74 Tabel 13 Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan
VFA dan NH3 SSF-Cr mM
Persentase Inokulum BK
Level Kromium Rataan
2mgkg A1 4mgkgA2
6mgkg A3 Kandungan VFA
5 B1 117.94
AB
124.50 ±0.58
AB
122.37 ±4.35
AB
±7.74 7.5 B2
106.39
AB
143.56 ±10.30
A
83.51 ±39.39
AB
±5.07 10 B3
108.82
AB
127.40 ±28.94
AB
99.82 ±26.29
AB
±40.06 Kandungan NH
3
5 B1 4.57
±
0.88 5.46
±0.71
5.01
±0.76 4.53±0.66
7.5 B2 4.09
±0.71
4.67
±0.52
5.52
±0.14 4.85±0.63
10 B3 4.92
±0.46
4.42
±0.10
4.40
±0.34 4.98±0.63
Rataan
4.52±0.73 4.76±0.76
4.58±0.37 4.79
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan perbeda an yang sangat nyata P0.01.
utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Oleh sebab itu,
produksi VFA didalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolok ukur fermentabilitas pakan Hartati 1998.
Terjadi interaksi antara persentase inok ulum A. niger dengan level kromium terhadap konsentrasi VFA Tabel 13. Hal ini disebabkan oleh tingkat
degradasi ba han ke ring yang hampir sama. Pada perlakuan A3B2 ko nsentrasi VFA paling rendah, diduga hal ini disebabkan oleh penggunaan VFA oleh
mikroba rumen untuk mensintesis protein mikroba dan juga untuk pembentukan enzim, karena pada A3B2 terjadi kecernaan bahan kering dan bahan organik yang
nyata lebih rendah diba nding-kan perlakuan A3B3. Menurut Astriana 2009 bahwa VFA pada ransum yang mengandung kromium organik dengan
Ganoderma lucidum adalah 125.8 mM, sedangkan pada penelitian ini yang mengandung kromium organik dengan A. niger adalah VFA 103.96mM, hal ini
disebabkan kapang yang digunakan berbeda, sehingga pemanfaatan serat kasar dari SSF-Cr oleh mikroba juga berbeda. Selain itu Ganoderma lucidum mampu
medegradasi lignin, sedangkan A. niger hanya mampu mendegradasi serat kasar. Produksi VFA sebesar 117.94 mM terdapat pada perlakuan A1B1,
selanjutnya terjadi peningkatan pada perlakuan A2B1 dan turun pada A3B1 dibandingkan dengan A1B1, berarti pada persentase 5 inokulum dengan level
kromium 2, dan 4 mgkg terjadi peningkatan jumlah VFA yang dihasilkan.
75 Peningkatan jumlah VFA menunjuk-kan mudahnya pakan tersebut didegradasi
oleh mikroba rumen. Perlakuan A2B2 terjadi peningkatan VFA yang tertinggi dibanding perlakuan lainnya yaitu 143.56 mM, hal ini disebabkan SSF-Cr yang
mengandung kromium organik 4 mgkg dengan persentase inokulum 7.5 memberikan asupan energi yang optimal bagi ternak, sehingga VFA yang
dihasilkan lebih tinggi. Konsentrasi tersebut sesuai dengan pernyataan Suryapratama 1999 bahwa kisaran optimum produksi VFA total bagi
kelangsungan hidup ternak rumina nsia yaitu antara 80 – 160 mM.
Penga ruh Persentas e inokulum dan leve l kromium terhadap kandunga n NH
3
SSF-Cr mM
Amonia NH3 diproduksi bersama dengan peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba.
Produksi NH
3
berasal dari protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Di dalam rumen protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Tingkat
hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kadar NH
3
Arora 1995. NH
3
merupakan sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba, oleh karena itu konsentrasinya dalam rumen merupakan suatu hal yang
perlu dipe rhatika n. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan
NH
3
SSF-Cr BK dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa fermentabilitas SSF-Cr tidak memperlihatkan perbedaan
antar perlakuan P0.05. Rataan produksi NH3 dalam penelitian ini adalah 4.79 mM, nilai tersebut berada pada kisaran produksi NH3 di dalam rumen yang
mendukung pertumbuhan mikroba rumen yaitu pada kisaran 4 – 12 mM Erwanto et al. 1993. Hal ini berarti inkorporasi A. niger dengan kromium pada SS
berfluktuasi dalam memproduksi NH3. Suplementasi kromium pada level 4 mgkg Cr menghasilkan produksi NH3 lebih tinggi dari perlakuan lainnya, begitu
juga dengan 10 inokulum A. niger. Produksi NH
3
pada SS adalah 4.55 mM, sedangkan pada penelitian ini rataan produksi NH
3
adalah 4.79 mM. Pada penelitian ini terjadi peningkatan produksi NH3 sebanyak 5.27 , berarti dengan
adanya penambahan kromium terjadi peningkatan NH
3
.
