SEM Scanning Electron Microscope. Scanning Electron Microscope

55 menggunakan berbagai jenis alkali, ternyata meningkatnya daya cerna ditentukan oleh jenis alkali dan jumlah zat kimia yang digunakan. Penga ruh Konsentras i NaOH dan Lama Pemeraman te rhadap Kandungan Lignin Serat Sawit Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang berbeda sangat nyata P0.01 antara konsentrasi NaOH dengan lama pemeraman terhadap kandungan lignin serat sawit yang diperam dengan NaOH. NaOH dapat melarutkan lignin, silika dan hemiselulosa tetapi tidak melarutkan selulosa, dengan NaOH menyebabkan terjadinya perombakan struktur dinding sel akibat adanya penetrasi yang kuat dari NaOH ke dinding sel sehingga meningkatkan kecernaan bahan kering da n bahan organik Arisoy 1998. Selanjut nya pada penggunaan larutan alkali sebagai larutan penghidrolisis, alkali yang efektif digunakan adalah alkali kuat misalnya NaOH dan CaOH2. Pada proses pe leburan, lignin didalam sekam akan terlepas dari ikatannya dengan selulosa, sedang pada pemanasan lebih lanjut mengalami oksidasi dan perombakan menjadi garam- garam oksalat, asetat dan formiat Mastuti 2001. Reaksi yang terjadi pada peleburan adalah sebagai berikut: C6H10O5n + 4n NaOH + 3n O2 n COONa2 + n CH3COONa + n HCOONa + 5n H2O + n CO2 Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada proses hidrolisis yaitu konsentrasi zat penghidrolisis, waktu, suhu, perbandingan reaktan, ukuran ba han dan kecepatan pengaduka n. Dengan de mikian ko nversi aka n naik dengan naiknya suhu. Semakin lama waktu hidrolisis, konversi yang dicapai semakin besar sampai batas waktu tertentu, dan bila waktu diperpanjang, pertambahan konversi kecil sekali karena terjadi dekomposisi hasil. Agar persentuhan antara zat- zat pereaksi berlangsung baik, maka perlu diberikan pengadukan. Pengadukan juga akan meratakan suhu pemanasan sehingga reaksi berjalan sempurna. Ukuran bahan makin halus akan memperluas bidang kontak, kecepatan reaksi bertambah dan konversi akan naik. Peningkatan konsentrasi zat penghidrolisis akan memperbesar kecepatan reaksi, tetapi konsentrasi yang tinggi kadang-kadang dapat memberikan hasil samping yang tidak diinginkan. 56 Pada Tabel 8 terlihat kandungan lignin serat sawit yang diperam dengan NaOH berkisar antara 21.14 sampai 23.99. Rataan kandungan serat sawit yang diperam dalam NaOH adalah 22.66, kandungan lignin terendah diperoleh pada konsentrasi NaOH 5 dengan lama pemeraman 24 jam. Hal ini terjadi karena NaOH mampu memecah ikatan antara ligno-selulosa atau ligno-hemiselulosa dan melarutkan sebagian lignin. Rahman 1990 menyatakan bahwa NaOH adalah alkali yang paling efektif dalam merenggangkan ligno-selulosa sehingga serat kasar mudah dicerna. Lignin sangat tahan terhadap degradasi kimia. Senyawa NaOH mampu merusak atau memutuskan ikatan antara lignin dengan selulosa atau hemiselulosa, selain itu dapat menyebabkan pembengkakan matrik selulosa dan hemiselulosa yang telah terputus dengan ikatan lignin, sehingga lebih mudah dicerna oleh mikroba rumen. Pada lama pemeraman 24 jam dengan konsentrasi 5 diperoleh kandungan lignin 21.14, menurun sekitar 2.87 dibandingkan dengan serat sawit yang tidak diperlakuka n. Secara rata-rata konsentrasi NaOH 2.5-7.5 cukup efektif untuk menurunkan kandungan lignin. Sedangkan bila dilihat dari lama pemeraman, semakin lama waktunya kandungan lignin semakin turun, hal ini disebabkan NaOH semakin lama bekerja. NaOH berfungsi untuk mendegradasi dan melarutkan lignin sehingga mudah dipisahkan dari selulosa dan hemiselulosa Sihite 2008 selanjutnya menurut penelitian Subkaree et al 2007, perlakuan NaOH dapat mengurangi kandungan lignin pada pra-perlakuan serat sawit. Dengan adanya larutan NaOH ikatan dapat dilepas dan selulosa dalam keadaan bebas. Menurut Haddad et al 1995 mengatakan bahwa hidrolisis bahan berserat kasar dengan NaOH, NH 4 OH, urea dan CaOH 2 menurunkan kadar lignin dan peningkatan daya cerna secara proporsional dengan turunnya kadar lignin. Perlakuan NaOH pada serat sawit ternyata dapat meningkatkan bahan kering, bahan organik, abu, energi dan retensi N, namun tidak terjadi peningkatan kecernaan serat kasar Arysoi 1998, tetapi pada penelitian Ginting 1996 perlakuan NaOH dengan ko nsentrasi 5 memberikan koefisien cerna bahan kering in-vitro serat sawit yang terbaik dibanding dengan konsentrasi NaOH 2.5 dan 7.5 . 57 SIMPULAN Konsentrasi NaOH 2.5 dengan lama pemeraman 24 jam mampu memberikan hasil yang terbaik dalam menurunkan kandungan NDF, ADF serat sawit tanpa mempengaruhi nilai protein kasar. Dengan menggunakan scanning elektron mikroskop SEM dapat dilihat, terjadi pemecahan dinding sel serat sawit setelah pemeraman serat sawit dengan NaOH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lignin terpecah dari lignin-selulosa. DAFTAR PUSTAKA [AOAC] The Association of Official Analytical Chemists. 1990. Method of Analysis. 16thEd. Washington DC. Assoc Agric Chemist. Arisoy M. 1998. The effect of sodium hydroxide treatment on chemical compos ition and digestibility of straw. Tr J of Veterinary and Animal Sicences 22 p:165-170. Diwyanto K, Sitompul D, Manti I, Mathius IW, Soentoro. 2004. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Dalam Setiadi et al. Ed.. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit- Sapi. hlm. 11-22. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal. Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Diterjemahkan oleh Hardjono Sastrohamidjojo. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Garmrood i AF et al. 2009. In vitro firtsorder kinetic disappearance of dry matter and neutral detergent fiber of chemically and physically treated cottonseed hulls. Research Journal of biological Sciences 411:1180- 1184. Ginting BL. 1996. Penggunaan serat sawit palm press fiber yang diperlakukan dengan NaOH dalam ransum domba lokal [tesis]. Padang. Program Pascasarjana, Universitas Andalas. Haddad SG, Grant RJ, Klopfenstein TJ. 1995. Digestibility of alkali-treated wheat straw measured in vitro or in vivo using Holstein heifers. J Anim Sci 72:3258-3265. Jamarun N, Nur YS, Rahman J. 2001. Pemanfaatan serat sawit fermentasi sebagai pakan ternak ruminansia. Panduan Seminar dan Abstrak. 58 Pengembangan peternakan berbasis sumberdaya lokal. Bogor. Fakultas Peternaka n Institut Pertanian Bogor.. Lelono EB, Isnawati. 2007. Peranan iptek nuklir dalam eksplorasi hidrokarbon. Puslitbang Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. JFN,Vol1 No2, p:79-92 Liu CG, Wyman CE. 2005. Partial flow of compressed-hot water through corn stover to enhance hemicellulose sugar recovery and enzymatic digestibility of cellulose. Bioresource Technology 9618:1978-1985. Mastuti WE. 2001. Pembuatan asam oksalat dari sekam padi. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta. http:si.uns.ac.idprofiluploadpublikasiPembuatan Asam Oksalat dari Sekam Padi.pdf Moss AR, Givents DI, Everington M. 1990. The effect of sodium hydroxide treatment on the chemical compos ition, digestibility and digestible energy content of wheat, barley and oat straws. Anim. Feed Sci. Technol. 29:73- 87. Mulyono. 2001. Kamus Kimia Untuk Siswa dan Mahasiswa Sains dan Teknologi. Bandung. PT. Genesindo. Rahman A. 1990. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bahan Pengajaran. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Rahman J, Harnentis, Wiryawan KG. 2007. Biokonvesi limbah sawit menjadi komponen ransum komplit bermineral organic esensial untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan kwalitas daging domba. Padang. Laporan Penelitian Hibah Pekerti. Universitas Andalas Padang. Schumm DE. 1992. Intisari Biokimia. Diterjemahkan oleh Moch. Sadikin. 1993. Jakarta. Binarupa Aksara. Sihite O. 2008. Hubungan umur kayu Eucalyptus sp dengan kandungan pentosan bahan baku pulp pada PT Toba Pulp Lestari. Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. http:repository.usu.ac.idbitstream 1234567895903108E00327.pdf Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi II. Terjemahan: B. Sumantri. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 59 Subkaree Y, Boonswang P, Srinorakutara T. 2007. Palm press fibre treatment by sodium hydroxide and its enzymic hydrolysis. The 19 th Annual Meeting of the Tai Society for Biotechnology. TSB2007: Biotechnology for Gross National Happiness. http:www.tistr.or.ththesisP8Teerapatr YuttasakPalmPressed.pdf. Sunstøl F, Owen E. Editors. 1984. Straw and other fibrous by product as feed. Developments in animal and Veterinary Sciences. 14 :545-546. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosukojo S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.. Umikalsom MS, Ariff AB, Karim MIA. 1998. Saccharification of pretreatment oil palm empty fruit bunch fiber using cellulase of Chaetomium globosum. Agric.Food Chem. 46:3359-3364. Vadiveloo J, Nurfariza B, Fadel JG. 2009. Nutritional improvement of rice husks. Anim.Feed Sci.Technol. 151:299-355. Vadiveloo J, Fadel JG. 1992. Compositional analyses and rumen degradability of selected tropical feeds. Anim.Feed Sci.Technol.37:265-279. Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of Ruminant Metabolism. New York Cornell University Press.. p:154-160. Zhu S et al. 2006. Microwave-assisted alkali pretreatment of wheat straw and its enzymatic hydrolysis. Biosystem Eng. 94:437-442. 60 IV. FERMENTASI SERAT SAWIT-NaOH DENGAN Aspergillus niger PENSINTESA KROMIUM ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI PAKAN ABSTRACT The aim of this study was to determine the effective Cr chromium level for Aspergillus niger growth in solid state fermentation of palm press fiber. Treatments were combination of Cr levels 2, 4 and 6 pp m and level of Aspergillus niger 5; 7,5 and 10 and fermentation time 6 days. The treatments were allocated in a factorial 3x3 of completely randomized design with two replications. Inoculant of Aspergillus niger was grown in potato dextrosa agar PDA medium for 3 days and then innoculated to substrate which have been autoclaved and mixed with CrCl3.6H2O. The moisture of substrate was maintained at 60. Growth media of Aspergillus niger was diluted with aquadest and the supernatant was analysed for its Cr content. The result showed that the addition of Cr up to 6 ppm into the medium stimulated the Aspergillus niger growth in all experimental condition. The Cr ions were incorporated into the media and Aspergillus niger cells