TINJAUAN PUSTAKA Biokonversi serat sawit dengan Aspergillus niger Pensintesa Cr-Organik sebagai komponen ransum komplit domba
16 pada temperatur tinggi. Proses ini relatif mahal karena kebutuhan energi yang
cukup tinggi. Baru pada tahun 1980-an, mulai dikembangkan hidrolisis selulosa dengan menggunakan enzim selulase Gado et al. 2007. Selulosa diproduksi
oleh fungi, bakteri, tumbuhan, dan ruminansia. Produksi komersial selulase pada umumnya menggunakan fungi atau bakteri yang telah diisolasi. Meskipun banyak
mikroorganisme yang dapat mendegradasi selulosa, hanya beberapa mikroorganisme yang memproduksi selulase dalam jumlah yang signifikan yang
mampu menghidrolisa kristal selulosa secara invitro. Fungi adalah mikroorganisme utama yang dapat memproduksi selulase, meskipun beberapa
bakteri dan actinomycetes telah dilaporkan juga menghasilkan aktivitas selulase. Fungi berfilamen seperti Tricoderma dan
Aspergillus adalah penghasil selulase dan crude enzyme secara komersial fungi-fungi tersebut sangat efisien dalam
memproduksi selulase Ikram et al. 2005.
Gambar 2 Mekanisme hidrolisis selulosa en.wikipedia.or gwikicellulase. Hidrolisis selulosa secara biologik dapat dilakukan baik menggunakan
enzim selulase Vrije et al., 2002 maupun mikroorganisme selobios glukosa penghasil selulase Aderemi et al ., 2008. Hidrolisis selulosa dipengaruhi oleh
jenis sumber subsrat seperti serbuk gergaji, jerami padi, sabut sawit dan ukuran partikel. selulotik, jumlah
β-glukosidasenya lebih rendah dari yang dibutuhkan
17 untuk hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara efisien, sehingga produk utama
hidrolisisnya bukan glukosa melainkan selobiosa Juhasz et al., 2005; Martins et al., 2008; Ahamed dan Vermette, 2008, yang merupakan inhibitor kuat terhadap
endo dan eksoglukanase. Mikroorganisme yang mempunyai kemampuan memprod uksi
β-glukosidase yang kuat yaitu Aspergillus niger Juhasz et al. 2005.
Perubahan zat-zat makanan selama fe rmentasi
Makanan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang lebih baik dari asalnya. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh mikroorganisme yang
memecah komponen-komponen kompleks menjadi zat- zat yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna, tetapi mikroorganisme juga dapat mensintesa beberapa
vitamin seperti riboflavin, vitamin B12, provitamin A dan faktor pertumbuhan lain-nya, juga dapat terjadi pemecahan gula oleh enzim tertentu misalnya
hemiselulosa, sellulosa dan polimer-polimernya menjadi gula sederhana atau turunannya Winarno 2008.
Bentley dan Bennett 2008 menjelaskan bahwa kapang yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik yang akan dapat merubah lebih
banyak komponen penyusun media menjadi suatu massa sel, sehingga akan terbentuk protein yang berasal dari tubuh kapang itu sendiri dan dapat
meningkatkan protein kasar dari bahan. Fardiaz 1992 menambahkan selama proses fermentasi mikroba akan mengeluarkan enzim dimana enzim tersebut
adalah protein dan mikroba itu sendiri juga merupakan sumber protein sel tunggal.
Menur ut hasil penelitian Jamarun et al. 2000 bahwa serat sawit fermentasi dapat digunakan sampai level 45 dari total ransum menggantikan 75
kebutuhan hijauan. Pemberian 60 serat sawit yang difermentasi dengan
Aspergillus niger Cz 51 VII dalam ransum atau pengganti 100 hijauan dengan
serat sawit, menyebabkan penurunan berat badan ternak domba. Terbatasnya penggunaan serat sawit dalam ransum, karena tingginya kandungan lignoselulosa
selulosa 38.60 dan lignin 20.99 yang mengakibatkan rendahnya daya cerna serat kasar. Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu teknologi, salah satunya
18 dengan memberikan perlakuan secara biologis yakni melakukan fermentasi
menggunakan kapang Aspergillus niger Cz 51 VII pensintesa Cr-organik. Fermentasi dengan Aspergillus niger
Aspergillus niger merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat, banyak digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glutamat serta
beberapa enzim, seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase. Kapang ini dapat menghasilkan berberapa vitamin yang larut dalam air seperti B
6
, B
12
, dan niasin. Aspergillus niger dapat tumbuh pada kisaran pH antara 2,8 – 8,8 dengan pH optimum berkisar antara 3,0 – 6,0 dalam pertumbuhannya
Aspergillus niger membutuhkan mineral Mg, Fe, K, Zn, Mn, tiamin dan urea. Enzim selulsase yang dihasilkan Aspergillus niger menunjukkan aktivitas
optimum pada kisaran pH 4,5 – 5,5. Aspergillus niger bersifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya membutuhkan oksigen dalam jumlah yang cukup. Suhu
pertumbuhan optimum Aspergillus niger adalah 35 – 37
o
C Iyayi 2004, sedangkan suhu untuk produksi enzim selulase adalah 25 – 28
o
C Bentley Bennett 2008.
Aspergillus niger adalah kapang penghasil komplek enzim selulase yang memiliki aktivitas tinggi dan berpotensi untuk dimanfaatkan dalam menkonversi
bahan lignoselulosik menjadi bioenergi. Dari hasil penelitian kompleks ensim selulase yang dihasilkan dari Aspergillus niger terdiri da ri CMC-ase 1,4-ß-D-
glucan glucanohydro- lase, Avicelase 1,4-ß-cellobiosidase dan ß-glukosidase ß- D-glucosidase gluco-hydrolase dengan masing- masing memiliki kemampuan
yang berbeda dalam mendegradasi selulase. Dalam mendegradasi selulosa kompleks enzim tersebut bertipe endo berbeda dengan enzim selulase yang
dihasilkan dari bakteri umumnya bertipe exo. Mod el aksi da ri enzim tersebut akan berpengaruh pada kemampuan dalam mendegradasi bahan lignoselulos ik
menjadi kompo nen gul a yang lebih sede rhana Bentley Bennett 2008 . Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan
mudah diidentifikasi dari genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat,
diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan pembuatan berapa enzim seperti amilase, pektinase,
19 amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu
35º C - 37º C optimum, 6 - 8º C minimum, 45º C-47º C maksimum dan memerlukan oksigen yang cukup aerobik. Aspergillus niger memiliki bulu dasar
berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah
menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur. Konidiospora memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat.
