanah yang banyak mengandung zat kapur. Kondisi alam tersebut merupakan tempat yang cocok bagi habitat pertumbuhan tanaman jati menurut Martawijaya et al. 2005. Sejarah Kabupaten Gunungkidul yang pernah mengalami kondisi lingkungan yang rusak karena rendahnya luas tutupan hutan Filius 1997; Awang 2001; Maarif Institute 2007 telah mempengaruhi pandangan masyarakat atas peran penting tanaman kayu jati bagi perbaikan lingkungan. Para petani terdahulu merespon kondisi lingkungan yang gersang tersebut dengan penanaman kayu. Menurut Rudel 2009, respon tersebut merupakan pengaruh faktor ekologi manusia yang juga terjadi pada berbagai tempat di dunia. Perkembangan selanjutnya, budidaya tanaman jati tersebut kemudian membudaya dan diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Pengaruh pasar atau faktor ekonomis masuk ke dalam pertimbangan masyarakat petani generasi kemudian setelah ternyata kayu jati mampu memberikan kontribusi yang cukup nyata terhadap pendapatan keluarga. Respon petani yang positif terhadap pengaruh pasar tersebut bersifat logis dan juga terjadi di berbagai wilayah lainnya di dunia, seperti dilaporkan antara lain oleh Zhang dan Owiredu 2007, Midgley et al. 2007 dan Bertomeu 2006. Fakta kelembagaan kedua yang dapat dipahami adalah bahwa usaha tanaman jati rakyat menjadi strategi usaha tani dalam rangka meragamkan sumber pendapatan keluarga petani. Strategi diversifikasi tersebut jelas terlihat dari struktur pendapatan keluarga serta model alokasi penggunaan lahan petani. Struktur pendapatan petani seperti yang dijelaskan pada Gambar 10 menunjukkan bahwa petani jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul lebih didominasi oleh karakter mereka sebagai peasant di dalam perspektif antropologi ekonomi Abar, 2002. Pertimbangan safety first atau jaminan keamanan keluarga serta nilai-nilai moral seperti karena meneruskan tradisi keluarga dan untuk perbaikan lingkungan menjadi faktor yang sangat penting dalam pengambilan keputusan petani dalam melakukan kegiatan usaha tani. Karakter peasant tersebut mendorong petani untuk memfokuskan usaha tani merka bagi produksi tanaman pangan, karena komoditi tersebut secara langsung berkaitan dengan kebutuhan dasar petani. Menurut Belcher dan Kusters 2004, strategi petani kayu jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul dapat digolongkan ke dalam coping strategy atau diversified strategy, tergantung kepada besaran kontribusi finansial tanaman kayu jati terhadap pendapatan tunai keluarga. Secara umum, dengan kontribusi pendapatan rata-rata sebesar 13 terhadap pendapatan keluarga, strategi usaha tani tanaman jati rakyat tersebut tergolong kepada strategi diversifikasi pendapatan. Analisa finansial usaha tani menunjukkan bahwa sebenarnya tanaman jati memberikan marjin keuntungan per hektar yang lebih besar dibandingkan dengan usaha tanaman pangan lihat Tabel 9. Namun demikian, kepemilikan lahan yang relatif terbatas menahan petani untuk melakukan ekspansi tanaman jati pada lahan-lahan usaha tani mereka. Pendapatan riil petani pada kondisi luas lahan yang mereka miliki relatif sama antara usaha kitren dan tegalan. Usaha tani tegalan lebih banyak memberikan kesempatan bagi petani untuk bekerja di lahan sendiri karena komponen terbesar dari biaya input produksi adalah curahan tenaga kerja, seperti yang diperlihatkan oleh Tabel 10. Budidaya tanaman jati rakyat yang dipraktekkan petani terintegrasi dengan usaha tani lainnya tanaman pangan dan ternak. Pola tumpang sari menjadi pilihan yang terbaik bagi petani di dalam melakukan usaha tanaman jati. Petani tidak menerapkan teknik silvikultur yang intensif terhadap tanaman jati mereka karena fokus usaha tani masih terletak pada produksi tanaman pangan. Karena peranan utama tanaman kayu jati sebagai tabungan keluarga dan sumber uang tunai pada kondisi darurat, maka strategi pemanenan atau pemasaran kayu yang diterapkan petani pada umumnya adalah pola tebang butuh dan memasarkan kayu jati mereka melalui para pedagang kayu atau pengepul di tingkat desa. Pola tebang butuh tersebut sebenarnya melemahkan posisi tawar petani saat bertransaksi dengan para pengepul. Namun demikian pola pemanenan tersebut sangat cocok dengan kondisi petani karena berbagai faktor. Pertama, pada umumnya petani menjual kayu jati hanya dalam jumlah yang kecil satu atau beberapa pohon saja, sehingga tidak cukup ekonomis untuk mencari alternatif cara pemasaran yang lain, misalnya dengan cara menjual langsung ke industri pengolahan kayu. Kedua, petani pada umumnya tidak memiliki keterampilan, sarana dan pengetahuan yang memadai untuk melaksanakan penebangan kayu secara sendiri. Ketiga, aturan tata niaga kayu mewajibkan para pedagang kayu untuk melengkapi dokumen surat izin tebang SIT dan surat keterangan sahnya hasil hutan SKSHH yang perlu diurus di kantor desa dan Dinas Kehutanan Kabupaten. Pengurusan dokumen-dokumen tersebut memerlukan pengetahuan yang khusus serta biaya transaksi yang terlalu tinggi untuk