Remaja dan Dunia Populer

18 b. Mengingatkan siswa untuk selalu berjuang atau berusaha mengatakan dan memahami kedalam bagian yang umum sesuai dengan tahap perkembangan belajar. c. Menyediakan Scaffolding untuk siswa dengan memberikan latihan berbahasa.

5. Remaja dan Dunia Populer

Masa remaja merupakan masa-masa dimana seseorang sedang mencari identitas, ingin mendapat pengakuan, dan masih sangat labil sehingga remaja sering memiliki hasrat untuk meniru segala sesuatu yang dianggapnya menarik tanpa melihat sisi negatif yang akan ditimbulkan. Menurut Erikson 1968, “Remaja memasuki tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion. Hal yang dominan terjadi pada tahapan ini adalah pencarian dan pembentukan identitas. Remaja ingin diakui sebagai individu unik yang memiliki identitas sendiri yang terlepas dari dunia anak-anak maupun dewasa. Penggunaan bahasa baru ini merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak”. Hal itulah yang mendorong remaja untuk menggunakan bahasa alay. Mereka menganggap bahwa bahasa alay itu sangat menarik. Pada awalnya mungkin mereka hanya mendengar bahasa alay dari orang lain dan tidak mengerti apa maksud dari bahasa alay yang orang lain katakan tersebut, namun karena mereka merasa bahasa alay tersebut sangat menarik, maka mereka berusaha untuk mencari tahu dan mempelajarinya. Setelah itu mereka akan merealisasikan bahasa alay tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka. Selain itu, remaja tidak ingin selalu terpaku dalam bahasa baku, yang harus digunakan dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah yang dianjurkan. Seperti yang diketahui bahwa remaja tidak begitu suka dengan adanya aturan-aturan. Itulah sebabnya mengapa mereka lebih banyak memilih menggunakan bahasa alay daripada bahasa Indonesia. Apalagi beberapa dari mereka beranggapan bahwa bahasa alay adalah bahasa gaul, sehingga seseorang yang tidak menggunakannya akan dianggap kuno, ketinggalan jaman, bahkan ‘ndeso’ yang berarti kampungan. Dengan adanya pernyataan tersebut, maka remaja akan semakin tertantang dan berlomba-lomba untuk mencari tahu bahkan menciptakan sendiri bahasa-bahasa yang menurut mereka pantas untuk disebut sebagai bahasa alay dan dapat digunakan oleh remaja-remaja lainnya. 19 Populer atau tidaknya bahasa itu tidak dilihat dari pelaku-pelaku populer, tetapi dipandang dari sudut pandang orang yang berada di luar dunia populer sehingga memungkinkan lahirnya tawaran keanekaragaman dan perbedaan ketika diinterpretasi ulang oleh masyarakat di luar dunia populer itu sendiri. Meskipun demikian, budaya populer bukan diidentifikasi oleh rakyat secara keseluruhan, melainkan oleh orang lain yang berada di luar dunia populer dan masih menyandang dua makna kuno, yaitu jenis karya inferior dan karya yang secara sengaja dibuat agar disukai orang Williams, 1985: 237. Terkait dengan penjelasan Williams, Strinati 2009: 25-26 mengungkapkan tiga pendapat yang menjadi inti teori budaya populer pada abad kedua puluh yaitu; pertama, apa atau siapa yang menentukan budaya populer, kedua, berkenaan dengan pengaruh komersialisasi dan industrialisasi terhadap budaya populer, dan ketiga, menyangkut peran ideologis budaya populer itu sendiri. Gaya hidup populer erat kaitannya dengan remaja. Pada umumnya, gaya hidup populer biasanya melekat pada remaja yang memiliki kebiasaan hidup glamour, dan hura-hura. Gaya hidup pada remaja juga merupakan sebuah identitas kelompok dengan tipologi gaya hidup tertentu, hal ini dikarenakan gaya hidup dapat dipahami sebagai pola atau bentuk kehidupan sehari-hari dari seseorang atau sekolompok remaja untuk mengekspresikan dirinya yang terkadang disertai pula dengan harapan untuk bisa menjadi bagian dari kelompok tertentu. Gaya hidup ini dapat diketahui melalui kegiatan atau aktivitas, minat dan opini ataupun dari sikap remaja itu sendiri terhadap sesuatu hal. Remaja dicitrakan sebagai konsumen utama dalam penyebar luasan produk- produk populer. Gaya hidup remaja yang cenderung mengikuti arus perkembangan zaman menjadi penanda utama akan hadirnya persepsi demikian. Pemasaran produk- produk populer untuk remaja, sebagai kategori yang berbeda dengan orang dewasa dan anak-anak telah ada sejak kata remaja ditemukan oleh industri periklanan Amerika pada tahun 1941, hingga tingkat pemasarannya menjadi berubah dramatis ketika kehidupan remaja menjadi komersial Quart, 2008: xx. Saat ini, remaja adalah korban produksi barang-barang mewah. Remaja masa kini tumbuh dan berkembang pada masa dimana merek dan popularitas merajalela. Mereka adalah kelompok yang mudah dieksploitasi oleh dunia populer. Kehidupan remaja dipengaruhi oleh pemasaran dan promosi, sebagai konsumen produk-produk populer dan sebagai anak-anak yang memperhatikan identitas diri dan menampilkan citra diri melalui apa yang mereka gunakan. 