76
Penga ruh persentas e inokulum dan leve l kromium terhadap kandungan kecerna-an bahan kering BK
Hasil penelitian menunjukk an bahwa persentase kecernaan bahan kering berkisar antara 9.63 - 141.47 dan bahan organik antara 4.60 - 197.77.
Hasil uji statistik menunjukka n bahwa perlakuan A3B3 memiliki kecernaan bahan kering dan bahan organik yang nyata lebih tinggi P0.05 dibandingkan
perlakuan lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh degradasi serat sawit pada penggunaan inokulum 10 A. niger lebih cepat dibandingkan dengan
perlakuan lainnya, sehingga dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan kering dan bahan organik yang dirombak oleh A. niger menjadi lebih banyak.
Pengaruh persentase A. niger dan level CrCl
3
yang dilakukan memberikan respon yang berbeda terhadap persentase peningkatan kecernaan bahan organik dan
bahan kering. Level Cr 2 dan 4 mgkg memberikan respon yang sangat nyata dengan level Cr 6 mgkg da n A. niger 10 A3B3. Terjadinya peningkatan
persentase peningkatan kecernaan bahan organik dan bahan kering diduga akibat
kinerja mikroba rumen yang semakin aktif karena suplai energi yang cukup
sebagai akibat dari pengaruh persentase A. niger dan leve l CrCl
3
Hasil kecernaan bahan kering Tabel 14 memperlihatkan kisaran antara 9.14 - 22.07 dan bahan organik antara 7.17 - 21.35. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa perlakuan A3B3 memiliki kecernaan bahan kering yang nyata lebih tinggi P0.05 dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan
oleh degradasi serat sawit pada penggunaan inokulum 10 dan kromium 6 mgkg lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga dengan lama
fermentasi yang sama, jumlah bahan kering yang dirombak oleh A. niger menjadi lebih ba nyak.
.
Menurut Parakkasi 1999 bahwa kecernaan zat makanan dapat dipengaruhi oleh umur
ternak, level pemberian, dan kadar zat makanan yang dikandungnya. Ternak ruminansia dapat memecah dan menggunakan sebagian
karbohidrat struktural selulosa dan hemiselulosa dengan bantuan mikroba rumen. Parakkasi 1999 juga menambahkan bahwa dengan adanya bantuan
mikroba rumen akan meningkatkan kecernaan bahan makanan yang mengandung karbohidrat struktural karbohidrat pembangun; kandungan lignin dan silika pada
77 Tabe l 14 Pengaruh pe rsentase A. niger dan level Kromium yang berbeda terhadap
kecernaan ba han ke ring da n kecernaan ba han organik serat sawit fermen-tasi in vitro
Persentase Inokulum BK
Level Kromium mgkg
2mgkg A1 4mgkgA2
6mgkg A3 Kecernaan Bahan Kering
5 B1 11.75
B
10.21
±0.22
B
10.02
±1.19
B
±0.11
7.5 B2 10.41
B
9.14
±0.04
B
11.82
±0.02
B
10 B3
±1.72
10.11
B
11.78
±1.74
B
22.07
±0.30
A
Kecernaan Bahan Organik
±0.72
5 B1 10.72
B
8.52
±0.02
BC
7.50
±1.45
C
±0.28
7.5 B2 8.5B
C
7.17
±1.28
C
10.40
±0.44
B
10 B3
±1.34
8.82B
C
9.45B
±1.78
C
21.35
±1.72
A
±0.27
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01.
bahan maka nan dapat mempengaruhi produksi energi metabolis ME, karena bahan maka nan ya ng memiliki kandungan lignin dan silika tinggi akan lebih sulit
dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang keluar melalui feses.
Tilman et al. 1998 mengatakan bahwa hewan tidak menghasilkan enzim untuk mencerna serat kasar dan hemiselulosa, tetapi mikroorganisme dalam suatu
saluran pencernaan menghasilkan selulase dengan hemiselulase yang dapat mencerna selulosa da n hemiselulosa, juga dapat mencerna pati dan karbohidrat
yang larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat, dan butirat. Serat adalah lignin dan polisakarida yang merupakan dinding sel
tumbuhan dan tidak tercerna oleh cairan sekresi dalam saluran pencernaan. Kandungan serat dalam dinding sel dapat diekresikan dengan metode Neutral
Detergen Fiber Arora 1995 sehingga kemampuan serat dapat dipisahkan. Jika kandungan lignin dalam bahan pakan tinggi maka koefisien cerna pakan menjadi
rendah Sutardi 1990 .