Aspergillus niger memerluka n mineral NH
4 2
SO
4
, KH
2
PO
4
, MgSO
4
, urea, CaCl
2
.7H
2
O, FeSO
4
, MnSO
4
.H
2
O untuk menghasilkan enzim sellulase, sedangkan untuk enzim amilase khususnya amiglukosa diperlukan NH
4 2
SO
4
, KH
2
PO
4
.7H
2
O, Zn SO
4
, 7H
2
O. Bahan organik dengan kandungan nitrogen tinggi dapat dikomposisi lebih cepat dari pada bahan organik yang rendah
kandungan nitrogennya pada tahap awal dekomposisi. Tahap selanjutnya bahan organik yang rendah kandungan nitrogennya dapat dikomposisi lebih cepat
daripada bahan organik dengan kandungan nitrogen tinggi. Penurunan bahan organik sebagai sumber karbon dan nitrogen disebabkan oleh Aspergillus niger
sebagai sumber energinya untuk bahan penunjang pertumbuhan atau growth factor. Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan
zat makanan yang terdapat dalam substrat, molekul sederhana yang terdapat disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks
harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan menghasilkan beberapa enzim ekstra seluler. Bahan organik dari substrat digunakan oleh
Aspergillus niger untuk aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel dan mobilitas sel. Amonia dapat digunakan oleh kapang untuk pembentukan asam
amino. Sedangkan perubahan kandungan SK dipengaruhi oleh intensitas pertumbuhan miselia kapang , kemampuan memecah SK untuk memenuhi
kebutuhan energi, dan kehilangan BK selama fermentasi. Penurunan SK diduga karena Aspergillus niger pada inkubasi 4 hari mulai mensintesa enzim pengurai,
yaitu selulose yang akan merombak selulosa dalam produk. Aspergillus niger merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat an menghasilkan beberapa enzim
seperti amylase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase Bentley Bennett 2008.
20 Fermentasi yang dilakukan dengan menggunakan Aspergillus niger dapat
meningkatkan kecernaan dan kandungan protein kasar serat sawit. Hasil penelitian yang telah dilakukan menggunakan berbagai level inokulum
Aspergillus niger dan lama fermentasi serat sawit dengan NaOH, terhadap kecernaan bahan kering KCBK dan kecernaan bahan organik KCBO
meningkat, dengan meningkatnya level inokulum dan lama fermentasi Jamarun
et al 2000. Pemanfaatan hasil fermentasi bungkil inti sawit dengan Aspergillus
niger dalam ransum ayam broiler terhadap warna daging, memperlihatkan hasil yang signifikan dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Pemakaian 7.5 bungkil
inti sawit fermentasi memberikan warna daging merah ceri dibandingkan dengan tanpa bungkil inti sawit fermentasi Nur 2001 . Hasil dari fermentasi ini beraroma
wangi yang disenangi ayam dan dapat disimpan dalam jangka waktu 1 satu bulan dan lemak pada abdomen tidak begitu banyak dan rasa dagingnya manis.
Setelah lumpur sawit difermentasi selama 4 hari, ka ndungan PK nya naik menjadi 35,43 dari 13,25 dan serat kasarnya menjadi 13,8 dari 16,3. Kenaikan PK
LSF ini dikarenakan setelah fermentasi 4 hari terjadi kehilangan bahan kering yang tinggi 28,77, kapang ini juga mempunyai intensitas pertumbuhan yang
tinggi, kemudian diduga juga kapang ini telah mensintesis enzim ureasi untuk mencegah urea menjadi amonia dan CO2 pada fermentasi 4 hari.
Peranan kromium dalam sistem transport dan metabolisme nutrien
Kromium Cr diketahui merupakan mineral esensial sejak tahun 1959. Schwart dan Mertz adalah orang pertama yang menemukan bahwa yeast
mengandung suatu substansi yang mampu meningkatkan uptake glukosa dan meningkatkan potensi aktifitas insulin. Substansi ini kemudian diketahui sebagai
faktor toleransi glukosa Glucose Tolerance Factor, GTF. Struktur GTF
tersusun dari kompleks antara Cr
3 +
dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam amino yang terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein Linder
1992, Underwood Suttle 2001 seperti disajikan pada Gambar 3. Di dalam struktur GTF kromium adalah komponen aktifnya sehingga tanpa adanya Cr pada
pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi insulin Burton 1995.
21
Gambar 3 Struktur faktor toleransi glukosa Linder 1992 Linder 1992 menyatakan kerja GTF pada mempengaruhi insulin Burton 1995.
Linder 1992 menyatakan kerja GTF pada sistem transport glukosa dan asam amino adalah meningkatkan pengikatan insulin dengan reseptor spesifik pada
organ target. Saat insulin mengikat reseptor spesifik-nya, uptake seluler glukosa dan asam amino dipermudah dalam hal fungsi GTF adalah meningkatkan
efektifitas potensi insulin. Fungsi GTF sebenarnya lebih berpusat pada sel target, kerja GTF dalam
transfer gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin. Hasil- hasil penelitian Cr menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat,
Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak da n protein, dalam hal ini difisiensi Cr dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya
inkorporasi asam amino pada protein hati. Asam amino yang dipengaruhi oleh Cr adalah metionin, glisin dan serin Anderson 1994.
Fungsi utama Cr ialah untuk meningkatkan aktivitas insulin di dalam metabolisme glukosa dan untuk mempertahankan transport glukosa dari darah ke
dalam sel-sel. Kromium membentuk suatu komplek dengan insulin dan reseptor insulin memfasilitasi respon jaringa n yang sensitive terhadap insulin NRC 1997 .
Kegunaan Cr seba gai suatu faktor nutrien ditetapkan untuk pertama kalinya ketika diketahui bahwa brewer`s yeast secara positif dapat mempengaruhi metabolism
karbohidrat pada organisme tingkat tinggi dan meningkatkan aktifitas hormon insulin NRC 1997; Demirci Pornetto 2000; Vincent 2000 . Kromium trivalent
mempunyai kecenderungan yang sangat kuat untuk membentuk komplek
22 octahedral dengan ligand biologis pada membrane sel Zetic et al. 2001.
Kromium merupaka n suatu elemen yang dapat menstabilka n strukt ur tersier dari protein Demirci Pornetto 2000. Hampir semua sumber Cr di alam terdapat
dalam bentuk trivalen Cr III, tetapi produk dari pabrik K
2
Cr
2
O
7
, K
2
Cr
2
O
4
dan Na
2
Cr
2
O
4
Pada sel kelenjar ambing hewan ruminansia uptake glukosa tidak ditentukan oleh insulin, namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan
asam amino khususnya asam aspartat, valin, isoleusin, leusin dan tirosin McGuire et al. 1995; Manalu 1999. Hasil penelitian Lyons 1995 mendapatkan
terdapat dalam bentuk heksavalen Cr VI. Bentuk Cr juga dapat mempengaruhi ketersediaannya secara secara biologis bioav ailabilitas
contohnya oksalat, meningkatkan absorbsi Cr pada tikus, sedangkan EDTA Ethylene Diamine Tetraacetic Acid sitrat tidak meningkatkan absorbsi Cr.
Bentuk bentuk organik sintetik lainnya seperti kromium nikotinat dan kromium pikolinat juga telah digunakan sebagai sumber kromium yang mudah tersedia.