during fermentation. Incorporation of chromium by Aspergillus niger was higher in palm press fiber subs trate with 6 ppm Cr than the others. It is concluded that Cr can be incorporated into the Aspergillus niger cells during fermentation. The effective level of Cr for Aspergillus niger growth was 6 ppm with efficiency of Cr incorporation 68.23 in 6 days fermentation and chromium in protein of fermentation product was 12.01. Key words: NaOH, chromium, Aspergillus niger, palm press fibre Pendahuluan Latar Belakang Serat sawit yang diperoleh dari industri minyak sawit di Indonesia akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya luas area penanaman kelapa sawit. Di Indonesia saat ini penanaman kelapa sawit Elais gueneensis JACK sedang dikembangkan dengan peningkatan luasan yang pesat dari 120.000 hektar tahun 1969 menjadi 5.500.000 hektar pada tahun 2005. Terbatasnya penggunaan serat sawit dalam ransum karena tingginya kandungan selulosa 38.69 da n lignin 20.99 yang mengakibatkan rendahnya daya cerna serat kasar. Untuk mengatasi ini dipe rluka n suatu teknologi biofermentasi yakni dengan menggunakan kapang Aspergillus niger yang dapat meningkatkan kecernaan dan kandungan protein kasar serat sawit. Jamarun et al. 2000 telah melakuka n penelitian dengan menggunakan berbagai level inokulum Aspergillus niger menghasilkan enzim 62 selulase, xylanase. dan lama fermentasi serat sawit dengan NaOH terhadap kecernaan bahan kering KCBK dan Kecernaan Bahan Organik KCBO meningkat, dengan meningkatnya level inokulum dan lama fermentasi. Kromium Cr merupakan unsur mikro esensial yang dibutuhka n da lam metabolisme karbohidrat,lemak dan protein NRC 1997. Kromium juga berperan menstabilkan struktur tersier dari protein Demirci Porne 2000. Suplementasi Cr meningkatkan GTF glucose tolerance factor pada darah tikus Pechova Pavlata, 2007. Molekul GTF mengandung Cr, asam nikotinat, asam amino glisin, glutamat dan sistein, yang berfungsi meningkatkan peran insulin dalam oksidasi glukosa Zetic et al., 2001. Kromium kini telah diakui sebagai nutrien esensial yang berfungsi antara lain dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan asam nukleat Atmosukarto Rahmawati 2004 Mineral kromium Cr dalam sistem biologis didapatkan terutama dalam status +3 ion, walaupun +2 dan +6 juga ada. Garam kromium anorganik walaupun mengandung Cr +3 , kurang efektif disebabkan penyerapannya hanya sedikit, sekitar 1 Linder 1992. Mineral Cr dalam bentuk faktor toleransi glukosa glucose tolerance factor, GTF telah lama diketahui berperan dalam metabolisme karbohidrat, khususnya dalam meningkatkan entri glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktifitas insulin. Kromium dalam bentuk trivalen Cr3+ yang tidak beracun sangat sulit diserap tubuh. Suplementasi Cr ke dalam pakan akan lebih menguntungkan apabila diberikan dalam bentuk Cr organik. Supplementasi Cr organik pada sapi perah laktasi mening-katkan prod uks i da n kualitas susu yang d ihasilka n. Pada sapi perah di daerah panas selama musim kemarau, suplementasi Cr organik mampu meningkatkan daya adaptasi ternak terhadap suhu lingkungan yang panas. Supp lementasi Cr pikolinat terbukti mampu meningkatkan kemampuan sel memanfaatkan glukosa darah dan menurunkan resiko akibat gangguan diabetes melitus, selanjutnya supplementasi Cr organik dapat meningkatkan respon imunitas ikan mas secara maksimal sehingga mampu mengurangi tingkat virulensi virus herpes. Burton 1995, mengatakan Cr berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan konversi tiroksin T4 menjadi triodotironin T3. 63 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatka n kombinasi terbaik A. niger pensintesa Cr-organik dengan kecernaan, kandungan gizi da n ka ndungan Cr terinkorporasi yang tinggi. MATERI DAN METOD E Penelitian ini menggunakan serat sawit yang diperoleh dari pabrik pengolahan ke lapa sawit PT Incasi Raya di Padang da n Malimping Banten. Dedak diperoleh dari penggilingan padi di Cilubang Bogor. Bahan kimia yang digunakan adalah NaOH kristal teknis, Kromium CrCl 3. 6H 2 O, trypthopan, Aspergillus niger diperoleh dari Puslitbang Mikrobiologi-LIPI Cibinong dan aquadest diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor. Penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Mikrobiologi PPSHB IPB dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah IPB Institut Pertanian Bogor. Metode Analisis Peuba h yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1 kandungan nutrien meliputi bahan kering, protein kasar metoda Kjedhal, kandungan Cr-organik, NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa, dan lignin metoda Van Soest 1987; 2 struktur dinding sel scanning electron microscope. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah: 1. Peremajaan kapang A. niger Cz 51 VI1 dan pe mbuatan inok ulum Kapang murni A. niger Cz 51 VI1 yang digunakan diperoleh dari Mikrobiologi Balitbang LIPI Bogor. Kapang ini diremajakan pada media ekstrak toge agar, yang akan digunakan seba gai ba han unt uk membuat inokulum yang dicampur dengan substrat dedak padi Nur et al., 1993. Inokulum yang diperoleh kemudian dihitung jumlah sporanya, untuk 1 gram bahan kering inokulum mengandung 6 x 10 6