Penga ruh persentas e inokulum dan level kromium terhadap kandungan kecerna-an bahan orga nik SSF-Cr B K
Pengaruh persentase inokulum Aspergillus niger dan Kromium berbeda nyata terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik Tabel 14 ada yang
hilang, yang nyata lebih tinggi P0.05 dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini
78 kemungkinan disebabkan oleh degradasi serat sawit pada penggunaan inokulum
10 dan kromium lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sehingga dengan lama fermentasi yang sama, jumlah bahan organik yang dirombak oleh
A. niger menjadi lebih banyak.
SIMPULAN
Inkorporasi Cr oleh A. niger tidak berpengaruh terhadap kandungan protein, serat kasar, NDF, ADF, emiselulosa, selulosa dan NH3, tetapi
berpengaruh terhadap VFA, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Penggunaan persentase inokulum A. niger 10 dan level kromium 6
mgkg bahan memberikan hasil serat sawit fermentasi dan inkorporasi Cr yang terba ik
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] The Association of Official Analytical Chemists. 1995. Method of Analysis. 16thEd. Washington DC. Assoc Agric Chemist.
Arora SP. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Yogyakarta. Gajah Mada University press.
Astriana D. 2009. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum ruminansia yang disuplementasi de ngan kromium organik dan lingzhi [skripsi].
Bogor : Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB.
Atmosukarto K, Rahmawati M. 2004. Terapi nutrisi kromium untuk penderita diabetes. Cermin Dunia Kedokteran No. 143:51-53
Burton JL. 1995. Supplemental chromium : its benefits to the bovine immune system. Anim. Feed Sci. Tech. 53:117
Cary EE, Allaway WH. 1971. Determination of chromium in plants and other
biological materials. J. Agric. Food Chem. 19:1159-1167 Church DC. 1993. The Ruminant Animal : Digestive Physiology and Nutrition.
Waveland Press. Combs GF. 1992. The Vitamins, Fundamental Aspect in Nutrition and Health.
San Diego. Academic Press, Inc. Admission of Harcourt Brace Company.
79 Demirci A, Pornetto AL, 2000. Enhanced organically bound chromium yeast
production. J. Agric Food Chem 48:531-536. Erwanto, Sutardi T, Sastradipradja D, Nur MA. 1993. Effects of ammoniated
zeolite on metabolic parameters of rumen microbes. Indon J Trop Agric 51 : 5-9
Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Diterjemahkan oleh Hardjono Sastrohamidjojo. Cetakan Pertama.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.. General Laboratory Procedures. 1996. Department of Dairy Science. Madison.
University of Wisconsin. Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition an Human Metabolism.
Belmont, CA. USA. Third Edition. Wadsworth Thomson Learning. Hartati E. 1998. Supplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang
mengandung silase pod kakao dan ure untuk memacu pertumbuhan sapi Holstein jantan [Disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Jamarun N, Nur YS dan Jurnida R. 2000. Biokonversi serat sawit dengan Aspergillus niger sebagai paka n ternak ruminansia. Laporan Penelitian
Hiba h Bersaing II 19992000. Padang. Fakultas Peternakan Universitas Anda las .
Jamarun N, Nur YS, Rahman J. 2001. Pemanfaatan serat sawit fermentasi sebagai pakan ternak ruminansia. Panduan Seminar dan Abstrak.
Pengembangan peternakan berbasis sumberdaya lokal. Bogor. Fakultas Peternaka n Institut Pertanian Bogor.
Krishna C. 2005. Solid-state fermentation systems-an overview. Crit Rev Biotechnol 25:1-30.
Lelono EB, Isnawati. 2007. Peranan iptek nuklir dalam eksplorasi hidrokarbon. Puslitbang Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. JFN, Vol1
No2, p:79-92. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Universitas Indo nesia
Press. Jakarta. Lyons TP. 1995. Biotechnology in the Feed Industry a Look Forward and
Backward. Alltech Asia-Pasific Lecture Tour. Moore E, Landeker. 1992. Fundamental of Fungi. Frentice Hall, Inc., New
York.
80 Nur YS. 2006. Efisiensi penggunaan protein bungkil inti sawit yang difermentasi
dengan Aspergillus niger sebagai pakan broiler. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan Di Bidang Agribisnis
untuk Mendukung Ketahanan Pangan Semarang, 3 Agustus 2006. ISBN:979-704-485-8
Nur YS. 1998. Pemanfaatan enzim selulase dari Aspergillus niger pada biokonversi dedak padi untuk pakan ternak. Penelitian Dosen Muda BBI
19971998. Lembaga Penelitian Universitas Andalas Padang. Nur YS, Sofya n LA, Syarief R, Sugandi D. 1993. Peningkatan nilai gizi onggok
dengan kultur campuran Aspergillus niger da n Aspergillus oryzae sebagai pakan broiler. Prosiding Workshop Teknologi Lingkungan. Jakarta.