Inkopo rasi kromium ke dalam jaringan sangat tergantung pada bentuk kromiumnya dan inkoporasi kromium paling tinggi terjadi pada kromium
dinicotinic diglycerine glutamic acid, kromium pikolinat, kromium asetat, kromium potassium sulfat dan komplek glycine kromium. Komplek kromium
yang terjadi secara alam, juga diketahui mempunyai bioavailabilitas yang relative tinggi. Percobaan pada tikus menunjukkan bahwa 10-25 dari Cr diabsorbsi di
dalam ragi bir NRC 1997. Kromium selain penting di dalam metabolisme karbohidrat, juga dibutuhkan dalam metabolism lemak dan protein Davis
Vincent 1997, asam nukleat dan mencegah stress. Kromium juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin T4 menjadi triiodotironin T3,
yaitu hormon yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein di dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan
sintesis protein Burton 1995; Stipanuk 2000. Suplementasi Cr ke dalam pakan lebih menguntungkan apabila diberikan dalam bentuk Cr organik. Kromium
dalam bentuk trivalen yang tidak beracun sangat sulit diserap. Pada beberapa kasus, Cr organik yang dikonsumsi manusia lewat makanan 98 tidak diserap
dan dikeluarkan lewat feses, sebaliknya ketersediaan Cr organik cukup tinggi yaitu antara 25 sampai 30 NRC 1997.
23 bahwa selain asam amino di atas, asam amino lain yang uptake selulernya ke
dalam sel kelenjar ambing meningkat oleh perlakuan infusi insulin adalah metionin, lisin, asam glutamat, treonin, asparagin dan serin, fungsi GTF adalah
meningkatkan efektifitas potensi insulin Gambar 4. Burton 1995 menambahkan bahwa Cr berperan dalam sitem kekebalan tubuh dan konversi
tiroksin T4 menjadi triiodotironin T3 yaitu hormon yang berperan meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein da lam hati, ginjal,
jantung dan otot serta meningkatkan sistesis protein.
Permukaan Membran sel
Insulin Insulin
GTF
Reseptor insulin Insulin
pada permukaan membransel
Gambar 4 Mekanisme kerja GTF dalam meningkatkan potensi aktifitas insulin Lyons 1995
Spears 1999 yang menghimpun beberapa hasil penelitian tentang peranan Cr dalam sistem kekebalan tubuh mengatakan bahwa Cr berpengaruh
baik pada pembentukan sistem kekebalan humoral HI maupun kekebalan yang diperantarai oleh sel CMI. Dalam HI suplementasi Cr meningkatkan produksi
antibodi atau imunoglobin Igs, sedangkan dalam CMI suplementasi Cr menyebabkan peningkatan respons blastogenik lymphocit blasgonesis terhadap
imunostimulan. Sohn et al. 2000 menyatakan bahwa peningkatan produksi antibodi adalah sebagai akibat penurunan konsentrasi kortisol. Hormon ini
bekerja meningkatkan glukoneogenesis pada saat ternak dalam kondisi stres. Proses glukoneogenesis akan menekan sintesis protein dalam hati sehingga
24 sintesis antibod i juga ditekan, dengan kata lain hormon kortisol bekerja
berlawanan dengan terbentuknya sistem kekebalan dalam tubuh ternak.
Kebutuhan kromium dan bentuk suplemen dalam pakan
Kebutuhan Cr pada ternak belum diketahui dengan pasti. Pada kondisi stres kebutuhan Cr akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh cadangan Cr dalam
tubuh berkurang akibat peningkatan mobilisasi cadangan glukosa jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak, yang selanjutnya sebagian Cr itu
akan hilang melalui urine Burton 1995. Selama kebuntingan dan laktasi kebutuhan Cr juga meningkat, hal ini karena pada saat kebuntingan ternak
mengalami stres akibat perubahan fisiologis, fisik dan metabolik Yang et al. 1996.
Cr-GTF dapat diserap 15-20 , dayagunanya lebih tinggi. Berdasarkan pada banyaknya kromium yang hilang : 0,5-1
µghari dan rata-rata penyerapannya 1 , dengan demikian kebutuhan minimum 50
µghari, dengan rekomendasi konsumsi 50-200
µg. Setelah penyerapan, kromium diangkut pada protein pengangkut Fe iron carrier protein dari plasma darah : transferin. Tidak
diketahui apakah GTF yang diserap melalui intestin akan masuk ke dalam darah tanpa peruba han be nt uk atau juga terikat de ngan transferin. Dari intestin, hampir
semua kromium masuk ke dalam hati dimana akan terinkoperasi ke dalam GTF. Sejumlah GTF tertentu disekresi ke dalam plasma dimana akan tersedia dalam
menolong aktivitas insulin. Kalau kadar glukose darah meningkat, danatau insulin disekresi, meningkatkan aliran GTF danatau kromium ke da lam plasma,
GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresi tersebut dan kemudian keluar melalui urin. Aktivitas GTF danatau Cr masih banyak yang belum
diketahui; mungkin terlibat pengaruhnya pada struktur insulin danatau pengikatan resptor Linder 1992.
Meskipun konsentrasi Cr dalam tubuh relatif kecil, toleransinya dalam pakan cukup besar yaitu 3000 ppm dalam bentuk Cr
2
O
3
dan 1000 ppm CrCl
3
NRC 1997. Efektivitas suplementasi Cr selain tergantung pada jenis ternak juga
tergantung pada kondisi fisiologis dan bentuk Cr yang digunakan. Kompleks organik Cr terdapat dalam bentuk Cr-chelate, Cr proteinat ragi high Cr-yeast dan
25 Cr-pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr
3+
yang mengikat 3 molekul asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolik sekunder yang dihasilkan pada
metabolisme triptopa n sebelum membentuk niasin atau asam nikotinat Combs 1992; Groff Gropper 2000. Tahapan metabolisme triptopa n menjadi niasin
disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Metabolisme triptopan menjadi niasin Combs 1992
Penga ruh suple mentas i kromium terhadap produksi ternak
Page et al 1993, yang meneliti tentang suplementasi Cr pada babi sedang tumbuh, mendapatkan bahwa suplementasi Cr pikolinat sebanyak 200 ppb
meningkat-kan pertambahan bobot badan 0.87 kghari lebih tinggi dibanding kontrol 0.81 kghari. Pertambahan bobot badan yang tinggi hasil penelitian di
atas, menggambarkan terjadinya peningkatan sintesis protein dan lemak pada jaringan perifer akibat meningkatnya uptake asam amino dan glukosa oleh
efektifitas kerja insulin akibat adanya Cr. Namun demikian suplementasi Cr pada kondisi laktasi akan berpengaruh menurunkan sensitifitas jaringa n perifer
26 terhadap insulin sehingga asam amino dan glukosa dialirkan ke dalam sel kelenjar
ambing untuk p rod uks i susu. Fenomena di atas dibuktikan oleh hasil penelitian Yang et al. 1996 pada
sapi perah laktasi bahwa suplementasi chelate sebesar 5 mg Cr per hari menghasilkan peningkatan produksi susu sebesar 13.25 27.5 vs 24.3 kghari.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa suplementasi Cr juga meningkatkan konsumsi bahan kering sebesar 15 13.76 vs 11.95 kghari, mengubah resistensi insulin
pada sel kelenjar ambing, menurunkan kejadian milk fever dan teat edema. Penelitian senada yang dilakuka n oleh Subiyatno et al. 1996 mendapatkan hasil
suplementasi Cr pada sapi perah laktasi sebesar 7.25 mghari mampu meningkatkan produksi susu sebesar 24 22.9 vs 18.5 kg pada 2 minggu
pertama laktasi. Selain itu juga meningkatkan konsentrasi hormon IGF-1 39.05 vs 49.42
µgml dan ratio insulinglukosa 7.27 vs 5.76 Umol. Pada domba pengaruh penambahan kromium disajikan pada Tabel 4.
