Bahasa Alay dan Bahasa Prokem: Tinjauan Budaya dan Tahap Perkembangan Bahasa di Masa Remaja

(1)

Bahasa Alay dan Bahasa Prokem: Tinjauan Budaya dan

Tahap Perkembangan Bahasa di Masa Remaja

Oleh

Idat Muqodas

*

Departement of Educational Psychology and Guidance, Graduate School of Guidance and Counseling, Universitas Pendidikan Indonesia, Jln. Dr. Setiabudhi No 229 Bandung, Jawa Barat - Indonesia

Abstrak, Perkembangan bahasa di masa remaja memunculkan bahasa prokem atau yang lebih kini disebut bahasa alay. Kajian ini berangkat dari perkembangan bahasa yang terjadi di kalangan remaja. Remaja disatu sisi memasuki masa pencarian dan pembetukan identitas diri, namun di sisi lain terjadi perkembangan identitas bahasa yang mengarah pada kemerosotan identitas budaya. Berangkat dari permasalahan tersebut, layanan bimbingan dan konseling perlu memberikan sebuah bantuan kepada remaja agar tidak melupakan identitas budaya mereka dalam seting bimbingan dan konseling lintas budaya.

Key word: bahasa alay, budaya, tahapan perkembangan, bimbingan dan konseling lintas budaya

A. Pendahuluan

Bila dalam kajian ilmiah membicarakan tentang perkembangan bahasa, maka kajian tersebut merupakan kajian yang sangat menarik bagi para ahli pasikologi, psikolinguistik, dan konselor. Hal ini dikarenakan dengan melalui bahasa, seorang konselor atau psikolog dapat mengkaji perilaku konselinya, dan bahasa merupakan sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa juga merupakan sarana utama manusia untuk mewariskan budaya untuk generasi berikutnya. Oleh sebab itu, untuk mengetahui perkembangan budaya, seorang konselor perlu perhatian khusus dalam perkembangan bahasa yang tersirat dalam pola komunikasi manusia.

Sebagai bangsa yang terdiri atas ratusan suku bangsa dengan ratusan bahasa dan aneka ragam kebudayaan yang tersebar luas di atas untaian belasan ribu pulau, bangsa Indonesia patut berbangga hati atas bahasa Melayu yang secara alami telah menyebar ke seluruh Nusantara dan secara perlahan-lahan tetapi mantap tumbuh subur dan berkembang sampai akhirnya menjadi Bahasa Indonesia. Namun sayang, rasa kebanggaan itu ternyata tidak diikuti dengan penguasaan akan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di era globalisasi seperti ini, kemajuan dan perkembangan teknologi sangatlah pesat. Kemajuan dan perkembangan tersebut tentunya sangat       

*

Corresponding author: Tel: +62 856 230 9523

E-mail address: idatmuqodas@upi.edu (I. Muqodas), NIM 1201319 E-mail address: idatmuqodas@upi.edu (I. Muqodas), NIM 1201319


(2)

berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Apalagi dengan masuknya budaya asing yang akan semakin mempengaruhi kehidupan dan pergaulan, terutama pada remaja. Dengan semakin majunya teknologi dan ditambah dengan pengaruh budaya asing tersebut, maka akan mengubah sikap, perilaku serta kebiasaan mereka. Hal tersebut tidak hanya mengubah gaya hidup, seperti cara berpakaian, tetapi juga dapat mengubah cara seseorang (dalam hal ini remaja) dalam berinteraksi serta berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan penggunaan bahasa.

Semua manusia yang normal dapat menguasai bahasa, sebab sejak lahir manusia telah memilikki kemampuan dan kesiapan untuk mempelajari bahasa dengan sendirinya dalam teori Vygotsky ini disebut language development device (LAD). Orang yang dalam jangka waktu cukup lama terus-menerus mendengarkan pengucapan suatu bahasa, biasanya ia akan mampu mengucapkan bahasa tersebut tanpa instruksi khusus atau direncanakan.

Seiring perkembangan jaman, penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar pada masyarakat terutama pada kalangan remaja secara perlahan mulai tidak nampak. Hal itu terjadi karena munculnya modifikasi bahasa, yang sering disebut dengan ‘bahasa alay’. Bahasa alay mulai muncul sekitar tahun 2008 dan berkembang seiring dengan pesatnya penggunaan jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan lain sebagainya. Bahkan bukan hanya dalam dunia maya (seperti facebook dan twitter), bahasa alay juga banyak ditemukan di televisi, radio, majalah, bahkan koran. Terutama pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan remaja, misalnya acara-acara ditelevisi yang menjadi totonan utama dan memang ditujukan kepada para remaja. Hal tersebut membuat penyebaran bahasa alay di kalangan remaja menjadi semakin pesat.

Kajian ini difokuskan pada hubungan antara budaya dan bahasa dengan mengangkat isu perkembangan penggunaan bahasa alay atau bahasa prokem terhadap pergeseran budaya dan perkembangan bahasa pada masa remaja. Kemudian, kajian budaya yang mempengaruhi penggunaan struktur dan fungsional bahasa, dan bahasa dapat dianggap sebagai hasil dari manifestasi budaya. Bahasa juga mempengaruhi dan memperkuat nilai-nilai budaya dan pandangan dunia, sehingga ada feeding back diantara keduanya. Siklus hubungan antara budaya dan bahasa menunjukkan sifat bahwa budaya tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa memahami bahasanya, dan sebaliknya. Oleh sebab itu, bahasa mempengaruhi pemikiran kita dan pandangan


(3)

dunia kita, pemahaman pengaruh budaya pada bahasa memiliki implikasi penting untuk memahami perbedaan budaya dalam perspektif pandangan dunia.

B. Gagasan Utama

Bahasa merupakan kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa adalah contoh spesifik dari sistem tersebut. Berangkat dari sebuah ekspresi bahasa para kaum muda di era tahun 1928 yang kemudian menjadi cikal bakal perkembangan bahasa Indonesia yang menjadi identitas budaya bangsa Indonesia. Melalui penggunaan bahasa, seseorang individu dapat berubah menjadi agen budaya tertentu. Bahasa dan budaya mempunyai keterkaitan yang sangat dekat, budaya dan bahasa saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini penting dalam penelitian lintas budaya bahasa karena masing-masing budaya terkait dengan bahasa yang diberikan sebagai kendaraan untuk berekspresi.

Bahasa sebagai alat vital dalam penyampaian pesan, maksud, dan tujuan menjadi wadah paling mudah untuk menyebarluaskan segala unsur-unsur populer dalam lingkungan masyarakat. Dalam pengertian ilmiah, bahasa dimaknai sebagai sebuah sistem lambang bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manunisiawi. Secara tradisional, bahasa merupakan alat untuk berinteraksi atau berkomunikasi, dalam arti sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, dan perasaan. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi manusia baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, pada hakikatnya merupakan sebuah sistem yang terdiri atas beberapa unsur yang saling mendukung. Fungsi tersebut mencakup lima fungsi dasar yang disebut expretion, information, exploration, persuation, dan entertaiment.

Dalam komunikasi, peranan bahasa sungguh sangat penting. Segala informasi yang disampaikan memerlukan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai media komunikasi utama di Indonesia semakin menunjukkan kedewasaan dan kematangannya. Makna yang disampaikan dalam sebuah bahasa tidak hanya terkait dengan pilihan kata, tetapi juga cara penyampaiannya. Ragam bahasa merupakan “variasi bahasa menurut pemakaiannya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pembicaraan.” Remaja masa kini lebih sering dan senang menggunakan bahasa gaul dari pada bahasa resmi. Menurut mereka bahasa gaul lebih nyaman, dan cocok digunakan dalam kehidupan sehari-hari, remaja masa kini menganggap penggunaan


(4)

bahasa resmi terlalu kaku dan monoton, serta tidak menampakkan kebaruan yang mencolok.

Bahasa berperan meliputi segala aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah untuk memperlancar proses sosial manusia. Sehingga bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, dan bahasalah yang memungkinkan pengembangan kebudayaan sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Bahasa tidak hanya berperan sebagai alat integrasi sosial, tetapi juga sebagai alat adaptasi sosial di mana Indonesia memiliki bahasa yang majemuk. Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai pemersatu keberseragaman tersebut yaitu bahasa Indonesia.

Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan bahasa Indonesia baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam lingkup media secara luas, mulai menampakkan adanya pergeseran ke arah arus modernitas yang ditandai dengan maraknya penggunaan bahasa remaja, atau sering pula diartikan sebagai bahasa gaul. Kehadiran bahasa gaul berjalan beriringan dengan konsep kebudayaan populer di Indonesia. Fenomena bahasa gaul diserap dengan begitu sempurna oleh remaja secara meluas tanpa melalui filter yang berarti. Dunia modern dan pesatnya kemajuan teknologi informasi, dengan serta merta membawa Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak bisa melepaskan diri dari kebudayaan modern atau populer. Masyarakat Indonesia secara luas dan remaja pada khususnya menyerap dengan begitu saja segala bentuk-bentuk modernisasi kehidupan.

1. Komponen-komponen budaya dan pemerolehan bahasa

a. Fitur Bahasa

Sebelum meneliti hubungan antara bahasa budaya, sangat penting untuk mengidentifikasi fitur dasar bahasa. Memahami berbagai komponen bahasa akan memungkinkan kita untuk mempertimbangkan bagaimana budaya mempengaruhi bahasa.

Ahli linguistik biasanya mencoba untuk menggambarkan bahasa menggunakan lima fitur penting berikut, yang tampaknya berlaku untuk semua bahasa di semua budaya:

1) Leksikon, atau kosa kata, yaitu kata-kata yang terkandung dalam suatu bahasa. Misalnya, pohon, makan, bagaimana dan perlahan-lahan masing-masing bagian dari leksikon bahasa Indonesia.


(5)

2) Sintaks dan tata bahasa (grammar) dari bahasa mengacu pada sistem aturan yang mengatur bentuk kata dan bagaimana kata harus dirangkai untuk membentuk ucapan bermakna. Misalnya, bahasa Inggris memiliki aturan tata bahasa yang mengatakan kita menambahkan ‘s’ ke akhir banyak kata untuk menunjukkan pluralitas (cat menjadi cats). Bahasa Inggris juga memiliki aturan sintaksis yang kita umumnya menempatkan kata sifat sebelum kata benda, tidak setelahnya (misalnya, small dog, bukan dog small).

3) Fonologi, yaitu sistem aturan yang mengatur bagaimana kata-kata harus berbunyi (pronounciation) dalam bahasa tertentu.

4) Semantik mengacu pada arti kata-kata itu. Misalnya, meja mengacu pada obyek fisik yang memiliki empat kaki dan permukaan horizontal datar.