DTPLH. BPPT..
Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta. Universitas Indo nesia.
Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient: a review. Veterinarni Medicina 521:1-18
Suryapratama W. 1999. Efek suplementasi asam lemak volatile bercabang dan kapsul lisisn serta treonin terhadap nutrisi protein sapi Holstein
[Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutardi T. 1990. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Bogor. Departement
Ilmu Maka nan Ternak Fapet Institut Pertanian Bogor. Tilley JWA, Terry RA. 1963. Two-Stage technique for the in-vitro digestion of
forage crops. J. British Grasslandsoc. 18:104-111. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosukojo S.
1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant Metabolism. Cornell University Press.
Zetić VG , Stehlik-Tomas V, Grba S, Lutilsky L, Kozlek Z. 2001. Chromium
uptake by Saccharomyces cerevisiae and isolation of glucose tolerance factor from yeast biomass. Journal of Biosciences. Vol 26, Issue : 2,
p:217-223
V. PEMANFAATAN SERAT SAWIT-Cr ORGANIK FERMENTASI SEBAGAI PENGGANTI RUMPUT LAPANGAN TERHADAP
PER FORMA DAN KUALITAS DAGING ABSTRACT
This study aimed to obtain a complete ration formula for sheep based on fermented palm press fiber containing organic Cr as an alternative for native
grass. The complete rations were formulated to have 64 TDN and 12.50. protein to feed lambs with body weight ranged from 12-16 kg. Levels of
fermented palm press fiber FPPF in the ration were : A = 0 FPPF + 60 Native grass NG + 40 concentrate, B = 15 FPPF+ 45 NG + 40
concentrate, C = 30 FPPF + 30 NG40 concentrate, D = 45 FPPF+ 15 NG + 40 concentrate. Variables observed in this study were: dr y matter and
nutrients consumption, body weight gain, feed conversion and digestibility. For meat production variables were carcass weight and meat chemical composition.
The physical properties of meat were meat color, meat pH, meat water holding capacity, the percentage of intramuscular fat, and fatty acid composition of
saturated and unsaturated fatty acids and chromium content of sheep meat. Experimental design used was Block Randomized Design with 4 treatments and 4
replicates. Types of rations serve as treatments and differences in body weight of sheep as block. The results showed that consumption of DM, protein, crude fiber
CF Nitrogen free extract NFE on treatment A, B and C were significantly higher P 0.01 compared with treatment D. Digestibility of DM, CF, Fats and
NFE was similar in each treatment P 0.05 , whereas the digestibility of protein in the treatment A, B and D was higher P 0.01 compared to treatment C Sheep
body weight gain P 0.05, nitrogen retention P 0.01, meat cholesterol, meat chromium, chromium liver, in the treatment D were significantly higher P 0.01
compared to treatment A, B and C, while the water content, protein, fat and meat fatty acids did not differ significantly P 0.05, meat pH, tenderness of meat,
cook ing shrinkage, water holding capacity of meat did not differ significantly P 0.05, meat color on D treatment was more bright compared to treatment A, B and
C and feed conversions in the treatment A and D were lower P 0.01 than treatments B and C. Based on the research results it can be concluded that ration
containing 45 Cr-FPPF combined with 40 concentrate and 15. Key words: FPPF, complete ration, sheep, performance, meat quality
Pendahuluan Latar Belakang
Domba lokal adalah jenis ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara
dan penting dalam kehidupan petani di pedesaan. Domba lokal mempunyai potensi mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tropis dan memiliki
82 sifat seasonal polyestroes sehingga dapat beranak sepanjang tahun. Domba
mempuny ai perdagingan sedikit dan disebut juga domba kampung atau ne geri Murtidjo 1993.
Serat sawit SS merupakan produk samping pengolahan kelapa sawit yang berpotensi sebagai bahan pakan ternak ruminansia terutama domba. Serat
sawit yang diperoleh dari industri minyak sawit di Indonesia akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya luas area penanaman kelapa sawit.