Tabe l 4 Pengaruh penambahan kromium dalam ransum domba
Referensi Kebutuhan konsentrasi per kg BK
Berat badan pada awal dan selama penelitian
Peningkatan pertumbuhan
rata-rata Peningkatan
efisiensi pakan
Britton et al. 1968
Samsell dan Spears 1989
Samsell dan Spears 1989
William et al. 1994
Kitchalong et al. 1995
DePew et al. 1996
Sano et al. 1996
Basal diet=tdk diketahui Cr diet=0,037 mgd and basal
molasses ash or CrCl
3
Basal diet, low fiber=0,175 mg; Basal diet, low fiber=0,295 mg;
Cr diet,low fiber=0,185 mg Cr diet,high fiber=0,305 mg CrCl
3
Basal diet, low fiber=0,175 mg; Basal diet, low fiber=0,295 mg;
Cr diet,low fiber=0,185 mg Cr diet,high fiber=0,305 mg CrCl
3
Basal diet=tdk diketahui Cr diet
Basal diet= 1 mg Cr diet
Basal diet=tdk diketahui Cr diet
Basal diet=tdk diketahui Cr diet
Growing lambs 16 anak domba-45kg
28 hari percobaan 16 anak domba-50kg
28 hari percobaan 24 anak domba-29kg
Heat stressed 24 anak domba-38kg
85 hari percobaan 24 anak domba-33kg
42 hari percobaan 6 domba jantan
ND ND
ND ND
ND Tidak ada
pengaruh Yes-no
Statistics provided
ND ND
ND No effect
ND ND
ND
Sumber: NRC 1997 Keterangan: Cr = kromium ND= not determined
CrCl3 = kromium klorida
27 Tang et al. 2008 meneliti pengaruh Cr terhadap pembentukan antibodi
dengan memberikan Cr- yeast sebanyak 200 µgkg ransum pada babi yang disuntik
antigen virus demam. Empat belas hari setelah penyuntikan diperoleh hasil bahwa jumlah titer antibodi lebih tinggi pada babi yang diberi Cr-yeast dibanding
kontrol yaitu 0.09 vs 0.17 U. Hasil senada diperoleh Burton et al. 1994 bahwa suplementasi Cr meningkatkan titer antibodi sapi yang disuntuk dengan antigen
sel darah manusia HRBC dan vaksin virus rhinotracheitis. Pada kondisi stres kebutuhan Cr akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh
mobilisasi cadangan Cr dalam tubuh meningkat akibat peningkatan mobilisasi cadangan glukosa jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak,
yang selanjutnya seba gian Cr itu aka n hilang melalui urine . Ternak yang mengalami stress, kebutuhannya akan kromium meningkat karena pada kondisi
stress terjadi peningkatan metabolism glukosa secara cepat yang ditandai dengan meningkatnya sekresi hormone kortisol di dalam darah, sedangkan hormone
kor tisol memiliki aks i yang antagonis de nga n insulin yaitu mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh, akibatnya glukosa yang masuk ke dalam sel
menurun, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah meningkat yang disebut
dengan hiperglisemia. Ternak yang mengalami stres, kebutuhannya akan Cr
meningkat karena pada kondisi stres terjadi peningkatan metabolisme glukosa secara cepat yang ditandai dengan meningkatnya sekresi hormon kortisol di dalam
darah sedangkan hormon kortisol memiliki aksi yang antagonis dengan insulin yaitu mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh, akibatnya glukosa
yang masuk ke dalam sel menurun, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah meningkat yang disebut dengan hiperglisemia. Peningkatan kadar glukosa darah
merangsang mobilisasi Cr dari penyimpanannya di dalam tubuh. Unsur Cr yang telah dimobilisasi bersifat tidak balik irreversible dan keluar melalui urin
sehingga pada kondisi stres peluang terjadinya defisiensi Cr meningkat. Selain hiperglisemia, stress akan mengganggu pertumbuhan. Oleh ka rena itu perlu untuk
menormalkan kadar glukosa darah agar tidak mengganggu pertumbuhan dan performa ternak Burton 1995.
Moonsie dan Mowat 1993 menyatakan bahwa, suplementasi Cr ragi 0.2, 0.5 dan 1,0 ppm pada anak sapi yang mengalami stres meningkatkan berat
28 badan dan konsumsi pakan masing- masing sebesar 29 dan 15 dibandingkan
dengan kontrol selama 30 hari pertama di feedlot. Suplementasi 0.4 ppm Cr yeast pada sapi yang mengalami stres, setelah 28 hari hasilnya menunjukkan tidak
adanya perbedaan terhadap konsumsi bahan kering per minggu selama 4 minggu dan pertambahan bobot badan sapi juga tidak berbeda, tetapi Cr nyata
menurunkan kadar kortisol serum 75.0 vs 55.6 nmolL dan meningkatkan IgM dalam serum kandungan Cr ransum basal 12.12 pp m. Tidak ada respon
terhadap vaksinasi PI-3 para influenza-3 pada sapi yang stres akibat transportasi yang disuplementasi 0.16 mg Cr chelate Burton et al. 1995. Suplementasi 0.8
mg Cr pikolinat pada 24 ekor domba pada kondisi cekaman panas heat stress dengan bobot badan 29 kg tidak mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum,
kadar glukosa plasma, keseimbangan nitrogen, dan kemampuan untuk mencerna serat kandungan Cr ransum basal tidak diketahui Williams et al. 1994.
Suplementasi 0.25 mg Cr pikolinat pada 24 ekor domba dengan bobot badan 38 kg selama 85 hari tidak mempengaruhi total kolesterol, albumen, total protein, T3
dan T4, glukosa dan urea tetapi terjadi penurunan NEFA non esterifed fatty acid kandungan Cr ransum basal 1 mg Kitchalong et al. 1995. Selanjutnya
menurut Uyanik 2001 suplementasi Cr tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan, kadar Cr darah, LDL dan kolesterol tetapi menurunkan kadar glukosa
darah pada domba yang disuplementasi dengan 0.2 dan 0.4 Cr organik. Hasil uji in vitro ransum yang disuplementasi Cr anorganik maupun Cr organik 1, 2, 3 dan
4 ppm meningkatkan produksi total VFA tetapi kadar NH3 menurun dan suplementasi Cr organik lebih efisien dibandingkan dengan bentuk anorganik.
Level terbaik penggunaan Cr organik adalah 1.0 ppm Jayanegara et al. 2006. Suplementasi Cr organik asal Rhizopus orizae dalam ransum sebesar 1 dan 3
mgkg memberikan hasil tertinggi pada kecernaan bahan kering dan bahan organik secara invitro Astuti 2006.