2. Pembuatan serat sawit fermentasi

spora A. niger Cz 51 VI1 mengikuti metode Nur 1998 dan Nur 2001.

a. Persiapan Substrat. Serat sawit alkali yang terbaik yang akan digunakan

sebagai media fermentasi substrat dibersihka n, ke mudian digiling. 64

b. Persiapan Inok ulum. Bahan dasar inokulum adalah dedak padi.

Inokulum yang sudah dibuat ditimbang sesuai perlakuan yaitu 5 , 7,5 dan 10 dari BK bahan. Selanj utnya dicampur de ngan larutan CrCl 3 Medium selektif dibuat dari ba han-ba han seba gai berikut: MgSO triptopan, medium selektif dan air, sehingga campuran substrat tersebut mempunyai konsentrasi Cr dan triptopan sesuai dengan perlakuan. 4 . 7H 2 O 0.25 g; KH 2 PO 4 1.00 g; FeSO 4 . 7H 2

c. Pencampuran. Campuran substrat disterilkan menggunakan autoklaf

selama 20 menit pada suhu 120 O 0.01 g; Thyamin hidrochlorid 12.50 mg, urea 5.00 g, larutan tripthopan 600 ppm 1.2 g dalam 1 liter aquadest. o

d. Inkubasi. Substrat serat sawit yang sudah dicampur dengan inokulum,

Cr-anorganik dan tripthopan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Kantong plastik tersebut ditutup dan diberi lobang diameter 0.5 cm, ketebalan substrat dibuat ± 2 cm dengan luas permukaan 20 x 20 cm Jamarun et al. 2000. Selanjutnya kantong plastik tersebut disimpan pada rak fermentasi selama 6 hari masa inkubasi. C, 15 psi. Setelah dingin substrat diratakan dalam nampan plastik dan ditambahkan inokulum. Pencampuran dilakukan agar substrat serat sawit alkali dan inok ulum tercampur merata.