5) Pragmatik mengacu pada sistem aturan yang mengatur bagaimana bahasa digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu. Sebagai contoh, pernyataan "itu dingin" bisa diartikan sebagai permintaan untuk menutup jendela atau sebagai pernyataan fakta tentang suhu. Bagaimana itu ditafsirkan mungkin tergantung pada konteks sosial dan lingkungan.

Ahli linguistik menggunakan dua konsep lainnya untuk membantu menjelaskan struktur bahasa. Fonem adalah unit terkecil dan paling dasar dari suara dalam bahasa, dan morfem adalah unit terkecil dan paling dasar dari makna dalam bahasa. Dengan demikian, Fonem membentuk dasar dari hirarki bahasa, yang pada gilirannya menghasilkan kata-kata, yang dirangkai dalam frase-frase dan, akhirnya kalimat.

b. Pemerolehan Bahasa

Sampai tingkat apa proses pemerolehan bahasa, bawaan atau dipelajari? Jawabannya adalah tidak sepenuhnya jelas. Bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa beberapa aspek pemerolehan bahasa adalah dipelajari, sementara yang lain bawaan. Bagaimana kita belajar bahasa? Sebuah mitos umum di banyak kebudayaan adalah bahwa anak-anak belajar bahasa ibu mereka dengan imitatif suara yang mereka dengar dalam lingkungan alam mereka, dan dengan diperkuat dalam upaya mereka pada memproduksi bahasa (Skinner, 1957). Kita sekarang tahu bahwa imitasi bukan merupakan strategi penting dalam belajar bahasa. Bahkan, anak-anak jauh lebih canggih dalam strategi belajar mereka daripada yang biasa kita percaya.


(6)

Dalam studi sekarang terkenal pada 1950-an, Jean Berko (Berko, 1958, Berko Gleason, 1989) dengan yakin menunjukkan bahwa, bukan hanya meniru apa yang mereka dengar, anak-anak menghasilkan generasi hipotesis dan pengujian tampaknya menjadi strategi universal dimana anak-anak sekitar dunia belajar bahasa ibu mereka. Berko (1958) menunjukkan anak-anak Amerika gambar makhluk imajiner. Dia mengatakan kepada mereka bahwa gambar itu dari "wug" (makhluk imajiner dia diciptakan untuk percobaan ini). Dia kemudian menunjukkan anak-anak yang sama gambar dua makhluk khayalan tersebut dan meminta mereka apa yang mereka lihat: "Sekarang ada dua---!" Sebagian besar anak-anak mengatakan "wugs". Karena wugs kata bukanlah bahasa Inggris atau salah satu yang mereka pernah pelajari sebelumnya, jelas anak-anak ini tidak bisa menggunakan imitasi untuk menghasilkan kata wugs. Untuk menjawab "wugs", mereka harus memiliki pengetahuan sebelumnya tentang aturan tata bahasa Inggris yang biasa kita tambahkan kepada nomina untuk menunjukkan pluralitas.

Kadang-kadang pengetahuan anak-anak tentang aturan gramatikal menyebabkan "kemunduran" dalam perkembangan bahasa mereka. Banyak orang tua telah kecewa ketika anak-anak mereka, yang sebelumnya menggunakan bentuk yang tepat dari kata kerja to go, mulai menggunakan bentuk yang salah mereka mungkin tidak pernah digunakan sebelumnya. Misalnya, setelah menggunakan standar past tensewent dalam kalimat seperti "i went to school," orang tua mungkin cemas menganggap regresi jelas seperti bukti ketidakmampuan belajar "I goed to school." Anak-anak pertama kali belajar bentuk went melalui imitasi sederhana tanpa belajar apa-apa tentang aturan tata bahasa Inggris. Kemudian, ketika pemahaman linguistik mereka menjadi lebih bagus, mereka belajar aturan tata bahasa Inggris menambahkan ed ke akhir verba untuk membuat mereka past tense. Menggunakan bentuk goed bukannya went menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari perkembangan linguistik karena anak-anak menerapkan aturan tata bahasa bukan sekadar meniru sebuah kata yang mereka dengar. Selanjutnya pada perkembangan anak, mereka akan mempelajari pengecualian untuk aturan dipelajari sebelumnya, seperti bentuk tidak teratur past tense went. Intinya adalah bahwa mengetahui aturan gramatikal dan menerapkannya secara kreatif dalam situasi baru menunjukkan kecanggihan jauh lebih besar daripada kognitif imitasi belaka, dan itu adalah strategi belajar bahasa universal.

Orang-orang dalam budaya yang berbeda memiliki keyakinan berbeda tentang bagaimana anak-anak belajar bahasa. Budaya juga berbeda dalam cara mereka


(7)

berperilaku terhadap anak-anak belajar bahasa. Suku Kaluli Papua Nugini, misalnya, percaya bahwa anak-anak harus hati-hati dikendalikan, instruksi eksplisit dalam kedua bentuk bahasa dan keterampilan berbicara (Matsumoto, 2000). Mereka percaya anak-anak tidak akan belajar bahasa dan keterampilan berbicara kecuali mereka diajarkan secara eksplisit. Orang Kaluli bertindak atas keyakinan dan mengajar anak-anak mereka bagaimana melakukan percakapan.

Samoan dewasa biasanya percaya bahwa upaya awal anak-anak di bahasa tidak memiliki makna dan, dalam kasus apapun, anak-anak tidak mempunyai apapun untuk dikatakan yang penting bagi orang dewasa. Karena keyakinan ini. Samoa dewasa tidak melibatkan anak-anak mereka dalam pelatihan bahasa formal, juga tidak biasanya terlibat dalam percakapan dengan anak-anak. Bahkan, anak-anak Samoa sebagian besar terpengaruh bahasa saudara yang lebih tua daripada bahasa orang dewasa (Matsumoto, 2000)

Perbedaan-perbedaan dalam keyakinan dan praktik budaya yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa sangat menarik. Yang bahkan lebih menarik adalah bahwa dalam semua budaya, apa pun kepercayaan mereka atau praktik, anak-anak belajar bahasa ibu mereka dengan baik dengan atau tanpa bantuan dari orang dewasa. Ini hasil umum menunjukkan bahwa manusia memiliki beberapa kemampuan universal dan bawaan untuk belajar bahasa. Menurut Chomsky (dalam Matsumoto, 2000), seorang ahli bahasa ternama, manusia memiliki perangkat pemerolehan bahasa (language aquisition device/LAD) yang berisi kemampuan bawaan mengenai sintaks, tata bahasa dan pragmatik. Ini adalah LAD yang memungkinkan semua anak normal semua budaya untuk belajar dan menggunakan bahasa fasih.

Meskipun tidak ada bukti langsung adanya LAD Chomsky, ada bukti yang cukup sugestif. Beberapa dari bukti ini berasal dari penelitian tentang pidgin dan penutur Kreol. Biskerton (dalam Matsumoto, 2000), misalnya, di University of Hawaii, mempelajari sejumlah pembicara pidgin dan pengembangan mereka ke penutur Kreol. Banyak fitur linguistik ditemukan dalam beberapa yang tidak terkait bahasa Kreol tidak ada dalam salah satu bahasa sumber pidgin aslinya. Dar mana fitur tersebut berasal? Bickerton menyarankan bahwa satu-satunya penjelasan yang masuk akal untuk penggunaan fitur tersebut oleh penutur bahasa Kreol berhubungan adalah bahwa fitur tersebut diprogram atau tertanam pada manusia sebagai bagian dari LAD. Sementara cukup banyak bukti sugestif tampaknya mendukung teori Chomsky, tidak ada bukti yang tampaknya membantahnya. Dengan demikian, hal itu tetap menjadi


(8)

salah satu penjelasan terbaik yang kita miliki untuk fakta bahwa semua anak normal belajar bahasa asli mereka fasih tanpa memandang perbedaan luas di lingkungan di mana mereka melakukannya.

2. Perbedaan Bahasa Lintas Budaya

a. Budaya dan Bahasa leksikon

Bahasa dapat dianggap sebagai manifestasi, produk budaya. Bahasa Inggris Amerika misalnya, kata-kata dan bagaimana kita menggunakannya, merupakan cerminan dari budaya Amerika. Tentunya, jika kita memeriksa struktur dan fungsi bahasa Inggris Amerika, kita akan melihat banyak kesamaan aspek penting dari budaya Amerika. Hal yang sama berlaku untuk setiap bahasa dan budaya yang kita kaji. Salah satu cara untuk mengamati hubungan ini adalah dengan tidak ada hubungan antara perbedaan budaya, bahasa dan leksikon mereka, atau kosa kata.

Kata-kata yang ada dalam beberapa bahasa, tetapi tidak pada yang lain.

Banyak dari kita telah mendengar bahwa bahasa Eskimo berisi kata-kata lebih untuk salju selain bahasa Inggris tidak. Whorf (dalam Matsumoto, 2000) adalah orang pertama yang menunjukkan bahwa bahasa Eskimo sebenarnya memiliki tiga kata untuk salju, sedangkan bahasa Inggris menggunakan satu kata untuk menggambarkan ketiga jenis. Banyak budaya lain dan bahasa mengandung kata-kata yang tidak ada dalam bahasa Inggris. Ketika kita menerjemahkan kata dalam bahasa Inggris ke dalam wujud literal dalam bahasa lain, kita sering berpikir bahwa kata-kata berarti sama. Sementara banyak kata memiliki makna umumnya sama dalam bahasa yang berbeda, mereka sering memiliki nuansa yang berbeda dan konotasi berbeda. Bahkan kata umum untuk melanggar, memotong, makan dan minum dapat memiliki konotasi yang sama sekali berbeda apabila digunakan dalam konteks yang berbeda, dalam budaya lain (Matsumoto, 2000). Ketika mempertimbangkan hubungan antara kata-kata dalam bahasa kita sendiri dan diterjemahkan dalam bahasa yang lain secara setara, kita tidak harus mempertimbangkan mereka sebagai terjemahan setara yang tepat. Jika kita memperhitungkan semua arti dari sebuah kata, akan sangat sulit untuk menemukan kata-kata dalam bahasa yang berbeda yang memiliki arti yang sama persis, nuansa, konotasi dan asosiasi.


(9)

b. Diri / referen lainnya.