Suplementasi Cr ke dalam pakan akan lebih menguntungkan apabila diberikan dalam bentuk kompleks organik. Hal ini karena dalam bentuk
anorganik, Cr dapat meracuni terutama yang berbentuk heksavalen Cr
6+
, walaupun tingkat absorbsinya di usus tinggi, sedangkan bentuk trivalen Cr
3+
yang tidak beracun sangat sulit diserap. Dalam beberapa kasus Cr-anorganik yang
29 dikonsumsi manusia lewat makanan 98 tidak diserap dan dikeluarkan lewat
feses Amatya et al. 2004. Sebaliknya ketersediaan Cr-organik cukup tinggi, tercatat 25 sampai 30 persen Mordenti et al. 1997. Hasil- hasil penelitian Cr
menunjukkan bahwa selain esensial dalam metabolisme karbohidrat, Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein dalam hal ini difisiensi Cr
dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dan arterosklerosis serta rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati. Ditambahkan bahwa asam amino yang
dipengaruhi oleh Cr adalah metionin, glisin dan serin Anderson 1994. Burton 1995 menambahkan bahwa Cr berperan dalam sitem kekebalan tubuh dan
konversi tiroksin T4 menjadi triiodotironin T3 yaitu hormon yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dalam hati,
ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan sintesis protein. Kompleks Cr organik terdapat dalam bentuk Cr-chelate, Cr proteinat ragi high Cr-yeast da n Cr-
pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr
3+
Pencernaa n mikroba pada ruminansia
yang mengikat 3 molekul asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolit sekunder yang dihasilkan pada
metabolisme triptofan sebelum membentuk nisin atau asam nikotinat Combs 1992, Groff Gropper 2000. Menurut Sahin et al 2011 yang melakukan
percobaan pada tikus yang diberi diet tinggi lemak mengatakan bahwa
k
ondisi di mana metabolisme glukosa terganggu karena resistensi insulin berkaitan dengan
gangguan memori, tambahan kromium Cr dapat mengurangi resistensi insulin pada diabetes tipe 2 dan akibatnya meningkatkan akuisisi memori, tergantung
pada sumber dan tingkat. Selanjut nya hasil penelitian Toghyani et al 2010 menunjukkan bahwa diet suplementasi Cr-yeast meningkatkan kualitas daging
ayam, paha ayam ras pedaging dalam kondisi stres panas
Ruminansia merupakan ternak yang unik, karena mempunyai sistem pencernaan yang mampu meruba h secara efisien sumber-sumber karbohidrat,
maupun bahan makanan kasar yang tedapat cukup di alam, hal ini dapat berlangsung karena didalam rumenya terdapat mikroba yang mampu mencerna
serat kasar Tillman et al 1998.
30 Pencernaan ada lah suatu rangka ian proses peruba han secara fisik dan kimia
yang terjadi pada pakan di dalam alat pencernaan hewan. Alat pencernaan ruminansia terdiri dari mulut, perut, usus halus, dan alat pencernaan bagian
belakang Hind gut. Perut ternak ruminansia terdiri dari empat bagian yaitu rumen pe rut beludru, retikulum perut lajasarang lebah, omasum perut buku,
dan abomasum perut sejati perut kelenjer. Tiga pertama disebut perut bagian depan fore gut dan abomasum disebut perut sejati . Rumen dan retikulum
tergabung menjadi satu bagian dan disebut retikolorumen, didalamnya terdapat bakteri, protozoa, fungsi dan virus yang kesemuanya berperan pada metabolisme
dalam rumen Van Soest 1987. Proses degradasi dan fermentasi pakan karbohidrat di dalam rumen di bagi
menjadi 3 tahap yaitu 1 pemecahan partikel makanan menghasilkan polimer karbohidrat; 2 polimer dihidrolisir menjadi sakharida sederhana; 3 sakharida
sederhana menghasilkan Volatile fatty Acid VFA. Pakan yang kaya akan karbohidrat dirombak menjadi gula sederhana maltosa, selobiosa, silosa dan
pentosa. Selanjut nya pr uduk tersebut di ko nversi oleh enzim yang diprod uks i oleh bakteri rumen menjadi glukosa atau glukosa l- fosfat dan melalui proses
glikolisis dibentuk menjadi asam piruvat dan energi berupa ATP. Asam piruvat yang terbentuk difermentasi di rumen dan menghasilkan VFA, yang dapat
menggambarkan fermentasi suatu pakan. Peningkatan kosentrasi VFA dapat mencerminkan peningkatan protein asal pakan dan karbohidrat yang mudah larut
readily available carbohydrateRAC, lebih kurang 75 dari total VFA yang dihasilkan diserap ke dalam retikulo-rumen, kemudian dalam abomasum dan
omasum, sedang sisanya 5 diserap dalam usus. Secara umum kandungan VFA individual cairan rumen sapi 50-65 untuk asetat, 18-24 propionat dan 13-21
butirat, sedangkan untuk domba mengandung 53-66 asetat, 19-27 propionat dan 12-17 butirat dari persen molar total VFA. Produksi VFA cairan rumen
mencerminkan tingkat fermentasi suatu bahan. Semakin rendah suatu bahan difermentasi semakin besar pula produksi VFA yang dihasilkan. VFA yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan aktifitas mikroba maksimum 80-160 mM Arora 1995.
31 Kosentrasi amonia dalam rumen bervariasi dari 0-130 mM cairan rumen.
Protein yang berasal dari ransum masuk ke dalam rumen akan mengalami proses degradasi oleh mikroba rumen menjadi peptida dan asam-asam amino.
Selanjutnya asam amino mengalami deaminasi amonia, CO2 dan mikroba dan untuk menilai keefisienan penggunaan N pada ruminansia. Konsentrasi amonia
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1 kandungan protein dalam ransum serta kelarutannya, 2 jumlah karbohidrat dalam ransum, dan 3 waktu setelah
maka n Sutardi 1990. Peningkatan karbohidrat yang mudah difermentasi RAC akan menurunkan
produk amonia, karena terjadi peningkatan penggunaan amonia untuk pertumbuhan mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi sama cepatnya
difermentasi dengan pembentukan amonia, sehingga pada saat terbentuk amonia terdapat juga rantai karbon dari fermentasi karbohidrat yang akan digunakan
sebagai sumber kerangka karbon protein mikroba yang telah tersedia McDonald et al. 2002.