e. Pemanenan. Setelah diinkubasi serat sawit dipanen, kemudian ditimbang,

diukur pHnya dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60 Penelitian In-vitro C selama 24 jam. Setelah kering serat sawit fermentasi, dianalisis kandunga n nutrient protein dan serat kasar proksimat, analisis Van Soest dan kandungan Cr organik. Tujuan percobaan ini untuk mengetahui fermentabilitas serat sawit fermentasi dalam rumen. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah IPB Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai Juli 2006 sampai dengan November 2006. 65 Percobaan dilakukan secara in-vitro. Peubah yang diukur ada lah: VFA total [Kromatografi gas AOAC 1995], NH 3

1. Kecernaan Bahan Kering BK dan Bahan Organik BO in vitro

[Microdifusi Conway General Laboratory 1966], kecernaan bahan kering dan bahan organik Metode Tilley Terry 1963. Parameter yang diamati Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: Dilakuka n de ngan metode Tilley dan Terry 1963

2. Pengukuran Kadar

Kadar ditentukan dengan teknik microdifusi Conway General Laboratory Procedure 1966.

3. Pengukuran asam lemak volatil VFA total

Pengukuran VFA ditentuka n dengan destilasi uap General Laboratory Procedure, 1966.

4. Pengukuran Kandungan Kromium

Inkorporasi Cr ke dalam protein fungi Cr organik diukur dengan menggunakan atomic absorption spectrophotometer AAS menurut metode Carry Allaway 1971. Satu gram sampel Cr organik dimasukkan ke dalam tabung dan ditambahkan larutan TCA 20. Tabung disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Endapan yang dihasilkan ditimbang sebanyak 0,8 gram dan dimasukkan ke dalam labu destruksi lalu ditambahkan HNO 3 pekat sebanyak 10 ml. Labu dipanaska n sampa i larutan mendidih selama 5 menit. Setelah dingin larutan itambah 2 ml H 2 SO 4 pekat, 2 ml HClO 4 70, dan 0,2 ml AgNO 3 10 dan pemanasan kembali dilakukan sampai larutan menjadi jernih. Larutan jernih tersebut siap dibaca kadar Cr- nya dengan menggunakan AAS. Analisis data Adapun faktor perlakuan dalam penelitian ini adalah: Faktor A level kapang A. niger adalah 1 5 BK bahan, 2 7,5 BK bahan dan 3 10 BK bahan, faktor B adalah level mineral CrCl 3 yang ditambahkan ke dalam substrat, yaitu; 1 2 mgkg substrat,2 4 mgkg substrat dan 3 6 mgkg substrat 66 dengan penambahan triptopan 600 mgkg substrat untuk setiap perlakuan. Data yang diperoleh dari pe nelitian ini diolah secara statistik dengan analisis keragaman. Jika analisis keragaman menunjuk-kan perbedaan nyata maka dilakuka n uj i Duncan`s Multiple Range Test DMRT. HASIL DAN PEMBAHASAN Penga ruh Level Aspergillus niger dan Konsentras i Kromium terhadap Scanning Elektron Mikroskop SEM Scanning elektron mikroskop SEM dimaksud untuk mengetahui porositas yang terbentuk akibat level Aspergillus niger da n konsentrasi kromium pada serat sawit yang diperam dengan NaOH, yaitu berupa rongga primer maupun sekunder secara detail, sangat berguna karena mampu memberi informasi jauh lebih detil daripada sekadar analisis mikroskopis. SEM sanggup memperbesar image puluha n ribu kali sehingga struktur dalam serat terlihat dengan jelas termasuk porositas Lelono dan Isnawati 2007. Serat sawit mengandung serat kasar yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel berikatan dengan lignin dan hemiselulosa membentuk suatu lignoselulosa. Pengaruh level Aspergillus niger da n konsentrasi kromium terhadap struktur serat sawit dengan scanning elektron mikroskop SEM disajika n pada Gambar 11. 