Dengan luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia yakni 7 juta Ha 90 nya berproduksi, jumlah serat sawit yang dihasilkan adalah sebesar 16,888
metrik ton BKth. Hal ini merupakan potensi yang besar untuk dijadikan pakan ternak, terutama ternak ruminansia. Beberapa peneliti memanfaatkan serat sawit
sebagai bahan baku penyusunan ransum untuk ternak domba Jamarun et al. 2001; Purwaningrum 2003; Rahman et al. 2007; Agustin 2010. Beberapa penelitian
tentang potensi serat sawit sebagai pengganti pakan hijauan juga telah dilakukan diantaranya ada lah pe nelitian yang dilakuka n Jamarun et al 2001 melaporkan
bahwa SS yang mendapat pengolahan dengan amoniasi kemudian difermentasi dengan Aspergillus niger dapat digunakan sebagai pengganti hijauan sebanyak
25 dalam ransum. Purwaningrum 2003 mengatakan bahwa pemanfaatan SS yang mendapatka n pe ngolahan de ngan Trichoderma harzianum diperoleh SS dan
LSKS limbah serat kelapa sawit dengan rasio 1:2, dan digunakan sebagai pengganti hijauan konvensional dengan taraf 50 dan lebih dari itu akan
menurunkan kecernaan dan keracunan amonia. Kromium penting di dalam metabolisme karbohidrat, selain itu juga
dibutuh-kan dalam metabolisme lemak dan protein Davis Vincent 1997, NRC 1997, asam nukleat dan mencegah stress. Kromium juga berperan dalam sistem
kekebalan tubuh dan konversi tiroksin T4 menjadi triiodotironin T3, yaitu hormon yang berperan dalam meningkatkan laju metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein di dalam hati, ginjal, jantung dan otot serta meningkatkan sintesis protein Burton 1995. Suplemen-tasi Cr ke dalam pakan lebih menguntungkan
apabila diberikan dalam bentuk Cr organik. Kromium dalam bentuk trivalen yang tidak beracun sangat sulit diserap. Pada beberapa kasus, Cr organik yang
dikonsumsi manusia lewat makanan 98 tidak diserap dan dikeluarkan lewat
83 feses, sebaliknya ketersediaan Cr organik cukup tinggi yaitu antara 25 sampai
30 NRC 1997. Suplementasi kromium pada silase jagung dapat menurunkan kortisol dan meningkat-kan respon imun anak sapi Chang and Mowat 1992.
Kemampuan A. niger dalam menginkorporasikan kromium inorganik ke da lam komponen miselium perlu didukung dengan kajian secara nutrisi manfaat
produk hasil inkoporasi tersebut. Unsur kromium dalam produk hasil inkorporasi oleh A. niger diharapkan dapat digunakan dan berperan aktif dalam tubuh ternak.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula ransum komplit domba secara optimal dan untuk menghasilkan daging domba yang berkualitas,
baik dikonsumsi untuk penderita diabetes. MATERI DAN METOD E
Penelitian dilakukan di laboratorium lapang dan laboratorium mikrobiologi dan biokimia, kandang metabolik Fakultas Peternakan IPB serta
PPSHB IPB Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai Januari sampai Desember 2007 yang meliputi pembuatan serat sawit fermentasi penelitian, percobaan
makanan pada ternak domba dan analisis di laboratorium. Penelitian ini meng- gunakan serat sawit yang diperoleh dari pabrik pengolahan kelapa sawit PT Incasi
Raya di Padang dan Malimping Banten. Dedak diperoleh dari penggilingan padi di Cilubang Bogor. Bahan kimia yang digunakan adalah NaOH kristal teknis,
Kromium CrCl
3.
6H
2
O, trypthopan, Aspergillus niger dan aquadest diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor.
Metode Penelitian
Ransum disusun untuk memenuhi kebutuhan domba lokal dengan berat badan berkisar 12 – 16 kg. Perbandingan penggunaan hijauan segar dan pakan
komplit adalah 60:40 berdasarkan bahan kering. Bahan paka n terdiri dari rumput lapangan, SSF, polard, jagung, bungkil kedelai, molases, NaCl, cattle mix, CaCO
3
dan garam, pakan diberikan berupa rumput lapangan segar dan pakan komplit.
Ransum perlakuan dan bahan penyusun ransum komplit disajikan pada Tabel 15 dan Tabel 16.