Dalam bahasa Inggris Amerika, umumnya menggunakan salah satu dari dua kata, dan turunannya, untuk menggambarkan diri ketika berbicara atau apa yang sedang dibicarakan. Jika berbicara dengan seorang profesor universitas, menggunakan kata I untuk menyebut diri sendiri. Jika berbicara dengan orang tua, menggunakan kata yang sama I. Dan menggunakan kata yang sama I ketika mengacu pada diri sendiri dengan teman-teman, keluarga, tetangga, kenalan, bos atau bawahan. Dengan demikian, umumnya digunakan satu kata dalam bahasa Inggris untuk merujuk kepada orang lain atau sekelompok orang: you. Dalam percakapan dengan orang tua, bos, teman, kekasih, orang asing, anak-anak dan hanya tentang siapa pun, menggunakan you atau salah satu turunannya untuk merujuk kepada orang lain atau orang.

Banyak bahasa di dunia, bagaimanapun, memiliki sistem rumit tergantung pada sifat hubungan dengan oranglain. Bahasa Jepang memberikan salah satu contoh yang paling ekstrim. Bahasa jepang memang memiliki terjemahan: setara dari kata-kata bahasa Inggris I, we, dan you, tetapi kata-kata-kata-kata ini digunakan lebih jarang dalam bahasa Jepang daripada di Inggris. Dalam bahasa Jepang, apa yang Anda sebut diri Anda dan orang lain benar-benar tergantung pada hubungan antara Anda dan orang lain. Seringkali, untuk menyebut diri dan orang lain tergantung pada diferensial status antara dua orang. Misalnya, jika Anda dari status yang lebih tinggi daripada orang lain, di Jepang Anda akan merujuk kepada diri sendiri dengan posisi atau peran bukan seperti dalam bahasa Inggris setara dengan I. Di Jepang, para guru menggunakan guru kata untuk menyebut diri mereka ketika berbicara dengan siswa. Dokter mungkin menggunakan istilah dokter, dan orang tua menggunakan kata ibu atau ayah saat berbicara dengan anak-anak mereka.

Bahasa jepang menggunakan kata ganti setara dengan I, seperti watashi, watakushi, boku, atau ore. Penggunaan berbeda untuk saya tergantung dari seks Anda (wanita tidak bisa mengatakan boku atau ore), tingkat kesopanan, dan tingkat keakraban dengan orang lain. Ketika berbicara dengan seseorang dari status yang lebih tinggi, misalnya, orang umumnya menggunakan watashi untuk menyebut diri mereka. Ketika berbicara kepada teman-teman atau rekan kerja, orang-orang biasanya menyebut diri mereka. Ketika berbicara kepada seseorang dari status yang lebih rendah, biasanya Anda akan menggunakan kata ganti pribadi atau nama sebenarnya orang tersebut. Seperti kata ganti pribadi untuk saya, bahasa Jepang mengandung kata ganti beberapa Anda-di antara mereka, anata, omae, dan kimi. Sekali lagi,


(10)

penggunaan yang tepat dari masing-masing tergantung pada hubungan, pada umumnya, omae dan kimi digunakan ketika berbicara dengan seseorang dari status yang lebih rendah dari Anda atau seseorang yang sangat akrab dan intim dengan Anda. Memang, sistem bahasa Jepang referen diri dan lainnya sangat rumit, terutama bila dibandingkan dengan bahasa Inggris Amerika.

Perbedaan-perbedaan antara bahasa Inggris dan Jepang mencerminkan perbedaan budaya yang penting. Dalam aspek budaya Jepang, bahasa, tingkah laku, dan perilaku harus diubah sesuai dengan hubungan dan konteks di mana komunikasi tersebut terjadi. Dimensi yang paling penting sepanjang perilaku dan bahasa dibedakan di Jepang adalah status dan orientasi kelompok. Semua aspek perilaku dan bahasa dibedakan di Jepang menurut status dan orientasi kelompok. Semua aspek perilaku berbeda tergantung pada apakah seseorang lebih tinggi atau lebih rendah dalam status daripada orang lain dalam percakapan. Juga, perilaku dan bahasa berbeda-beda tergantung pada apakah orang lain dalam anggota ingroup Anda atau tidak. Dengan demikian, pilihan diri dan sesuai lainnya-referen dalam bahasa Jepang mencerminkan aspek penting dari budaya Jepang.

c. Sistem Menghitung.

Sistem Menghitung memberikan contoh lain tentang bagaimana budaya mempengaruhi struktur bahasa. Dalam bahasa Jepang, misalnya, kata-kata yang berbeda digunakan untuk menunjukkan hal yang berbeda. Putaran, dihitung oleh akhiran hon (ippon, nihon, Sanbon, dan sebagainya); benda datar yang dihitung oleh mai (ichimai, Nimai, sanmai, dan sebagainya). Dalam bahasa Inggris, bagaimanapun, semua benda hanya terhitung banyaknya, tanpa awalan atau akhiran untuk menunjukkan jenis objek yang dihitung.

Selain itu, bahasa Jepang, seperti banyak bahasa lainnya, mendasarkan semua nomor pada kata-kata untuk satu sampai sepuluh. Eleven adalah harfiah sepuluh satu (ju-ichi), 12 adalah sepuluh-dua (ju-ni). Dalam bahasa Inggris, bagaimanapun, angka 1 sampai 19 unik, dan sistem aditif yang mirip dengan nomor Jepang dimulai pada 20. Perbedaan linguistik diperkirakan berkontribusi terhadap perbedaan prestasi matematika antara Amerika Serikat dan Jepang.


(11)

Gambar 1.1 kata dalam bahasa jepang untuk diri dan konsep

Sumber: Word in context by Takao Suzuki, published by Kondansha International Ltd. Copyright ©1973 by Takao Suzuki. English tranlation Copyright ©1978 by Kondansha International Ltd. Reprinted by permission. All rights reserved.

d. Kebudayaan dan Pragmatik

Budaya tidak hanya mempengaruhi leksikon bahasa, tetapi juga pragmatik – yang merupakan peraturan yang mengatur bagaimana bahasa digunakan dan dipahami dalam konteks sosial yang berbeda. Kashima dan Kashima (1998), misalnya, meneliti 39 bahasa yang digunakan di 71 negara, memperoleh data baik budaya dan bahasa dari masing-masing negara. Nilai budaya termasuk milik Hofstede (1980, 1983) empat dimensi - individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, dan maskulinitas - dan 15 lainnya dimensi yang berhubungan dengan budaya. Data linguistik mencakup analisis penggunaan kata ganti pertama dan kedua, dan apakah bahasa yang diizinkan tidak menggunakan kata ganti dalam percakapan. Korelasi antara kedua set data dianalisis dalam dua cara terpisah untuk meneliti hubungan antara budaya dan penggunaan kata ganti. Kashima dan Kashima (1998) menemukan bahwa budaya yang memungkinkan kata ganti bahasa untuk dibuang cenderung menjadi kurang individualistis, dimana mereka menafsirkan seperti budaya yang berbeda mencerminkan konseptualisasi diri dan orang lain.

Principal

Father

Neighbor’s Son Son


(12)

3. Perkembangan Bahasa Menurut Vygotsky

a. Bahasa dan Perkembangan

Bahasa mempunyai peran utama menurut teori Vygotsky, bahasa memainkan tiga peran yang berbeda dalam perkembangan. Pertama, bahasa memberikan akses pada individu atau para pembelajar untuk pengetahuan yang lain yang telah mereka milikki sebelumnya. Kedua, bahasa menyediakan alat-alat kognitif yang membolehkan individu atau para pembelajar untuk berpikir luas dan pemecahan masalah. Ketiga, bahasa memberikan cara-cara untuk mengatur dan merefleksikan proses berpikir.

Terkadang kita mendapati anak berkata kepada diri sendiri. Dengarkan ketika anak sedang bermain bebas, mereka sering “berkomat-kamit” ketika bermain sendiri tanpa kelihatan adanya pendengar. Vygotsky percaya free floating external speech ini adalah awal dari internalisasi. Private speech ini dapat diartikan berbicara pada diri sendiri yang akan membimbing proses berpikir dan beraksi. Dalam teori perkembangan Piaget (1926), kita akan menemukan bahwa anak mengalami empat masa. Salah satunya menyebutkan bahwa anak pada usia 0-2 tahun sedang mengalami masa egosentrisme termasuk “egocentris speech”. Vygotsky (1986) menentangnya, ia percaya bahwa saat itu individu sedang memulai masa “self regulation” atau proses untuk mengatur diri. Private speech ini adalah bentuk dari fondasi untuk keterampilan berpikir yang lebih kompleks seperti mengingat dan menyelesaikan masalah.

b. Zone of Proximal Development

Ketika individu mendapat manfaat dari pengalaman dari berinteraksi dengan banyak orang yang lebih mempunyai pengetahuan, mereka sedang berada dalam zone of proximal development yakni jarak dari tugas yang mana seorang individu belum bisa menyelesaikannya sendiri tetapi ia akan dapat menyelesaikan ketika mendapat bantuan oleh orang yang mempunyai keterampilan. Vygotsky (1978) menjelaskan bahwa zona ini adalah jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti ditentukan oleh kemandirian menyelesaikan masalah dan tingkat perkembangan potensi seperti ditentukan melalui menyelesaikan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih cakap atau sanggup. Para pembelajar atau individu berada di zona proximal development untuk tiap tugas mereka yang diharapkan oleh guru, dan mereka harus berada di zona itu untuk mendapat manfaat dari bantuan.


(13)

c. Scaffolding

Scaffolding adalah bantuan yang diberikan kepada anak untuk melengkapi tugas-tugas mereka yang mana mereka belum dapat untuk melengkapinya secara mandiri. Guru menyediakan scaffolding individu untuk para pembelajar melalui interaksi sosial yang banyak selama proses pembelajaran berlangsung. Berikut adalah ilustrasinya:

Ada seorang anak kecil yang sedang belajar berjalan, orang tuanya sering berjalan di belakangnya, memegang kedua tangan anak dari atas sambil membimbing untuk melangkahkan kaki. Setelah anak merasa percaya, orang tua hanya memegang satu tangan anak, kemudian membiarkan anak untuk belajar semampunya, tapi orang tua harus siap untuk menangkap anak sebelum mereka terjatuh. Secepatnya anak akan berjalan dengan nyaman sesuai kemampuannya.

Scaffolding efektif untuk mengatur kebutuhan bagi para pembelajar untuk tingkat kemampuan dan hasilnya, sehingga kita dapat memberikan instruksi yang berbeda bagi tiap siswa. Tanpa scaffolding perkembangan akan lemah. Penting untuk diingat bagaimanapun efektifnya scaffolding hanya untuk menyediakan dukungan mengikuti para pembelajar untuk meningkatkan kemampuannya. Guru memberikan dukungan, dan para pembelajarlah yang menyelesaikan masalahnya.

Tabel 1. Tipe instruksi scaffolding:

No Tipe Scaffolding Contoh

1. Modeling atau memberi contoh

Seorang guru seni memberi contoh menggambar dengan dua sudut pandang sebelum meminta siswa untuk mencoba menggambar sesuai kemampuannya.