Kebutuhan nutrisi pada domba
Nutrisi diperlukan oleh ternak untuk kebutuhan hidup pokok membangun jaringan ba ru da n jaringa n tubuh yang mengalami kerusaka n serta prod uks i,
sehingga dalam pemberian pakan untukternak domba harus memperhatikan kandungan nutrisi dalam ransumnya serta disesuaikan dengan kebutuhannya
Tillman et al. 1991. Standar kebutuhan nutrisi yang memenuhi persyaratan kebutuhan domba di Indonesia, dengan pertambahan bobot badan harian PBBH
50 – 100 gekorhari adalah BK 3.1 – 3.4 BB, PK 73.7 – 135.8 gekorhari dan energi 6.23 - 11.63 MJekorhari Haryanto dan Djajanegara 1993. Ternak
domba lokal jantan umur 10 – 12 bulan dengan bobot badan 24.88± 3.77 kg yang diberi pakan konsentrat 2 bobot badan dengan ka ndungan PK ±15da n TDN
±70 menghasilkan rataan PBBH 122 gekorhari Ernawati dan Sunarso 2001. Standar kebutuhan nutrisi per ekor per hari untuk domba di Indonesia disajikan
pada Tabel 5. Anggorodi 1994 mengatakan bahwa faktor- faktor yang dapat menentuka n
kebutuhan nutrisi adalah laju pertumbuhan, ukuran, jenis kelamin, kondisi
32 fisiologis dan lingk ungan. Individu ternak dalam suatu bangsa yang memiliki laju
pertumbuhan cepat akan memerlukan nutrisi yang lebih banyak dibandingkan ternak dengan laju pertumbuhan lambat Tulloh dan William dalam Soeparno
1994. Selanjutnya menurut Berg dan Butterfield dalam Soeparno 1994, ternak dengan ukuran tubuh yang besar memerlukan nutrisi yang lebih banyak daripada
ternak dengan ukuran kecil. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan seekor
domba antara lain meliputi jenis dan tipe ternak, umur dan bobot badan, tingkat produksi, pakan yang diberikan erta lingkungan tempat domba tersebut dipelihara
Anggorodi 1994. Devendra dan Burns 1994 menyatakan bahwa bangsa unggul dengan tingkat
Tabe l 5 Standar kebutuhan energi dan protein per ekor per hari untuk domba di Indo nesia
BB kg PBB
g Kebutuhan Energi
Kebutuhan Protein Konsumsi Bahan
kering BB DE MJ
ME MJ TP g
DP g 10
12 14
16 18
20 50
100 50
100 50
100 50
100 50
100 50
100 4.84
6.23 8.28
4.90 6.91
8.95 5.57
7.58 9.62
6.23 8.24
10.29 6.91
8.95 10.96
7.57 9.62
11.63 3.43
5.11 6.78
4.02 5.65
7.32 4.56
6.23 7.91
5.11 6.78
8.45 5.65
7.32 8.99
6.32 7.87
9.54 44.7
73.7 102.7
51.3 80.3
109.3 57.9
86.9 116.0
64.5 93.6
122.6 71.2
100.2 129.2
77.8 106.8
135.8 16.5
35.2 54.0
24.9 43.6
62.3 33.2
52.0 70.7
41.6 60.3
79.1 40.0
68.7 87.4
58.4 77.1
95.8 3.4
3.3 3.2
3.2 3.1
3.1 Sumber: Ha ryanto dan Djajanegara 1993
Keterangan:BB = bobot badan PBB= perta mbahan bobot badan
DE = d igestible energy ME= metabolizable energy
TP = total protein DP= d igestible protein
produktivitas tinggi cendrung mengkonsumsi pakan yang lebih banyak dibanding dengan bangsa lokal. Haryanto dan Djajanegara 1993 menyatakan bahwa domba
tipe pedaging mengkonsumsi lebi banyak daripada tipe wool, dan domba dengan bobot badan BB yang besar cendrung mengkonsumsi pakan lebih banyak
33 dibanding BB yang kecil. Cekaman panas sebagai akibat suhu lingkungan yang
tinggi akan menurunkan konsumsi pakan oleh ruminansia Moose et al dalan Rianto 1997. Jumlah konsumsi pakan dipengaruhi oleh kebutuhan BK dan zat-
zat pakan lainnya sesuai dengan BB dan fungsi fisiologisnya Herman 1977.
Komposisi kimia dan kualitas dag ing
Daging adalah seluruh bagian karkas, tidak hanya terdiri dari jaringan otot, tulang dan lemak, tetapi termasuk juga organ-organ tubuh dan kelenjar yang dapat
atau lazim dimakan. Daging terdiri dari otot, lemak dan sejumlah jaringan ikat seperti jaringan epithel, syaraf dan pembuluh darah. Komposisi kimia daging
bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ; bangsa, umur, pakan dan perbedaan pertumbuhan, termasuk perbedaan waktu penggemukan Soeparno
1998. Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil
pengolahan jaringan-jaringa n tersebut yang sesuai unt uk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya, keadaan fisik daging
dapat dikelompokkan menjadi 1 daging segar ya ng dilayukan atau tanpa pelayuan, 2 daging yang dilayukan kemudian didingin-kan daging dingin, 3
daging yang dilayukan, didinginkan, kemudian dibekukan daging beku, 4 daging masak, 5 daging asap, dan 6 daging olahan. Karkas tersusun atas
kurang lebih enam ratus jenis otot yang berbeda ukuran dan bentuknya, susunan syaraf dan persediaan darahnya serta perlekatannya pada bagian tulang dan tujuan
serta jenis geraknya. Kesehatan daging merupakan bagian yang penting bagi kesehatan makanan dan selalu menjadi pokok permasalahan yang mendapatkan
perhatian khusus dalam penyediaan daging bagi konsumen Aberley et al. 2001. Daging yang dapat dikonsumsi adalah daging yang berasal dari hewan
yang sehat. Saat penyembelihan dan pemasaran berada dalam pengawasan petugas rumah potong hewan serta terbebas dari pencemaran mikroorganisme.
Secara fisik, kriteria daging yang baik adalah berwarna merah segar, berbau aromatis, memiliki konsistensi
yang kenyal dan bila ditekan tidak terlalu banyak mengeluarkan cairan. Daging sebagai sumber protein hewani memiliki nilai hayati biological value yang
34 tinggi, mengandung 19 protein, 5 lemak, 70 air, 3,5 zat-zat non protein
dan 2,5 mineral dan bahan-bahan lainnya Forrest et al. 1992. Kompos isi daging menurut Lawrie 2003 terdiri atas 75 air, 18 protein, 3,5 lemak
dan 3,5 zat- zat non protein yang dapat larut. Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas 70
air, 20 protein, 9 lemak da n 1 abu. Jumlah ini akan be ruba h bila hewan
digemukkan yang akan menurunkan persentase air dan protein serta meningkatkan persentase lemak Romans et al. 1994. Daging merupakan sumber
utama untuk mendapatkan asam amino esensial. Asam amino esensial terpenting di dalam otot segar adalah alanin, glisin, asam glutamat, da n histidin. Daging sapi
mengandung asam amino leusin, lisin, dan valin yang lebih tinggi daripada daging babi atau domba. Pemanasan dapat mempengaruhi kandungan protein daging.
Daging sapi yang dipanaskan pada suhu 70
o
C akan mengalami pengurangan jumlah lisin menjadi 90 persen, sedangkan pemanasan pada suhu 160
o
Lawrie 2003 menyatakan bahwa susunan kimia daging secara umum terdiri dari 75 air, 19 protein, 2,5 lemak, 1,2 karbohidrat, dan 2,3 zat
terlarut dan vitamin. Protein daging terdistribusi pada miofibril 11,5, sarcoplasma 5,5 dan jaringan ikat 2. Kadar protein daging relatif konstan
akan tetapi pada kasus tertentu perbedaan kadar protein pada urat daging disebabkan karena perbedaan struktur daging yang terdiri atas protein miobril dan
jaringan ikat kolagen, elastin dan retikulin. Actin dan myosin menyusun 75- 80 protein, sedangkan yang lain pada protein pengatur kontraksi yakni;
tropomin, tropomiosin, M-protein, C-protein, alfaactinin, dan beta actinin. Kolagen ada lah ko mpo nen utama jaringa n ikat, dan jaringa n ini terdapat hampir
disemua komponen tubuh, sehingga kolagen paling banyak terdapat dalam tubuh ternak.
C akan menurunkan jumlah lisin hingga 50 persen. Pengasapan dan penggaraman juga
sedikit mengurangi kadar asam amino Lawrie 2003.