84
Perlak uan Penelitian
Adapun faktor perlakuan dalam penelitian ini adalah serat sawit fermentasi digunakan untuk menyusun 4 macam ransum komplit dengan TDN
64 dan Protein 12.50. Level pemanfaatan serat sawit terfermentasi dalam ransum yaitu:
A = 0 SSF + 60 rumput lapangan + 40 konsentrat B = 15 SSF + 45 rumput lapangan + 40 konsentrat
C = 30 SSF + 30 rumput lapangan + 40 konsentrat D = 45 SSF + 15 rumput lapangan + 40 konsentrat
SSF
= serat sawit fermentasi
Tabel 15 Formula ransum penelitian
Bahan
Makanan
Perlakuan A
B C
D R
60 45
30 15
SSF 15
30 45
Pollard 18.5
18.5 18.5
18.5 Jagung
10 10
10 10
B. kedelai 5
5 5
5 Molases
5 5
5 5
NaCl 0.5
0.5 0.5
0.5 Cattle mix
0.5 0.5
0.5 0.5
CaCO3 0.5
0.5 0.5
0.5 Total
100.00 100.00
100.00 100.00
PK BK 12.14
12.53 12.52
13.32 TDN
64.81 64.54
64.27 64.00
Keterangan : A = Kontrol 60 RL + 40 konsentrat, B = 15 SSF-Cr + 45 RL, C = 30 SSF-Cr + 30 RL, D = 45 SSF-Cr + 15 RL, SSF-Cr = serat sawit fermentasi-
Cr, RL = ru mput lapangan
Tabel 16 Kompo sisi kimia pakan domba penelitian Kompos isi kimia
Pakan Rumput lapangan
Konsentrat SSF
Bahan kering 24.22
86.51 85.79
Protein 8.29
16.92 6.03
Serat kasar 25.04
5.59 33.80
Lemak 1.46
2.77 1.60
A b u 9.36
8.18 3.99
BETN 50.87
66.54 54.58
TDN 56.00
78.01 54.21
Cr ppmBK 11.34
7.53 10.78
Keterangan: SSF= serat sawit fermentasi
85
Peubah ya ng diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: kandungan nutrisi meliputi bahan kering, protein kasar metoda Kjedhal, konsumsi, pertambahan
bobot badan , konversi pakan dan kecernaan juga diukur sebagai tolok ukur kualitas ransum. Untuk produksi daging peubah yang diukur adalah produk karkas
dan komposisi kimia daging. Sifat fisik daging yang diukur warna daging, pH daging, daya mengikat air daging, persentase lemak intramuskuler, dan komposisi
asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh Kromatografi gas serta kandungan kromium daging domba. Ransum dicobakan pada 20 ekor domba sebagai hewan
model untuk menjelaskan pola pertumbuhan.
Kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini : 1. Pembuatan serat sawit fermentasi dengan menggunakan 10 A niger dan
6 mg Crkg substrat serta penambahan 600 ppm tripthopan 1.20gr100ml serat sawit yang digunakan setelah diperam 2.5 NaOH selama 24 jam
dan dicuci sampai NaOH nya hilang selanjutnya dikeringkan. 2. Persiapan kandang
3. Sebelum domba dimasukkan kandang dibersihkan desinfektan, kemudian dimasukkan domba secara acak dan diberi obat cacing
4. Dilakukan periode adaptasi selama 1.5 bulan 5. Dilakukan periode pengamatan selama 125 hari
6. Periode koleksi dilakukan 7 hari 7. Pada masa ini dilakuka n penampungan feses da n urine, pengambilan
sampel hijauan dan konsentrat.
Metode Anal isis 1.
Pertambahan Bobot Badan
Diperoleh dari mengurangkan bobot badan akhir dengan bobot badan awal dibagi lama waktu pengamatan, penimbangan bobot badan ternak dilakukan setiap
minggu.
2. Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan harian dihitung berdasarkan jumlah pakan segar yang disediakan dikalikan dengan kandungan bahan keringnya dikurangi sisa pakan
86 dikalikan dengan bahan kering sisa pakan tersebut, dengan menggunakan
timbangan.
Penentuan kebutuhan konsumsi bahan kering atau Dry Matter Intake DMI didasarkan pada rekomendasi Kearl 1982 dengan mempertimbangkan hasil evaluasi
pada masa adaptasi yakni 3,6 persen dari berat badan ternak.
3. Konve rsi Pakan
Diperoleh berdasarkan jumlah konsumsi bahan kering pakan dibagi dengan kenaikan bobot badan per satuan waktu.
4. Kecemaan Zat Makanan
Ditentukan dengan metode koleksi total Harris, 1970. Koleksi total dilaksanakan selama 7 hari berturut-turut. Setiap hari selama periode koleksi
tersebut konsumsi ransum diukur, begitu juga de ngan pe ngeluaran feses dan urine. Sampel feses dan urine diambil sebanyak 10 dari total harian. Sampel harian
feses dan urine dikomposit dan dianalisis kadar zat makananya dengan analisis proksimat. Kecemaan zat makanan dihitung sebagai berikut :
Zat maka nan yang diko nsumsi – zat makanan dalam feses Kecernaan = ------------------------------------------------------------------------- x 100
Zat maka nan yang diko nsumsi
5. Retensi Nitrogen
Dihitung dari besarnya konsumsi nitrogen dikurangi dengan jumlah nitrogen da lam feses dan urine. Besarnya retensi nitrogen dapa t dinyataka n :
RN gh = KN – NF+NU Dimana : RN = retensi nitrogen
NF = nitrogen feses KN = konsumsi nitrogen; NU = nitrogen urine
6. Pemotongan dan Pengkarkasan
Setelah mencapai target lama pemeliharaanpenggemukan yaitu enam minggu domba dipotong tanpa pembiusan stunning pada bagian leher atas dekat
rahang bawah sampai semua pembuluh darah, trachea dan oesophgus terputus. Pemotongan ternak d ilakuka n tanpa pe muasaan do mba terlebih dahul u.