67 pl = parenkim longitudinal pr = parenkim jari-jari SEM permukaan Serat sawit-NaOH perbesaran 1000xA SEM Serat sawit fermentasi perbesaran 1000x B pl dan pr larut pr pl pr pl Gambar 11 SEM permukaan serat sawit-NaOH A dan serat sawit fermentasi perbesaran 1000x B perbesaran 1.000x. pl = parenkim longi tudinal dan pr = parenkim jari- jari tidak kelihatan lagi dengan meningkatnya perlakuan Pada Gambar 11 dinding sel SSF-Cr terlihat lebih tipis halus, partikel- partikel yang ada pada dinding sel SS-NaOH hilang dengan adanya inkorporasi Aspergillus niger-Cr. Dinding sel yang mengandung lignin-selulosa dan lignin– hemiselulosa terputus, ini memudahkan enzim selulase yang dihasilkan Aspergillus niger memecah selulosa dan hemiselulosa, berarti sebagian dinding sel larut dan terjadi peruba ha n strukt ur dinding sel yang berpe ran untuk melonggarkan ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa. Penga ruh Level Aspergillus niger dan Konsentras i Kromium terhadap Kandung-an Protein Kasar Penggunaan persentase inokulum yang berbeda tidak nyata pengaruhnya terhadap kandungan protein kasar SSF-Cr. Hal ini disebabkan oleh laju pertumbuhan dan perkembangbiakan kapang bervariasi menurut jenis biakannya. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan protein kasar SSF-Cr disajikan pada Tabel 9. 68 Tabe l 9 Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan protein kasar dan serat kasar SSF-Cr BK Persentase Inokulum BK Level Kromium mgkg Rataan 2mgkgA1 4mgkgA2 6mgkgA3 Kandungan protein kasar 5 B1 7.84±0.32 8.74±0.32 8.96 ±0.0 8.51±0.59 7.5 B2 8.06±0.64 8.96 ±0.0 9.18 ±0.31 8.73±0.59 10 B3 8.51±0.64 9.07 ±1.43 9.18 ±0.95 8.92±0.36 Rataan 8.14±0.34 8.92±0.17 9.11±0.13 8.72 Kandungan serat kasar 5 B1 45.93±2.69 49.84±2.60 48.35±2.11 48.04 ±2.61 7.5 B2 53.43±0.69 50.64±7.13 52.23±2.62 52.09 ±3.64 10 B3 48.92±6.96 49.21±6.44 43.90±6.48 47.34 ±5.79 Rataan 49.43 ±4.76 49.89 ±4.49 48.16 ±4.95 49.16 Terjadi peningkatan protein kasar pada penelitian ini dari 3.93 serat sawit tanpa fermentasi menjadi 7.84 – 9.18 serat sawit fermentasi, tetapi pengaruh antar perlakuan berbeda nyata. Peningkatan protein kasar pada serat sawit fermentasi disebabkan oleh adanya pertumbuhan kapang. Jamarun et al. 2001 menjelaskan bahwa kapang yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik akan merubah lebih banyak komponen penyusun media menjadi suatu massa sel, sehingga akan terbentuk protein yang berasal dari tubuh kapang itu sendiri dan dapat meningkatkan protein kasar dari bahan. Disamping itu, peningkatan protein kasar SSF-Cr disebabkan hasil kerja enzim perombak pati yang mengakibat-kan komposisi bahan berubah, yaitu karbohidrat dan lemak menjadi semakin rendah, sehingga secara proporsional persentase protein meningkat. Pada perlakuan A2 dan A3 memperlihatkan miselia yang lebih kompak dibandingkan A1. Ini membuktikan bahwa kapang A2 dan A3 lebih mampu tumbuh pada media serat sawit alkali yang ditambahkan kromium dan trypthopan. Penga ruh persentas e inokulum dan leve l kromium terhadap kandungan serat kasar SSF-Cr BK Tidak terjadi interaksi antara persentase inokulum dengan level kromium Tabe l 9, kadar serat kasar tertinggi pada A1, selanjutnya menurun pada A2 dan A3. Tingginya kadar serat kasar SSF-Cr pada A1 bertolak belakang dengan meningkatnya persentase inokulum yang diberikan. Hal ini diduga terjadinya 69 inkorporasi kromium ke dalam A. niger membentuk kromium organik yang menyebabkan terjadi penurunan jumlah serat kasar SSF-Cr. Perubahan kadar serat kasar setelah fermentasi tanpa penambahan kromium dan trypthopan menurut Krishna 2005 disebabkan oleh pertumbuhan miselia kapang yang mengandung serat serta terjadinya kehilangan dari sejumlah padatan lainnya, pada percobaan ini terjadi penurunan jumlah serat kasar SSF-Cr. Percobaan ini juga didukung dari hasil SEM yang menunjukkan bahwa terjadi