2. Berpikir keras Seorang guru fisika mengungkapkan secara lisan pikirannya untuk menyelesaikan masalah momentum dengan kapur tulis. 3. Pertanyaan Setelah member contoh dan berpikir keras,

guru fisika “mengantarkan” siswa melalui beberapa masalah, memberi pertanyaan dengan kritis.


(14)

4. Mengadaptasi materi instruksional

Guru pendidikan jasmani SD mengajarkan teknik “shoot” dengan menurunkan keranjang basket, dan menaikkannya untuk membuat mereka pandai.

5. Prompts and Cues Guru prasekolah mengajar “kelinci pergi di sekitar lubang dan melompat-lompat kedalamnya” seperti juga mereka belajar mengikat tali sepatunya.

Prinsip Instruksi dalam Teori Vygotsky:

a Menanamkan bahwa aktivitas belajar adalah menghubungkan kata-kata dengan kebudayaan asli.

b Menciptakan bahwa aktivitas belajar adalah termasuk berinteraksi dengan siswa.

c Mendorong siswa untuk menggunakan bahasa untuk menggambarkan perkembangan pemahaman mereka.

d Menciptakan bahwa aktivitas belajar adalah “zones of proximal development” e Menyediakan instruksi untuk membantu memajukan proses mengajar dan

perkembangan siswa.

4. Teori Perkembangan Bahasa Acquisition

Keterampilan anak dalam berbahasa sangatlah beragam karena dipandang dari pemerolehan bahasa itu sendiri. Kita akan mendiskusikan empat teori yakni pandangan behaviorist, social cognitive, nativist, dan sociocultural dari bahasa yang diperoleh.

a. Pandangan Behaviorist

Tingkah laku menjelaskan perkembangan bahasa dengan mengusulkan bahwa penguatan untuk member contoh suara dan kata-kata (Skinner, 1953,1957). Memberikan penguatan yang lebih atas usaha anak mengembangkan bahasanya. Sebagai contoh :

Seorang anak berusia 2 tahun mengambil bola dan berkata “boya”, Ibunya tersenyum dengan lebar dan berkata “anak pintar! Bola”. Anak kecil itu


(15)

kemudian mengulang dengan menyebut “Boya”, Sang Ibu memberi respon dengan berkata “sangat pintar”.

b. Pandangan Sosial Kognitif

Teori pendekatan sosial kognitif menekankan pada peran modeling atau contoh, yang akan anak tiru untuk kedewasaan bahasanya, penguatan, dan umpan balik yang memperbaiki (Bandura, 1986, 2001). Sebagai contoh percakapan antara Ayah dan seorang anak:

“Tolong berikan Ayah roti”, anak menjawab “roti, Ayah”. Ayah memberi respon dengan berkata “pintar” “Adek memberikan Ayah Roti”.

Kedua pandangan ini (behavioris dan sosial kognitif) membuat rasa intuisi. Kemungkinan anak akan melakukan proses pembelajaran beberapa aspek bahasa dengan mengamati dan mendengarkan dari orang lain, mencoba sendiri, dan dapat memperkuat (Owens, 2005).

c. Teori Nativist

Nativist theory assert that human all are genetically “wired’ to learn language and exposure to language triggers this development. Noam Chomsky (1972, 1976) yang kemudian disebut sebagai “bapak” teori nativis, memberikan hipotesis bahwa keahlian bahasa bawaan menyediakan kecenderungan anak untuk belajar bahasa. Menurut Chomsky language acquisition device (LAD) adalah set genetic dari proses keterampilan berbahasa yang berguna bagi anak untuk memahami dan menggunakan kebiasaan mengatur logat bahasa. Sebagai contoh berikut adalah percakapan antara seorang anak usia 6 tahun (kakak), dan anak usia 3 tahun (adik) yang sedang membahas tentang lebih bahaya atau jelek mana antara lupa untuk memberi makan pada atau terlalu banyak memberi makan pada ikan Arwana:

Kakak : Lebih jelek lupa memberi makan pada ikan. Adik : Tidak, jelek memberi makan terlalu banyak.

Kakak : Kamu harusnya tidak berkata jelek, tapi berkata lebih jelek. Adik : Tapi itu jelek memberi makan terlalu banyak pada ikan.

Kakak : Tidak seperti itu, yang benar lebih jelek lupa memberi makan.

d. Teori Sosial Budaya

Anak belajar berbahasa dengan berlatih dari interaksi rutin sehari-hari, dan terlihat bahwa perkembangan bahasa tidak terlihat sukar karna itu merupakan aktivitas harian. Dalam membantu anak kecil mengembangkan bahasa, orang dewasa membiasakan anak untuk mengoperasikan bahasanya ketika mereka berada dalam


(16)

zona proximal development. Bayi berkata dan Ibu menggunakan kata sederhana, kalimat singkat, dan perubahan suara serta menyederhanakan isi pesan. Perubahan ini menyediakan bentuk scaffolding bahasa yang memfasilitasi komunikasi dan perkembangan bahasa. Seorang anak mengembangkan keterampilan bahasa, mereka menggunakan lebih banyak kata, dan kalimat yang lebih kompleks. Dengan ini, maka anak sedang berproses dalam zona proximal development.

e. Tingkat Language Acquisition.

1) Permulaan Bahasa atau Early Language

Tingkat bahasa dimulai dari interaksi yang dilakukan orang tua dengan bayi ketika bayi mulai mendengkur, berdeguk, dalam buaian. Interaksi ini merupakan fondasi untuk perkembangan bahasa anak di masa yang akan datang.

Kata pertama yang diucapkan anak antara usia 1-2 tahun disebut holophrases, yakni mengungkapkan satu- dua kata yang membawa banyak makna untuk melengkapi kalimat anak. Sebagai contoh:

“Mobil Mama”. “Itu mobil mama” “Pisang”. “Aku ingin pisang”

“Jangan pergi”. “Jangan tinggalkan aku sendiri dengan babysitter yang menyeramkan ini”.

Selama masa ini anak juga belajar untuk membedakan intonasi misalnya:

“Roti”. “Itu Roti” “Roti!”. “Aku ingin roti”

Overgeneralization terjadi ketika seorang anak menggunakan sebuah kata untuk menunjuk lebih luas dari objek yang tepat. Contohnya ketika ia mengunakan kata mobil, ia juga menunjuk bus, truk, dan kereta api (Berk, 2006). Undergeneralization lebih berusaha untuk mendeteksi, terjadi ketika mengunakan kata terlalu sedikit atau sempit, seperti menggunakan “kitty” untuk kucing khusus tapi tidak untuk kucing secara umum.

Early Language Developmentdapat kita lihat lebih jelas dalam table dibawah ini:

Tabel 2. Perkembangan Bahasa Selama Masa Bayi

Usia Pencapaian Vokal

4 minggu Tangisan ketidaksenangan.

12 minggu Mendengkur pulas, memekik, mendeguk, kadang-kadang bunyi vokal.


(17)

banyak, tapi kadang-kadang hanya huruf mati. 6 bulan Memperlihatkan ocehan yang lebih baik, bunyi

vokal mulai penuh dan banyak huruf mati. 12 bulan Ocehan meliputi nyanyian atau intonasi bahasa,

mengungkapkan isyarat emosi, memproduksi kata-kata pertama, anak memahami beberapa kata dan perintah sederhana.

18 bulan Mengucapkan kosakata antara 3 sampai dengan 50 kata, ocehan diselingi dengan kata-kata yang riil, kadang-kadang kalimat terdiri dari 2 dan 3 kata.

24 bulan Mengucapkan kosakata antara 50 sampai dengan 300 kata, walaupun tidak semua digunakan dengan teliti, ocehan menghilang, banyak kalimat yang terdiri dari 2 kata atau lebih panjang, tata bahasa belum benar, anak memahami secara sangat sederhana bahasa yang dibutuhkannya.

(Mar’at,S, 2008)

2) Fine- Tuning Language

Anak berusaha untuk memperluas dan menemukan “fine-tune” pada awal berbicara (Berk, 2004, 2006). Anak berusaha untuk menggunakan kata kerja sesuai dengan waktu kejadiannya, seperti:

“aku sedang makan” “Dia melihat” “Jimmy berangkat” “Dia melakukannya”

Seperti diungkap oleh Piaget (1970-1977) bahwa aktivitas membantu menerangkan ungkapan. “He goed home” dalam skema sebelumnya hanya kata “He go Home” sekarang ditambah imbuhan –ed untuk kejadian yang telah terjadi atau masa lampau.

3) Increasing Language Complexity

Sekitar usia 3 tahun, seorang anak mulai menggunakan kalimat secara strategis. Anak mulai membalik subjek dan kata kerja untuk membuat bentuk pertanyaan, dan memodifikasi pernyataan untuk kalimat negatif.

4) Mempromosikan Perkembangan Bahasa Acquisition di Ruang Kelas Ada tiga masukan yang dapat dilakukan seorang pendidik yakni:

a. Mendorong siswa untuk menggunakan bahasa untuk mendeskripsikan pemahaman mereka pada topik- topik pelajaran di sekolah.


(18)

b. Mengingatkan siswa untuk selalu berjuang atau berusaha mengatakan dan memahami kedalam bagian yang umum sesuai dengan tahap perkembangan belajar.

c. Menyediakan Scaffolding untuk siswa dengan memberikan latihan berbahasa.

5. Remaja dan Dunia Populer

Masa remaja merupakan masa-masa dimana seseorang sedang mencari identitas, ingin mendapat pengakuan, dan masih sangat labil sehingga remaja sering memiliki hasrat untuk meniru segala sesuatu yang dianggapnya menarik tanpa melihat sisi negatif yang akan ditimbulkan. Menurut Erikson (1968), “Remaja memasuki tahapan psikososial yang disebut sebagai identity versus role confusion. Hal yang dominan terjadi pada tahapan ini adalah pencarian dan pembentukan identitas. Remaja ingin diakui sebagai individu unik yang memiliki identitas sendiri yang terlepas dari dunia anak-anak maupun dewasa. Penggunaan bahasa baru ini merupakan bagian dari proses perkembangan mereka sebagai identitas independensi mereka dari dunia orang dewasa dan anak-anak”. Hal itulah yang mendorong remaja untuk menggunakan bahasa alay. Mereka menganggap bahwa bahasa alay itu sangat menarik. Pada awalnya mungkin mereka hanya mendengar bahasa alay dari orang lain dan tidak mengerti apa maksud dari bahasa alay yang orang lain katakan tersebut, namun karena mereka merasa bahasa alay tersebut sangat menarik, maka mereka berusaha untuk mencari tahu dan mempelajarinya. Setelah itu mereka akan merealisasikan bahasa alay tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Selain itu, remaja tidak ingin selalu terpaku dalam bahasa baku, yang harus digunakan dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah yang dianjurkan. Seperti yang diketahui bahwa remaja tidak begitu suka dengan adanya aturan-aturan. Itulah sebabnya mengapa mereka lebih banyak memilih menggunakan bahasa alay daripada bahasa Indonesia. Apalagi beberapa dari mereka beranggapan bahwa bahasa alay adalah bahasa gaul, sehingga seseorang yang tidak menggunakannya akan dianggap kuno, ketinggalan jaman, bahkan ‘ndeso’ yang berarti kampungan. Dengan adanya pernyataan tersebut, maka remaja akan semakin tertantang dan berlomba-lomba untuk mencari tahu bahkan menciptakan sendiri bahasa-bahasa yang menurut mereka pantas untuk disebut sebagai bahasa alay dan dapat digunakan oleh remaja-remaja lainnya.