Kualitas daging ditentukan oleh beberapa kriteria antara lain warna, keempukan, flavor dan bau, cita rasa dan jueceness, ka ndungan lemak, susut
masak, retensi cairan dan pH daging Soeparno 1998. Kadar kolagen daging
35 dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : kandungan lemak, umur ternak, dan
aktifitas gerak dari urat daging. Kualitas daging ditentukan oleh beberapa kriteria antara lain: warna, keempuka n, flavor, dan aroma bau, cita rasa, da n juceness,
kandungan lemak intramusculair marbling, Susut masak cooking lost , retensi cairan, da n pH daging Soeparno 1998.
Komponen lemak yang paling menentukan adalah lemak intramuskuler marbling, lemak tersebut sangat menentukan keempukan rasa dan aroma.
Daging yang dinilai baik adalah daging yang tingkat perlemakannya tidak terlalu banyak, tetapi cukup mempunyai perlemakan di dalam urat daging McPhee
2008. Daging yang hampir tidak mengandung marbling tampak kering dan yang mempunyai flavor yang kurang baik, namun sebaliknya apabila marbling terlalu
banyak akan mengurangi palatabilitas. Satuan produk karkas dinyatakan dalam bobot dan persentase. Persentase
karkas dipengaruhi oleh bobot karkas, bobot potong, kondisi ternak, bangsa, proporsi bagian non karkas, dan makanan. Persentase karkas sangat bervariasi
antar 50-60 dari bobot hidup, rata-rata persentase karkas domba lokal adalah 43.60 persen Sunarlin Usmiati 2006. Faktor yang perlu diperhitungkan
dalam memperkirakan jumlah daging dari karkas dalah; 1 ketebalan lemak sub kutan, 2 luas mata rusuk longisimus dorsi area, 3 persen lemak viscena
penyelubung gijal, pelvis, dan jantung, dan 4 berat karkas Swatland 1994. Lawrie 2003 menyatakan bahwa pembagian karkas menjadi potongan-
potongan karkas sangat bervariasi pada beberapa negara atau daerah, berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, disesuaikan dengan spesies ternak dan selera
konsumen. Karkas domba terbagi atas dua bagian besar yaitu forsadle 51 dan hindsadle 49, forsadle bagian depan terdiri shuoulder, rack, freshank, dan
breast, sedangkan hindsadle bagian belakang terdiri dari loin, leg, dan flank. Selanjutnya dinyatakan bahwa potongan utama dari karkas domba adalah leg,
rack, dan breast, Potongan-potongan komersial karkas tercantum pada Gambar 6.
36 Topside and silverside
Steakmeal Aitchbo ne Rumo S irloin Forerib Midrib Clod
and sticking
Leg Top rump Flank Briska l Shin Gambar 6 Potongan-potongan karkas ko mersial Lawrie 2003
Soeparno 1998 menyatakan bahwa, kandungan lemak pada daging menentukan kualitas daging karena lemak menentukan cita rasa dan aroma
daging. Keragaman yang nyata pada kompos isi lemak terdapat antara jenis ternak memamah biak dan ternak tidak memamah biak adalah karena adanya
hidrogenasi oleh mikroor ganisme rumen. Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi, berdasarkan asalnya protein dapat dibedakan
dalam 3 kelompok yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril, dan protein jaringan ikat. Protein sarkop lasma adalah protein larut air karena umumnya dapat
diekstrak oleh air dan larutan garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin da n miosin, serta sejumlah kecil troponin dan aktinin. Protein jaringan ikat ini
memiliki sifat larut dalam larutan garam. Protein jaringa n ikat merupakan fraksi protein yang tidak larut, terdiri atas protein kolagen, elastin, dan retikulin.
Kualitas fisik dag ing Warna daging
Faktor utama yang menentukan warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging myoglobin, tipe molekul dan status kimia myoglobin. Faktor penentu
warna daging tersebut dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress tingkat aktivitas dan tipe otot, pH dan oksigen Purbowati et al.
2005. Pada umumnya, makin bertambah umur ternak, konsentrasi myoglobin
37 makin meningkat, tetapi peningkatan ini tidak konstan. Warna daging dapat
diukur dengan notasi atau dimensi warna “tristimulus”, yaitu: 1. hue = warna misalnya merah, hijau, dan biru, 2. nilai = terang atau gelap, dan 3. kroma =
jumlah atau intensitas warna. Warna daging domba bervariasi antara merah terang hingga merah gelap. Dalam daging segar, sebelum dimasak bentuk kimia
yang paling penting adalah oksimioglobin. Walau itu terjadi dipermukaan saja, pigmen ini sangat penting karena menggambarkan warna merah cerah yang
dikehendaki oleh konsumen Lawrie 2003.
Nilai pH dag ing
Perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging,
karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan masa simpan. Konsentrasi glikogen otot pada saat pemotongan merupakan salah
satu faktor terpenting yang mempengaruhi kualitas daging. Glikogen adalah subs trat metabolik dalam glikolisis postmortem yang menghasilkan asam laktat,
yang akan mempengaruhi pH otot. Proses glikolisis dan penurunan pH berlangsung hingga cadangan gliko gen habis atau terhentinya proses metabolik
terkait terhentinya proses enzimatik akibat pH yang rendah Lukman et al 2007. Aberley et al. 2001 menyatakan bahwa nilai pH daging ditentukan oleh
kadar glikogen dan asam laktat daging hewan setelah dipotong. Peruba han pH ini tergantung dari jumlah glikogen sebelum dilakukan pemotongan. Bila jumlah
glikogen dalam ternak normal akan mendapatkan daging yang berkualitas baik, tetapi bila glikogen dalam ternak tidak cukup atau terlalu banyak akan
menghasilkan daging yang kurang berkualitas, bahkan mendapatkan daging yang berkua litas jelek. Laju penurunan pH daging secara umum dapat dibagi menjadi
tiga yaitu: 1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6 – 5.7 dalam
waktu 6 – 8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3 – 5.7. Pola penurunan pH ini ada lah normal.
38 2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam- jam pertama setelah pemotongan
dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5 – 6.8 . Sifat daging yang dihasilkan adalah gelap, keras dan kering atau dark firm dry DFD.
3. Nilai pH turun relative cepat sampai berkisar 5.4 – 5.5 pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.4 – 5.6 . Sifat daging
yang dihasilkan ialah pucat, lembek dan berair atau disebut pale soft exudative PSE.