20 Iklan, dan televisi, yang menampilkan remaja sebagai model-model mereka selalu menambahkan citra populer dan sukses dengan penggunaan merek-merek terkenal ataupun bentuk tubuh dan tampilan wajah layaknya seorang bintang. Terciptanya konsep kecantikan ala putri-putri dalam dongeng bagi remaja putri, semakin menjadikan mereka sebagai penggila style. Tak jarang kemudian ditemukan remaja yang begitu tergila-gila dengan merek tertentu hanya karena merek-merek tersebut dipakai oleh artis idola mereka, hingga menjadikan mereka sebagai ‘penjiplak’. Persoalan yang tidak jauh berbeda juga tampak dalam bacaan-bacaan populer masa kini seperti majalah dan novel remaja yang menggambarkan konsep berbahasa yang ebih modern. Perbincangan seputar bacaan-bacaan populer, pada akhirnya menghadirkan wacana baru tentang bagaimana memaknai bahasa gaul dalam kontestasi medan budaya populer, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya populer yang cenderung dekat dengan remaja. Artinya, remaja dibayangkan sebagai subjek aktif yang juga bisa mencitrakan dirinya dalam tradisi media kapitalis dan dekat dengan gaya hidup. Hal tersebut pada dasarnya berasal dari satu pemahaman bahwa untuk melawan hegemoni populer, para remaja tidak harus menghindari dunia kapitalis mainstream, tetapi bagaimana sebisa mungkin menegosiasikan dan mengartikulasikan kepentingan mereka dalam representasi- representasi populer, baik berupa musik, iklan tv, maupun bacaan-bacaan populer. Siregar 2004 mengungkapkan hal yang juga tidak terpisahkan dari bacaan- bacaan populer adalah penggunaan gaya bahasa dialek remaja Jakarta. Penggunaan dialek tersebut tidak hanya dalam dialog yang fungsinya menciptakan suasana dan mengacaukan lingkungan budaya. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan penggunaan bahasa yang keluar dari tujuan komunikasi dimana bahasa tidak hanya untuk menampung cerita ataupun menghidarkan keindahan, tetapi untuk menyiratkan simbol bahwa bacaan populer merupakan produk kelas tertentu. Keterampilan berbahasa semacam itu mencerminkan adanya “pendekatan” dengan suasana Jakarta. Budaya populer tidak lain dari formulasi impian massanya, gambaran remaja dalam majalah, film, dan bacaan popular seperti novel semata-mata dimaksudkan untuk terjual di pasaran yang selamanya akan menjual mimpi-mimpi indah dan kesenangan sesaat mampu mengurangi beban dan memberikan hiburan. Kodrat budaya populer selamanya hanya sampai pada titik penyampaian impian dan hiburan, impian yang ditawarkan akan berfungsi sebagai eskapisme bagi massanya yang muncul dari 21 kenyataan yang ada. Berawal dari menampilkan gaya berbahasa remaja Jakarta, bahasa anak muda, atau dikenal pula sebagai bahasa gaul dalam iklan, televisi, dan bacaan populer membentuk adanya ragam bahasa non formal yang kemudian hadir dan dekat dengan dunia remaja. Pada dasarnya, ada dua hal utama yang menjadi perhatian remaja, yaitu identitas dan pengakuan. Penggunaan dan penulisan bahasa dengan ciri khasnya bisa menjadi pembentukan kedua hal tersebut di atas. Terdapat dua alasan utama mengapa remaja menggunakan bahasa tulis dengan ciri tersendiri, pertama, mereka mengukuhkan diri sebagai kelompok sosial tertentu, yaitu remaja. Kedua, merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi bahasa baku atau kaidah bahasa yang telah mapan. Yang berarti bahwa remaja merasa menciptakan identitas dari bahasa yang mereka ciptakan sendiri pula. Remaja sebagai kelompok usia yang sedang mencari identitas diri memiliki kekhasan dalam menggunakan bahasa lisan maupu tulis. Terdapat semacam keseragaman gaya yang kemudian menjadi gaya hidup mereka. Remaja yang masih labil dan gemar meniru sangat mudah tertular dan memilih menggunakan bahasa semacam ini dibanding menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Terlebih hadirnya anggapan bahwa bentuk-bentuk bahasa tersebut adalah bahasa gaul, sehingga mereka yang tidak menggunakannya akan dianggap ketinggalan jaman atau kuno.

C. Metode Penelitian