(19)

Populer atau tidaknya bahasa itu tidak dilihat dari pelaku-pelaku populer, tetapi dipandang dari sudut pandang orang yang berada di luar dunia populer sehingga memungkinkan lahirnya tawaran keanekaragaman dan perbedaan ketika diinterpretasi ulang oleh masyarakat di luar dunia populer itu sendiri. Meskipun demikian, budaya populer bukan diidentifikasi oleh rakyat secara keseluruhan, melainkan oleh orang lain yang berada di luar dunia populer dan masih menyandang dua makna kuno, yaitu jenis karya inferior dan karya yang secara sengaja dibuat agar disukai orang (Williams, 1985: 237). Terkait dengan penjelasan Williams, Strinati (2009: 25-26) mengungkapkan tiga pendapat yang menjadi inti teori budaya populer pada abad kedua puluh yaitu; pertama, apa atau siapa yang menentukan budaya populer, kedua, berkenaan dengan pengaruh komersialisasi dan industrialisasi terhadap budaya populer, dan ketiga, menyangkut peran ideologis budaya populer itu sendiri.

Gaya hidup populer erat kaitannya dengan remaja. Pada umumnya, gaya hidup populer biasanya melekat pada remaja yang memiliki kebiasaan hidup glamour, dan hura-hura. Gaya hidup pada remaja juga merupakan sebuah identitas kelompok dengan tipologi gaya hidup tertentu, hal ini dikarenakan gaya hidup dapat dipahami sebagai pola atau bentuk kehidupan sehari-hari dari seseorang atau sekolompok remaja untuk mengekspresikan dirinya yang terkadang disertai pula dengan harapan untuk bisa menjadi bagian dari kelompok tertentu. Gaya hidup ini dapat diketahui melalui kegiatan atau aktivitas, minat dan opini ataupun dari sikap remaja itu sendiri terhadap sesuatu hal.

Remaja dicitrakan sebagai konsumen utama dalam penyebar luasan produk-produk populer. Gaya hidup remaja yang cenderung mengikuti arus perkembangan zaman menjadi penanda utama akan hadirnya persepsi demikian. Pemasaran produk-produk populer untuk remaja, sebagai kategori yang berbeda dengan orang dewasa dan anak-anak telah ada sejak kata remaja ditemukan oleh industri periklanan Amerika pada tahun 1941, hingga tingkat pemasarannya menjadi berubah dramatis ketika kehidupan remaja menjadi komersial (Quart, 2008: xx).

Saat ini, remaja adalah korban produksi barang-barang mewah. Remaja masa kini tumbuh dan berkembang pada masa dimana merek dan popularitas merajalela. Mereka adalah kelompok yang mudah dieksploitasi oleh dunia populer. Kehidupan remaja dipengaruhi oleh pemasaran dan promosi, sebagai konsumen produk-produk populer dan sebagai anak-anak yang memperhatikan identitas diri dan menampilkan citra diri melalui apa yang mereka gunakan.


(20)

Iklan, dan televisi, yang menampilkan remaja sebagai model-model mereka selalu menambahkan citra populer dan sukses dengan penggunaan merek-merek terkenal ataupun bentuk tubuh dan tampilan wajah layaknya seorang bintang. Terciptanya konsep kecantikan ala putri-putri dalam dongeng bagi remaja putri, semakin menjadikan mereka sebagai penggila style. Tak jarang kemudian ditemukan remaja yang begitu tergila-gila dengan merek tertentu hanya karena merek-merek tersebut dipakai oleh artis idola mereka, hingga menjadikan mereka sebagai ‘penjiplak’.

Persoalan yang tidak jauh berbeda juga tampak dalam bacaan-bacaan populer masa kini seperti majalah dan novel remaja yang menggambarkan konsep berbahasa yang ebih modern. Perbincangan seputar bacaan-bacaan populer, pada akhirnya menghadirkan wacana baru tentang bagaimana memaknai bahasa gaul dalam kontestasi medan budaya populer, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya populer yang cenderung dekat dengan remaja. Artinya, remaja dibayangkan sebagai subjek aktif yang juga bisa mencitrakan dirinya dalam tradisi media kapitalis dan dekat dengan gaya hidup. Hal tersebut pada dasarnya berasal dari satu pemahaman bahwa untuk melawan hegemoni populer, para remaja tidak harus menghindari dunia kapitalis mainstream, tetapi bagaimana sebisa mungkin menegosiasikan dan mengartikulasikan kepentingan mereka dalam representasi-representasi populer, baik berupa musik, iklan tv, maupun bacaan-bacaan populer.

Siregar (2004) mengungkapkan hal yang juga tidak terpisahkan dari bacaan-bacaan populer adalah penggunaan gaya bahasa dialek remaja Jakarta. Penggunaan dialek tersebut tidak hanya dalam dialog yang fungsinya menciptakan suasana dan mengacaukan lingkungan budaya. Dengan kata lain, terdapat kecenderungan penggunaan bahasa yang keluar dari tujuan komunikasi dimana bahasa tidak hanya untuk menampung cerita ataupun menghidarkan keindahan, tetapi untuk menyiratkan simbol bahwa bacaan populer merupakan produk kelas tertentu. Keterampilan berbahasa semacam itu mencerminkan adanya “pendekatan” dengan suasana Jakarta. Budaya populer tidak lain dari formulasi impian massanya, gambaran remaja dalam majalah, film, dan bacaan popular seperti novel semata-mata dimaksudkan untuk terjual di pasaran yang selamanya akan menjual mimpi-mimpi indah dan kesenangan sesaat mampu mengurangi beban dan memberikan hiburan. Kodrat budaya populer selamanya hanya sampai pada titik penyampaian impian dan hiburan, impian yang ditawarkan akan berfungsi sebagai eskapisme bagi massanya yang muncul dari


(21)

kenyataan yang ada. Berawal dari menampilkan gaya berbahasa remaja Jakarta, bahasa anak muda, atau dikenal pula sebagai bahasa gaul dalam iklan, televisi, dan bacaan populer membentuk adanya ragam bahasa non formal yang kemudian hadir dan dekat dengan dunia remaja.

Pada dasarnya, ada dua hal utama yang menjadi perhatian remaja, yaitu identitas dan pengakuan. Penggunaan dan penulisan bahasa dengan ciri khasnya bisa menjadi pembentukan kedua hal tersebut di atas. Terdapat dua alasan utama mengapa remaja menggunakan bahasa tulis dengan ciri tersendiri, pertama, mereka mengukuhkan diri sebagai kelompok sosial tertentu, yaitu remaja. Kedua, merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap dominasi bahasa baku atau kaidah bahasa yang telah mapan. Yang berarti bahwa remaja merasa menciptakan identitas dari bahasa yang mereka ciptakan sendiri pula. Remaja sebagai kelompok usia yang sedang mencari identitas diri memiliki kekhasan dalam menggunakan bahasa lisan maupu tulis. Terdapat semacam keseragaman gaya yang kemudian menjadi gaya hidup mereka. Remaja yang masih labil dan gemar meniru sangat mudah tertular dan memilih menggunakan bahasa semacam ini dibanding menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Terlebih hadirnya anggapan bahwa bentuk-bentuk bahasa tersebut adalah bahasa gaul, sehingga mereka yang tidak menggunakannya akan dianggap ketinggalan jaman atau kuno.

C. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam menggali sumber-sumber penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara dan studi kasus mengenai karakteristik perkembangan bahasa pada masa remaja dan perkembangan bahasa prokem atau bahasa alay. Objek penelitian ini adalah mahasiswa UPI Fakultas Ilmu Pendidikan dan mahasiswa UPI kampus Purwakarta, dengan jumlah objek penelitian kurang dari 10% dari populasi.

Studi kasus dilakukan untuk mengetahui karakteristik perkembangan bahasa pada masa remaja dan juga perkembangan bahasa prokem. Pada akhirnya dilakukan analisis mengenai dampak perkembangan bahasa prokem terhadap perkembangan bahasa dan implikasinya bagi layanan bimbingan dan konseling. Studi wawancara dilakukan untuk menggali lebih dalam mengenai dampak dari penggunaan bahasa prokem atau bahasa alay tersebut.


(22)

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Tata bahasa Indonesia pada saat ini sudah banyak mengalami perubahan. Masyarakat Indonesia khususnya para remaja, sudah banyak kesulitan dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Perubahan tersebut terjadi dikarenakan adanya penggunaan bahasa baru yang mereka anggap sebagai kreativitas. Jika mereka tidak menggunakannya, mereka takut dibilang ketinggalan zaman atau tidak gaul. Salah satu dari penyimpangan bahasa tersebut diantaranya adalah digunakannya bahasa Alay.

Penggunaan bahasa EYD biasanya dipergunakan dalam kontek yang formal seperti pada institusi yang bersifat kelembagaan, sekolah, bahasa baku yang dikaitkan dengan pendidikan. Namun dalam pelaksanaannya, remaja membuat pertentangan antara standar dan vernakular bahasa sebagai komponen utama untuk menunjukan gaya remaja. Fitur bahasa standar dan vernakular menampakkan diri dalam penggunaannya sehari hari tidak hanya sebagai elemen yang siap pakai berbicara tetapi sebagai sumber daya untuk pembangunan gaya yang lebih kompleks. Fitur linguistik tertentu mungkin pada kesempatan indeks kategori sosial secara langsung berbeda, tetapi lebih sering pada indeks sikap tertentu (seperti ketangguhan atau keunggulan intelektual) yang konstitutif kategori tersebut (Ochs, 1991). Pada fitur linguistik tunggal, daripada menyampaikan makna sendiri, dapat digunakan untuk beberapa tujuan dan dikombinasikan dengan orang lain untuk menciptakan gaya kaya makna sosial melalui penggunaan pilihan linguistik luas di alam kualitas suara dan prosodi; fonologi segmental, morfologi, sintaksis, wacana, leksikon, dan tindak tutur, kegiatan, dan acara. Gaya pidato pada gilirannya berhubungan dengan aspek-aspek lain seperti gaya seperti pakaian (Eckert, 1980, 2000), cermin (Mendoza-Denton, 1996), teman sebaya, selera musik, wilayah, kegiatan, dan gerakan (Eckert, 1989) untuk membuat identitas yang lebih unik.