porositas berupa rongga-rongga atau lokus yang banyak akibat fermentasi dengan A. niger dan penambahan kromium trypthopan. Hal inilah yang mengakibatkan turunnya jumlah serat kasar pada SSF-Cr dengan meningkatnya level inokulum dan konsentrasi kromium. Penga ruh Pe rsentase Inokulum dan Level Kromium terhadap Kandungan Sintesis Cr-orga nik oleh Aspergillus niger Inkorporasi Cr ke dalam protein kapang A. niger seperti disajikan pada Tabel 10. Respons perlakuan memperlihatkan adanya interaksi antara persentase inokulum dengan level kromium. Adanya kerjasama antara A. niger , kromium dan tripthopa n terjadi kromium organik kromium pikolinat yang terlihat dengan semakin bertambahnya persentase inokulum dan level kromium pada SSF-Cr. Asam pikolinat adalah metabolik sekunder yang dihasilkan pada metabolisme triptopan sebelum membentuk niasin atau asam nikotinat Combs 1992; Groff Gropper 2000. Tabel 10 Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan sintesis Cr-organik pada sel A. niger mgkg Persentase Inokulum BK Level Kromium 2mgkgA1 4mgkgA2 6mgkgA3 5 B1 1.54 E 1.66 ±0.01 D 1.87 ±0.03 D ±0.01 7.5 B2 3.17 C 3.26 ±0.03 C 3.45 ±0.01 C 10 B3 ±0.35 4.88 B 5.57 ±0.06 A 5.69 ±0.01 A ±0.0 Keterangan : Superskrip menunjukkan perbedaan yang sangat nyata P0.01. Telah diketahui bahwa fungi dapat mensintesis niasin melalui metabolisme trypthopan. Selain menghasilkan niasin, dalam metabolisme tersebut juga dihasilkan asam pikolinat sebagai metabolit sekundernya Combs 1992. Selanjutnya tiga molekul asam pikolinat berikatan dengan Cr 3+ membentuk Cr- pikolinat yang meru-pakan salah satu bentuk Cr-or ganik Lyons 1995. Dengan 70 demikian penambahan tryptopan akan meningkatkan inkoporasi Cr ke dalam protein fungi. Penga ruh persentas e inokulum dan leve l kromium terhadap kandungan Neutral Detergent Fiber NDF SSF-Cr BK Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan Neutral Detergent Fiber NDF SSF-Cr BK berbeda tidak nyata P0.05 terhadap kandungan NDF. Tabe l 11 Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan NDF dan ADF SSF-Cr BK Persentase Inokulum BK Level Kromium Rataan 2mgkg A1 4mgkgA2 6mgkg A3 Kandungan NDF 5 B1 79.64 ±1.72 82.77 ±2.32 80.96 ±2.94 81.12±2.32 7.5 B2 83.17 ±2.34 81.96 ±1.42 81.46 ±3.75 82.19±2.22 10 BK3 76.99 ±0.65 82.81 ±1.10 78.20 ±4.37 79.33±3.42 Rataan 79.93±3.07 82.51±1.38 80.21±3.29 80.88 Kandungan ADF 5 B1 70.69 ±6.46 72.43 ±4.24 71.07 ±6.27 71.39±4.52 7.5 B2 73.01 ±0.30 66.26 ±3.26 69.88 ±11.48 69.71±6.14 10 B3 59.49 ±10.38 72.63 ±9.59 67.07 ±12.52 66.39±10.30 Rataan 67.73±8.47 70.44±5.88 69.34±8.31 69.17 Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi NDF, berarti suplementasi kromium organik pada SS-NaOH yang berbeda tidak mempengaruhi NDF. Hal ini disebabkan masing- masing perlakuan mengandung bahan kering dan serat kasar yang hampir sama, dan hal ini juga menunjukkan bahwa selama kurun waktu enam hari, pertumbuhan kapang sudah maksimal walaupun jumlah inokulum berbeda sehingga jumlah bahan kering dan serat kasar yang dirombak juga sama. NDF yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu 80.88 lebih rendah daripada NDF SS yaitu 88.72. Penurunan NDF terjadi karena NDF mengandung hemiselulos a yang merupakan fraksi yang mudah dicerna sehingga kapang dapat menguraikannya dengan baik. Moore Landeker 1992 menyatakan bahwa dalam aktivitas pertumbuhan kapang, hifa berperan untuk menyerap zat-zat maka nan yang 71 terdapat dalam media berupa molekul yang lebih sederhana seperti glukosa akan digunakan lebih dahulu. Penga ruh persentas e inokulum dan leve l kromium terhadap kandungan Acid Detergent Fiber ADF SSF-Cr BK Acid detergent fiber ADF merupaka n zat