Kepala dipisah dari tubuh pada sendi occipito atlantis, kaki depan dipotong pada sendi carpo metacarpal dan kaki belakang pada sendi tarso
metatarsal. Bagian-bagian tersebut ke mud ian ditimba ng. Tubuh hewan tanpa
87 kepala dan kaki digantung pada paha belakang dekat tendo achiles. Kulit dilepas
dengan hati- hati sehinggal m. cutaneus trunci tetap melakat pada karkas. Sebelum jeroan dikeluarkan, rektum dipisahkan dari anus da n di ikat
supaya feses tidak mencemari karkas. Jeroan dikeluarkan melalui sayatan lurus ditengah-tengah perut hingga tulang dada. Karkas disimpan di dalam ruang
pendingin chiller selama 24 jam. Pada hari berikutnya dilakukan penguraian Karkas yang telah didinginkan ditimbang untuk memperoleh bobot karkas
dingin. Setelah lemak pelvis dan ginjal dipisah, karkas sebelah kiri dipotong menjadi beberapa potongan komersial yaitu leg, loin, rack, shoulder, neck, shank,
breast, dan flank Lawrie 2003. Sampel daging otot longisimus dorsi pada potongan dari persendian thoracic vertebrae ke-12 dan ke-13 sampai dengan
lumbar certebrae ke 6 dari setengah karkas bagian kiri dipisahkan. Sampel daging tersebut diblender kemudian diambil secara acak untuk dianalisa kandungan asam
lemak dan kolesterolnya.
Bobot Awal
Diperoleh dari pernimbangan bobot domba sebelum dilakukan perlakuan.
7. Bobot Potong
Diperoleh dari penimbangan yang dilakukan sebelum pemotongan.
8. Bobot Tubuh Kosong
Diperoleh dari pengurangan bobot potong dengan bobot digesta.
9. Warna Daging
Ditentuka n de ngan Standards Meat Fat Colours da ri AUSTRALIAN MEAT 1997, lemak pada longisimus dorsi
10. Kadar Air dan Bahan Kering Daging
Nilai bahan kering daging diperoleh dengan cara cawan kosong yang digunakan ditimbang a gram. Kedalam cawan dimasukkan sample daging lalu
ditimbang b gram. Cawan yang berisi sampel daging disimpan dalam oven yang bersuhu 105°C sekama 24 jam. Setelah 24 jam dikeluarkan dari oven, kemudian
didinginkan pada deskator selama 30 menit. Setelah itu cawan tersebut ditimbang c gram.
88 Bahan kering daging = 100 – Kadar air daging .
11.
pH Daging
Pengukuran pH daging dilakukan dengan menggunakan pH meter merk Corning. Sampel daging bagian Bicep femoris seberat 10 gram dihaluskan.
Kemudian, daging yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam beker glass dan diencerkan dengan akuades sampai 100 ml, selanjutnya diblender selama satu
menit agar sampai menjadi lebih homogeny. Sebelum pH daging diukur, thermometer harus dikalibrasi dulu dengan pH standard. Sampel daging siap
diukur derajat keasamannya.
12. Daya Mengikat Air Water Holding Capacity dagi ng
Pengukuran dilakukan dengan metode tekan menurut Hamm Swatland 1994. Sampel daging sebanyak 0,3 g diletakkan diantara dua kertas saring
Whatman 41 dan dijepit dengan alat pressure guage merk C hattllon bertekanan 35 kgm
2
Luas daerah basah cm selama 5 menit. Luas daerah basah adalah luas air yang diserap kertas
saring akibat penjepitan dan diperoleh dari selisih luas lingkaran luar dan dalam, pada kertas saring. Pengukuran lingkaran tersebut dilakukan dengan
menggunakan planimeter merk Hruden. Bobot air bebas yang terlepas karena proses penekakan dapat dihitung berdasarkan rumus dibawah ini:
2
Mg H2O = - 8,0
0,0948 mg H2O
Air bebas = x 100 300 g
DMA = Kadar air total – Kadar air bebas
13. Keempukan Daging
Nilai keempukan daging ditentukan dengan metode shear press menurut Warner-Blatzer Bouton et al., 1971. Pengukuran keempukan daging dilakukan
secara objektif. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan kgcm2. Cara kerja alat ini adalah sebagai berikut, sampe daging seberat 150 gram dimasukkan ke
dalam air rebusan, sebelum itu thermometer bimetal ditancapkan hingga menembus bagian dalam sampel daging, kemudian direbus hingga thermometer
bimetal menunjukkan angka 80
o
C, sampel diangkat dan didinginkan. Setelah itu
89 sampel daging dicetak dengan alat pencetak daging corer yang berdiameter 1,27
cm. Potongan-potongan daging tersebut diukur keempukan-nya dengan menggunakan alat berskala kgcm
2
14. Susut Masak Daging
Warner Blatzer.
Dihitung berdasarkan selisih berat sampel awal dikurangi dengan berat sampel yang telah konstan. Sampel yang digunakan terlebih dahulu ditimbang
sebelum dilakukan perebusan dan ditancapka n thermometer bimetal hingga menembus bagian dalam daging. Kemudian direbus hingga suhu dalam daging
80
o
15. Pengukuran kadar N-amonia
C, lalu diangkat. Sampel tersebut didinginkan sampai mencapai berat konstan, setelah itu ditimbang sebagai berat akhir sampel konstan.
cairan rume n
Kadar ditentuka n de ngan teknik Microdifusi Conway General
Laboratory Procedures 1966.
16. Pengukuran Asam Lemak Volatile VFA
Pengukuran VFA ditentukan dengan desetilasi uap General Laboratory Procedures, 1966.
18. Populasi total Bakteri
Populasi bakteri rumen dicacah menggunakan metode pancacahan koloni. Bakteri yang dicacah hanya yang hidup. Prinsip perhitunganya adalah cairan
rumen diencerkan secara serial lalu dilakukan pembiakan bakteri dalam tabung selama 7 hari. Kultivasi bakteri dilakukan pada pH 7, dibuat suasananya anaerob,
dan pada suhu 39°C. Media pembiakan yang digunakan adalah non selektif media untuk total bakteri. Prosedur yang dilakukan adalah menurut Suryahadi
1990.
19. Komposisi Asam Lemak Daging
Lemak daging diekstraksi dengan petroleum benzena dengan metode Soxhlet. Analisa komposisi asam lamak sesuai dengan AOAC 1995.
20. Kolestrol Daging
Analisa kolestrol daging dilakukan sesuai dengan metode yang dimodifikasi Tangendj aja et al. 1983.
90
Rancanga n Percobaa n dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok RAK de ngan 4 perlakuan dan 4 kelompok. Jenis ransum berfungsi sebagai
perlakuan dan perbedaan bobot badan domba sebagai kelompok. Data yang
diperoleh dari peneitian ini diolah secara statistik dengan analisis keragaman. Jika analisis keragaman menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan uji Duncan`s
Multiple Range Test DMRT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penga ruh Ransum Pe rlak uan terhadap Konsumsi Zat Makanan pada Domba
Jumlah bahan kering yang dapat dimakan oleh seekor ternak selama satu hari perlu diketahui. Dengan mengetahui jumlah bahan kering yang dimakan
dapat dipenuhi kebutuhan seekor ternak akan makanan yang perlu untuk hidup pokok, pertumbuhan dan produksinya. Konsumsi tergantung dari hijauan saja
yang dibe rika n atau bersamaan de ngan ko nsentrat. Konsumsi ba han kering untuk ternak domba menurut Devendra dan Burn 1994 yang menyatakan bahwa
kebutuhan BK pada domba adalah sekitar 2,8 – 4,9 dari bobot badan. Hasil penelitian tentang konsumsi bahan kering BK selama penelitian
dapat dilihat pada Tabel 17. Konsumsi BK menunjukkan berbeda sangat nyata P0,01, ini menggambar-kan bahwa tingkat konsumsi BK dipengaruhi oleh
perlakuan, domba yang mendapat suplemen Cr organik dari fungi A. niger dengan substrat serat sawit SSF-Cr organik menunjukkan konsumsi yang lebih rendah
daripada kontrol. Hal ini dimungkinkan perbedaan persentase SSF didalam ransum masing- masing perlakuan, walaupun kandungan nutrisinya hampir sama.
Persentase BK yang diko nsumsi dari pe rlakuan A-D adalah sebesar 571.3 - 405.07 geko rhr. Adanya respon konsumsi pakan yang berbeda disebabkan
karena kandungan dan kualitas gizi pakan menurun, terutama serat kasar meningkat dan nutrisi tercerna dan aroma menurun sehingga palatabilitas rendah
yang mengakibatkan konsumsi pakan menurun. Selain itu, keragaman konsumsi pakan disebabkan oleh status ternak dan bobot badan bervariasi dengan ternak
yang lebih besar mengko nsumsi pakan lebih banyak, hal ini berhubungan dengan kapasitas tampung lambung berbeda.