Perkembangan bahasa alay muncul beriringan dengan perkembangan sosial media seperti friendsters, yahoo masanger, miRC, facebook, bahkan sms. Objek menggunakan bahasa alay karena mereka menganggap bahasa alay merupakan bahasa gaul yang digandrungi oleh para remaja. Dari objek penelitian diketahui bahwa remaja yang menggunakan bahasa alay mayoritas adalah perempuan, sangat sedikit sekali ditemukan remaja laki-laki. Hal ini dikarenakan pengaruh kohesifitas diantara remaja tersebut.


(23)

Meskipun komunikasi remaja telah lama dipandang sebagai bermasalah, sedikit yang diketahui tentang bagaimana remaja mengalami dan mendamaikan beberapa aspek yang muncul dari diri dalam pengembangan komunikasi dan keterampilan sosial, atau tepatnya bahasa apa memainkan peran dalam proses tersebut. Selain itu, pendekatan teoretis perlu dipergunakan untuk memudahkan pemahaman kita tentang masalah yang berkaitan dengan bahasa dan proses komunikasi dan praktek "normal" remaja. Terlalu sering, remaja diberi label atau stereotip menurut sebuah atribut tunggal atau karakteristik (misalnya, "alay", “prokem” atau "kutu buku") yang menentukan keanggotaan kelompok dengan sedikit pertimbangan diberikan kepada aspek alternatif individu yang memprediksi afiliasi kelompok lain mampu mempengaruhi anggota penting dikaitkan (Giles & Coupland, 1991).

Bahasa Alay secara langsung maupun tidak telah mengubah masyarakat Indonesia untuk tidak mempergunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebaiknya bahasa Alay dipergunakan pada situasi yang tidak formal seperti ketika kita sedang berbicara dengan teman. Atau pada komunitas yang mengerti dengan sandi bahasa Alay tersebut. Kita boleh menggunakannya, akan tetapi jangan sampai menghilangkan budaya berbahasa Indonesia. Namun dengan demikian keberadaan Bahasa Indonesia juga bisa teruji dengan hal-hal yang baru sehingga bisa lebih menguatkan Bahasa Indonesia itu sendiri.

Kebanyakan dari remaja yang menggunakan bahasa alay tidak begitu mengerti dan memahami pentingnya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Jika hal itu dibiarkan, maka akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia di negara ini. Antara lain, remaja akan sulit untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Padahal disekolah maupun ditempat kerja nanti kita diharuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tidak mungkin jika ulangan atau tugas dikerjakan menggunakan bahasa alay. Selain itu, penggunaan bahasa alay dapat mengganggu siapapun yang membaca dan mendengar kata-kata yang dimaksud. Bahkan bisa terjadi kesalahpahaman antar orang yang berkomunikasi atau bisa saja terjadi salah persepsi, karena sulit dipahami saat bahasa tersebut digunakan sebagai pengucapan dan sulit dibaca saat digunakan sebagai penulisan. Karena tidak semua orang mengerti akan maksud dari kata-kata alay tersebut. Hal itu sangat memusingkan dan membutuhkan waktu yang lama untuk sekedar memahaminya.


(24)

Dengan penggunaan bahasa alay oleh remaja yang semakin berkembang ini, bisa jadi suatu saat nanti anak cucu kita (masyarakat) sudah tidak lagi mengenal bahasa baku dan tidak lagi memakai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) sebagai pedoman dalam berbahasa, kemudian menganggap remeh bahasa Indonesia. Jika hal ini terus berlangsung, dikahawatirkan akan menghilangkan budaya berbahasa Indonesia dikalangan remaja bahkan dikalangan anak-anak. Padahal bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara kita dan juga sebagai identitas bangsa. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa, harusnya mampu menjadi tonggak dalam mempertahankan bangsa Indonesia ini. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah dengan menjaga, melestarikan, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Seperti dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi, “Kami putra-putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Dari temuan data mengenai komunikasi remaja yang telah diungkapkan, jelas bahwa bahasa memainkan peran penting dalam mendefinisikan identitas sosial remaja. Dengan menggunakan bahasa yang Idio-syncratic dan unik untuk kelompok usia tertentu, tampak bahwa kaum remaja belajar untuk mendefinisikan diri mereka sendiri, setidaknya sebagian, melalui interaksi verbal dengan orang lain. Namun, meskipun kekhasan kosakata, ada penelitian yang menunjukkan bahwa hasil dari interaksi sering bergantung banyak pada situasi atau konteks interaksi seperti pada keterampilan komunikasi individu yang bersangkutan (Drury, Catan, Dennison, & Brody , 1998). Misalnya, keluarga dan kelompok sebaya menyediakan remaja dengan konteks di mana untuk mengembangkan keterampilan sosial seperti memulai interaksi, menetapkan norma-norma dan nilai-nilai, dan mendapatkan dukungan untuk pengungkapan diri (Brown, 1990). Bahkan, ada banyak penelitian untuk menunjukkan bahwa perilaku kelompok memiliki tujuan mendasar bagi remaja, terutama dalam hal pembangunan sosial dan harga diri (Buhrmester, 1992; Cotterell, 1996; Heaven, 1994; Palmonari, Pombeni, & Kirchler, 1990 ). Karena setiap individu memiliki beberapa keanggotaan kelompok, salah satu yang mungkin menjadi lebih atau kurang menonjol dalam situasi tertentu, pemahaman teoritis yang konsisten tentang bagaimana arti remaja diri mendorong keterampilan komunikasi mereka dan sebaliknya akan tampak menguntungkan. Akibatnya, penulis mengusulkan bahwa pertimbangan teori antarkelompok menawarkan perspektif yang unik dari fungsi dan dampak dari keanggotaan kelompok pada remaja.


(25)

Kurangnya kesadaran untuk mencintai bahasa di negeri sendiri berdampak pada tergilasnya atau lunturnya bahasa Indonesia dalam pemakaiannya dalam masyarakat. Salah satu kebijakan untuk tetap melestarikan bahasa nasional adalah pemerintah bersama segenap lapisan masyarakat menjunjung tinggi bahasa Indonesia agar tetap menjadi bahasa yang dapat dibanggakan dan sejajar dengan bahasa-bahasa di seluruh dunia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara kita dan juga sebagai identitas bangsa. Untuk itulah, kita sebagai generasi muda, harus cermat dalam memilih serta mengikuti trend yang ada. Jangan sampai merusak budaya bahasa kita sendiri.

Selain itu, kurangnya kesadaran para remaja akan kecintaannya terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar berdampak pada pergeseran budaya bahkan lunturnya identitas budaya. Sapir-Whorf (Matsumoto, 2000: 3230 memandang bahwa bahasa yang kita gunakan akan berhubungan dengan proses berpikir yang kita miliki. Hipotesis Sapir-Whorf khususnya penting bagi para ahli psikologi lintas budaya yang meneliti bahasa karena setiap budaya biasanya diasosiasikan dengan satu bahasa tertentu sebagai alat ekspresinya, dan setiap bahasa biasanya diasosiasikan dengan sebuah budaya tertentu. Hal ini cukup jelas bahwa bahasa mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan budaya. Bagaikan dua sisi mata uang, bahasa dan budaya merupakan dua hal dalam satu sistem yang tidak daapat dipisahkan. Sapir, memandang bahwa perjalan sejarah bahasa berjalan beriringan dengan sejarah budaya. Pertanyaan terkait dengan mana yang lebih dulu muncul sebagai sebab, apakah budaya atau bahasa, tentunya merupakan pertanyaan yang sangat filosofis, namun satu hal yang harus kita perhatikan adalah penekanan bahwa sejarah kedua variabel ini berjalan secara beriringan. Dengan kata lain, bahasa dan budya merupakan hal yang saling mempengaruhi.

Dari hasil studi lapangan, ditemukan sebuah permasalahan bahwa objek penelitian yang menggunakan bahasa alay atau prokem terjadi karena mereka kurang memiliki rasa kecintaan terhadap budaya lokal mereka sendiri. Bahkan ada diantara objek penelitian yang kurang memiliki rasa kebanggaan terhadap bahasa ibu mereka. Ada satu persepsi dan asumsi diantara remaja yang menjadi sampel yaitu bila mereka tidak menggunakan bahasa alay dan bahasa prokem maka mereka dianggap tidak gaul atau tidak mengikuti perkembangan jaman. Temuan ini ternyata menjadi sebuah budaya dikalangan para remaja ketika mereka masih berada di lingkungan sekolah baik setingkat SMP maupun SMA. Namun ketika objek penelitian memasuki


(26)

Perguruan Tinggi, objek penelitian dengan kesadaran sendiri meninggalkan bahasa alay tersebut.

Dampak yang terjadi yaitu objek mengalami kesulitan dalam menulis karya ilmuah yang membutuhkan penggunaan bahasa yang bersifat EYD. Bahkan ketika objek melakukan praktek mengajar di lapangan, mereka menemukan kesulitan dalam mengutarakan pikiran dan menyampaikan bahasa yang baik kepada peserta didiknya. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi sebuah dampak yang dapat ditiru oleh peserta diidiknya dan menjadi sebuah budaya yang tidak layak.

Bahasa merupakan sebuah kemampuan yang diwarisi secara kultural, bukan secara biologis dengan landasan instingtif. Ketika suatu hal diwarisi secara kultural, maka dapat dikatakan bahwa hal terebut tentu melibatkan interaksi sosial sebagai salah satu elemen utama dalam sebuah sistem kebudayaan.

E. Rekomendasi Untuk Penelitian Berikutnya dan Layanan Bimbingan dan Konseling berbasis Budaya

Berdasarkan temuan dan analisis di lapangan tampak jelas bahwa salah satu faktor penentu yang paling penting dari kualitas komunikasi remaja adalah situasi atau lingkungan di mana itu terjadi. Namun, sedikit yang mengerti tentang cara-cara di mana konteks mempengaruhi interaksi, meskipun ada indikasi bahwa interaksi merupakan faktor penting. Sebagai contoh, konflik tampaknya memiliki dampak yang berbeda tergantung pada interaksi antara remaja dan interaksi lainnya, dan konflik dalam interaksi yang berkelanjutan melayani tujuan yang berbeda dibandingkan konflik dalam situasi yang lebih formal atau sementara. Penelitian masa depan harus mempertimbangkan pentingnya konteks komunikasi remaja.

Hal ini juga jelas bahwa remaja menggunakan bahasa dan proses komunikatif lainnya untuk memasukkan remaja lain dan untuk mengecualikan anggota luar kelompok. Identitas kelompok bagi remaja memiliki arti yang sangat penting. Penerimaan oleh teman sebaya sangat penting dan isolasi harus ditakuti. Dengan demikian, perilaku hubungan dengan kelompok menjadi penting. Bahasa adalah salah satu penanda kelompok tersebut memiliki peran yang sangat signifikan dan penggunaan fitur linguistik tertentu merupakan hasil yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun deskripsi dari perilaku komunikatif remaja sangat luas, tidak selalu jelas siapa mengakomodasi siapa dan faktor apa yang menentukan akomodasi itu. Misalnya, orang dewasa (out-group) menggunakan bahasa remaja kadang-kadang


(27)

dipandang sebagai masalah bagi pendengar remaja. Platt dan Weber (1984) berpendapat bahwa upaya konvergensi pidato mungkin meremehkan karena gangguan dari strategi budaya atau gaya asing, tetapi juga, mungkin lebih penting, karena keanggotaan out-group. Mengapa hal ini harus terjadi belum sepenuhnya diperiksa. Mungkin itu dipandang sebagai pelanggaran privasi atau menyerang wilayah remaja. Namun, di lain waktu mungkin berguna untuk menjembatani kesenjangan antara generasi atau kelompok. Hal ini menyebabkan beberapa pertanyaan tentang isu-isu kepemilikan: Kapan diterima untuk orang dewasa, guru, orang tua, dan sebagainya, menggunakan bahasa remaja dan kapan tidak? Mengingat bahwa ada banyak bentuk bahasa remaja, bagaimana perbedaan yang dibuat antara kelompok remaja dari segi bahasa? Misalnya, Dalam situasi di mana beberapa grup yang menonjol, apa faktor menentukan keanggotaan mendominasi?

Ini hanya beberapa pertanyaan yang muncul dari pertimbangan penggunaan bahasa remaja dari perspektif antarkelompok. Jelas, ada banyak link penelitian potensi lain yang dapat dikembangkan dari usulan ini tentatif.

Khusus mengenai upaya penanganan dalam kontek bimbingan dan konseling berbasis budaya, penguasaan bahasa Indonesia yang dimaksud disini adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh setiap individu dalam meningkatkan penguasaan bahasa Indonesia guna meninggalkan bahasa alay.

Pertama, tanamkan kesadaran (motivasi) bahwa penguasaan bahasa Indonesia dengan baik merupakan modal dasar untuk sukses di segala bidang.

Kedua, usahakan sebanyak mungkin untuk membaca, baik surat kabar, majalah, buku-buku pelajaran, terlebih lagi buku-buku tentang kebahasaan. Biasakanlah dalam kegiatan sehari-hari selalu ada waktu untuk membaca, walaupun hanya beberapa menit, sebab dengan banyak membaca wawasan kita akan semakin bertambah, termasuk dalam hal kebahasaan.

Ketiga, usahakan agar bersikap kritis dalam membaca, artinya jangan hanya asal membaca, tapi juga harus diperhatikan dan dimengerti dengan baik bentuk bahasa yang dibaca, struktur kalimatnya,bentuk kata-katanya, ejaannya, tata tulisnya, dan sebagainya.

Keempat, hal lain yang harus diperhatikan oleh penutur bahasa Indonesia adalah berpegang teguh peda prinsip “berbeda bentuk berbeda arti”. Dengan prinsip ini, orang akan selalu sadar dalam memilih penggunaan kata-kata, apakah akan


(28)

menggunakan kata-kata baku yang sesuai ejaan atau kata nonbaku yang tidak sesuai dengan ejaan.

Selain keempat hal yang telah dipaparkan, layanan bimbingan dan konseling perlu mempertegas posisi budaya lokal agar para remaja memiliki kebanggaan diri dan mencintai budayanya sendiri.

F. Reverensi Buku

Cotterell, J. (1996). Social networks and social influences in adolescence. London: Routledge.

Eckert, P. (1989). Jocks and burnouts: Social categories and identity in the high school. New York: Teachers College Press.

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: Norton.

Matsumoto, D. (2000). Culture and Psychology: People Around The World. Belmont, CA: Thomson Learning Inc.

Siregar, A. (2004). Popularisasi Gaya Hidup: Sisi Remaja dalam Komunikasi Massa. Lifestyle Ecstasy. Idi Subandi Ibrahim (ed). Yogyakarta: Jalasutra.

Strinati, D. (2009). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Penerjemah Abdul Muchid.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Safriandi. (2009). Pemerolehan Bahasa Pertama. [Online].

Tersedia:http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-bahasa-pertama/ [22 oktober 2012]

Widhhiarso, W. (2005). Pengaruh Bahasa terhadap Pikiran : kajian hipotesis Benyamin Whorf dan Edward Sapir. Fakultas Psikologi UGM.

Wijaya, M. (2011). Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya. Makalah pada Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Baturaja: Tidak Diterbitkan.

Williams, R. (1960). Cultural and Society. New York: Anchor Book

Jurnal dan Hasil Penelitian

Brown, B. B. (1990). Peer groups and peer cultures. In S. Feldman & G. R. Elliott (Eds.), At the threshold: The developing adolescent (pp. 171-196). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Bucholtz, M. (1999). “Why be normal?”: Language and identity practices in a community of nerd girls. Language in Society, 28, 203-223.


(29)

Buhrmester, D. (1992). The developmental courses of sibling and peer relationships. In F. Boer & J. Dunn (Eds.), Children’s sibling relationships: Developmental and clinical issues (pp. 19-40). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.

Drury, J., Catan, L., Dennison, C., & Brody, R. (1998). Exploring teenagers’ accounts of bad communication: A new basis for intervention. Journal of Adolescence, 21, 177-196.

Eckert, P. (1980). Clothing and geography in a suburban high school. In Conrad Kottak (Ed.), Researching American culture (pp. 139-145). Ann Arbor: University of Michigan Press.

Eckert, P. (2000). Adolescent language. In E. Finegan & J. Rickford (Eds.), Language in the USA. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Heaven, P.C.L. (1994). Family of origin, personality and self-reported delinquency. Journal of Adolescence, 17, 445-459.

Mendoza-Denton, N. (1996). Muy macha: Gender and ideology in gang girls’ discourse about makeup. Ethnos, 6, 91-92.

Ochs, E. (1991). Indexing gender. In A. Duranti & C. Goodwin (Eds.), Rethinking context (pp. 335-358). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Palmonari, A., Pombeni, M. L., & Kirchler, E. (1990). Adolescents and their peer groups: A study on the significance of peers, social categorization processes and coping with developmental tasks. Social Behavior, 5, 33-48.

Platt, J., & Weber, H. (1984). Speech convergence miscarried: An investigation into inappropriate accommodation strategies. International Journal of the Sociology of Language, 46, 131-146.


(1)

Dengan penggunaan bahasa alay oleh remaja yang semakin berkembang ini, bisa jadi suatu saat nanti anak cucu kita (masyarakat) sudah tidak lagi mengenal bahasa baku dan tidak lagi memakai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) sebagai pedoman dalam berbahasa, kemudian menganggap remeh bahasa Indonesia. Jika hal ini terus berlangsung, dikahawatirkan akan menghilangkan budaya berbahasa Indonesia dikalangan remaja bahkan dikalangan anak-anak. Padahal bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara kita dan juga sebagai identitas bangsa. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa, harusnya mampu menjadi tonggak dalam mempertahankan bangsa Indonesia ini. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah dengan menjaga, melestarikan, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Seperti dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi, “Kami putra-putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Dari temuan data mengenai komunikasi remaja yang telah diungkapkan, jelas bahwa bahasa memainkan peran penting dalam mendefinisikan identitas sosial remaja. Dengan menggunakan bahasa yang Idio-syncratic dan unik untuk kelompok usia tertentu, tampak bahwa kaum remaja belajar untuk mendefinisikan diri mereka sendiri, setidaknya sebagian, melalui interaksi verbal dengan orang lain. Namun, meskipun kekhasan kosakata, ada penelitian yang menunjukkan bahwa hasil dari interaksi sering bergantung banyak pada situasi atau konteks interaksi seperti pada keterampilan komunikasi individu yang bersangkutan (Drury, Catan, Dennison, & Brody , 1998). Misalnya, keluarga dan kelompok sebaya menyediakan remaja dengan konteks di mana untuk mengembangkan keterampilan sosial seperti memulai interaksi, menetapkan norma-norma dan nilai-nilai, dan mendapatkan dukungan untuk pengungkapan diri (Brown, 1990). Bahkan, ada banyak penelitian untuk menunjukkan bahwa perilaku kelompok memiliki tujuan mendasar bagi remaja, terutama dalam hal pembangunan sosial dan harga diri (Buhrmester, 1992; Cotterell, 1996; Heaven, 1994; Palmonari, Pombeni, & Kirchler, 1990 ). Karena setiap individu memiliki beberapa keanggotaan kelompok, salah satu yang mungkin menjadi lebih atau kurang menonjol dalam situasi tertentu, pemahaman teoritis yang konsisten tentang bagaimana arti remaja diri mendorong keterampilan komunikasi mereka dan sebaliknya akan tampak menguntungkan. Akibatnya, penulis mengusulkan bahwa pertimbangan teori antarkelompok menawarkan perspektif yang unik dari fungsi dan dampak dari keanggotaan kelompok pada remaja.


(2)

Kurangnya kesadaran untuk mencintai bahasa di negeri sendiri berdampak pada tergilasnya atau lunturnya bahasa Indonesia dalam pemakaiannya dalam masyarakat. Salah satu kebijakan untuk tetap melestarikan bahasa nasional adalah pemerintah bersama segenap lapisan masyarakat menjunjung tinggi bahasa Indonesia agar tetap menjadi bahasa yang dapat dibanggakan dan sejajar dengan bahasa-bahasa di seluruh dunia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara kita dan juga sebagai identitas bangsa. Untuk itulah, kita sebagai generasi muda, harus cermat dalam memilih serta mengikuti trend yang ada. Jangan sampai merusak budaya bahasa kita sendiri.