Keempukan daging
Keempukan merupakan penentu kualitas daging domba. Komponen utama yang menent uka n keempuka n ada lah jaringa n ikat dan lemak yang
berhubungan dengan otot Aberle et al. 2001. Bertambahnya umur ternak akan mengurangi tingkat keempukan dari daging karena ikatan silang intra dan
intermolekuler antara polipeptida kolagen meningkat. Pertumbuhan yang cepat dapat mengurangi ikatan silang sehingga meningkatkan keempukan, perbedaan
bangsa juga dapat menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe kecil lebih empuk dari pada daging dari tipe besar Lawrie 2003. Menurut
Epley 2008 bahwa keempukan daging akan menurun seiring dengan meningkatnya umur hewan. Jaringan ikat pada otot hewan muda banyak
mengandung retikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hewan tua. Pemasakan daging dalam oven 135
o
C sampai suhu dalam 50
o
C atau 60
o
C tidak mempengaruhi nilai daya putus Warner Bratzler Lawrie 2003. Perbedaan suhu dalam daging saat pemasakan 60
o
C, 70
o
C, 80
o
C akan mempengaruhi keempukan dari daging, semakin tinggi suhu akhir pemasakan akan menghasilkan daging yang lebih empuk. Suhu akhir 60
o
C, 70
o
C, 80
o
C secara akurat dapat digunakan sebagai alat untuk klasifikasi keempukan daging, tetapi pada suhu yang rendah 60
o
C perbedaan suhu dalam daging tidak dapat dijadikan patokan yang akurat untuk klasifikasi keempukan
daging karena dipengaruhi oleh waktu pemasakan, jumlah perubahan jaringan dan rendahnya nilai klasifikasi keempukan Wheeler et al. 1999. Combes et al.
2002 menyatakan bahwa nilai keempukan daging dengan Warner Bratzler mencapai minimum pada suhu dalam 60-65
o
C dan meningkat kembali mencapai maksimum pada suhu dalam daging 80-90
o
C. Keempukan daging berkisar antara
39 3.83-5.49 dan secara statistik hampir sama, hal ini disebabkan komposisi PK dan
lemak yang hampir sama. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging dapat digolongkan menjadi
dua, yakni faktor antemortem dan faktor postmortem.
Kriteria keempukan menurut Suryati dan Arief 2005 berdasarkan panelis yang terlatih menyebutkan bahwa daging sangat empuk memiliki daya putus WB
Warner Bratzler 4.15 kgcm Faktor antemortem tersebut
meliput i genetik termasuk bangsa, spesies dan fisiologi, umur, manajemen, jenis kelamin, dan stress. Faktor postmortem diantaranya adalah metode chilling,
refrigerasi, pelayuan, dan metode pengolahan. Jadi keempukan bisa bervariasi antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan
diantara otot, serta pada otot yang sama. Keempuka n da ging ditent uka n oleh 3 komposisi daging yaitu : 1. Struktur miofibril dan status kontraksinya, 2.
Kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang dan 3. Daya ikat air oleh protein daging dan marbling Abe rle et al 2001. Perbedaan bangsa juga dapat
menimbulkan perbedaan keempukan daging, daging dari tipe kecil lebih empuk daripada daging dari tipe besar Lawrie 2003. Menurut Epley 2008
keempukan daging akan menurun seiring dengan meningkatnya umur hewan. Jaringan ikat pada otot hewan muda banyak mengandung retikuli dan memiliki
ikatan silang yang lebih renda h jika dibandingka n dengan hewan tua.
2
, daging empuk 4.15 - 5.86 kgcm
2
, daging agak empuk 5.86 - 7.56 kgcm
2
, daging agak alot 7.56 - 9.27 kgcm
2
, daging alot 9.27 - 10.97 kgcm
2
, daging sangat alot = 10.97 kgcm
2
Keempukkan daging ditentukan oleh tiga komponen daging yaitu; 1 struktur miofibril dan status kontraksi, 2 kandungan jaringan ikat dan ikatan
silang, dan 3 daya ikat air oleh protein daging dan marbling Soeparno 1998. Tingkat keempukkan daging dapat dihubungkan dengan tiga katagori protein
otot yaitu; 1 protein jaringa n ikat ko lagen, elastin, dan mukopolisakarida, 2 miofibril miosin, actin, dan tropo miosin, dan 3 sarkop lasma protein
sarkoplasmatik, dan sarkoplas- matik retikulum. Kontribusi masing- masing kategori protein tersebut tergantung pada tingkat kontraksi miofibril, tipe otot dan
lama serta suhu pemasakan Lawrie 2003. .
40
Daya mengikat air DMA
Daya mengikat air DMA oleh protein daging atau water holding capacity merupakan suatu nilai yang menunjukkan kemampuan untuk mengikat air atau
cairan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar yang ditambahkan. Daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas da n da ya
terima daging oleh konsumen. Pengukuran banyak air yang hilang atau drip merupakan hal yang penting dalam penentuan rantai harga, karena mempengaruhi
bobot daging. Tingkat daya mengikat air ini ditentukan oleh spesies, genetik, laju glikolisis, pH akhir, proses pemotongan dan waktu Honikel 1998. Fungsi atau
gerakan otot yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah glikogen yang menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan akhirnya menghasilkan DMA
yang berbeda. Lawrie 2003 menambahkan bahwa daya mengikat air daging sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir semakin sedikit penurunan
DMA. Daya mengikat air sangat penting dalam proses pengolahan daging sebaga i prot ein yang mampu menahan lebih banyak air menjadi lebih mudah
larut. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-potein daging antara 5.0 – 5.1.
Daya ikat air DMA daging adalah kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar,
misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daya ikat air dipengaruhi oleh perbedaan macam otot, species, umur dan fungsi otot. Fungsi
atau gerakan otot yang berbeda mengakibatkan perbedaan jumlah glikogen yang menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan akhirnya menghasilkan DIA
yang berbeda. Daya ikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-potein daging antara 5,0–5,1
Salah satu faktor yang mempengaruhi DMA daging adalah umur ternak. Semakin tua umur ternak,
kapasitas memegang air daging lebih sedikit.
Purbo wati et al. 2005. Lawrie 2003 mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi DMA
daging adalah umur ternak. Semakin tua umur ternak, kapasitas memegang air daging lebih sedikit.
41
Susut masak
Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Semakin tinggi temperatur pemasakan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang
sampai mencapai tingkat yang konstan. Beberapa faktor yang memepengaruhi susut masak adalah pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut
otot, status kontraksi myofibril, ukuran dan berat sampel daging dan penampang lintang daging Soeparno 1998.
Daging de ngan susut masak yang lebih renda h mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging dengan susut masak yang
lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasi jumlah jus dalam
daging. Kesan jus daging atau juiciness mempunyai hubungan yang erat dengan susut masak. Kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak
yang tinggi. Kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak yang tinggi. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas
yang relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Perebusan daging
pada suhu 60 – 90
o
C menyebabkan rusaknya jaringa n epimisium, perimisium dan endomisium sehingga myofibril menyus ut yang menstimulasi keluarnya cairan
daging. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan. Beberapa faktor yang mempengaruhi susut masak adalah pH, panjang sarkomer
serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran da n berat sampel daging dan penampang lintang daging. Daging dengan susut masak
yang lebih rendah mempunyai kualitas yang lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan
akan lebih sedikit. Besarnya susut masak dapat dipergunaka n untuk mengestimasi jumlah jus dalam daging, jus daging atau juiciness mempunyai
hubungan yang erat dengan susut masak, kadar jus daging yang rendah dapat disebabkan oleh susut masak yang tinggi, umumnya susut masak bervariasi
dengan kisaran antara 15-40 Soeparno 1998. Selanjutnya Lawrie 2003 menjelaskan ba hwa bobot potong dapat mempengaruhi susut masak apabila
terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskuler marbling. Daging dengan susut masak ya ng lebih renda h mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dari
42 pada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi
selama pemasakan akan lebih sedikit.