maka nan yang tidak larut dalam detergent asam. ADF terdiri dari selulosa, lignin dan silika Van Soest 1987. Menurut Parakkasi 1999 ADF erat hubungannya dengan kecernaan, sehingga apabila kecernaannya tinggi maka ADF yang tercerna akan tinggi pula. Komponen ADF yang mudah dicerna adalah selulosa, sedangkan lignin sulit dicerna karena memiliki ikatan rangkap, jika kandungan lignin dalam bahan pakan tinggi maka koefisien cerna pakan tersebut menjadi rendah Sutardi 1990. Hasil analisis ragam Tabe l 11 menunjukkan pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan ADF SSF-Cr berbeda tidak nyata P0.05, sehingga dalam percobaan ini dapat dikatakan bahwa perlakuan persentase inokulum dan level kromium tidak mempengaruhi ka ndungan ADF SSF-Cr secara nyata. Pada percobaan A1, lebih rendah dari A2 dan A3 tetapi pada percobaan B3 lebih rendah daripada B1 dan B2. Pada masing- masing perlakuan mengandung bahan kering dan serat kasar yang hampir sama, dan hal ini juga menunjukkan bahwa selama kurun waktu enam hari, pertumbuhan kapang sudah maksimal walaupun jumlah inokulum berbeda sehingga jumlah bahan kering dan serat kasar yang dirombak juga sama. Penga ruh persentas e inokulum dan leve l kromium terhadap kandungan Hemi-selulosa SSF-Cr BK Hemiselulosa dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme dengan memecah ko mpo nen ko mplek menjadi zat- zat yang muda h dicerna dan digunakan untuk mensintesa beberapa vitamin seperti riboflavin, vitamin B 2 , provitamin A dan faktor pertumbuhan lainnya Church 1988. Dinyatakan juga oleh Fardiaz 1988 bahwa mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi setelah terlebih dahulu dipecah menjadi glukosa. Kandungan hemiselulosa pada berbagai perlakuan disajikan pada Tabel 12. 72 Kandungan hemiselulosa SSF-Cr 11.72 yang dihasilkan lebih rendah dari SS 17.16. Hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh level A. niger dan penggunaan level kromium pada serat sawit fermentasi berbeda tidak nyata terhadap kandungan hemiselulosa. Penurunan kandungan hemiselulosa terjadi karena kapang A. niger mampu mencerna hemiselulosa menjadi zat- zat yang mudah dicerna, disamping itu juga dapat mensintesa beberapa vitamin seperti riboflavin, vitamin B12 dan provitamin A. Pengaruh inkorporasi kromium pada A. niger terlihat berfluktuasi pada setiap perlakuan, tapi dengan semakin tinggi level inokulum terjadi peningkatan kandungan hemiselulosa walaupun secara statistik berbeda tidak nyata. Sebaliknya dengan meningkatnya level kromium kandungan hemiselulosa semakin menurun . Penga ruh Pe rsentase Inokulum dan Level Kromium terhadap Kandungan Selulosa SSF-Cr BK Selulosa merupakan komponen terbanyak dari batang tanaman dan membentuk struktur dasar dari dinding sel tanaman Fengel dan Wegener 1995. Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan selulosa SSF-Cr BK disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan bahwa interaksi antara persentase inokulum dan level kromium berbeda tidak nyata P0.05 terhadap kandungan selulosa. Tabe l 12 Pengaruh persentase inokulum dan level kromium terhadap kandungan hemiselulosa dan selulosa SSF-Cr BK Persentase Inokulum BK Level Kromium Rataan 2mgkg A1 4mgkgA2 6mgkg A3 Kandungan hemiselulosa 5 B1 8.95 ±4.74 10.35 ±6.55 9.89 ±3.33 9.73±3.96 7.5 B2 10.16 ±2.64 15.70 ±4.68 11.58 ±7.73 12.48±4.94 10 B3 17.50 ±11.03 10.19 ±10.69 11.14 ±8.15 12.94±8.55 Rataan 12.20 ±6.88 12.07 ±6.61 10.87 ±5.30 11.72 Kandungan selulosa 5 B1 42.03 ±1.84 46.04 ±3.14 44.87 ±7.48 44.31±4.15 7.5 B2 41.03 ±4.03 43.74 ±4.45 40.48 ±10.23 41.75±5.53 10 B3 35.90 ±9.92 47.40 ±4.69 37.63 ±0.76 40.32±7.41 Rataan 39.66±5.68 45.73±3.61 40.99±6.55 42.13