ditanggung secara individu oleh petani. Terakhir, memasarkan kayu kepada pengepul sangat mudah dan praktis karena para pengepul biasanya juga adalah anggota masyarakat yang telah dikenal dengan baik. Rangkuman persepsi dan strategi petani di dalam usaha tanaman kayu jati rakyat berdasarkan hasil analisa kelembagaan seperti diuraikan diatas disajikan pada Tabel 11. Kinerja yang telah dicapai Kabupaten Gunungkidul di dalam pengembangan hutan rakyat dianggap cukup mengesankan karena telah berhasil mengubah bentang alam dari kondisi gersang pada tahun 1950an dan kini menjadi jauh lebih hijau. Secara khusus Menteri Kehutanan telah menjadikan Kabupaten Gunungkidul sebagai model percontohan untuk pengembangan hutan rakyat Suryanto 2009. Pertumbuhan luas tutupan hutan dari hanya 3 menjadi 29 42 ribu ha dalam kurun waktu 50 tahun - apabila dianggap inisiatif penanaman kayu oleh masyarakat dimulai pada tahun 1960an menurut versi Awang 2001 - menunjukkan bahwa pertambahan luas tutupan hutan rata-rata adalah sekitar 750 ha per tahun. Perkembangam luas tutupan hutan tersebut telah membawa perbaikan lingkugan yang sangat nyata. Dulu kabupaten ini dikenal sebagai tempat yang sering dilanda kekeringan dan kekurangan pangan, namun kini bentang alam wilayah relatif hijau dan kesejahteraan ekonomi masyarakat relatif meningkat. Tabel 11 Persepsi dan strategi petani kayu di dalam sistem pengusahaan tanaman jati rakyat No. Aspek Uraian Persepsi petani terhadap pengusahaan tanaman kayu jati rakyat Tanaman jati dipandang memiliki peran yang sangat penting di dalam sistem usaha tani. Peranan utama tanaman jati adalah sebagai tabungan keluarga dan sumber uang tunai pada kondisi darurat. Tanaman jati cocok dengan kondisi lingkungan setempat dan budidaya tanaman jati sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Strategi usaha tanaman kayu jati rakyat Usaha tanaman kayu jati rakyat merupakan bagian dari strategi diversifikasi pendapatan keluarga. Praktek budidaya tanaman jati dilakukan secara tumpang sari agroforestry di dalam sistem usaha tani untuk produksi tanaman pangan. Strategi pemanenan dan pemasaran kayu jati rakyat Strategi pemanenan dan pemasaran kayu dilakukan berdasarkan pola tebang butuh tidak berdasarkan rotasi tebang tertentu dan dipasarkan melalui pengepul kayu. Kegiatan penanaman jati di Kabupaten Gunungkidul kini sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Usaha tanaman jati sudah terintegrasi di dalam usaha tani dengan penerapan pola agroforestri. Usaha tanaman jati telah memberikan kontribusi yang cukup nyata 13 terhadap pendapatan total keluarga dan menjadi sumber pendapatan kedua setelah tanaman pangan di dalam sistem usah tani keluarga. Sekalipun demikian, teknik budidaya tanaman jati rakyat masih belum menerapkan teknik-teknik silvikultur tanaman yang ideal. Di dalam sistem pemasaran kayu, para petani kayu jati juga masih berada pada posisi penerima harga. 5.1.4. Permasalahan dan Peluang Petani Dalam Pengembangan Usaha Tanaman Jati Rakyat Walaupun secara umum perkembangan tanaman jati rakyat di Gunungkidul sudah relatif baik dan mendapat pengakuan dari berbagai pihak, berbagai permasalahan masih dihadapi petani dalam rangka pengembangan usaha tanaman jati lebih lanjut. Kendala pertama berkaitan dengan keterbatasan kepemilikan lahan petani. Dengan rata-rata luas lahan 1 ha per KK, maka tidak banyak yang dapat dilakukan petani untuk melakukan ekspansi tanaman kayu jati karena akan berkompetisi dengan kebutuhan lahan untuk produksi tanaman pangan. Dua hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala ini, yaitu pertama melalui pemberian akses lahan kepada petani atas areal kawasan hutan negara yang kini masih tersisa sekitar 13,000 ha yang berupa kawasan lindung dan areal kurang produktif Soeharto 2008. Pilihan lainnya adalah melalui peningkatan produktivitas tanaman kayu jati rakyat melalui perbaikan dalam teknik silvikultur. Pemberian akses kawasan negara kepada petani telah dilaksanakan pemerintah daerah Dinas Kehutanan di tingkat provinsi dan kabupaten melalui program pengembangan HKm dan HTR. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pengurus kelompok tani yang sudah mendapat izin HKm Bapak Ngabdani 10 15 Jan 2011, komunikasi pribadi, program ini mempunyai potensi keberhasilan yang besar karena animo msyarakat Gunungkidul yang tinggi terhadap kesempatan mereka untuk memperoleh akses lahan. Selain untuk pengembangan tanaman kayu jati, akses lahan tersebut bagi petani juga berarti menambah kesempatan untuk meningkatkan produksi pangan melalui penerapan pola tumpang sari di dalam tegakan hutan. Evaluasi atas pelaksanaan program- program tersebut perlu dilakukan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah setempat untuk lebih banyak mengalokasikan areal kawasan hutan negara yang tersisa bagi pengembangan hutan rakyat. 10 Bapak Ngabdani adalah Ketua Kelompok Tani HKm “Tani Manunggal” di Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul.