teman sebaya, selera musik, wilayah, kegiatan, dan gerakan Eckert, 1989

22

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Tata bahasa Indonesia pada saat ini sudah banyak mengalami perubahan. Masyarakat Indonesia khususnya para remaja, sudah banyak kesulitan dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Perubahan tersebut terjadi dikarenakan adanya penggunaan bahasa baru yang mereka anggap sebagai kreativitas. Jika mereka tidak menggunakannya, mereka takut dibilang ketinggalan zaman atau tidak gaul. Salah satu dari penyimpangan bahasa tersebut diantaranya adalah digunakannya bahasa Alay. Penggunaan bahasa EYD biasanya dipergunakan dalam kontek yang formal seperti pada institusi yang bersifat kelembagaan, sekolah, bahasa baku yang dikaitkan dengan pendidikan. Namun dalam pelaksanaannya, remaja membuat pertentangan antara standar dan vernakular bahasa sebagai komponen utama untuk menunjukan gaya remaja. Fitur bahasa standar dan vernakular menampakkan diri dalam penggunaannya sehari hari tidak hanya sebagai elemen yang siap pakai berbicara tetapi sebagai sumber daya untuk pembangunan gaya yang lebih kompleks. Fitur linguistik tertentu mungkin pada kesempatan indeks kategori sosial secara langsung berbeda, tetapi lebih sering pada indeks sikap tertentu seperti ketangguhan atau keunggulan intelektual yang konstitutif kategori tersebut Ochs, 1991. Pada fitur linguistik tunggal, daripada menyampaikan makna sendiri, dapat digunakan untuk beberapa tujuan dan dikombinasikan dengan orang lain untuk menciptakan gaya kaya makna sosial melalui penggunaan pilihan linguistik luas di alam kualitas suara dan prosodi; fonologi segmental, morfologi, sintaksis, wacana, leksikon, dan tindak tutur, kegiatan, dan acara. Gaya pidato pada gilirannya berhubungan dengan aspek-aspek lain seperti gaya seperti pakaian Eckert, 1980, 2000, cermin Mendoza-Denton,

1996, teman sebaya, selera musik, wilayah, kegiatan, dan gerakan Eckert, 1989

untuk membuat identitas yang lebih unik. Perkembangan bahasa alay muncul beriringan dengan perkembangan sosial media seperti friendsters, yahoo masanger, miRC, facebook, bahkan sms. Objek menggunakan bahasa alay karena mereka menganggap bahasa alay merupakan bahasa gaul yang digandrungi oleh para remaja. Dari objek penelitian diketahui bahwa remaja yang menggunakan bahasa alay mayoritas adalah perempuan, sangat sedikit sekali ditemukan remaja laki-laki. Hal ini dikarenakan pengaruh kohesifitas diantara remaja tersebut. 23 Meskipun komunikasi remaja telah lama dipandang sebagai bermasalah, sedikit yang diketahui tentang bagaimana remaja mengalami dan mendamaikan beberapa aspek yang muncul dari diri dalam pengembangan komunikasi dan keterampilan sosial, atau tepatnya bahasa apa memainkan peran dalam proses tersebut. Selain itu, pendekatan teoretis perlu dipergunakan untuk memudahkan pemahaman kita tentang masalah yang berkaitan dengan bahasa dan proses komunikasi dan praktek normal remaja. Terlalu sering, remaja diberi label atau stereotip menurut sebuah atribut tunggal atau karakteristik misalnya, alay, “prokem” atau kutu buku yang menentukan keanggotaan kelompok dengan sedikit pertimbangan diberikan kepada aspek alternatif individu yang memprediksi afiliasi kelompok lain mampu mempengaruhi anggota penting dikaitkan Giles Coupland, 1991. Bahasa Alay secara langsung maupun tidak telah mengubah masyarakat Indonesia untuk tidak mempergunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebaiknya bahasa Alay dipergunakan pada situasi yang tidak formal seperti ketika kita sedang berbicara dengan teman. Atau pada komunitas yang mengerti dengan sandi bahasa Alay tersebut. Kita boleh menggunakannya, akan tetapi jangan sampai menghilangkan budaya berbahasa Indonesia. Namun dengan demikian keberadaan Bahasa Indonesia juga bisa teruji dengan hal-hal yang baru sehingga bisa lebih menguatkan Bahasa Indonesia itu sendiri. Kebanyakan dari remaja yang menggunakan bahasa alay tidak begitu mengerti dan memahami pentingnya berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Jika hal itu dibiarkan, maka akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia di negara ini. Antara lain, remaja akan sulit untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Padahal disekolah maupun ditempat kerja nanti kita diharuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tidak mungkin jika ulangan atau tugas dikerjakan menggunakan bahasa alay. Selain itu, penggunaan bahasa alay dapat mengganggu siapapun yang membaca dan mendengar kata-kata yang dimaksud. Bahkan bisa terjadi kesalahpahaman antar orang yang berkomunikasi atau bisa saja terjadi salah persepsi, karena sulit dipahami saat bahasa tersebut digunakan sebagai pengucapan dan sulit dibaca saat digunakan sebagai penulisan. Karena tidak semua orang mengerti akan maksud dari kata-kata alay tersebut. Hal itu sangat memusingkan dan membutuhkan waktu yang lama untuk sekedar memahaminya. 24 Dengan penggunaan bahasa alay oleh remaja yang semakin berkembang ini, bisa jadi suatu saat nanti anak cucu kita masyarakat sudah tidak lagi mengenal bahasa baku dan tidak lagi memakai EYD Ejaan Yang Disempurnakan sebagai pedoman dalam berbahasa, kemudian menganggap remeh bahasa Indonesia. Jika hal ini terus berlangsung, dikahawatirkan akan menghilangkan budaya berbahasa Indonesia dikalangan remaja bahkan dikalangan anak-anak. Padahal bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara kita dan juga sebagai identitas bangsa. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa, harusnya mampu menjadi tonggak dalam mempertahankan bangsa Indonesia ini. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah dengan menjaga, melestarikan, dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Seperti dalam ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang berbunyi, “Kami putra-putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Dari temuan data mengenai komunikasi remaja yang telah diungkapkan, jelas bahwa bahasa memainkan peran penting dalam mendefinisikan identitas sosial remaja. Dengan menggunakan bahasa yang Idio-syncratic dan unik untuk kelompok usia tertentu, tampak bahwa kaum remaja belajar untuk mendefinisikan diri mereka sendiri, setidaknya sebagian, melalui interaksi verbal dengan orang lain. Namun, meskipun kekhasan kosakata, ada penelitian yang menunjukkan bahwa hasil dari interaksi sering bergantung banyak pada situasi atau konteks interaksi seperti pada keterampilan komunikasi individu yang bersangkutan Drury, Catan, Dennison, Brody , 1998. Misalnya, keluarga dan kelompok sebaya menyediakan remaja dengan konteks di mana untuk mengembangkan keterampilan sosial seperti memulai interaksi, menetapkan norma-norma dan nilai-nilai, dan mendapatkan dukungan untuk pengungkapan diri Brown, 1990. Bahkan, ada banyak penelitian untuk menunjukkan bahwa perilaku kelompok memiliki tujuan mendasar bagi remaja, terutama dalam hal pembangunan sosial dan harga diri Buhrmester, 1992; Cotterell, 1996; Heaven, 1994; Palmonari, Pombeni, Kirchler, 1990 . Karena setiap individu memiliki beberapa keanggotaan kelompok, salah satu yang mungkin menjadi lebih atau kurang menonjol dalam situasi tertentu, pemahaman teoritis yang konsisten tentang bagaimana arti remaja diri mendorong keterampilan komunikasi mereka dan sebaliknya akan tampak menguntungkan. Akibatnya, penulis mengusulkan bahwa pertimbangan teori antarkelompok menawarkan perspektif yang unik dari fungsi dan dampak dari keanggotaan kelompok pada remaja. 25 Kurangnya kesadaran untuk mencintai bahasa di negeri sendiri berdampak pada tergilasnya atau lunturnya bahasa Indonesia dalam pemakaiannya dalam masyarakat. Salah satu kebijakan untuk tetap melestarikan bahasa nasional adalah pemerintah bersama segenap lapisan masyarakat menjunjung tinggi bahasa Indonesia agar tetap menjadi bahasa yang dapat dibanggakan dan sejajar dengan bahasa-bahasa di seluruh dunia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara kita dan juga sebagai identitas bangsa. Untuk itulah, kita sebagai generasi muda, harus cermat dalam memilih serta mengikuti trend yang ada. Jangan sampai merusak budaya bahasa kita sendiri. Selain itu, kurangnya kesadaran para remaja akan kecintaannya terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar berdampak pada pergeseran budaya bahkan lunturnya identitas budaya. Sapir-Whorf Matsumoto, 2000: 3230 memandang bahwa bahasa yang kita gunakan akan berhubungan dengan proses berpikir yang kita miliki. Hipotesis Sapir-Whorf khususnya penting bagi para ahli psikologi lintas budaya yang meneliti bahasa karena setiap budaya biasanya diasosiasikan dengan satu bahasa tertentu sebagai alat ekspresinya, dan setiap bahasa biasanya diasosiasikan dengan sebuah budaya tertentu. Hal ini cukup jelas bahwa bahasa mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan budaya. Bagaikan dua sisi mata uang, bahasa dan budaya merupakan dua hal dalam satu sistem yang tidak daapat dipisahkan. Sapir, memandang bahwa perjalan sejarah bahasa berjalan beriringan dengan sejarah budaya. Pertanyaan terkait dengan mana yang lebih dulu muncul sebagai sebab, apakah budaya atau bahasa, tentunya merupakan pertanyaan yang sangat filosofis, namun satu hal yang harus kita perhatikan adalah penekanan bahwa sejarah kedua variabel ini berjalan secara beriringan. Dengan kata lain, bahasa dan budya merupakan hal yang saling mempengaruhi. Dari hasil studi lapangan, ditemukan sebuah permasalahan bahwa objek penelitian yang menggunakan bahasa alay atau prokem terjadi karena mereka kurang memiliki rasa kecintaan terhadap budaya lokal mereka sendiri. Bahkan ada diantara objek penelitian yang kurang memiliki rasa kebanggaan terhadap bahasa ibu mereka. Ada satu persepsi dan asumsi diantara remaja yang menjadi sampel yaitu bila mereka tidak menggunakan bahasa alay dan bahasa prokem maka mereka dianggap tidak gaul atau tidak mengikuti perkembangan jaman. Temuan ini ternyata menjadi sebuah budaya dikalangan para remaja ketika mereka masih berada di lingkungan sekolah baik setingkat SMP maupun SMA. Namun ketika objek penelitian memasuki 26 Perguruan Tinggi, objek penelitian dengan kesadaran sendiri meninggalkan bahasa alay tersebut. Dampak yang terjadi yaitu objek mengalami kesulitan dalam menulis karya ilmuah yang membutuhkan penggunaan bahasa yang bersifat EYD. Bahkan ketika objek melakukan praktek mengajar di lapangan, mereka menemukan kesulitan dalam mengutarakan pikiran dan menyampaikan bahasa yang baik kepada peserta didiknya. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi sebuah dampak yang dapat ditiru oleh peserta diidiknya dan menjadi sebuah budaya yang tidak layak. Bahasa merupakan sebuah kemampuan yang diwarisi secara kultural, bukan secara biologis dengan landasan instingtif. Ketika suatu hal diwarisi secara kultural, maka dapat dikatakan bahwa hal terebut tentu melibatkan interaksi sosial sebagai salah satu elemen utama dalam sebuah sistem kebudayaan.

E. Rekomendasi Untuk Penelitian Berikutnya dan Layanan Bimbingan dan Konseling berbasis Budaya