Selain itu, kurangnya kesadaran para remaja akan kecintaannya terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar berdampak pada pergeseran budaya bahkan lunturnya identitas budaya. Sapir-Whorf (Matsumoto, 2000: 3230 memandang bahwa bahasa yang kita gunakan akan berhubungan dengan proses berpikir yang kita miliki. Hipotesis Sapir-Whorf khususnya penting bagi para ahli psikologi lintas budaya yang meneliti bahasa karena setiap budaya biasanya diasosiasikan dengan satu bahasa tertentu sebagai alat ekspresinya, dan setiap bahasa biasanya diasosiasikan dengan sebuah budaya tertentu. Hal ini cukup jelas bahwa bahasa mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan budaya. Bagaikan dua sisi mata uang, bahasa dan budaya merupakan dua hal dalam satu sistem yang tidak daapat dipisahkan. Sapir, memandang bahwa perjalan sejarah bahasa berjalan beriringan dengan sejarah budaya. Pertanyaan terkait dengan mana yang lebih dulu muncul sebagai sebab, apakah budaya atau bahasa, tentunya merupakan pertanyaan yang sangat filosofis, namun satu hal yang harus kita perhatikan adalah penekanan bahwa sejarah kedua variabel ini berjalan secara beriringan. Dengan kata lain, bahasa dan budya merupakan hal yang saling mempengaruhi.

Dari hasil studi lapangan, ditemukan sebuah permasalahan bahwa objek penelitian yang menggunakan bahasa alay atau prokem terjadi karena mereka kurang memiliki rasa kecintaan terhadap budaya lokal mereka sendiri. Bahkan ada diantara objek penelitian yang kurang memiliki rasa kebanggaan terhadap bahasa ibu mereka. Ada satu persepsi dan asumsi diantara remaja yang menjadi sampel yaitu bila mereka tidak menggunakan bahasa alay dan bahasa prokem maka mereka dianggap tidak gaul atau tidak mengikuti perkembangan jaman. Temuan ini ternyata menjadi sebuah budaya dikalangan para remaja ketika mereka masih berada di lingkungan sekolah baik setingkat SMP maupun SMA. Namun ketika objek penelitian memasuki


(3)

Perguruan Tinggi, objek penelitian dengan kesadaran sendiri meninggalkan bahasa alay tersebut.

Dampak yang terjadi yaitu objek mengalami kesulitan dalam menulis karya ilmuah yang membutuhkan penggunaan bahasa yang bersifat EYD. Bahkan ketika objek melakukan praktek mengajar di lapangan, mereka menemukan kesulitan dalam mengutarakan pikiran dan menyampaikan bahasa yang baik kepada peserta didiknya. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi sebuah dampak yang dapat ditiru oleh peserta diidiknya dan menjadi sebuah budaya yang tidak layak.

Bahasa merupakan sebuah kemampuan yang diwarisi secara kultural, bukan secara biologis dengan landasan instingtif. Ketika suatu hal diwarisi secara kultural, maka dapat dikatakan bahwa hal terebut tentu melibatkan interaksi sosial sebagai salah satu elemen utama dalam sebuah sistem kebudayaan.

E. Rekomendasi Untuk Penelitian Berikutnya dan Layanan Bimbingan dan Konseling berbasis Budaya

Berdasarkan temuan dan analisis di lapangan tampak jelas bahwa salah satu faktor penentu yang paling penting dari kualitas komunikasi remaja adalah situasi atau lingkungan di mana itu terjadi. Namun, sedikit yang mengerti tentang cara-cara di mana konteks mempengaruhi interaksi, meskipun ada indikasi bahwa interaksi merupakan faktor penting. Sebagai contoh, konflik tampaknya memiliki dampak yang berbeda tergantung pada interaksi antara remaja dan interaksi lainnya, dan konflik dalam interaksi yang berkelanjutan melayani tujuan yang berbeda dibandingkan konflik dalam situasi yang lebih formal atau sementara. Penelitian masa depan harus mempertimbangkan pentingnya konteks komunikasi remaja.

Hal ini juga jelas bahwa remaja menggunakan bahasa dan proses komunikatif lainnya untuk memasukkan remaja lain dan untuk mengecualikan anggota luar kelompok. Identitas kelompok bagi remaja memiliki arti yang sangat penting. Penerimaan oleh teman sebaya sangat penting dan isolasi harus ditakuti. Dengan demikian, perilaku hubungan dengan kelompok menjadi penting. Bahasa adalah salah satu penanda kelompok tersebut memiliki peran yang sangat signifikan dan penggunaan fitur linguistik tertentu merupakan hasil yang tidak dapat dipisahkan. Meskipun deskripsi dari perilaku komunikatif remaja sangat luas, tidak selalu jelas siapa mengakomodasi siapa dan faktor apa yang menentukan akomodasi itu. Misalnya, orang dewasa (out-group) menggunakan bahasa remaja kadang-kadang


(4)

dipandang sebagai masalah bagi pendengar remaja. Platt dan Weber (1984) berpendapat bahwa upaya konvergensi pidato mungkin meremehkan karena gangguan dari strategi budaya atau gaya asing, tetapi juga, mungkin lebih penting, karena keanggotaan out-group. Mengapa hal ini harus terjadi belum sepenuhnya diperiksa. Mungkin itu dipandang sebagai pelanggaran privasi atau menyerang wilayah remaja. Namun, di lain waktu mungkin berguna untuk menjembatani kesenjangan antara generasi atau kelompok. Hal ini menyebabkan beberapa pertanyaan tentang isu-isu kepemilikan: Kapan diterima untuk orang dewasa, guru, orang tua, dan sebagainya, menggunakan bahasa remaja dan kapan tidak? Mengingat bahwa ada banyak bentuk bahasa remaja, bagaimana perbedaan yang dibuat antara kelompok remaja dari segi bahasa? Misalnya, Dalam situasi di mana beberapa grup yang menonjol, apa faktor menentukan keanggotaan mendominasi?

Ini hanya beberapa pertanyaan yang muncul dari pertimbangan penggunaan bahasa remaja dari perspektif antarkelompok. Jelas, ada banyak link penelitian potensi lain yang dapat dikembangkan dari usulan ini tentatif.

Khusus mengenai upaya penanganan dalam kontek bimbingan dan konseling berbasis budaya, penguasaan bahasa Indonesia yang dimaksud disini adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh setiap individu dalam meningkatkan penguasaan bahasa Indonesia guna meninggalkan bahasa alay.

Pertama, tanamkan kesadaran (motivasi) bahwa penguasaan bahasa Indonesia dengan baik merupakan modal dasar untuk sukses di segala bidang.

Kedua, usahakan sebanyak mungkin untuk membaca, baik surat kabar, majalah, buku-buku pelajaran, terlebih lagi buku-buku tentang kebahasaan. Biasakanlah dalam kegiatan sehari-hari selalu ada waktu untuk membaca, walaupun hanya beberapa menit, sebab dengan banyak membaca wawasan kita akan semakin bertambah, termasuk dalam hal kebahasaan.

Ketiga, usahakan agar bersikap kritis dalam membaca, artinya jangan hanya asal membaca, tapi juga harus diperhatikan dan dimengerti dengan baik bentuk bahasa yang dibaca, struktur kalimatnya,bentuk kata-katanya, ejaannya, tata tulisnya, dan sebagainya.

Keempat, hal lain yang harus diperhatikan oleh penutur bahasa Indonesia adalah berpegang teguh peda prinsip “berbeda bentuk berbeda arti”. Dengan prinsip ini, orang akan selalu sadar dalam memilih penggunaan kata-kata, apakah akan


(5)

menggunakan kata-kata baku yang sesuai ejaan atau kata nonbaku yang tidak sesuai dengan ejaan.

Selain keempat hal yang telah dipaparkan, layanan bimbingan dan konseling perlu mempertegas posisi budaya lokal agar para remaja memiliki kebanggaan diri dan mencintai budayanya sendiri.

F. Reverensi Buku

Cotterell, J. (1996). Social networks and social influences in adolescence. London: Routledge.

Eckert, P. (1989). Jocks and burnouts: Social categories and identity in the high school. New York: Teachers College Press.

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: Norton.

Matsumoto, D. (2000). Culture and Psychology: People Around The World. Belmont, CA: Thomson Learning Inc.

Siregar, A. (2004). Popularisasi Gaya Hidup: Sisi Remaja dalam Komunikasi Massa. Lifestyle Ecstasy. Idi Subandi Ibrahim (ed). Yogyakarta: Jalasutra.

Strinati, D. (2009). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Penerjemah Abdul Muchid.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Safriandi. (2009). Pemerolehan Bahasa Pertama. [Online].

Tersedia:http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-bahasa-pertama/ [22 oktober 2012]

Widhhiarso, W. (2005). Pengaruh Bahasa terhadap Pikiran : kajian hipotesis Benyamin Whorf dan Edward Sapir. Fakultas Psikologi UGM.

Wijaya, M. (2011). Hubungan Berbahasa, Berpikir dan Berbudaya. Makalah pada Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Baturaja: Tidak Diterbitkan. Williams, R. (1960). Cultural and Society. New York: Anchor Book

Jurnal dan Hasil Penelitian

Brown, B. B. (1990). Peer groups and peer cultures. In S. Feldman & G. R. Elliott (Eds.), At the threshold: The developing adolescent (pp. 171-196). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Bucholtz, M. (1999). “Why be normal?”: Language and identity practices in a community of nerd girls. Language in Society, 28, 203-223.


(6)

Buhrmester, D. (1992). The developmental courses of sibling and peer relationships. In F. Boer & J. Dunn (Eds.), Children’s sibling relationships: Developmental and clinical issues (pp. 19-40). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum.

Drury, J., Catan, L., Dennison, C., & Brody, R. (1998). Exploring teenagers’ accounts of bad communication: A new basis for intervention. Journal of Adolescence, 21, 177-196.

Eckert, P. (1980). Clothing and geography in a suburban high school. In Conrad Kottak (Ed.), Researching American culture (pp. 139-145). Ann Arbor: University of Michigan Press.

Eckert, P. (2000). Adolescent language. In E. Finegan & J. Rickford (Eds.), Language in the USA. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Heaven, P.C.L. (1994). Family of origin, personality and self-reported delinquency. Journal of Adolescence, 17, 445-459.

Mendoza-Denton, N. (1996). Muy macha: Gender and ideology in gang girls’ discourse about makeup. Ethnos, 6, 91-92.

Ochs, E. (1991). Indexing gender. In A. Duranti & C. Goodwin (Eds.), Rethinking context (pp. 335-358). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Palmonari, A., Pombeni, M. L., & Kirchler, E. (1990). Adolescents and their peer groups: A study on the significance of peers, social categorization processes and coping with developmental tasks. Social Behavior, 5, 33-48.

Platt, J., & Weber, H. (1984). Speech convergence miscarried: An investigation into inappropriate accommodation strategies. International Journal of the Sociology of Language, 46, 131-146.